Pages

Sunday 29 April 2012

Fenomena Penganggur Terpelajar


Fenomena Penganggur Terpelajar
Posted by PuJa on April 29, 2012
Muhammad Abu Nadlir
http://www.suarakarya-online.com/

Sungguh memprihatin-kan, jumlah pengangguran terdidik setiap tahun semakin meningkat. Terutama dari kaum terpelajar. Ini bisa kita amati bersama ketika bekal ijazah makin tidak laku di pasar tenaga kerja. Gelar akamedik seakan tak mampu lagi menopang nasib pemiliknya. Begitu juga para sarjanawan penganggur, semakin merebak ke kota-kota dan pedesaan-pedesaan.
Menurut data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia hingga 2011 mencapai 7,7 juta orang atau 6,56 persen dari total angkatan kerja. Secara umum tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun, di mana TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen dan TPT Agustus 2010 sebesar 7,14 persen.
Jika dibandingkan keadaan Februari 2011, TPT pada hampir semua tingkat pendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD ke bawah naik 0,19%, SMP naik 0,54%, dan SMK naik 0,43%. Pada Agustus 2011, TPT untuk SMA dan SMK masih tetap menempati posisi tertinggi, masing-masing 10,66% dan 10,43%.
Yang paling sering terkena getahnya adalah lembaga pendidikan. Ia dianggap tidak bisa mencetak lulusan yang siap pakai. Kualitas para lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Mereka tidak memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan bagi rekruitmen tenaga kerja. Padahal, dunia kerja begitu cepat berkembang. Persyaratan tenaga kerja selalu naik dari waktu ke waktu. Namun, lembaga pendidikan tidak bisa memantau kenaikan-kenaikan itu. Akibatnya, munculnya mis-match yang lebar antara lembaga pendidikan dan dunia kerja. Yaitu, ketidaksesuaian antara output lembaga pendidikan dengan input yang dituntut oleh dunia kerja.
Ketidaksesuaian itu, misalnya, terlihat manakala sekelompok lulusan sekolah atau mahasiswa baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Mereka bingung mencari pekerjaan. Beberapa iklan lowongan kerja yang dimuat koran sama sekali tidak menyentuh kualifikasi yang mereka miliki. Kemudian, arus pun kemudian berbalik. Mereka kembali mencari ilmu tambahan. Walaupun tidak seluruhnya, tetapi amat banyak di antara mereka kemudian mengikuti kursus-kursus pendidikan praktis. Sebutlah, kursus komputer, bahasa Inggris, manajemen, entrepeneurship, jurnalistik, akuntansi dan lian-lain. Alasannya, kursus-kursus semacam itu dianggap lebih laku, lebih marketable daripada kualifikasi sarjana yang disandangnya.
Lembaga pendidikan memang bukan pabrik. Dan, tujuan seseorang kuliah atau mencari ilmu secara keseluruhan adalah untuk mempertinggi produktivitas dirinya. Apa pun itu disiplin ilmu yang ditekuni, baik sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora. Tetapi, bila mengibaratkannya dengan pabrik, maka lembaga pendidikan harus menjadi the pabric of a new meaning (pabrik yang selalu memproduksi nilai-nilai baru). (Giroux, 2000; Price, 2001)
Lembaga pendidikan hendaklah mencari ‘nilai tambah’ kepada produk SDM yang dikelolanya, baik dalam sikap, wawasan, kecerdasan, ketrampilan, maupun keahlian. Namun, dalam praktiknya, tujuan ini akan mengalami kesulitan. Buktinya, keberadaan para penganggur ‘terdidik’. Rasanya tidak ada jaminan kepada mereka hingga menjadi lebih produktif dan bernilai tambah. Yang terjadi malah sebaliknya, tidak jarang perkembangan mereka menjadi paralel dengan pertumbuhan penganggur. Artinya, pendidikan mereka yang tinggi itu tidak dengan sendirinya membuka akses ke dunia kerja. Sehingga, seringkali tingginya pendidikan mereka itu, lalu hanya berarti besarnya inefisiensi, pemborosan dan ketidak-produktivitasan dirinya.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, tentu harus ada konsistensi dalam perencanaan pembangunan lintas sektor antara lembaga pendidikan dan dunia kerja. De samping, fenomena mis-match juga harus segera diakhiri. Kalau tidak, maka titik temu antara output lembaga pendidikan dan input yang dituntut dunia kerja, akan sulit terwujud.
Namun, apabila lembaga pendidikan hanya menunggu dibuatkan, disahkan dan diturunkannya kebijakan-kebijakan makro seperti itu, mungkin terlalu lama. Maka, lembaga pendidikan dituntut lebih bersikap luwes dan pragmatis. Oleh Lembaga pendidikan hendaknya bertindak cepat sekaligus orientatif terhadap siswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi didikannya. Lembaga pendidikan harus mampu memantau perkembangan dunia kerja atau bisa bekerja sama dengannya. Ini penting agar lembaga pendidikan mampu berperan dalam membantu peserta didik. Khuisusnya, dalam mengarahkan dan mendampingi jenis pendidikan tambahan sebagai bekal pascakelulusan anak didik nanti, termasuk manakala harus menghadapi tuntutan dunia kerja.
Selain solusi adanya kesepahaman antara dunia pendidikan dan dunia kerja tentang permasalahan output dan input yang diinginkan, solusi lainnya sebagai koreksi dan introspeksi bersama adalah bahwa sudah saatnya pendidikan Indonesia bergeser pada pilihan strategi pembangunan SDM ke arah pengembangan insan kreatif. Dengan manusia-manusia kreatif ini, diharapkan mampu menjadi penopang berkembangnya industri kreatif. Dan, tidak lain yang dibutuhkan adalah filsafat pendidikan progresif-eksistensialis. Karena, dengan basis filsafat ini, pendidikan akan lebih mampu mengakomodasi dan mengelaborasi potensi setiap individu melalui praksis pendidikan kreatif, baik berupa real experience maupun produc development.
Kedua solusi di atas dapat dijalankan kedua-duanya atau memilih salah satu saja. Semua tergantung kemampuan lembaga pendidikan masing-masing. Karena, sukses tidaknya pendidikan akan dinilai dari sejauh mana dunia pendidikan mampu melihat dan menindaklanjuti perubahan kebutuhan belajar para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswinya. Wallahu a’lam bi al-shawab. ***
*) Penulis adalah Direktur Monash Institute dan Dosen STEBank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta. /24 April 2012

Shakespeare Punya “Co-Writer”


Shakespeare Punya “Co-Writer”
Posted by PuJa on April 29, 2012
Albertina S.C.
Sinar Harapan, 26 April 2012

OXFORD – Seperti kerja bareng yang umum dalam produksi film, hal serupa juga diyakini terjadi pada sastrawan jenius Shakespeare. Para ilmuwan dari Universitas Oxford Inggris meyakini, ada “tangan kedua” yang terlibat dalam penulisan naskah komedi All’s Well That Ends Well karya Shakespeare.
Para peneliti menemukan bahwa kisah tentang bangsawan Bertman yang menghindar untuk menikahi seorang yatim piatu dari kalangan jelata, mungkin ditulis bersama penulis drama lain. Demikian seperti dikutip dari The Telegraph, Rabu (25/4).
Analisis komedi Bard dari First Folio pada 1623 menyingkapkan sidik jari sastrawan Thomas Middleton, penulis The Changeling and Women Beware Women, kata Prof Dr Laurie Maguire dan Dr Emma Smith, dari Fakultas Sastra Inggris Universitas Oxford. Dari kosa kata, rima, gaya, dan tata bahasa, berdasarkan analisis mendalam, keduanya menemukan bahwa Middleton, yang satu zaman dengan Shakespeare, tampaknya menjadi kandidat yang paling mungkin.
“Proporsi dari naskah yang ditulis dalam sajak jauh lebih tinggi dari biasanya untuk Jacobean Shakespeare: 19 persen adalah baris dalam sajak, cocok engan 20 persen norma dari Middleton,” kata Prof Maguire,.
Dia menambahkan: “Kami tidak mengatakan bahwa Middleton dan Shakespeare pasti bekerja sama dalam All’s Well, tetapi keterlibatan Middleton pasti akan menjelaskan banyak dari gaya komedi, teks, dan narasi yang aneh.”
Middleton, warga London yang hidup 1580-1627 dikenal dengan karya-karya drama dan puisinya sendiri di dalam teater Reinasans, seperti juga Shakespeare. Keduanya diketahui telah bekerja sama dengan Middleton dalam Timon Of Athens, menurut para akademisi tersebut.
Para peneliti percaya, jika keduanya bekerja sama dalam All’s Well, itu bisa memberikan wawasan baru yang menarik.
Dr Smith mengatakan: “Kita tahu Shakespeare bekerja dengan dramawan lain cenderung dalam hubungan master dan murid magang, dengan Shakespeare sebagai murid magang di awal tahun dan sebagai penulis senior di tahun-tahun terakhirnya.”
“Tapi jika seperti dugaan kami All’s Well dan Timon Of Athens ditulis pada 1606-1607 ketika Shakespeare di tengah kariernya dan bekerja dengan dramawan seperti Middleton, hubungan itu tampaknya tidak ubahnya dengan kerja sama yang dibangun musisi untuk menghasilkan karya besar saat ini.”
(TheTelegraph)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/04/shakespeare-punya-co-writer.html

Perseteruan dalam Dunia Sastra Indonesia


Perseteruan dalam Dunia Sastra Indonesia
Posted by PuJa on April 29, 2012
Irine Rakhmawati
http://www.kompasiana.com/irinerakhmawati

Seperti banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ruang sastra di Indonesia ternyata juga tidak terlepas dari beragam konflik. Dan tulisan ini, hanya dimaksudkan sebagai wacana belaka berdasarkan pengamatan pribadi selama beberapa tahun belakangan.
Dalam sebuah ajang pagelaran sastra di Jakarta tahun 2008, mata saya terbelalak menyaksikan betapa para sastrawan kita saling serang secara vulgar dan frontal. Satu kubu yang menasbihkan kelompok mereka sebagai kelompok sastrawan antiliberal menerbitkan jurnal yang sangat keras menyerang per individu kubu lain yang dianggap antek Amerika. Waduh, saya sempat berpikir, mengapa jurnal semacam itu dihadirkan dalam sebuah forum besar yang bahkan mengundang para sastrawan mancanegara.
Perseteruan antarkubu (baca ‘komunitas’) tersebut setelah dicermati, ternyata tidak menyentuh cabang-cabang mereka di daerah. Hanya terjadi dengan sengit di ibukota yang dianggap sebagai tanah suci para sastrawan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan, karena seharusnya antarelemen sastra di Indonesia saling mendukung untuk menciptakan atmoster persastraan yang teduh.
Bercermin pada negara-negara lain. Pemerintah Korea Selatan sangat menaruh perhatian untuk sastra, dan membangun sebuah wadah yang bekerja melakukan penerjemahan karya sastra para sastrawan mereka ke berbagai bahasa dunia. Ada baiknya, pemerintah Indonesia pun melakukan hal serupa, mengingat ada cukup banyak karya sastra yang sesungguhnya sangat bermutu, namun kurang dikenal dunia internasional lantaran faktor bahasa.
Karya-karya pemenang nobel sastra, sebagian besar adalah karya yang menggunakan bahasa universal, atau minimal diterjemahkan. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan faktor pusaran sastra, dimana Eropa dianggap lebih unggul daripada benua lainnya. Eropa dianggap sebagai pusat sastra dunia. Hanya sedikit karya sastra dari Asia yang mampu menembus penghargaan bergengsi tersebut. Dan Indonesia sebetulnya memiliki Pramudya Ananta Toer yang 26 kali dinominasikan meraih nobel, namun terbentur faktor status politiknya.
Daripada saling menyerang antarkubu, antarkelompok atau antarkomunitas, lebih baik memikirkan bagaimana caranya menghasilkan karya-karya bermutu, mendekatkan sastra pada masyarakat (tidak mengeksklusifkan sastra) karena sastra, adalah jejak peradaban, budaya yang membangun suatu bangsa. Manuskrip terpanjang dan tua, justru ditemukan di Indonesia, satu pembuktian bahwa sesungguhnya bangsa Asia memiliki kebudayaan yang jauh lebih dahulu berkembang ketimbang Eropa yang disebut sebagai pusat sastra dunia.
Saling berkompetisi adalah hal wajar, namun menjadi ketidakwajaran tatkala berubah menjadi saling hujat (termasuk kehidupan pribadi) yang menunjukkan level rendah dari kaum yang menggolongkan diri mereka sebagai: ‘kaum intelek.’
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/16/perseteruan-dalam-dunia-sastra-indonesia/la

