Pages

Tuesday 29 May 2012

Jembatan Budaya itu Bernama Gus Dur


Jembatan Budaya itu Bernama Gus Dur
Posted by PuJa on May 29, 2012
Abdullah Alawi
NU Online, 18 Jan 2012

Di akhir tahun 1990, majalah Editor edisi No 15/THN IV/22 Desember, menobatkan KH Abdurahman Wahid sebagai penggerak Islam Indonesia. Kulit muka majalah itu memuat potret kiai yang biasa disapa Gus Dur itu, dengan kepala tulisan “Tokoh 1990, Tahun Bergeraknya Islam Indonesia.”
Proses penobatan dijelaskan pada rubrik Dari Editor. Menurut sidang redaksi yang berjumlah 18 orang itu memutuskan Ketua Umum PBNU waktu itu sebagai Tokoh Editor. Gus Dur mendapat nilai terbanyak (136) dan menyisihkan 6 finalis lain.
Beberapa kriteria nominee diantaranya, orang yang jadi berita (news maker) sepanjang tahun. Tak hanya itu, orang tersebut mesti tampil secara positif dalam pemberitaaan pers secara nasional. Maksudnya, gagasannya orisinal, inovatif , kreatif dan, kontroversial. Yang juga penting, mestilah tokoh yang tahan dan tak takut menghadapi kritik.
Di tahun 1990-an, terdapat kasus-kasus yang mendapat perhatian banyak kalangan, misalnya kasus angket tabloid Monitor dan bukunya Salman Rusdhi, Satanic Verses.
Angket Monitor
Editor edisi No 14/THN.IV/15 Desember memuat profil Nurcholis Majid atau Cak Nur. Liputan itu dimulai dengan Jakob Oetama, pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia, angkat telepon. Ternyata yang menelepon adalah Cak Nur. Dalam percakapan via telepon itu, Jakob meminta Cak Nur meredakan kemarahan umat Islam agar tidak berbuat anarkis karena angket Monitor. Soalnya dalam angket tersebut, Nabi Muhammad di urutan sebelas sebagai tokoh populer di mata pembaca tabloid pimpinan Arswendo Atmowiloto.
“Tak ada hukuman yang lebih pantas untuk tabloid semacam itu, selain dibreidel!” jawab Cak Nur.
Sementara Gus Dur dalam menanggapi kasus tersebut dituangkan dalam esai jernih, berjudul Kasus Gila dan Gila Kasus di Editor edisi No. 8/THN. IV/3 November 1990. Dalam esai sepanjang dua halaman itu, Gus Dur berpendapat sederhana saja: kesembronoan dan kepekaan berlebih.
Kesembronoan Monitor dalam menentukan cara penyelenggaraan angket. Juga sembrono pengungkapan angket itu. Karena angket itu bisa jadi Kusni Kasdut, lebih populer dari Pak Harto atau Bung Karno. Begitu kata Gus Dur.
Masalahnya, kesembronoan itu bertemu dengan kepekaan berlebih umat Islam, ada perasaan kuat bahwa Islam terpojok. Pangkalnya, kurang rasa percaya diri. Kesembronoan bertemu dengan kepekaan berlebih. Kasus gila bertemu gila kasus. Bagaikan api ketemu mesiu, meledaklah segalanya. SIUPP Monitor dicabut, Asrwendo dipecat dalam segala macam jabatan bisnis jurnalistik, termasuk dari keanggotaan PWI. Dia pun ditahan Polda Metro Jaya.
“Semua seolah-olah berlomba menjadi pahlawan pembela Islam,” ungkap Gus Dur.
Gus Dur melanjutkan, hebat benar anak muda (Arswendo) itu sampai harus dihadapi tokoh-tokoh seperti Mensesneg Moerdiono, Ketua Umum MUI KH. Hasan Basri dan Dr. Nurcholis Majid.
Gus Dur mengingatkan, Nabi Muhammad Saw. tidak akan turun derajatnya karena angket Monitor.
Kasus Salman Rusdhie
Majalah Editor edisi No 28/THN. II/11 Maret 1989 memuat berita semacam pengadilan in absentia terhadap Salman Rusdhie atas karya Ayat-Ayat Syetan yang menggemparkan.
Ketua PP Muhammadiyah Drs. Luqman Harun yang paling vokal dalam menanggapi kasus itu, sebagai jaksa penuntut umum. Ketua Umum PBNU Gus Dur, pembela tanpa mandat. Sementara Quraish Shihab, ahli tafsir dan ketua MUI pusat, Syu’bah Asa dan Danarto, menjadi saksi. Majelis hakim berjumlah sepuluh orang, tim redaksi Editor.
Perdebatan berputar pada pertanyaan, perlukah Salman Rusdie dihukum mati? Perlukah bukunya dilarang, atau dibiarkan bebas beredar?
Menurut Editor yang termuat di kolom Berita Khusus, perdebatan berlangsung ketat, seru dan menarik. Apalagi antara Luqman Harun dan Gus Dur.
Menurut Luqman, buku itu jelas-jelas menghina umat Islam. Penggambaran tentang para isteri Nabi yang dianggap pelacur sebagai kekurangajaran yang tak bisa ditolerir. Terlebih gambaran Aisyah.
