Pages

Monday 7 May 2012

Menghargai Islam Dalam Perbedaan


Menghargai Islam Dalam Perbedaan
Posted by PuJa on May 4, 2012
Judul Buku: Islamku, Islam Anda, Islam Kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: The Wahid Institute
Cetakan: I, Agustus 2006
Tebal: XXXVi +412
Peresensi: Muh. Khamdan *
http://paradigmaonline.wordpress.com/

“Tuhan tidak perlu dibela”, karena manusia yang sebenarnya membutuhkan pembelaan manakala menerima ancaman dan ketertindasan dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Dengan demikian, aspek penting dalam pemikiran adalah membela orang-orang yang tertindas, karena Tuhan tidak mungkin ditindas. Inilah kunci pemikiran dalam buku Gusdur pasca-kelengserannya.
Gus Dur adalah seorang intelektual muslim yang mendunia, namun berasal dari kultur tradisi yang kuat. Pandangannya tentang berbagai pesoalan, selalu dinilai dengan universalisme Islam. Gus Dur memaknai hal tersebut dengan perspektif penolakannya terhadap formalisasi agama, ideologisasi, atau syari‘atisasi Islam. Penolakan demikian karena term tesebut, justru akan mengabaikan pluralitas masyarakat yang berakhir pada menguatnya tindakan diskriminasi dan penindasan dalam kelas-kelas sosial. Ini terlihat dalam teks “Islam: Ideologis ataukah Kultural?” (h.42-62).
Gus Dur juga menolak wacana negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sikap ini dilandasi dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup tidak memiliki konsep jelas tentang negara. Pandangan Gus Dur dipertegas dalam artikelnya di buku ini “Negara Islam, Adakah Konsepnya?” (h.81). Pertama, Islam tidak memiliki pandangan jelas tentang pergantian pemimpin, karena masing-masing dari Khulafaur Rasyidin memiliki karakteristik berbeda. Abu Bakar dipilih melalui sumpah setia (baiat) dari perwakilan suku. Sebelum beliau meninggal, menyatakan untuk mengangkat Umar Bin Khattab. Intinya Umar menjabat karena penunjukan pengganti seperti presiden menunjuk wakilnya sebagai pengganti. Setelah Umar memimpin sekian lama dan berakhir usianya, beliau mengamanatkan untuk membentuk dewan perwakilan yang terdiri dari sahabat-sahabat mulia. Akhirnya, Utsman Bin Affan dipilih oleh tujuh orang anggota dewan tersebut. Untuk selanjutnya, pergolakan muncul di masa pengangkatan Ali sebagai khalifah (h.82). Dan, Alasan kedua yang dipaparkan Gus Dur untuk menolak konsepsi negara Islam adalah ketidakjelasan ukuran negara yang diidealisasikan oleh Islam. Apakah model negara mendunia, atau negara bangsa, atau hanya negara kota.
Menurut M. Syafii Anwar dalam pengantarnya berpendapat bahwa dari pandangan di atas, Gus Dur setidaknya mengikuti tipologi berfikir substantif-inklusif dalam menguraikan gagasan-gagasan politik Islam. Pemikiran ini ditandai dengan keyakinan bahwa al-Quran adalah kitab yang benar tentang aspek moral untuk kehidupan, bukan detail pembahasan obyek permasalahan kehidupan. Artinya, Islam memuat ajaran moral untuk menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, tetapi tidak memberikan panduan moral intuk mendirikan negara. Kedua, pemikirannya selalu berpijak pada persepsi bahwa Nabi Muhammad diutus bukan untuk membentuk negara, melainkan mengajarkan nilai-nilai universal, yaitu pada prinsip keadilan, perdamaian, dan persatuan sesama manusia.