Propinsi Para Penyair


Propinsi Para Penyair
Posted by PuJa on April 29, 2012
Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Di antara warna-warna kesedihan wajah, ada tersisa gurat ceria. Di sebaliknya, gelimang absurd gelak tawa senantiasa diintip rasa cemas, dan siap meluas. Ajaran Tao menekankan kepercayaan pada perimbangan kalkulasi kenyataan. Begitu pula yang terjadi di Surabaya kini. Di antara ruap gelibat kasus (sampah, penggusuran PKL, sakitnya walikota, dll), kabar gembira mesti diyakini. Surabaya, ibukota propinsi Jawa Timur, kota pahlawan yang kini lebih dikenali sebagai kota banjir, merasang bakal para penyair nasional. Penyair dengan tawaran estetika tertanggung-jawab, alias bukan penyair sekadar.
Berita gembira ini datang dari jurnal kebudayaan Kalam. Usia belum begitu tua, Kalam mampu “melanjutkan tradisi sastra/ seni yang pernah ada di tanah air”. Para penyair Jawa Timur ada di dalamnya. Mereka turut mengangkat, mencecapi, serta memberi peran lebih terhadap Kalam.
Kalam, dari edisi pertama (1994) sampai edisi terkini (2001), mencatatkan 8 (delapan) penyair dari Jawa Timur. Surabaya tampil sebagai ibukotanya, pusat propinsi Jawa Timur. Akhudiat, D. Zawawi Imron, HU. Mardi Luhung, W. Haryanto, Beni Setia, Arief B. Prasetyo, Mashuri, dan Deni Try Aryanti. Delapan penyair yang tidak saja terpublikasikan di jurnal Kalam, media massa lokal dan nasional kerap disinggah-tempati. Mereka saling membesar, sekaligus saling membedakan secara puitik.
Pertanyaan patut disorongkan terhadap fenomena. Mengapa Jawa Timur, pusatnya ada di Surabaya, terkondisikan sebagai tempat lahir para penyair handal. Sedikit sosiologis, memang. Tetapi, kekhawatiran estetik tidak perlu terlalu meluap. Cynthia Ozick, sastrawan Amerika, menandaskan dalam sebuah interviu di The New York Times, “penulis (baca: penyair) mau tidak mau merepresentasikan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan”. Jerman memberi dan diberi karakter oleh Goethe melalui Doktor Faust. Yasunari Kawabata tidak terlepas dari mencerap dan mengondisikan tradisi Jepang lewat Penari-penari Itzu.
Agar berimbang letak posisinya, penyair dengan tempat tinggal dan penyair dengan karya puisi, estetika puisi patut dibedah. Organ-organ pembentuk puisi dicatat. Simpul-simpul kode puisi ditafsirkan. Pun juga, diketengahkan pertautan antar penyair dari Jawa Timur. Estetika puisi ada pada cara membentuk kenyataan, ini penting dicermati, bahasa puitik.
Gambaran Prulalitas Estetik
D. Zawawi Imron, penyair Madura yang tidak pernah tahu tanggal kelahirannya, menuliskan puisi bermetaforik susul menyusul. Puisi berjudul “Utang”: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami.
Paralelistik kata dipergunakan Zawawi untuk menegaskan arus pemikiran. Kata “utang” digulirkan berurutan dengan identitas berlainan. Masing-masing bermain di lingkungan tersendiri, sekaligus masing-masing kait berkait sebagai jalur peristiwa. Seperti kelak kelok sungai, kata “utang” merebak dari mata air dan menempuh tempat-tempat asing. Ketika bertemu sawah, ia berbau tunas padi dan racun tikus. Ketika melewati hutan, ia terjatuhi guguran daun jati, dan menjadi lembab karenanya. Ketika singgah di kota, ia menjadi asin. Masing-masing lingkungan membentuk sifat dan sikap pada kata “utang”.
Keberadaan wilayah-wilayah kata “utang” tidak saling memisahkan diri. Atau sebagai kematian. Masing-masing menjadi rangkaian utuh genetik. Sifat-sifat khas metamorfosa muncul dalam kata, sekaligus kata tidak bisa dikategorikan pada aspek historis di luar dirinya. Sebuah pola kronologi metamorfosa kata dari arti tunggal ke wujud jamak. Konsepsi utang terbentuk lalu bergerak melebar hingga menyentuhi persoalan yang lebih universal.
Arief B. prasetyo, penyair yang hingga kini masih disibukkan “perjuangan mencipta personalitas teks”, menuliskan puisi yang serasa chaos. Struktur puitik mecah memecah, pendar memendar, saling menyingkir, dan saling berpusaran. Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar menggapai-gapai akar darah…
Akrobatik diksi puisi “Mahasukka” tersebut amat lincah. Kalau pada puisi Zawawi, diksi “utang” menjadi pusat dan digulirkan secara berkelanjutan, Arief tidak membutuhkan pusat diksi. Kata “pinggulmu”, kata tempat pijak kenyataan teks, dimunculkan hanya sekali, selebihnya pusaran ataupun belitan-belitan adegan. Sebuah struktur puisi yang panik.
Pembacaan Nirwan Dewanto terhadap puisi Arief B. Prasetyo perlu diketengahkan. Nirwan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti gerak gelibat puisi Arief. Dan atas kesulitan itu, klaim disorongkan. “Jika pembaca tersesat terlalu pagi, ia akan habis sebelum sampai pada neraka semut api atau mahasukka”, tulis Nirwan dalam semacam kata penutup dari antologi Mahasukka. Nirwan lebih suka berdasar pada tradisi puisi yang telah ada, menghakimi karya puisi baru. Perbedaan-perbedaan bentuk atau variasi-variasi puitik yang membingungkan dianggapkan sebagai “menyalahi tradisi”. Pandangan yang mirip dengan Sutan Takdir Alisyahbana ketika mengomentari puisi, “karya Chairil Anwar” buruk. Ukuran puisi tradisi Pujangga Baru dipakai, sementara Chairil membuka bagi tradisi pasca-Pujangga Baru. Nirwan tidak terbuka terhadap tawaran. Akan lebih bermanfaat bagi publik puisi, Nirwan memahami (atau memaknai) tawaran puisi Arief lalu memberi gambaran struktur teks sebagai variasi dari tradisi puisi yang telah pernah ada.
Puitika akrobatik juga terbit pada puisi W. Haryanto. Lewat puisi, pembaca bisa menyaksikan kata-kata berlompatan membentuk realitas-realitas tanpa terduga, tetapi dapat diterima nalar. Kata-kata dirakit tanpa kepercayaan pada landasan kuat membentuk lompatan. Kata-kata seakan bersijingkat dalam medan makna. Latar belakang dihadirkan sebatas pemenuhan alur teks.
Di sebelah matamu, segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh, dan kegelisahanku mencipta gairah-beku karang-karang di langit, dengar penggalan tanyaku ini, Ida; ketika kuntum arus ombak memberi sebuah akhir dari radang-radang pelapukan musim; dan lihat lukaku ini, Ida. Penggalan dari puisi “Surat yang Terpotong, Buat Aida”.
Penggambaran puisi tampak jauh dari suatu ekspresi. Rasa bersalah yang semestinya abstrak, masuk dalam wilayah moral, pada puisi mendapat citra visual konkret. Segala rasa bersalahku hilang di daratan jauh. Rasa bersalah dihilangkan, tetapi dimunculkan rasa gelisah. Dua ciri rasa puas terhadap interaksi manusia. Tidak ada paradigma lebih lanjut dari dua oposisi material teks yang dalam kehidupan sosial empirik bersatu karakter. Yang terjelaskan, sebuah penggal tanya. Juga luka. Segalanya dengan visualisasi mengejutkan.
Bila pada Arief, akrobatik puisi muncul dalam wilayah antar kata. W. Haryanto memunculkannya dalam wilayah antar kalimat. Arief sering mempercayakan kenyataan dalam banyak tanda baca koma dengan isian satu kata, sehingga teks menjadi sugestif. Sebuah percepatan sintaksis, percepatan pikiran, dan tercipta suasana mistis. Puisi W. Haryanto mengisyratkan penolakan terhadap sugesti. Kalimat-kalimat yang panjang dari puisi W. Haryanto menyebabkan pembaca sepenuhnya berada di kesadaran. Karenanya, kerumitan pada puisi menggambarkan kerumitan dalam logika berpikir. Puisi membentuk sebuah dunia dan dunia tersebut dipenuhi pikiran-pikiran spontan.
Satu-satunya penyair perempuan dari delapan penyair Jawa Timur, Deny Tri Aryanti. Belajar menulis puisi baru 4 tahun, puitika sajiannya memperlihatkan kecenderungan luar biasa matang. Penguasaan terhadap tubuh sebagai acuan struktur puitik sangat bagus. Lihat puisi berikut, wajahmu mewarnai batu karang yang kering, sedangkan aku masih terus berjalan di atas rambutmu yang memutih, menggulung pori-pori, untuk kujadikan aliran darah dari mulutku.
Tubuh mengalami tiga tataran kenyataan dalam puisi “Malaikat Putih” tersebut. Pertama, tubuh sebagai daging yang bisa diraba, dan merasakan sakit bila dicubit. Kedua, tubuh sebagai simbol untuk membahasakan pikiran. Ketiga, tubuh sebagai persepsi atas kenyataan. Tiga eksplorasi tubuh serentak hadir membentuk identitas teks. Pada puisi W. Haryanto atau beberapa penyair lain, tubuh lebih banyak diperankan dalam dataran persepsi. Pengaruhnya, pembaca tidak dapat mengenali tubuh dalam puisi sebagaimana tubuh dalam kenyataan.
Kelengkapan puisi Deny dalam mengolah tubuh membuat pembaca seakan dibawa berkeliling dalam aneka macam pariwisata tubuh. Berbagai konteks diciptakan hingga penafsiran atau pengalaman tentang tubuh mudah diikuti. Pengetahuan terbuka dari tubuh. Lompatan-lompatan pikiran pun dapat dipahami secara ketubuhan. Hasilnya, teks puisi dengan struktur ketubuhan.
Dari puisi Mashuri, penyair jebolan dua pondok pesantren, pembaca mendapatkan karakter “pengetahuan yang diimajinasikan”. Pemikiran-pemikiran tokoh diimpor. Pengetahuan tersebut ditafsirkan, diimajinasikan, dan difantasikan sehingga mencapai makna baru, mungkin bisa dikenali, mungkin pula terbebas dari pengetahuan lama. Pola puitik ini mirip dengan kinerja puisi Goenawan Mohamad. Hanya saja, pengalaman individual dan latar geografis yang berbeda menghasilkan situasi teks dan sikap teks yang berbeda pula. Pastinya, puisi ciptaan Mashuri menuntut pembaca memasuki lingkungan pengetahuan khusus. Pembaca yang tidak sampai pada lingkungan pengetahuan yang dijadikan materi puisi akan sulit untuk meraih pemaknaan yang sesuai keinginan penyair.
Ada sebuah contoh puisi Mashuri yang bersandar dari puisi penyair lain. Jika aku membangun surga, ia bukan rumah, ia hanya lukisan di cakrawala, bukan kata benda, bukan pula dermaga segala muara. Kutipan diambil dari puisi “Biografi Hujan: malna, sejarah tak pernah ada”
Penyebutan “malna” pada sub judul puisi, tidak bisa tidak, mengarahkan pembaca pada satu nama penyair setengah botak: Afrizal Malna. Ini merupakan puisi tanggapan atas puisi Afrizal; kita pernah membuat rumah, sebuah dunia, tapi dengan merasa heran, kita bertanya, kemana mesti pulang (puisi berjudul “Hujan di Pagi Hari”). Puisi Mashuri menolak konsepsi “rumah” dari puisi Afrizal. Lebih jauh lagi, puisi Mashuri memberi kritik terhadap puisi-puisi Afrizal yang bertumpahan kata benda.
Pilihan puitik pengetahuan dari Mashuri sungguh penuh tantangan. Ada jebakan besar, bisakah puisi mengikatkan diri pada lokalitas pengetahuan sekaligus merebak ke universalitas hidup. Artinya, puisi tidak hanya berkutat pada pengetahuan. Puisi memberi tanggapan juga atas pengetahuan, dan kompleksitas kehidupan. Maksimalitas perangkat-perangkat perpuisian mutlak diperdayakan. Perangkat tersebut akan membentuk adonan rupa, bau, bunyi, ataupun penyataan mitologi yang hampir semua manusia sanggup memahami.
Selanjutnya, puisi HU. Mardi Luhung berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu” patut dicermati khasanah tata kramanya. Tapi lewat kangkangan-kangkangan kakinya, yang persis di tengahnya, aku lihat lubang-lubang syahwat merayu segala gerak yang lewat, segala gerak yang menyusun bangkai-bangkai laki dan perempuan, menjadi sedotan-sedotan dengan nganga yang cuma dua saluran “menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis!”
Puisi Mardi dengan “kangkangan-kangkangan” serta “sedotan-sedotan” puitiknya (meminjam istilah puisi Mardi sendiri) seolah menguji standar ketertiban estetik. Sopan santun dari kanon estetik dipertanyakan, disodok-sodok dengan kenyataan ragam bahasa pinggiran. Ucapan atau bahkan umpatan-umpatan dalam khasanah publik diambil lalu dijadikan bahasa puisi. Mardi Luhung telah melakukan reproduksi bahasa publik, terutama bahasa masyarakat pinggiran kota besar. Reproduksi ini membuat bahasa puisi menampakkan seabrek kegaduhan dan kekalutan dari persinggungan-persinggungan personal dan kepentingan. Mardi mengulang kinerja Chairil Anwar yang berhasil mengangkat ragam bahasa Melayu Rendah dalam keindahan. Puisi bertindak sebagai penyuci kericuhan bahasa publik marjinal.
Lain Mashuri, lain Mardi, lain pula Beni Setia. Penyair, yang katanya tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menulis ini, memproduksi kenyataan dari beberapa nama tokoh sejarah dan merengkuhnya dalam peristiwa yang banal. Dan Ronggowarsito+Hasan Mustopa menjelajahi New York dan New Delhi dengan bis bertingkat –di Cililitan mereka ketemu J.P. Coen (puisi “Catatan Turistik tentang Jakarta”).
Pertemuan tiga tokoh dari jaman berbeda, dan tempat berbeda, serta sarana pertemuan yang aneh pada puisi Beni Setia menciptakan kenyataan banal namun parodis. Masing-masing tokoh dalam puisi masih dilekati identitas kesejarahan. Representasi terhadap biografi tokoh tidak begitu kuat, mungkin sengaja. Sehingga teks puisi tampak bermain di wilayah permukaan. Justru kebanalan biografi tersebut, ketika masing-masing tokoh dipertemukan, kenyataan parodi yang melawan sejarah terciptakan. Ruang dan waktu dalam sejarah dihapuskan. Lahir kemudian, kenyataan teks dari persilangan biografis.
Tentang Akhudiat, Akhudiat lebih menarik dibicarakan masa lalunya daripada kekiniannya. Puisi-puisi Akhudiat terkini, lebih mengarah pada penciptaan geografis dengan kesan realisme sosial. Aspek komunikatif pun tidak disublimkan secara mendalam. Puisi Akhudiat terkini seakan mengulang gaya puisi-puisi mahasiswa yang membentuk angkatan 66, “patriotisme pembelaan terhadap kaum miskin”. Sebuah puisi cenderung ke pernyataan idealistik daripada riuh sengkarut kenyataan.
Tahun 1970-an, Akhudiat justru mampu menciptakan puisi penuh tawaran. Ram tam tam tam: Naik kereta roda kaki. (Alfin Toffler & Co, salut dari gubug). Si penumpang tidur molor, bangun menjelang lohor, ketika geludug bukan halilintar, di ranjang bawah tanah. RAM RAM TAM TAM TAAM RAM RAM RAM. Puisi Akhudiat ini bila dikerjakan secara serius, sangat mungkin akan mampu mencapai standar puitika Afrizal Malna. Setidak-tidaknya, Akhudiat mampu menyamai puitika Beni Setia.
Propinsi tanpa Dunia Simbolik
Tetapi, mengapa yang justru berkembang di Jawa Timur adalah kepenyairan, dan bukannya drama atau prosa. Ada beberapa prasyarat kedramaan dan keprosaan yang patut dipertimbangkan dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa Timur: komunalitas.
Drama sebagai salah satu bentuk estetika membutuhkan sekelompok manusia dalam penciptaan. Satu produksi drama terdiri dari perangkat sutradara, tim artistik, anggota properti, anggota pencahayaan, tim make up, tim aktor, dan administrator. Ketika teater Garasi Yogyakarta datang ke Surabaya dalam pentas “Caligula” naskah Albert Camus tahun 1995, kru yang dibawa berjumlah 70 orang. Berbagai peralatan dan perlengkapan dibawa, saat itu dibutuhkan satu truk besar untuk pengangkutan.
Jawa Timur, sangat mungkin, kekurangan modalitas dalam pembentukan karya secara kelompok. Bagi masyarakat Yogyakarta membentuk sebuah teater adalah perkara mudah. Ikatan komunal terdapat di Yogyakarta. Posisi Yogyakarta sebagai “daerah istimewa” di bawah kekuasaan HB X membuat mereka mempunyai kemudahan membangun persepsi yang sama. Kerja kelompok berteater disatukan oleh ikatan tersebut. Perbedaan-perbedaan utopia dan gagasan dapat dengan gampang terselesaikan karena Yogyakarta mempunyai acuan yang jelas terhadap satu tatanan hidup. Kehidupan keraton dengan segala keseharian dan keagungan.
Jawa Timur sebagai “propinsi biasa” menghadapi pluralitas hidup kemasyarakatan. Surabaya terlalu rentan untuk penciptaan ikatan utopia ataupun tradisi. Keadaan akan, dan senantiasa, ubah berubah. Pada kondisi perubahan, pembentukan teater dengan jumlah anggota puluhan orang (bahkan ratusan) dan intensitas proses berkualitas sulit terjalani. Kerja berteater membutuhkan kesamaan dalam mentalitas dan bentuk penerapan gagasan bersifat komunal. Persamaan kesejarahan dan persamaan utopia tradisi.