Gus Dur yang berkacamata lebih tebal daripada Luqman tenang-tenang saja. Menurutnya, Ayat-Ayat Syetan merupakan novel indah dan orisinal. Mungkin novel terindah abad ini. Dari segi sastra, novel ini sangat bagus. Imajinasinya hebat.
Mendengar pendapatnya, kontan peserta sidang terperanjat. Sementara Gus Dur asyik membolak-balik kopian novel itu.
“Mari kita lihat lebih lapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami secara sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statement. Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur sambil melirik Luqman di sebelahnya.
“Apa bedanya dengan Sidartha-nya Hella S. Hasse, Ernest Hemmingway atau William Faulkner, yang juga berisi renungan. Plotnya sederhana. Namun kemudian ditarik melalui berbagai persoalan imigran yang lantas menjadi keruwetan tersendiri. Di situlah kemudian muncul imajinasi-imajinasi aneh yang melenceng dari fakta,” lanjut Gus Dur.
“Celakanya, keseluruhan novel itu jadi tidak fair terhadap Islam. Kelihatannya ia ingin memperlihatkan ketidakislamannya melalui novel itu,” tambahnya. Bagi Gus Dur, Salman diibaratkan orang gila yang melempar masjid. Apa orang macam itu harus dibunuh? Lebih baik diingatkan atau ditertawakan saja. Reaksi keras umat Islam disebabkan kondisi mereka labil hingga menjadikannya sensitif pada masalah-masalah.
Gus Dur mencontohkan, di Amerika Serikat pernah ada pengarang yang menulis Hagarisme, salah satu sekte Yahudi yang berdasar dari Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Dan orang Yahudi tidak ribut. Sebab mereka sudah mengonotasikan buku itu salah. Sama saja orang membaca buku Stalin tentang Tuhan. Orang hanya geli membacanya.
“Dengan cara itulah seharusnya kita melihat novel itu. Saya tidak percaya ada orang murtad karena membaca buku Satanic Verses.”
Pendapat Gus Dur yang demikian sebenarnya tidak aneh, karena ia memang menggandrungi novel. Tentu ia tahu bagaimana cara memahami dan memperlakukan karya sastra. Dalam liputan Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember, ada satu cita-cita Gus Dur yang belum kesampaian. “Saya Ingin mengarang novel tentang keluarga besar Jombang. Tentang orang-orangnya, dengan desa-desanya, keislamannya,” ungkapnya.
Di tahun-tahun itu Gus Dur memang paling berani dalam mengemukakan gagasan dan pemikirannya seperti konsep pribumisasi Islam, rukun sosial, etika bermazhab. Jauh sebelumnya, ia memperkenalkan kiai dan dunia pesantren dalam perbincangan ilmu sosial. Ia juga mendorong NU jadi ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Dan anehnya, sebagai orang berpikiran luas, ia tak mau bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Dalam Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember, Gus Dur menjelaskan persoalannya. “Kenapa saya tidak hadir ke kongres ICMI di Malang? Lebih dikarenakan adanya pembatasan pada nama-nama yang diundang. Sepertinya hanya mereka yang ‘Islam masjid’ yang boleh masuk ICMI, sementara mereka yang disebut ‘Islam alun-alun’ sama sekali tidak diajak. Baik sebagai eksponen maupun pembawa makalah. Padahal siapa orang Islam di Indonesia yang sekarang bisa bicara tentang kebudayaan dengan meninggalkan Umar Kayam dan Mochtar Lubis?”
Gus Dur bersama sahabat-sahabatnya malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).
Karena gagasan dan tindakan-tindakannya itu, Aswab Mahasin, Editor edisi No 15/THN. IV/22 Desember menulis “Gus Dur, Pilihan untuk Sebuah Jembatan Budaya.” Intinya Gus Dur menolak kekerasan terhadap siapa pun apalagi negara turut andil di dalamnya.
Pilihan Gus Dur yang demikian tentu saja risikonya tidak populer, dihujat banyak orang. Bahkan kalangan NU sendiri. Suaranya yang bening, lenyap dalam riuh-rendah suara-suara lain yang lebih keras dan populer. Barangkali ini pilihan sebagai jembatan budaya.
Sebagai jembatan memang harus mewadahi yang melintas di atasnya. Akan tetapi yang terpenting jembatan itu perlu tahan goncangan dan tak mudah miring ketika terjadi gerakan di satu sisi. Dan ketika semua kendaraan parkir di tempat sendiri, jembatan itu harus menerima nasibnya yang sepi.
Dijumput dari: http://gusdurian.net/news/2012/01/19/102/jembatan_budaya_itu_bernama_gus_dur.html