Pemikiran tersebut akan berhadapan dengan corak pemikiran legal-eksklusif yang berpandangan bahwa Islam bukan sekedar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, yang mengklasifikasikan konsep Islam dengan 3D; din, daulah, dunya (agama, negara, dunia). Implikasinya, muncul paradigma untuk memformulasikan Islam dari tingkat negara sampai pada individu dalam bentuk konstitusi, semacam Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Akhirnya, langkah ini akan disusul dengan memperkuat identitas dan ideologinya dengan model ritual simbolik, bahkan cenderung pada model pemaksaan. Pada aspek kekerasan inilah Gus Dur tanpa memandang korban manapun, akan berada di garis terdepan memberikan pembelaan kendati terbaring sakit.
Buku yang disunting oleh Suaedy, Rumadi, Gamal Ferdhi, dan Agus Maftuh Abegebriel dari berbagai artikel Gus Dur di media massa ini, setidaknya menjadi cermin pengembaraan intelektual Gus Dur dari masa ke masa. Hal demikian juga diakui pengantar buku, Syafii Anwar (h.viii). “Islamku” yang dijadikan tajuk awal dari buku ini merupakan penggambaran tersendiri tentang pengalaman spiritual yang dialami Gus Dur selama ini. Dari pola radikal ikhwanul muslimin yang diikutinya sampai di Jombang Jawa Timur, tertarik nasionalisme Arab di Mesir dan Irak, sampai berlabuh pada ekletisrme yang bersifat kosmopolitan.
Namun pengalaman yang didapatkan oleh seorang Gus Dur tidak ingin dipaksakan untuk ditiru orang lain, karena beliau mengakui bahwa masing-masing individu memiliki pengalaman dan refleksi tersendiri, dan harus dihargai. Untuk itulah muncul istilah “Islam Anda”. Dan, perpaduan “Islamku, Islam Anda” yang memiliki cara pandang berbeda sekaligus standar kebenaran yang berbeda, menjadikan Gus Dur ingin merumuskan “Islam Kita”, yaitu Islam yang tidak saling memaksakan penafsiran kebenarannya kepada orang lain atau komunitas selainnya.
Buku ini terdiri dari tujuh bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang Islam dalam diskursus ideologi, kutural, dan gerakan. Sejumlah gagasan yang menolak konsepsi negara islam, formalisasi syariat dalam konstitusi negara, sampai pada pertemuan agama sebagai ideologi, dituangkan Gus Dur dalam bab ini, yang terangkai dari delapan belas artikel seri dan terpisah.
Pada bagian kedua, terangkum dalam topik Islam, negara, dan kepemimpinan umat. Bahasa dominan dalam bab ini lebih menitik beratkan pada dimensi moral dogma normatif Islam dalam sistem kehidupan manusia. Satu titik sentral adalah penekanan pada aspek keadilan. Apa yang dikemukakan di bagian tesebut, semakin diperjelas dalam bagian selanjutnya, yaitu tentang Islam, keadilan, dan hak asasi manusia.
Sejumlah gagasan tetang relasi Islam dan ekonomi kerakyatan termasuk aspek pendidikan dan masalah-masalah sosial budaya, dibahas dalam bagian yag beruntun pada bagian empat dan lima. Dari sini pula, Gus Dur memberikan komentar tentang terorisma yang berlangsung di Indonesia. Gus Dur memberikan kritik terhadap terorisme berkenaan dengan pendangkalan terhadap dogma normatif agama Islam, terutama berkaitan dengan dalil “besikap keras terhadap orang kafir bersikap lembut terhadap sesama muslim“(Q.S, al-Fath :29) sebagai tanda muslim yang baik. Padahal, kekerasan individual apapun dilarang Tuhan, selain ketika muslim diusir dari wilayahnya.(h.300). ini sesungguhnya prinsip keislaman Gus Dur, menolak semua jenis kekerasaan itu tanpa pandang asal apapun.
Dengan pola pemikiran tersebut, bagian akhir buku ini menyodorkan gagasan Gus Dur tentang Islam dan masalah global dunia yang mengakhiri refleksi intelektualitas pemikiran Gus Dur yang mendunia, meski berasal dari kaum bersarung, yakni tradisional NU. Dan ini menjadi point bagaimana membangun model keberagamaan yang toleran dalam perbedaan.
* Resensator adalah Pimpinan Umum LPM Paradigma

0 comments:

Post a Comment