Bila beberapa orang Jawa Timur dikumpulkan dan saling membangkitkan keidentitasannya, kejiwaan yang tertangkap adalah keterbelahan. Tradisional kesilamannya berasal dari tradisi Jawa. Utopia kedepanannya beranjak lurus ke tradisi anti Jawa. Persoalan yang bukannya sukar ditebak.
Tata hidup dan kehidupan dibentuk oleh kejawaan. Hanya saja, Jawa sebagai pusaran tradisi, pusatnya ada di Yogyakarta. Mataram. Jawa Timur, dulu memang, wilayah Mataram, kini, pusat Jawa Timur adalah Surabaya. Ada penolakan yang bersumber dari identitas kejawaan yang telah mapan. Diskontinuitas muncul dalam benak. Keterputusan antara masa silam dan kekinian. Lebih terputus lagi, kesilaman dengan kedepanan. Padahal untuk menciptakan teater sangat membutuhkan keakaran dan keidentitasan yang sama. Satu acuan yang dapat dipakai untuk menciptakan format masa depan.
Mungkin, Jawa Timur akan mendapatkan keidentitasannya jauh sebelum Mataram. Dua kerajaan besar pernah hadir di propinsi ini: Singasari (1222-1292) yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa, Majapahit (1293-1528) yang justru menguasai hampir seluruh Nusantara. Singasari, kini hanya menyisakan ceceran candi-candi kecil, sulit menjadi simbol Jawa Timur. Candi Jago yang telah kehilangan separuh badannya, patung Ken Dedes yang kini ada di Leiden, candi Kidal yang hanya berupa bangunan kecil, candi Singasari yang telah rompeng, dan candi-candi lain lebih parah nasibnya. Majapahit pun tidak meninggalkan bangunan megah yang layak menjadi simbol keidentitasan Jawa Timur.
Kecuali dua kerajaan besar tersebut, Jawa Timur pernah dihuni beberapa kerajaan kecil. Darmawangsa, Panjalu, Jenggala, Sumenep, Blambangan, Kahuripan, Dhaha, dan lain-lain. Tragisnya, tradisionalitas (hal-hal yang menjadikannya tradisi) hanya berhenti pada jamannya an sich. Aziz Manna, sejarawan dari Unair Surabaya, dalam sebuah diskusi sempat menyatakan, “masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang gemar perang”. Resiko ada pada kini, warisan yang dapat dijadikan sandar kesatuan simbolik tidak ada. Masing-masing kerajaan telah saling menghancurkan dan menghapus tradisi. Terakhir yang terjadi, kebesaran Majapahit terhapuskan oleh Mataram. Tradisi Majapahit hanya tersisa di masyarakat Tengger, sebuah masyarakat terasing yang primitif bagi ukuran modern, atau di masyarakat Bali. Keidentitasan Jawa telah direbut Mataram. Tanda-tanda ke arah perebutan itu bukannya tidak kentara, sampai sekarang. Mitologi acuan yang hidup dan mengikat kejawa-timuran tidak terbaca dari masa silam, justru masa mendatang.
Kesejarahan yang tidak mendukung bagi teater diperparah oleh perubahan-perubahan terkini. Masyarakat Jawa Timur tengah bergerak menuju masyarakat ekonomik. Sebuah masyarakat rasional yang mengutamakan perkembangan ekonomi dan teknologi. I Ketut Nehen dan Glan Iswara, dua dosen Udayana Bali, melihat pertautan yang saling berlawanan antara nilai ekonomi dan nilai seni. Kedua ilmuwan tersebut menuliskan dalam majalah Prisma no 3 tahun XIX 1990, “peningkatan nilai ekonomi berpengaruh terhadap penurunan nilai seni”. Jawa Timur dengan perkembangan bidang ekonominya semakin bersifat individual. Keperluan dan prosesi seni yang berskala masyarakat semakin kekurangan alasan untuk dikerjakan, atau mungkin tidak dibutuhkan. Penciptaan seni teater yang besar akan mengerem pijakan ekonomi yang telah dibangun.
Dua fakta, kesejarahan dan perkembangan ekonomi, membuat Jawa Timur kehilangan dunia simbolik, sebuah simbol yang universal. Simbol yang bisa diterima atau sedang melandasi aksi dan kreasi menyeluruh bagi masyarakatnya. Dunia simbolik (symbolik universe) menurut pengertian Peter Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Contruction of Reality “badan-badan atau bagian tradisi secara teoretis yang membakukan berbagai makna propinsi dan meliputi tatanan institusional dalam suatu totalitas simbolik” tidak terpenuhi di Jawa Timur. Secara spekulatif dapat ditegaskan, apakah mungkin, “orang-orang Jawa Timur bukan suatu masyarakat melainkan mengacu kepada kerumunan atau organisasi bentukan”.
Dunia simbolik juga sangat diperlukan dalam penciptaan prosa. Genre prosa mensyaratkan pemenuhan plot dan interaksi antar tokoh cerita. Prosa merupakan representasi dari masyarakat. Struktur prosa merupakan analogi dan refleksi struktur masyarakat. Pada sebuah propinsi, seperti propinsi Jawa Timur, yang tidak memiliki dunia simbolik, penciptaan prosa dengan struktur utuh dan mendalam amat kekurangan modal referensial kreatif. Hal ini berbeda dengan sastrawan yang hidup di propinsi Jawa Barat yang memiliki tradisi Sunda, atau propinsi di Sumatera yang masih memiliki tradisi Melayu.
Kesulitan, tetapi semoga bukan ketidakmungkinan, penciptaan prosa dan drama, berbalikan dengan kerja kepenyairan. Jawa Timur sangat kondisional untuk kepenyairan. Rasionalisasi yang paling niscaya: tidak mungkin sebuah masyarakat berlari jauh dari dunia estetika atau dunia keindahan. Sebuah masyarakat senantiasa menciptakan karya yang menunjukkan apresiasi atau representaasi keindahan. Persoalannya hanyalah bentuk keindahan yang dimungkinkan. Pilihan tertampung ke karya sastra bergenre puisi.
Propinsi Masa Remaja
Berada di antara masyarakat Jawa Timur, seseorang akan merasa berada di rumah sendiri. Setiap orang boleh menjadi dirinya sendiri, diperlegalkan menjalani tradisi independen. Kondisi yang tercipta oleh sebab di Jawa Timur tiada dunia simbolik. Berada di Yogyakarta, seseorang dari luar daerah akan terkondisikan untuk beradaptasi dengan tradisi Jawa, pengaruh keraton Yogyakarta terlalu sulit diabaikan.
Jawa Timur merupakan propinsi terbuka. Inilah sebuah kondisi yang bisa disebut puitik. Wilayah yang representaatif untuk datangnya tradisi luar dan gagasan baru. Tradisi dari luar tersebut, dalam skala minimal, dipakai dan dikembangkan oleh lingkup kecil masyarakat pembawanya.
Pluralitas bahasa dan tematik puisi para penyair Jawa Timur tidak terlepas dari kondisi kerentanan tradisi. Dunia simbolik Jawa Timur adalah sesuuatu yang ada di masa depan. Dunia simbolik yang menunggu untuk dibentuk. Mardi Luhung, penyair dari kota pantai Gresik, dalam puisi seringkali melakukan adopsi kultur pesisiran dengan percampuran kultur asing, bahkan kultur benua berbeda.
Keterbukaan struktur puisi Mardi tercipta oleh pluralitas materialitas puisi. Kenyataan kultural. Ketika Mardi mencoba menggali pesisiran, di Gresik tradisi itu pernah dibentuk oleh Sunan Giri, tradisi Islam, kenyataan yang muncul justru simpang siur tradisi. Gresik bukan lagi kota pesantren. Gresik telah menjadi tempat tinggal “pabrik” dan banyak orang-orang datang untuk berprofesi sebagai buruh. Mau tidak mau, ingin tidak ingin, tradisi pesisiran puisi Mardi Luhung bergeser jauh dari tradisi pesisiran Sunan Giri. Pada puisi berjudul “Ziarah ke Reruntuhan Makammu”, Mardi membuka puisi dengan larik, apa yang bisa aku baca dari reruntuhan makammu, yang kini tinggal lubang kakusnya itu.
Analogi paling tepat dari propinsi Jawa Timur adalah kehidupan seorang remaja. Usia yang belum matang dan psikologi yang tidak utuh. Orang muda cenderung berani melakukan percobaan-percobaan dan berspekulasi untuk menerima tantangan gagasan baru. Tanggung jawab yang ketat, semisal rumah tangga, belum kuat mengikat. Para penyair terkondisikan untuk bereksperimen terhadap puitika-puitika baru. Ikatan tradisi dengan sastra lama, pola rima dan irama tembang, yang sempat menjadi identitas sastra Jawa, menjadi mudah diabaikan. Pemicu tindakan ini, Jawa bukan ada di Jawa Timur, saat ini, Jawa ada di Yogyakarta.
Pergeseran pusat tradisi masyarakat Jawa Timur sangat penting untuk dicatat. Jawa Timur, dahulu, merupakan bagian kerajaan Mataram, pusatnya ada di Yogyakarta. Kini, Jawa Timur merupakan sebuah propinsi baru, pusatnya ada di Surabaya. Yogyakarta = kejawaan. Surabaya = perekonomian. Golongan bermartabat dalam pandangan Jawa adalah pamong praja (baca: pegawai) dan agamawan (baca: kyai). Pedagang bukan orang terpandang. Surabaya, sebagai kota yang sedang bergerak dengan motivasi perekonomian, pedagang sukses mendapat kehormatan besar dari masyarakat.
Orang-orang Jawa Timur sedang berada dalam keakutan pergeseran pusat budaya. Satu sisi menyandang keagungan mitologi kejawaan, di sisi lain menghadapi godaan ekonomi yang glamour. Dua sisi saling bertentangan ini bukannya tidak tampak dalam puisi para penyair Jawa Timur. Dilema kultural justru mendukung nilai estetik. A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra menengarai, “puisi dibentuk oleh serangkaian pertentangan gaya dan tema”. Para penyair Jawa Timur, dengan ketegangan kulturalnya, tidak sulit untuk membangkitkan dan membentuk pertentangan-pertentangan struktur teks. Hanya dengan sedikit sublimasi, para penyair Jawa Timur akan menyadari “saya ada dalam dua kultur saling bergesekan”.
Surabaya sebagai kota perekonomian juga membuat kehidupan menjadi banal. Komunalitas masyarakat Jawa Timur dibentuk oleh sistem yang bersifat non-spiritual. Desakralitas lembaga agama. Spiritualitas tersisa terdapat dalam seorang perseorang. Individu bebas memilih dan menjalani keagamaan tertentu, wujud transendensi, hubungan personal dengan Tuhan.
Berbagai gambaran ketuhanan atau kehidupan religi tersurat dalam puisi penyair Jawa Timur. Kesemuanya memiliki kesamaan menggairahkan, religi diartikulasikan secara material dan personal. Tuhan bukanlah sosok yang patut diperagungkan. Tuhan merupakan sosok yang layak dipertanyakan sekaligus dicari bentuk kelembagaannya, di antara bentuk lembaga-lembaga yang telah ada.
Beni Setia dalam puisi “Pelampung” menuliskan, kalau duka itu bertali dan tuhan boleh diseru sambil bergulingan di pinggir jalan, tentu rasul akan sabar menungguiku mengurai di dipan. Tampak sekali, Beni cari mencari hubungan ketuhanannya di dalam materialitas yang banal. Tuhan digambarkan boleh diseru sambil bergulingan di jalan. Adegan dalam puisi Beni sangat bertolak belakang dengan adegan orang bersembahyang di tempat-tempat ibadah.
Kembali kepada Jawa Timur sebagai kelincahan kaum remaja, di propinsi ini segala ilmu pengetahuan dapat begitu saja masuk sekaligus dapat sedemikian cepat untuk lenyap. Seorang remaja, dengan sedikit sentuhan, bisa tiba-tiba menggemari satu tokoh pengetahuan. Berhari-hari dihantui oleh fokus pengetahuan tersebut. Setiba-tiba pula, sang remaja berpindah ke pengetahuan lain sembari anti pati terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu digemari. Demikian pula gambaran puisi dari Arief B. Prasetyo dan Mashuri, pada sejumlah puisi kedua penyair tersebut, tokoh ilmu pengetahuan keluar masuk dengan melimpah. Berganti-ganti. Cepat tumbuh. Dan, terlupakan.
Kondisi pengetahuan yang beganti-ganti sangat buruk bagi pertumbuhan sosial kemasyarakatan dalam kenyataan. Kematangan dan perkembangan yang terarah tidak terealisasi, tetapi tidak bagi puisi, masuk dan keluarnya beragam pengetahuan mampu memberi keragaman puitik pada teks. Masing-masing pengetahuan memberi corak yang berbeda. Penyair pun tidak terkungkung oleh satu bentuk puitik. Lebih bagus lagi, penyair tidak terkuasai oleh ideologi. Kondisional ini juga membuka kemungkinan terbalik, penyair memilih berkonsentrasi terhadap satu pengetahuan atau ideologi yang selalu diperjuangkan. Di propinsi masa remaja ini, para penyair berhak dan dapat dimaklumi untuk menghidupi pilihannya; tidak ada patron di Jawa Timur.
Jawa Timur, Surabaya sekalipun, memang bukan pusat pengetahuan. Mobilitas pengetahuan di kota-kota propinsi Jawa Timur masih kalah jauh dibanding kota Bandung, Yogyakarta, apalagi Jakarta. Impor pengetahuan di kota-kota tersebut sedemikian cepat, penelitian atau penerapan pengetahuan baru pun banyak terwujud. Sangat sedikit ilmuwan dari Jawa Timur yang berskala nasional. Penerbit pun sangat sedikit jumlahnya. Ilmu pengetahuan datang ke Jawa Timur dalam jumlah terpotong-potong dan dalam tahapan yang tidak stabil. Jawa Timur menjadi imajinatif karenanya.
Pengetahuan datang ke Jawa Timur tidak tumbuh berkembang sebagai ilmu pengetahuan. Teraplikasikan bukan dalam bentuk karya ilmiah atau pengetahuan tertulis. Pengetahuan masuk dan berkutat-kutat lalu keluar dalam bentuk puisi. Pengetahuan menemukan kelengkapannya melalui keretakan kultural, fantasi, dan imajinasi. Penerima paling menghormati adonan kultur adalah kesenian, utamanya puisi.
Ada hal penting lain yang patut dicatat, pemahaman masyarakat Jawa Timur terhadap alam. Sebagian besar wilayah Jawa Timur dialiri sungai. Dua sungai yang besar adalah Brantas, sepanjang 317 km, dan Bengawan Solo, sepanjang 540 km. Keberadaan sungai-sungai tersebut, selain untuk pengairan dan transportasi antara daerah, didayagunakan untuk bendungan, pembangkit tenaga energi, perikanan, dan wisata. Selain sungai, ada juga rawa-rawa, telaga, waduk, mata air, dan sumur bor. Berbeda dengan masyarakat Bali, alam di Jawa Timur bersifat profan. Alam kurang dikaitkan dengan ritual-ritual mistis.
Perendaman di dalam alam tidak terjadi pada masyarakat Jawa Timur. Alam tidak dipuja-puja atau diagung-agungkan. Keaslian alam bisa sewaktu-watu diubah, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Potensi alam didayagunakan untuk kepentingan manusia. Alam sah untuk digali dan diperjual-belikan. Manusia ada di depan alam. Ini mirip dengan gejala antroposentrisme dalam pengertian Nicholas Alexandrovicth Berdyaev, seorang filsuf peletak dasar filsafat eksistensialisme, “manusia adalah pusat alam semesta”. Manusia menentukan bertahan atau terkurasnya nasib alam. Puisi-puisi penyair Jawa Timur tidak terbebas dari konsepsi antroposentrisme ini.
Alam dalam puisi ditempatkan pada posisi pemyampai gagasan. Identitas alam dicampur baur dengan keseharian aku lirik untuk membentuk bahasa puitik. Deny Tri Aryanti melalui puisi “Wicarang Denta Saisa” menyebutkan, dalam tidurku, kuulur jalan beraspal dari gulungan tikar yang ngilu, tembok-tembok mengkuti jalanku, dari kerikil ke kerikil hingga debu yang menempel pada ranum wajahmu. Aku lirik dalam puisi Deny tampak berkuasa terhadap alam. Tidak saja dalam kesadaran, dalam mimpi, aku lirik masih menjadi tuan bagi alam. Jalan aspal diulur, gulungan tikar diberi sifat ngilu, tembok-tembok diperjalankan, sampai debu yang ditempelkan ke ranum wajah orang lain.
Puisi W. Haryanto pun memiliki posisi dilematis terhadap alam. Puisi tidak hanya meniru, mempercayakan, atau merepresentasikan identitas alam. Puisi memproduksi alam hingga melampaui identitas alam dalam kenyataan. Berikut kutipan dari puisi “Djati Bening, 1270”, kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar telah membelah, jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas. Fungsionalitas dan wujud alam dicampur adukkan oleh W. Haryanto. Rakitan-rakitan “diksi alam” yang saling berhubungan secara sintag-paradigmatik membuat “alam” tidak lebih sekadar penanda (konsep) dan bukannya petanda (wujud). Perhatikan rakitan kata; selarik musik, musik dari burung camar, musik yang menyeberangkan matahari, luka memar yang membentuk pada bening gelas. Kesemuanya tidak mungkin dijumpai dalam kenyataan, dan karenanya membentuk kenyataan baru. Sebuah kenyataan yang berpusat pada kondisi keterpecahan identitas manusia. Lebih umum, keterpecahan kultural propinsi Jawa Timur. Propinsi para penyair.
________Studio Teater Gapus Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/8/