Sajak-Sajak Gendhotwukir


Sajak-Sajak Gendhotwukir
Posted by PuJa on May 27, 2012
http://www1.kompas.com/3 April 2010

Gagak-gagak Liar

Gagak-gagak liar bertengger di menara gereja
Sejak ada gaung requem
Gagak-gagak hitam legam liar mata
Tua. Kaku terdiam
Di paruhnya tumbuh wajah garang serigala
Hendak menerkam-rajam menikam
Air ludahnya melelehkan darah penghina
Pengganggu mimpi dan nyenyak malam
Ujung kakinya berkukukan kilau pedang. Emas bercahaya
Senjata pemangku dogma. Tajam
Penghojat dibungkam dengan ujar sabda
Pergilah ke dunia kelam
Bukan di gereja
Tapi di ujung neraka

Belanda, 2006-2010

Perousia

Jika waktunya datang
Tubuh menjadi bintang
Terbang
Menggenang
; Dan terapung
Tidak sedih, tidak gembira
Tenang
Terayun di bentangan gelombang
Pada hari-hari tak berbatas bentang
Pusaran waktu menggelandang
Tidak ada
Hari kemarin
Hari ini
Atau pun hari mendatang
Yang ada
Kehidupan tenang
Dayu – memanjang

Jerman, 2005-2010

Jika Musim Dingin Tiba

Jika musim dingin tiba
Segera saja aku ingin menyimpan kata
Berdiri di kota tua
Seraya mengenang masa
Membaca dan mengerti celah mantra
Bersama angin dingin
Yang hendak membawamu
Merapat di Tembok Berlin
Juga di pucat kakimu
Yang telah lelah berkelana
Karena setelah itu meringkuk malu
Terpana sebagai pengelana
Di selembar untaian bir dan bibir memudar
Jika musim dingin tiba
Segera saja aku ingin membaca salju
Alunan jazz tersayat
Menganganku pada malaikat
Yang enggan jatuh ke bumi
Bersama angin dingin
Menghembus
Pupus
Karena ada bulan kembar
Tepat di selembar untaian bir
Dan bibir yang telah kacir