Friday 27 April 2012

Poetry slam to pick teens for competition in San Francisco


Poetry slam to pick teens for competition in San Francisco

Published: Thursday, April 26, 2012, 3:00 PM


FLINT, MI—Danielle Horton, a freshman at Classical Academy, seems like a poetry prodigy in the making—she began getting noticed in school in seventh grade, and an impromptu performance during a student tour of University of Michigan earned her an invitation to work with a group at the school. But she's a bit nervous for Saturday—her first official poetry slam carries a chance to travel across the country to compete with young poets from all over the world.
"People told me not to be nervous, just to give it my all," Horton said. "Every judge has their own favorites and things they like and look for, so don't write to please the judge: write for you. If you give it your all and do it for you, the judges will feel you."
Horton is one of what organizers estimate will be a field of 20-plus poets that will compete at Buckham Gallery on Saturday, April 28 to land a spot on Flint's Brave New Voices poetry team and perform in San Francisco, Calif. She has been attending workshops downtown for the past few weeks to hone her writing and performance skills to boost her chances.
The team is part of Raise It Up! Youth Arts & Awareness, an organization that was officially founded by Flint poet Natasha "Theory" Thomas-Jackson in 2005—and began getting grants from Ruth Mott Foundation in 2009—to give structure to the poetry and community workshops she was doing for schools and churches with poetry group Neo-Griot. Teens last year had expressed interest in the Brave New Voices competition—the show was taken on by hip-hop mogul Russell Simmons for a special on HBO, and celebrities like Common, Rosario Dawson and Yasiin Bey (formerly known as Mos Def) have been involved in past years.
After convincing Brave New Voices organizers that Flint deserved its own team instead of joining Detroit, Ann Arbor or Ypsilanti, they hosted a competition and raised about $10,000 to pay for the transportation, food and lodging for six poets—four competitors, and two reserves. Thomas-Jackson remembers many of the kids being shy when they arrived as first-time travelers, but they loosened up as they spent more time out.
"They had a lot of questions about why people looked and talked a certain way. 'Why are they hugging us, we don't know them,'" Thomas-Jackson remembers, while she and Program Director Lyndava Williams met with Flint Journal in their new office on S. Saginaw. "By the end of it, they were wide open, talking to other teams and introducing themselves."
JaCquell Price, 20, says that the social skills weren't the only area of improvement that came from participating in the contest. His writing and performance skills were improved as well.
"I've always been a good writer, but it helped me look at different ways to go at a subject...and be more aware about what's going on around me," Price says. "I used to try to avoid writing personal pieces, [but] I don't have all these defense mechanisms [anymore]."
Price can no longer compete since he's out of the age range of 13-19, but he hopes to lend some of those lessons to this year's workshop participants. Last year's qualifying slam was only preceded by other slams, but workshops were implemented this year to help sharpen poets' skills before competition. Horton says that one workshop required here to write about a tomato without using obvious qualifiers and word associations like the color red, or ketchup. She came up with a conceptual poem that analogized tomatoes, which are scientifically considered fruits because of having seeds inside, with vegetables and people of different shapes, colors and sizes. "I may be different on the outside," she explained, "but on the inside, I'm just like you." Price said that the workshops have been refreshing.
"The next generation of poets has to come from somewhere. The workshops give me a chance not to just teach participants, but a chance to help honor their talent," Price said. "I didn't have anybody there to guide me along to [take one approach instead of another], so to help maneuver them around is really great. Seeing all of this young talent really makes me smile."

Info: http://www.mlive.com/entertainment/flint/index.ssf/2012/04/poetry_slam_to_pick_teens_for.html

Bahasa dan Mentalitas


Bahasa dan Mentalitas
Posted by PuJa on April 26, 2012
Bagus Takwin *
__Tempo 20 Maret 2011

BAHASA mencerminkan pikiran. Banyak ahli menegaskan ini. Tapi bahasa juga mencerminkan mentalitas: kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan kepekaan sosial. Pilihan dan susunan kata, juga waktu dan tempat penyampaian, bisa jadi indikator dari pengalaman seseorang berinteraksi dengan banyak kalangan, juga seberapa jauh ia terlibat dengan banyak ihwal.
Kita bisa menakar, misalnya, pengalaman dan kepekaan sosial seorang pejabat publik yang berkata, “Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah…. Kalau tahu berisiko pindah sajalah…,” ketika Mentawai baru saja mengalami bencana tsunami. Juga pejabat yang bilang, “TKI-PRT telah membuat citra Indonesia buruk,” ketika ada banyak TKI yang telantar di luar negeri.
Bahasa mensyaratkan intensionalitas, keterarahan untuk mencapai kesesuaian antara keadaan mental dan dunia. Intensionalitas mengarahkan orang melalui bahasa untuk memaknai, dalam arti menjadikan dunia, juga diri sendiri, bisa dimaknai. Intensionalitas adalah struktur dari kesadaran manusia yang memberi makna kepada pengalaman dan meleluasakannya membuat keputusan.
Cara dan isi pengarahan dipengaruhi latar belakang mental yang berisi serangkaian pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kecenderungan-kecenderungan pribadi lainnya, seperti nilai, sifat, dan motif. Dengan itu, ketika seorang guru berkata “catat kata-kata saya”, kita tahu perlu menggunakan alat tulis untuk mencatat, atau ketika seseorang berkata “telepon sekretaris saya”, kita tahu perlu menggunakan telepon meski permintaan itu tidak mengandung penjelasan rinci. Latar belakang mental membangun jejaring unsur mental yang niscaya dibutuhkan untuk menentukan kebermaknaan obyek-obyek yang kita temui.
Latar belakang dan jejaring mental dibentuk melalui pengalaman. Keduanya menentukan kekayaan pemaknaan. Semakin sering seseorang bertemu dengan hal-hal yang ada di dunia, semakin banyak kemungkinan pemaknaan yang bisa dirumuskannya. Semakin beragam unsure mental seseorang, semakin kaya luas dan terbuka pikirannya.
Intensionalitas mengarahkan orang untuk menampilkan tindakan berbahasa sebagai perpanjangan dari kecenderungan-kecenderungan dalam diri, khususnya kecenderungan memaknai apa yang ada di dunia. Isi pemaknaan dipengaruhi oleh latar belakang dan jaringan unsur- unsur mental. Ketika bencana alam di sebuah pulau dimaknai sebagai hal wajar dengan latar belakang mental yang miskin tentang bencana, bahasa mengungkapkan itu sebagai “konsekuensi kita tinggal di pulaulah…”.
Usaha pengarahan agar keadaan mental sesuai dengan dunia diungkapkan dengan “…pindah saja- Iah”. Ujaran semacam itu menunjukkan sempit dan sederhananya jaringan unsur mental terkait bencana.
Di Indonesia, cukup sering kita temui pernyataan yang mencerminkan ketakpekaan dan kecenderungan pengujarnya menggampangkan persoalan karena miskinnya pemaknaan. Contohnya, selain pernyataan tentang tsunami dan TKI tadi, komentar seorang pejabat publik tentang letusan Gunung Merapi sebagai azab karena mendustakan ayat-ayat Tuhan, juga “…agar mudah diingat singkatannya adalah AIDS=Akibat Itunya Dipakai Sembarangan”. Lepas dari apa maksud sadar penyampaiannya, pernyataan-pernyataan itu menyakiti hati banyak orang.
Berdasarkan intensionalitas bahasa dan kaitannya dengan latar belakang dan jaringan mental, kita dapat menganalisis ucapan-ucapan pejabat yang saya petik tadi. Pernyataan terkait tsunami memberi petunjuk kepada kita tentang beberapa kemungkinan kecenderungan pribadi orang yang mengemukakannya, di antaranya (1) kecenderungan menganggap enteng bencana, termasuk tsunami; (2) kecenderungan menghindari tanggung jawab untuk menangani secara sungguh-sungguh kejadian buruk, seperti bencana tsunami; dan (3) kecenderungan melakukan pembenaran terhadap kelalaian menangani dampak bencana. Sedangkan pernyataan tentang letusan Gunung Merapi dan AIDS mengindikasikan kurangnya empati dari orang yang mengucapkannya. Jika pernyataan sejenis itu sering diulang, bisa dicurigai adanya kecenderungan sistem pikiran yang tertutup dan sempitnya ruang lingkup interaksi sosial si pengujar. Kita bisa menduga para pengujarnya jarang punya pengalaman bertukar peran yang menuntutnya menggunakan beragam sudut pandang dalam memahami persoalan. Latar belakang dan jejaring mentalnya miskin.
Bisa jadi para pejabat yang melontarkan pernyataan-pernyataan tak peka itu mengaku tak sengaja atau tak berniat menyakiti orang lain. Tapi, ketidaksengajaan pun bisa mengindikasikan kemiskinan, baik dalam kemampuan berbahasa maupun kepekaan sosial. Kemampuan berbahasa, termasuk ketepatan menyampaikan pernyataan dalam situasi tertentu, mencerminkan kompetensi seseorang. Di Indonesia, ada banyak pejabat yang tindakan berbahasanya mengindikasikan rendahnya kompetensi dan kepekaan sosial mereka.
*) Dosen Fakultas Psikologi UI
Dijumput dari: http://dinaspendidikan.blogspot.com/2011/03/bahasa-dan-mentalitas-oleh-bagus-takwin.html

Dead Poet Society*


Dead Poet Society*
Posted by PuJa on April 26, 2012
Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Puisi adalah sebuah tradisi. Ada kesepakatan publik tentang materi yang bisa menyandang identitas sebagai puisi. Bukan asal materi bisa disebut puisi, lebih jauh atau lebih lanjut, tidak setiap jalinan materi memungkinkan disebut puisi cerdas.
Sebuah rakitan kata yang membentuk pengetahuan adalah puisi. Kata-kata yang pada mulanya telah menyandang makna literal, dipekerjakan dan difungsikan hingga sampai pada tataran wacana. Ini kerja yang mirip adonan makanan, bahwa makanan dibentuk oleh seperangkat makanan lain yang diaduk dan diperolah. Parsialitas makanan dari puisi adalah kata.
Pada sebuah puisi, kata-kata mengalami metamorfosis, saling membentuk diri dan bercakap-cakap sehingga memiliki multi makna. Kata dalam makna literal, dan kata dalam makna puisi. Keduanya bisa jadi bertentangan, tetapi tetap dalam satu gambar. Gambar kata, sebuah jalinan abjad, atau karakter bunyi, kumpulan artikulasi, merujuk kepada informasi makna.
Penyair memproduksi makna melalui kata-kata. Pembaca memproduksi makna melalui kata-kata. Penyair dan pembaca dipertemukan dalam ruangan kata-kata. Segalanya ada pada kata-kata. Akhirnya, bagaimanakah membentuk bahasa puisi yang bisa mentransfer pengetahuan penyair kepada pembaca.
Sebelum ke puisi, kiranya perlu dimulai dari pola kerja yang universal, ialah bahasa. Ketika seseorang mengabarkan benda bernama buah apel, rakitan kata-kata mesti dapat membentuk keidentitasan buah apel. Tentang warna-warnanya, tentang bidang-bangunnya, tentang kecapannya di lidah, tentang cara mengapresiasi, bahkan tentang kebiasaan orang-orang tertentu terhadap buah apel. Gambaran yang sama tentang buah apel, antara pembaca dan penyair, merupakan syarat keberhasilan bahasa.
Kisah tentang penggambaran buah apel, mungkin terlalu mudah diaplikasikan. Kesulitan muncul apabila tugas bahasa menginformasikan sesuatu yang bersifat abstrak. Misalnya jalur-jalur kemungkinan, pertimbangan, dan pilihan sikap dari kinerja pikiran. Seseorang punya sikap hidup, bagaimana sikap hidup tersebut dapat terpresentasi dalam bahasa. Juga tentang waktu. Sanggupkah bahasa mengidentifikasi waktu.
Ada semacam ungkapan, penulis mendapatkannya dari cerpenis asal Surabaya, S. Jai, “banyak orang memiliki gagasan besar, dan sedikit orang yang mampu menuliskan kebesaran gagasannya”. Orang lain tidak bisa mengetahui gagasan besar seseorang oleh sebab bahasa yang diungkapkan tidak mengabarkan kekuatan gagasan besar. Bahasa dengan gagasan besar sama seperti puisi yang cerdas. Tidak saja secerdas penciptanya, penyair, malah lebih cerdas lagi.
Puisi yang lebih cerdas dari penyair lahir dari kenyataan “kesamaan informasi antara pembaca dan penulis adalah mustahil”. Perihal keterbatasan potensi rakitan kata. Kata-kata atas dasar pengakuan Jorge Luis Borges, pengarang dari Argentina, “kata-kata telah terkutuk untuk selalu mengkhianati penulis”. Kata-kata senantiasa menambah-reduksi pemahaman yang diproduksi penulis.
Puisi cerdas, lebih cerdas dari penyair, memanfaatkan sifat keterkutukan kata-kata. Keterbatasan kata-kata justru dipakai untuk menginformasikan pemahaman yang jauh melebihi pemahaman penyair. Kata-kata dieksplorasi agar melampaui kapasitas literal. Satu rangkaian kata-kata dapat secara serentak menginformasikan aneka hal, sungguh dilematis, yang penyairnya pun tidak tahu.
Pertanyaan sederhana perlu disorongkan kepada prestasi puisi cerdas. Mengapa kata-kata menjadi sedemikian berbinar, menyeruak ke wilayah-wilayah yang asing. Adakah sesuatu, semacam metode, yang terselip dalam tubuh puisi tersebut. Apakah resiko puisi cerdas.
Puisi diklaim cerdas tentu karena berpotensi menjelajahi banyak tema, gemar mengarungi lautan pokok persoalan. Sikap atas tema pun berlain-lainan. Karakter kata-katanya inspiratif. Ini merupakan batasan yang ambigu, sangat mungkin, alasan-alasan lain dapat disodorkan, dan alasan tersebut dapat dimaklumi akal.
Tapi perlu ditengok puisi “Meditasi” dari Acep Zamzam Noor. Angin itu hanya duduk-duduk di halaman. Merenungi bunga-bunga. Musik hanya lewat. Juga waktu. Larik-larik puitik Acep terasa menyentuh kepekaan indrawi. Benda-benda abstrak menemukan bentuk visual yang konkret. Angin yang duduk-duduk, musik lewat, juga waktu. Mata seakan melihat benda-benda bergerak. Menyaksikan benda-benda berperilaku layaknya manusia. Pembaca ditantang memproduksi makna dari waktu karena bentuk waktu telah dikonkretkan Acep.
Perlu ditengok pula puisi “Tetua Kampung” dari W. Haryanto. Kami seperti desah pohon, pohon yang mencari hidup, di udara, hidup yang berbiji, kepura-puraan, sejarah yang lain, keyakinan kami begitu mengejutkan, membuat gerimis berhenti. Rakitan kata-kata W. Haryanto telah menciptakan konteks bagi sesuatu yang laten pada diri manusia: kepura-puraan. Penciptaan konteks tersebut menjalin komunikasi antara puisi dengan pembaca. Artinya, pembaca sebagai “manusia umum”, manusia yang tidak mungkin terbesas dari sifat “pura-pura” merasa terlibat dalam puisi. Pengalaman puisi, semula milik penyair Haryanto, bergerak menjadi pengalaman pembaca.
Lain Acep, lain W. Haryanto, lain pula puisi Kriapur dalam menjalin komunikasi dengan pembaca. Pada puisi berjudul “Aku Ingin menjadi batu di Dasar kali” terdapat pengucapan yang bersifat kultural. Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan. Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu – Yang mati terkapar di sangkar-sangkar pedih waktu. O, aku ingin jadi batu di dasar kali. Menanti datang saat abadi.
Perulangan puisi Kriapur, ditandai dengan kata pembuka yang, mengingatkan kepada bentuk perulangan mantra. Pola pengucapan yang khas, berulang-ulang, untuk mencapai situasi transendental. Perulangan pun semakin dipertajam dengan ucapan “O”. Sebuah sentakan yang membuat situasi semakin magis. Sama seperti bentuk pengucapan orang bersembahyang. Artinya, Kriapur telah mereproduksi pola-pola pengucapan yang telah ada dalam masyarakat untuk mendekatkan diri dengan pengalaman pembaca.
Dari ketiga hasil karya ketiga penyair di atas, dapat disodorkan pula tiga cerapan karakter puisi cerdas. Pertama, greget tubuh artinya rakitan kata mampu menyentuh keindraan manusia. Panorama yang dapat dibau, didengar, ataupun dicecap lidah. Gagasan menjadi mudah diterima ketika pembaca sudah meresponnya melalui keindraan. Kedua, greget kemanusiaan artinya jalinan kata-kata memasukkan unsur-unsur laten dalam kejiwaan dan perilaku manusia. Semisal rasa sedih, kesepian, ketakutan, penmgkhianatan, kerinduan, ataupun kepura-puraan. Tugas penyair tinggal memberi konteks atas kejiwaan manusia tersebut. Pertaruhannya terdapat pada “subyektivitas sikap” sekaligus “konkretisitas peristiwa”. Ketiga, gramatik tradisi artinya penyair meminjam ungkapan atau pola bahasa yang telah ada dalam tradisi. Entah tradisi pada intern puisi maupun ekstern sastra. Misalnya Kriapur yang meminjam pola mantra. Cukup banyak pola bahasa dalam masyarakat. Kesemuanya dapat diadopsi dalam puisi. Kelisanan di Indonesia dikenal amat beragam, di sini penyair bebas menggunakan pola bahasa Indonesia dengan karakter Sunda, Jawa, atau Batak. Bahkan, penyair dapat saja menggunakan slank atau kreol.
Banyaknya adopsi pada puisi, sedangkan tujuannya bukannya adopsi tersebut, membikin karya puisi sebagai karya yang multimateri. Nasib buruk menimpa materi yang diadopsi. Bila materi adopsian diandaikan sebagai sebuah struktur maka struktur tersebut dipakai bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Struktur dipinjam untuk menjelaskan atau menarasikan hal lain. Misalnya pola mantra dipinjam bukan untuk memantrai roh sebagaimana para dukun, tubuh disinggung bukan untuk menjelaskan tubuh. Peminjaman dipergunakan untuk melangkah sampai kepada hal-hal yang jauh lebih besar dari kapasitas sebenarnya. Struktur pun runtuh. Batas-batasnya telah di-tebas oleh puisi. Struktur diperkaryakan sehingga kehilangan karakter-karakter utamanya.
Kinerja puisi ini menjadikan posisi kata bukan lagi literal. Kata menjadi metafor. Kecerdasan puisi pun beralih kepada kekuatan metafor. Paul Ricoeur pada buku The Rule of Metaphor (Toronto: University of Toronto Press, 1977, halaman 197-198) Recoeur menuliskan “Kekuatan metafor, tentunya adalah untuk merintis logika baru atas reruntuhan pendahulunya… Lalu dapat saja diusulkan bahwa cara bicara yang kita sebut metafor, yang awalnya dianggap penyimpangan itu, sebenarnya sama dengan yang telah melahirkan segala bentuk ‘medan semantik’. Kekuatan puisi pun terletak kepada daya jelajahnya dalam memasuki banyak tema. Puisi yang mampu merangsang pembaca untuk menciptakan aneka tema dengan aneka sikap atas tema. Itulah puisi cerdas.
Tetap perihal puisi yang kecerdasannya melampaui penyair, ada pengalaman menarik dari penyair yang puisinya pernah dipublikasikan Jurnal Kalam dan pernah juara 1 Peksiminal tahun 2002: Deni Tri Aryanti. Pada suatu ketika, Deni menyelesaikan satu puisi tentang “ironi aku lirik atas realitas”. Puisi telah selesai ditulis, hanya saja judul belum ada. Dalam kebingungan, tanpa sengaja, Deni sedikit menundukkan kepala. Pandangan tertumpu pada stavol (penyelaras arus listrik) buatan Jepang bermerk Yamaguchi. Dan jadilah, kata Yamaguchi dipilih sebagai judul puisi.
Mula judul puisi Deni berupa “iseng’. Perilaku iseng yang cemerlang. Dengan pilihan judul “Yamaguchi”, tentunya berasosiasi pada identitas Jepang, pembaca akan dihadapkan pada beberapa opsi makna. Yamaguchi sebagai tanda hubungan Indonesia dengan Jepang. Mengingatkan pada trauma penjajahan Jepang terhadap Indonesia, meski 3,5 tahun tapi masih berbekas hingga kini. Mengingatkan kepada usaha Jepang untuk membentuk kejayaan Asia Timur Raya. Mengingatkan kepada serbuan produk Jepang ke luar negeri, pun juga Indonesia. Mengingatkan pada Jepang sebagai negara hiper-kapitalis, lebih dibanding Amerika dan Eropa. Puisi Deni Tri Aryanti secara lugas mengakomodasi semua opsi tema melalui konteks atas judul.
Puisi cerdas, bukan puisi yang senantiasa kaku terhadap gagasan penyair. Justru puisi dimaksudkan untuk menjelajahi tema-tema yang penyair belum tentu membayangkan. Bila ini telah tercapai, puisi jadi lebih cerdas dari penyair. Hanya saja, ada penyair lebih cerdas dari puisi. Kata-kata diperlakukan selayak kerajinan tangan. Kasus terjadi pada penyair yang ingin membentuk puisi sebagai bayang-bayang diri. Gagasan berat pun dibebankan kepada kata-kata, lantas puisi tidak lagi bebas meraih banyak medan tema.
_______Studio Gapus
*) Ini merupakan judul film, bercerita tentang pembentukan komunitas yang orang-orangnya ingin bebas dari tekanan aturan-aturan. Salah satu jalan yang ditempuh: puisi.
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/7/

Thursday 26 April 2012

Sajak-Sajak Imamuddin SA


Sajak-Sajak Imamuddin SA
Posted by PuJa on April 26, 2012


TADARUS JARAN GOYANG
membuka sebuah kitab dan merapalnya
dalam tanda-tanda
pada jalan gaib yang diselimuti kabut-kabut waktu
bermula dari bisikan hasrat
dalam satu ruang keramat
kau tiupkan ruhmu
pada hati yang kemarin beku
di muara sepi dan sunyi
sajakmu
maka seperti kutub terbakar matahari
aku menghilir nafas ke sungaimu
dan menenggelamkan segala keakuanku:
di mataku hanya ada kau dan kata-katamu

Lamongan, Maret 2012


PERCIK BATU


lupakan saja kata-kata yang aku bisikkan
di daun-daun hatimu kemarin,
kata-kata yang kuukir dengan api
dari percikan batu yang kau lempar padaku
pagi itu
maka jangan biarkan panas membakar
menjadikan tubuhmu hangus dalam abu
adlah ini kesempurnaan
yang tak dapat aku abaikan di atas tanah,
berjalan bersama bara
dalam jantung tak berarah
maka sabar adalah jawaban
dan perhitungan jadi perhatian ucapan:
“air yang kau tumpahkan di rahim istrimu
tak kan jauh dari alir sungaimu”
Lamongan, Pebruari 2012

MEMUNGUT SAJAK DALAM GELOMBANG

pungutlah sajak-sajakku
di tengah samudra
dalam diam gelombang
dalam bening air yang tak asin
inilah hujan yang dijanjikan
membasahgemburkan tanahmu
dan memberi nafas
pada jentik-jentik di dasar sungaimu
yang sempat kering oleh panas waktu
namun, jangan biarkan rahimnya menjadi bah
oleh sebutir picis yang erat tergenggam di tanganmu
sebab wajahnya hanya sebatas jalan yang tak harus ditinggalkan
maka melangkah pada tiap ruasnya
adalah seberkas keniscayaan
seperti darah yang membawa hawa
dalam panas wajah
Lamongan, Pebruari 2012

DI SISI GEDUNG LAMONGANKU

malam yang berselimut mendung waktu itu
kini tak lagi menampakkan wajahnya
hanya sesabit bulan tertanggal di mataku
dalam sunyi nyaris membatu
tak ada lambaian paling puitis
yang dapat aku tulis di lembar hatiku
ketimbang lenggang jari penjual nasi boran
yang bercerita tentang lapar, perjuangan, dan pengorbanan
sepanjang malam
sejauh batas trotoar
kau berjajar di ambang penantian
dalam sepi, dalam sunyi
dalam cerita buah hati
ada yang terurai dari kisahmu;
lelap dan usiamu
masih setia di ujung waktu
di sisi gedung lamonganku
…?
Lamongan, Oktober 2011


GEGER PINANGAN
: Laras-Liris

dari bisikan ayam jago
yang mengelana langkahmu
sampai pada tanah singgah
hingga terukir sejarah
tentang tradisi
tentang lelaki dan seorang putri
dalam ikatan suci
ada persembahan mengalir dalam nadi
membiarkan hati larut terpasung mimpi;
andansari merajut janji
setapak demi setapak membawa sembah sendiri,
wirosobo sebagai fajar meniti
seperti sepi ditelan petir
lamongan-kediri terendam banjir;
luka, darah, dan wibawah
jadi tumbal prahara yuda
kala janji tercabik lati
tak dipuji
Lamongan, Oktober 2011

KISAH WAKTU
: Maskarebet

sigro milir
sang getek sinonggo bajol
sekawandoso kang nyanggeni
ngarso tuwin ing bungkur*
semilir angin dan ricik sungai mengiring tembangmu
membawa kisah waktu
tentang luka, tanah, dan ketenangan jiwa
ada yang tertahan;
batinmu
dalam sengketa
dalam perang buaya
di atas rakit
dari maghrib hingga masyrik
kau memasung riuh air
jiwamu
menyujudkan musuh
sebagai isyarah laku
dan kau temukan tanah istirahmu
di muara waktu;
kusapa dalam pahatan batu
pringgoboyo dan nisanmu
Lamongan, Oktober 2011


SYAHADAH

bagaimana aku
bisa membagi-bagikan syahwatku
selain kepadamu
dan bagaimana caranya, kau
sanggup ajarkan aku
merapal syahadat cinta untukmu;
hanya namamu
dan aku
harus dengan apa aku
merayumu, agar muhammad
kau lahirkan kembali dari rahim hatiku;
shalatku
zakatku
puasaku
segalanya telah kupersembahkan untukmu
sementara kau hanya melempar senyum sinis
di wajahku
membiarkan luka rindu
menghimpit batinku
dadaku sesak
hanya untaian nafas terpenggal
dalam gerimis tangisku yang masih tersisa,
ingin rasanya kuteguk secawan demi secawan air mataku
biar tak ada lagi duka di bening telagaku
tak ada lagi kegaiban mataku
dan aku terbangun
dari malam-malam jahilku
setelah sekian lama meringkuk
dalam selimut tahmidku
samar aku melihat jari-jari manismu
perlahan memainkan hasrat
menyalakan lilin di tanah gelap
aku pun bangkit
dari sajadah kumalku
merangkak, menguntit cahayamu
berkata dalam kealpaan nyaris membatu;
jangankan shalat, syahadat pun aku tak mampu
bagaimana caranya, kau
sanggup ajarkan aku
merapal syahadat cinta untukmu;
hanya namamu
dan aku
Lamongan, Ramadhan 2009
__________________
Imamuddin SA, lahir di Kendalkemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia. Bertepatan pada tanggal 13 Maret 1986. Penulis bernama lengkap Imam Syaiful Aziz. Saat ini ia menjadi pengajar di SMA NU 1 Model, PP. Tanwirul Qulub Sungelebak dan MA. Matholi’ul Anwar Simo. Bergiat dalam Komunitas Sastra Teater Lamongan (Kostela), Forum Sastra Lamongan, Komunitas Teater Jati, dan Pustaka Pujangga. Karya-karyanya sempat terpublikasi di beberapa media, di antaranya: Majalah Gelanggang Unisda Lamongan, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dan Majalah Indupati. Terantologi dalam antologi bersama Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya Dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, dan Sehelai Waktu. Sempat menjadi juara ke-3 lomba menulis esai sastra tingkat nasional tahun 2010. Kini tinggal di RT 005, RW 003, Ds. Balun, Kec. Turi, Kab. Lamongan. Phone; 085731999259. Email: imamsyaifulaziz@gmail.com

Parade Budaya dalam Sastra


Parade Budaya dalam Sastra
Posted by PuJa on April 26, 2012
Hasan Al Banna
http://www.analisadaily.com/

Hampir tak dapat dianulir, sastra hadir sebagai wujud pendokumentasian sejarah perjalanan panjang manusia – dengan segala unsur yang melingkupinya. Bukankah sejak dahulu, sastra menunaikan tugas dalam memotret perjalanan manusia dan segenap budaya yang meliputinya? Agus R. Sarjono (2003:1) mengungkapkan, sastra dilahirkan -dan tak jarang melahirkan- lingkungannya. Hal ini makin menegaskan, jika sastra tidak lekang dari pengaruh lingkungan. Karena itu, sejauh-jauh sastra berkelena, tetap bertolak dari dan akan kembali ke lingkungannya berada. Lingkungan beserta langit dan bumi yang menengahkan nya menjadi inti inspirasi bagi sastra.
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya! Dengan demikian, hampir dapat dipastikan, jika karya sastra menyajikan segenap hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Tak dapat dibantah, manusia adalah makhluk berbudaya. Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia (secara invidual maupun berkelompok) melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi.
Kebudayan merupakan hasil urun rembug manusia yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan yang unik dalam memanfatkan segenap simbol, tanda-tanda atau isyarat alam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa dan karsa masing-masing.
Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan harta karun budaya melimpah. Dapat dibayangkan, betapa karya sastra Indonesia tersusun dari sulur-sulur kebudayaan Indonesia yang perkembangan waktu, tentu, berlangsung dinamis.
Apa saja yang terkandung dalam kebudayaan? Secara garis besar, Koentjaraningrat (1974:83) membedakan tiga wujud kebudayaan, yaitu: a) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan, b) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat, dan c) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dua poin pertama mencuat sebagai bahan dasar yang paling banyak mewarnai karya sastra Indonesia.
Mengapa karya sastra ditengarai sarat dengan hasil daur ulang tentang kebudayaan? Karena sastra secara wujud terdiri dari deretan kata-kata, dalam konteks ini adalah bahasa. Kekayaan bahasa dengan segala kekhasannya dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peristiwa budaya. Terlebih-lebih dalam bentuk karya sastra, yang semacam ruangan besar untuk menginformasikan segala sesuatu yang bersinggungan dengan budaya. Dengan bahasa yang unik, pengarang sastra sebagai manusia yang pada dasarnya tergabung dalam aktivitas kebudayaan menciptakan karya berdasarkan pengalamannya dalam masyarakat. Bentuk penyajian yang berbeda dari narasi nonsastra bertujuan agar peristiwa budaya yang beragam dapat dimaknai lebih mendalam.
Nyoman Kutha Ratna (2007:15) membeberkan, karya sastra membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi, terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui kualitas hubungan pragmatisme, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.
Kata itupun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayan lain. Pengetahuan mengenai masa lampau dapat diketahui melalui kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan keanekaragaman kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu lain, dari satu masyarakat ke yang lain, dan sebagainya.
Seterusnya, Ratna berpendapat, karya sastra melalui medium bahasa metamorfosis konotatifnya, berfungsi untuk menampilkan kembali berbagai peristiwa kehidupan manusia. Tujuannya, agar manusia dapat mengidentifikasikan dirinya dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang lebih bermakna.
Dari uraian Ratna di atas, masyarakat Indonesia berkesempatan luas melakukan wisata budaya melalui sastra Indonesia. Kepentingan apa yang dikejar, sehingga masyarakat Indonesia seolah diharuskan mengenal keanekaan budaya di Indonesia? Jawaban sederhana dapat dilontarkan: agar khalayak mencapai pemahaman masif tentang masing-masing budaya yang terhampar dari Aceh sampai Papua. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang sekadar mengenal deretan budaya.
Begini, bukankah keragaman budaya kerap dielu-elukan sebagai anugerah tiada tanding? Faktanya, terlebih akhir-akhir ini, aneka budaya tak jarang muncul sebagai alasan primer perpecahan. Jika ditilik, kelemahan (atau ketidakpedulian) memahami sesama menjadi indikasi kuat mengapa Bangsa Indonesia lengah memaknai persatuan. Identitas budaya masing-masing diusung sebagai keegoan. Padahal, teramat naif menempatkan budaya dalam konteks menang kalah. Bukankah harus dipahami secara masif, tidak arif menyeret budaya ke ranah tarung hidup mati? Karenanya, perlu memanfaatkan segala kemungkinan, kecil maupun besar, agar masyarakat Indonesia sudi bertukar pengetahuan tentang budaya yang tersebar di nusantara.
Salah satu kemungkinan itu adalah melalui sastra. Mengapa? Seperti yang telang disinggung sebelumya, sastra merupakan bagian hasil kebudayaan. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra mempunyai fungsi untuk merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang selanjutnya akan menumbuhkan rasa kenasionalan dan menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra melalui media bahasa dan dengan segenap perilaku estetiknya dinilai mampu memberikan informasi terkait adat istiadat, pola-pola kehidupan, sejarah, bahkan konflik sosial masing-masing dari keanekaan budaya lokal yang terdapat di Indonesia.
Karena itu, sastra dengan konsep kearifan lokal (local genius) sudah sejak lama kerap didengung-dengungkan pengarang karya sastra. Kearifan lokal yang terkandung dalam sastra diharapkan mampu menetralkan perbedaan, sehingga bermuara pada terbentuknya pemahaman terhadap sesama. Wujud warisan budaya lokal yang bermacam-rupa membuka peluang untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu.
Akhirnya, keberhasilan sastra mengungkapkan kekayaan budaya lokal yang tumbuh di sebuah tempat merupakan puncak pencapaian multikulturalisme – penghargaan dan pengakuan terhadap kemajemukan.
Jika disinggungkan dengan pembangunan nilai persatuan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai yang termaktub dalam multikuluturalisme harus tetap dielus-dipelihara.
__________ 18 Mar 2012
Penulis; pandai fiksi-nonfiksi.

Rakyat Sebagai Kekasih Sejati


Rakyat Sebagai Kekasih Sejati
Posted by PuJa on April 25, 2012
Emha Ainun Nadjib
Kompas, 6 Jan 2009

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.
Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.
Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.
Memiliki pola kearifan
Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.
Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.
Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.
Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.
Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.
Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.
Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.
(/PadhangmBulanNetDok)
Dijumput dari: http://sudisman.blogspot.com/2009/07/rakyat-sebagai-kekasih-sejati.html

Kebudayaan Nasional Versus Kebudayaan Komunitas


Kebudayaan Nasional Versus Kebudayaan Komunitas
Posted by PuJa on April 25, 2012
Agus Hernawan *
Kompas, 13 Jan 2008

KATA “Indonesia” awalnya hanya mengandung pengertian ethnological. Ia pertama kali diperkenalkan oleh GW Earl dan JR Logan, pada 1850, dalam dua artikel panjang yang dimuat di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia.
Motif dan intensi politik pada kata ini agaknya dimulai sejak Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indonesische Persbureau di Den Haag pada tahun 1913, disusul perubahan Indische Vereniging menjadi Indonesische Verbond van Studeerenden antara tahun 1917 dan 1919.
Sementara intensi sebagai sebuah ruang kebudayaan modern agaknya muncul lebih kemudian. Memang, gagasan tentang suatu kebudayaan modern telah diapungkan sejak masa Raffles berkuasa di Batavia, lebih menguat lagi sejak digulirkannya proyek Etis.
Namun, gagasan itu, baik yang memusat ke modernisme gaya Raffles maupun modernisme gaya Etis, tidak terpisah dari kenyataan Hindia Belanda sebagai tanah jajahan dengan kepentingan- kepentingan imperial yang melingkupinya.
Intensi di atas menguat seiring dengan bangkitnya kesadaran kebangsaan, khususnya di sekitaran Ikrar Pemuda tahun 1928. Sebelum peristiwa Ikrar Pemuda, lewat telisik pada sejumlah karya sastra yang terbit pada masa itu, suatu yang disebut kebudayaan modern terdiferensiasi dalam kultur intelektual di perkotaan kolonial dan kultur mestizos yang mapan di klab-klab eksklusif yang disebut societeit. Keduanya memiliki kesamaan, yakni sebagai buah yang tumbuh di pohon kolonialisme dan sama-sama mengambang antara dua keping dunia: Barat dan Timur, namun juga berbeda akibat hierarki rasial yang diajekan.
Dengan kesadaran untuk berbeda dengan keduanya, meski sama-sama berada dalam setting kolonialisme, suatu kebudayaan modern yang dibayangkan adalah kebudayaan dengan motif Indonesia merdeka. Motif ini beserta siapa yang menjadi aktor-aktornya dengan sendirinya memberikan jawaban seputar dikotomi antara “menghadap ke Timur” dan “menghadap ke Barat” sebagai basis dari suatu kebudayaan modern itu, sekaligus memberikan jawaban mengapa “menghadap ke Timur” kelak menjadi pilihan dengan faham esensialisme tumbuh subur di dalamnya.
Kenyataan di atas terkesan ironis, terlebih bila mengingat faham esensialisme sesungguhnya dibentuk oleh hasrat kolonialisme itu sendiri. Hasrat untuk berkuasa lebih lama dengan tidak menggunakan kekuatan militer, tetapi dengan membuat kategorisasi lengkap dengan esensi dasar yang menjarakkan antara Barat dan Timur, pemindahan nilai yang tak seimbang antara keduanya, dan sebentuk ketergantungan. Namun, pilihan di atas beserta ironisme yang menyertainya dapat juga dikatakan sebagai penemuan tak terduga karena ia agaknya memang buah dari perjalanan sejarah kolonialisme yang tiba-tiba menikung dan membawa masuk fasis Jepang.
Masuknya Jepang menjadi periode kedua bagi perkembangan suatu kebudayaan modern itu. Jepang juga yang agaknya mengenalkan istilah “kebudayaan nasional” disertai pengandaian adanya identitas yang murni milik “kita”. Dalam rangka “debelandaisasi”, Jepang menggusur segala anasir Barat, mulai dari melarang pemakaian bahasa Belanda sampai pada menggalakkan semangat nasionalisme yang condong anti-individualisme di kalangan pemuda. Semboyan kebudayaan nasional, bagi penguasa militer Jepang waktu itu, hanyalah alat dalam upaya memenangi perang melawan Sekutu.
Versus kebudayaan komunitas
Nasionalisme zaman penjajahan dan zaman perang telah memproduksi sebentuk kebudayaan nasional. Kebudayaan yang lahir dalam waktu imperial. Waktu yang ditandai dengan banyak rontoknya ruling class tradisional dan bertabrakannya hasrat new imperialism dengan kesadaran nasionalisme yang menuntut kehadiran waktu yang lain.
Setting waktu imperial, proses produksi yang relatif singkat, yakni sepanjang paruh pertama abad ke-20, ditambah motif diskontinuitas, agaknya mendasari mengapa karakter kebudayaan yang dihasilkan cenderung kaku, represif, dan sentralistis. Dan, karakteristik ini, disadari atau tidak, menjadi praktik diskursif pada kemudian hari. Wacana kebudayaan nasional, khususnya dalam tiga dekade lebih rezim Orba, dengan pemahaman nasionalisme dimonopoli oleh kalangan militer, menjadi alat penyeragaman atas keberbagaian dan keberagaman.
Ajaibnya, wacana kebudayaan nasional kembali menghangat akhir-akhir ini. Melalui suara yang ramai meneriakkan perlunya memberi frame nasionalisme dan patriotisme pada kebudayaan, khususnya pada produk-produk kesenian, terutama kesastraan yang dinilai “sesat” atau malah antek imperialis, wacana kebudayaan nasional seperti menemukan waktu revitalisasinya. Tentu tak ada yang salah dengan wacana ini. Bahkan malah sebaliknya, ia mungkin sangat relevan dihadapkan dengan persoalan ketidakadilan sosial yang terus berlangsung di Republik ini.
Namun, sayangnya, wacana di atas justru mengarahkan dirinya untuk menjadi satu persoalan baru. Ia dengan jelas masih melembaga pemikiran kebudayaan sebagai produk nasionalisme zaman lampau. Ada histeria esensialisme yang dikandungnya. Histeria yang lahir dari sebentuk oposisi binear, pengandaian tentang adanya identitas yang otentik dan murni milik “kita”, dan kepanikan ketika mendapati kebudayaan bergerak demikian bebas.
Melalui wacana tersebut terkesan ada intensi yang di satu sisi hendak mengontrol dan menggiring kembali pemahaman kebudayaan dalam kategorisasi berdasarkan kotak-kotak “nasional” dan etnik dan menjadi instrumen nilai-nilai yang dianggap adiluhung dan ajek. Sementara di sisi yang lain, ia mengabaikan, bahwa pada hari ini kebudayaan tidak lagi dapat digeneralisasi lewat penandaan itu. Dewasa ini kebudayaan tumbuh dalam lingkup komunitas dengan lokalitas dan sentimen komunitas sebagai basisnya.
Di lingkup komunitas, produk kebudayaan merepresentasikan keberagaman sebagai keniscayaan. Ia merupakan bangunan nilai dan pengetahuan yang tidak seragam, yang berdialog dengan kenyataan sejarahnya sendiri dan dengan pengandaian-pengandaian pada sebentuk esok yang tidak harus sama.
Alhasil, memaksakan wacana kebudayaan dengan frame nasionalisme dan patriotisme abad ke-20 di dalam kebudayaan komunitas tentu berpotensi menjadi kejahatan normatif dan diskursif. Namun, ini bukan berarti kebudayaan komunitas sepenuhnya bebas dari nilai-nilai itu. Persoalannya ialah nilai-nilai tersebut tidak hadir secara verbal dan eksplisit, melainkan sering secara metaforik.
* Agus Hernawan, Cohort VI Ford Foundation, Bergiat dalam Roda for Education and Culture
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/buku-kebudayaan-nasional-versus.html

Pendekatan Budaya dalam Penulisan Sejarah


Pendekatan Budaya dalam Penulisan Sejarah
Posted by PuJa on April 25, 2012
Mu’arif *
Seputar Indonesia, 20 Jan 2008'

MENULIS sejarah dengan pendekatan politik (kekuasaan) sudah lazim dipakai di kalangan sejarawan. Rangkaian peristiwa sejarah di masa lampau selalu dilihat berdasarkan perspektif kekuasaan (sejarah kekuasaan).
Padahal,sejarah merupakan hasil dialog jiwa dan pikiran manusia dengan realitas kehidupannya secara dinamis dan kreatif. Penulisan sejarah berdasarkan perspektif kekuasaan hanya mempersempit sudut pandang dalam mengungkap fakta-fakta historis dan kerap mengaburkan fakta historis yang cenderung dimaknai secara politis.
Penulisan Sejarah
Secara sederhana, sejarah merupakan pengetahuan tentang masa lampau.Menurut sejarawan Baverley Southgate (1996), pengertian sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau.”Dengan demikian,sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau,bukan kisah fiktif apalagi rekayasa. Definisi menurut Baverley Southgate merupakan pemahaman paling sederhana. Pengertian sejarah menurut Baverley menghendaki pemahaman obyektif terhadap fakta-fakta historis. Metode penulisannya menggunakan narasi historis dan tidak dibenarkan secara analitis (analisis sejarah).
Alasan penulisan secara naratif karena faktafakta historis adalah kebenaran obyektif yang tidak boleh dimasuki unsurunsur opini oleh penulisanya (subyektif). Sejarah yang ditulis secara subyektif jelas dianggap menyesatkan. Sebab antara fakta dan opini sudah bercampur-aduk menjadi satu sehingga obyektifitasnya diragukan. Tetapi,menurut Edward Said, sejarah naratif juga tidak steril dari kepentingan. Tak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.
Atau sebaliknya, tak ada kekuasaan yang tidak menghegemoni— meminjam istilah Antonio Gramschi. Di sini,Edward Said mengritik “struktur ideologi”yang bersembunyi di balik penampilan akademis berupa catatan kaki dan sikap purapura di balik fakta-fakta historis (Shella Walia,2003: 22). Pemikiran Edward Said sejalan Jurgen Habermas. Bagi filosof Mazhab Frankfrut ini, instrumental knowledge bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, mengeksploitasi, bahkan memanipulasi obyek-obyek ilmu pengetahuan.Dengan demikian, wacana obyektifitas dalam ilmu pengetahuan menjadi semakin jauh panggang dari api.
Pendekatan Budaya
Secara filosofis, sejarah tidak cukup didefinisikan secara sederhana seperti teori Baverley.Penulisan sejarah bukan sekadar mengungkap peristiwa-peristiwa di masa lampau, tetapi merupakan sebuah proses memahami secara utuh pola interaksi manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut Benedetto Croce (1951) sejarah merupakan rekaman kreasi jiwa manusia di semua bidang baik teoritikal maupun praktikal. Kreasi spiritual ini senantiasa lahir dalam hati dan pikiran manusia jenius,budayawan, pemikir yang mengutamakan tindakan dan pembaru agama.
Dengan mendefinisikan sejarah, perspektif filosofis semakin membuka cakrawala pemahaman bahwa rangkaian peristiwa di masa lampau tidak cukup dipahami lewat pendekatan politik. Sebab, peristiwa sejarah merupakan proses dialog yang melibatkan jiwa dan pikiran manusia dalam ruang dan waktu tertentu, menempatkan manusia sebagai aktor (subyek) sejarah. Menurut filosof Plato (427-347 SM), manusia adalah “hewan berpikir”(animal rational).
Manusia yang berpikir tidak bisa terlepas secara independen dari realitas tempat ia menetap dan bertahan hidup. Proses dialog interaktif yang melibatkan segenap potensi manusia di dunia ini tidak dalam ruang steril, melainkan menempati ruang kebudayaan tertentu. Dalam konteks penulisan sejarah pendekatan budaya, penulis menengarai lima unsur yang masingmasing saling terkait. Pertama, dimensi ruang dan waktu. Dalam konteks penulisan sejarah perspektif budaya, maka di mana dan kapan suatu peristiwa tersebut terjadi harus jelas dan tegas. Pengandaian atau penyebutan secara samar jelas bakal mengaburkan fakta sejarah. Kedua, konsep manusia sebagai animal rational dan latarbelakang sejarahnya.
Menempatkan manusia sebagai aktor sejarah yang memiliki kemampuan berpikir merupakan cikal-bakal munculnya ide-ide kreatif. Ide-ide kreatif muncul dalam proses dialog interaktif manusia dengan realitas yang ia hadapi. Dari sinilah akar kebudayaan manusia. Ketiga, setiap bangsa mendiami kawasan tertentu dan memiliki pola pikir, sistem sosial serta budaya yang mereka warisi dari para pendahulu. Bangsa Persia yang mendiami kawasan Barat Daya Iran merupakan bangsa pendatang.
Mereka berasal dari keturunan suku-suku Arab yang menetap di kawasan tepi Laut Tengah. Sebagian dari mereka juga merupakan keturunan para imigran dari pulau Kreta pada tahun 1200 SM (Ahmad Syalabi, 2006: 3). Dengan demikian,mereka ini terdiridariberbagailatarbelakang etnis yang telah bersatu dalam sistem sosial dan kebudayaan yang boleh dikata amat longgar.Keempat,pola hubungan antara budaya dan kekuasaan. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa jika tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tertentu tidak akan bertahan lama.
Sistem politik yang berlaku punmemilikikaitaneratdenganbudaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Kelima, bentuk kebudayaan dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa memiliki pertalian erat dengan kebudayaan lain yang mempengaruhinya. Seperti tradisi paganisme di Timur Tengah pada Abad Kelima Masehi merupakan bentuk pengaruh kebudayaan Persia dan Romawi (Byzantium).Pada abad tersebut,Persia dan Romawi merupakan kekuatan politik adidaya yang mewarnai dunia. Kelima unsur tersebut di atas merupakan perangkat pokok dalam mengkaji sejarah pendekatan budaya.
Penulisan sejarah pendekatan budaya dengan metode analitis lebih humanis ketimbang pendekatan politik dengan metode naratif. Kita bisa menikmati beberapa karya ilmuwan kontemporer yang berusaha menjelajahi dunia dalam dimensi masa lampau lewat pendekatan ini. Misalnya Marshall GS. Hodgson dalam karyanya,Venture of Islam.Kemudian Albert Hourani dalam karyanya, Sejarah Bangsabangsa Muslim.
* Mu’arif, Peminat studi sejarah,penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/esai-pendekatan-budaya-dalam-penulisan.html

Budi Darma dan Pisau Bermata Dua


Budi Darma dan Pisau Bermata Dua
Posted by PuJa on April 25, 2012
Lan Fang *
Kompas, 20 Jan 2008

MENANDAI 70 tahun kiprah Budi Darma di belantika bahasa dan sastra—juga seni dan budaya—Universitas Negeri Surabaya bekerja sama dengan JP Books menerbitkan Bahasa, Sastra dan Budi Darma.
Bila selama ini Budi Darma dikenal piawai menjungkirbalikkan tokoh-tokohnya dalam Olenka, Orang- Orang Bloomington, dan prosa-prosanya yang lain. Tetapi di dalam buku ini, ia tampil sedikit berbeda. Pembaca akan dibawa ke dalam kejernihan berpikir dan kerangka logika seseorang yang sudah sekian lama malang melintang menggauli bahasa, sastra sekaligus seni dan budaya.
Dari total 242 halaman yang berisi 15 esai Budi Darma, ada sebuah alinea yang menjadi titik berat pembacaan saya. Suatu faktor yang sering dilupakan dalam hampir semua aspek kehidupan adalah faktor intuisi, demikian pula dalam kreativitas. Dan intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi (hal 109). Alinea ini terdapat pada esainya yang berjudul Kritik Sastra dan Karya Sastra.
Rupanya, faktor intuisi adalah hal yang penting bagi Budi Darma. Kesan ini semakin terasa kuat ketika membaca Kisah Sebuah Odise. Esai ini yang dipergunakan sebagai pidato pengukuhannya sebagai guru besar sastra di IKIP Surabaya (sekarang Unesa). Yang ditulisnya pada 21 Agustus 1990 dan dibaca 14 Mei 1991. Ia menulis bahwa kekuatan intuitif pada hakikatnya adalah transendental, yaitu kekuatan common sense atau akal sehat tanpa penggunaan seperangkat teori dalam pengertian yang formal (hal 73).
Tidak tanggung-tanggung, diambilnya pesulap spektakuler Houdini dan petinju legendaris, Muhammad Ali, sebagai contoh para pelaku dunia kreativitas. Bahwa kedua orang itu tidak sekadar menggunakan teori sebagai teori dalam pengertian formal. Tetapi, mereka membuka diri terhadap kehidupan dan mempelajari hal-hal lain di luar dunia sulap dan tinju. Maka hakikat kreativitas bagi Budi Darma adalah menemukan sambil berjalan, tidak dapat dibatasi oleh kerumunan teori.
Berangkat dari pentingnya intuisi, maka dapat ditarik satu simpul. Bahwa titik berat sastra (seni) adalah penghayatan. Dan untuk ini dituntut kepekaan yang tinggi. Dengan penghayatan dan kepekaan, maka seorang pelaku sastra (seni) akan mempunyai daya serap yang tinggi terhadap segala unsur kehidupan. Karena di dalam unsur kehidupan itu terkandung realita.
Akan tetapi, proses kreatif tidak hanya berhenti pada daya serap. Dibutuhkan daya susun untuk merancang segala aspek ke dalam satu grand design kehidupan yang utuh. Bila bagi seorang perupa, di sinilah ia menumpahkan garis dan warna. Untuk seorang musikus, pada area ini ia menata bunyi menjadi satu komposisi. Dan bagi sastrawan, tidak lain menjabarkan tema, plot, karakterisasi, konflik, dan lainnya ke dalam satu kebulatan abstraksi kehidupan.
Maka rasanya wajar bila Budi Darma menyamakan pekerja seni yang baik pada dasarnya juga intelektual yang baik. Karena proses kreatif seorang seniman atau pun seorang intelektual, sama- sama tidak pernah mencapai tanda titik. Selalu berada pada tanda koma atau tanda tanya. Mereka selalu bergumul dalam proses mencari, belajar, dan terus berkembang. Dan di dalam pencarian, pembelajaran, dan perkembangan itu, teori bukan lagi sekadar teori dalam arti formal. Dengan daya serap intuisi dan daya susun intelektual yang baik, maka sebuah teori bisa menciptakan teori baru. Seperti itulah, sebuah karya sastra atau karya seni lainnya, juga bisa beranak pinak untuk melahirkan karya sastra atau karya seni lainnya.
Kejernihan logika
Lalu apakah bila telah memiliki daya serap dan daya susun, maka syarat sebagai seorang seniman yang intelektual sudah terpenuhi? Ternyata Budi Darma masih menambahkan satu komponen lagi, yaitu daya seleksi.
Begitu banyak yang bisa kita serap. Dan dari yang kita serap maka kita mempunyai materi yang cukup untuk menyusun sebuah grand design. Tetapi tidak semua materi bisa dipergunakan untuk merancang bangun. Misalnya, untuk membuat sebuah rumah. Kita harus memilih semen dan pasir. Bukan memakai gula dan tepung terigu.
Di sinilah diperlukan kejernihan logika sebagai daya seleksi. Menurut Budi Darma, logika adalah gagasan. Bukan tindakan. Dan pasti ada banyak sekali gagasan yang berseliweran menyerbu kepala manusia. Kejernihan logika membantu daya seleksi untuk berpikir kritis, memilah-milah persoalan. Lalu mengorganisasikan gerak pikiran untuk memasukkan konsep-konsep yang ada menjadi satu paduan yang harmonis.
Dalam hal ini, kita kerap menemukan ada orang yang pandai berbicara tetapi tidak mampu menulis. Atau sebaliknya, bisa menulis tetapi tidak pandai berbicara. Atau bahkan baik berbicara maupun menulis sama ruwetnya.
Sama halnya seperti kebanyakan orangtua yang lebih bangga ketika nilai matematika anaknya bagus dibandingkan dengan bila nilai bahasanya yang bagus. Bahkan beranggapan bahwa anak yang nilai matematikanya bagus lebih pandai daripada anak yang nilai bahasanya bagus.
Padahal semua itu sebenarnya mempunyai satu poros yang sama.
Bagi Budi Darma, baik bahasa ataupun matematika adalah logika. Sehingga barangsiapa logikanya buruk, maka kemampuan matematika dan bahasanya pun buruk. Kekurangmampuan menggunakan bahasa sebenarnya terletak pada kekurangmampuan menggunakan logika. Tetapi Budi Darma tidak menjamin bahwa orang yang dapat mempergunakan bahasa dengan baik adalah orang yang mempunyai logika yang baik pula. Ia juga tidak menutup kemungkinan bahwa ada kemungkinan tulisan yang menggunakan bahasa dengan baik tetapi tidak mencerminkan pikiran yang cemerlang. Dan sebaliknya bisa saja tulisan yang berwibawa justru belum tentu memakai penggunaan bahasa yang benar.
Setelah menggunakan intuisi sebagai daya serap, intelektualitas sebagai daya rancang dan kejernihan logika sebagai daya seleksi, maka Budi Darma mengunci kita pada satu kesimpulan. Bila diibaratkan seorang pedagang, maka semua itu adalah modal. Hasil yang didapat dari semua itu adalah kemampuan analisa yang baik. Dan analisa yang baik akan tertuang dalam tulisan dengan bahasa yang berfungsi baik, lincah, dan tidak kaku. Dengan kata lain, pokok-pokok pemikiran bisa sampai kepada sasarannya. Inilah yang mencerminkan kecemerlangan otak penulisnya.
Pisau bermata dua
Sublimitas yang dialami pengarang sering sangat abstrak. Karena itu, pengarang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali lari kepada dirinya sendiri (hal 113).
Apakah karena itu, maka sudah menjadi ciri khas tulisan Budi Darma selalu bermain-main dengan pisau bermata dua? Ini tidak saja bisa ditemukan dalam jumpalitan tokoh-tokoh prosanya. Tetapi juga dalam tulisan esai- esainya yang terangkum dalam buku ini.
Budi Darma bukan saja piawai mengupas teori tetapi juga lincah mengocok kata-kata. Pembaca tidak diajak begitu saja memasuki area abu-abu. Tidak sekadar menandai hitam atau putih. Bukan hanya membaca kritik sastra atau karya sastra, kualitas atau popularitas, bentuk atau isi, matematika atau bahasa, ilmu atau seni, teori deduktif atau induktif, nilai intrinsik atau nilai ekstrinsik, obyek atau subyek. Yang selama ini menjadi perdebatan klasik dan klise dengan jawaban sebenarnya yang itu-itu juga. Tetapi pembaca seakan juga diajak bermain egrang. Berusaha menimbang- nimbang, mana yang mana, dari semua itu, di mana titik beratnya, untuk mendapatkan keseimbangan.
Budi Darma dalam buku ini mengatakan menulis itu sulit. Sedangkan Arswendo Atmowiloto menulis Mengarang Itu Gampang. Lantas saya tidak bermaksud menyulit-nyulitkan Budi Darma atau menggampang-gampangkan Arswendo Atmowiloto. Atau kemudian menyulit- nyulitkan menulis dan menggampang-gampangkan mengarang.
Terlepas dari ada beberapa ejaan yang luput dari koreksi editor, secara keseluruhan, saya rasa buku ini memang perlu dibaca. Bukan saja oleh para akademisi, guru-guru bahasa, para sastrawan, tetapi juga para peminat yang lain. Karena setelah membaca buku ini, kita akan tahu dari pisau bermata dua itu, matanya yang mana akan menikam dada yang sebelah mana.
* Lan Fang, penulis tinggal di Surabaya.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/buku-budi-darma-dan-pisau-bermata-dua.html