Berlin, 2005-2010

Kota Tua

1./
Angin saling berebut. Mencari ketiak kotamu
Berpacu di atas roda-roda kereta yang gelayutan. Seiring
anak-anak berteriak kegirangan. Akar-akar
bercengkrama dengan tebing-tebing tinggi. Mencakar batu-batu
Menanak pohon-pohon perdu dan mengirimnya ke pusar matahari
Kita dibuatnya sempoyongan. Entah sampai kapan
Mungkin hingga senja terbakar dan terperosok ke jurang
Langit begitu kosong. Saat kita memperebutkan amarah
Amarah yang tertinggal di atas sajadah. Terus menggerayah
Di setiap kita yang tak pernah berziarah
Ziarah diri dan sakit hati. Melemparkannya di bara abadi
Yang dikirim oleh dua malaikat
2./
Hamparan gedung-gedung pencakar tak berzakar. Menggeliat
Tapi enggan bicara dan terus membisu. Memendam sejarah kota
Kaki-kaki debu gentayangan mencari mangsanya. Berpencar
Kolam-kolam biru mengitari sungai panjang. Membelah dua pulau
Dan kaki-kaki petualang riuh berkereta di bawahnya. Di antara semak
Dan jalan-jalan setapak. Kita menyaksikan
Orang-orang yang mengutuki nasibnya. Terjun dari apartemennya
Lubang jendela dihancurkannya. Terjun bebas mengakhiri
Begitu sempitkah dunia. Tega menerjang batas hidupnya
Dunia begitu kecil.tak tertata. Namun, betapa besar dan berarti
Setiap setia. Melangsungkan kelana hari dengan harap
Bangkit berdiri. Seiring tanah-tanah keronta yang terus berguguran
Kita tidak bosan dengan cercaan dan umpatan
Dari setiap gedung tinggi yang terus belepotan
3./
Debarmu menjatuhkan batang-batang kering. Dingin dan punah begitu saja
Melongsor di atas roda-roda besi dan lolong anjing-anjing sunyi
Musim berganti. Seiring tangan-tangan terkatub mengaji
Hibur diri dan akrapi bunga-bunga sakura
Meluluhkan dendam di kelopaknya dan seketika
Dibawa pergi kumbang-kumbang petaka. Ke kuil tua
Di sana berpesta bersama sekumpulan naga dan sekawanan singa
Bangku-bangku onar. Pantat-pantat panas menggelepar
Kita menanam benih-benih persahabatan. Dari waktu purba
Dan tereja dalam gelak-tawa. Waktu itu kita hanya bisa membacanya
Sebagai perjalanan senja di sebuah kota. Terkenang dan tidak binasa

Hong Kong – RBKM, 2010
* Gendhotwukir lahir di Magelang, 7 Januari 1978. Saat ini sedang mendalami sastra secara otodidak sambil bertani di desanya di lereng Gunung Merapi. Sajak, cerpen dan esainya tersiar di sejumlah media di Indonesia dan di luar negeri seperti Hongkong, Belanda dan Jerman.Tim Pendiri Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) dengan alamat blog http://rumahbacakommerapi.multiply.com ini pernah mengenyam pendidikan di Philosophisch-Theologische Hochschule Sankt Augustin Jerman.

Catatan Di Meja Nusa Dua & Caf̩ Bandar: MEMPERJUANGKAN PUISI (I Р7)


Catatan Di Meja Nusa Dua & Caf̩ Bandar: MEMPERJUANGKAN PUISI (I Р7)
Posted by PuJa on May 27, 2012
Dr. JJ Kusni
http://gendhotwukir.multiply.com/

1.
Kali ini, aku mengajakmu memperhatikan dan membicarakan puisi-puisi Gendhotwukir yang sekarang sedang belajar di Jerman, dan agaknya mendalami ilmu filsafat. Gendhotwukir adalah nama pena , bukan nama benar. Nama pena bagi seorang penyair apalagi yang sedang mendalami ilmu filsafat [kalau dugaanku benar], tentu mempunyai makna tersendiri yang sampai sekarang belum kuketahui. Kutanyai ke sana ke mari pada teman-teman yang berasal dari etnik Jawa, mereka pun tidak bisa memberikan keterangan yang pasti. Sebagai orang Jawa barangkali kau lebih paham.
Sejak beberapa minggu mulai dari akhir tahun 2005 hingga bulan Januari 2006 ini, dan nampaknya akan terus berlanjut, Gendhotwukir, wartawan senior Majalah Budaya-Sastra ‘Aksara’ Jakarta, melalui berbagai milis menyiarkan puisi-puisi yang ia tulis sejak tahun 2002 sampai pada tahun 2006. Dari puisi-puisi yang ditulisnya pada masa kurun waktu tersebut kita bisa melihat bahwa Gendhotwukir sejak lama menggeluti dunia perpuisian dan menggunakan puisi sebagai salah satu media pengungkapan diri. Akan tidak berkelebihan pula jika saya mengatakan bahwa melalui rangkaian puisi yang dijuduli penyair, ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ ini bisa dilihat apa-siapa penyair dan bagaimana ciri penyair. Puisi-puisi yang ditulis dalam kurun waktu selama empat tahun terus-menerus tanpa absen, boleh dipandang sebagai sample yang padan atau mewakili.
Hanya saja yang masih saya pelajari, mengapa dalam menyiarkan puisi-puisi ini Gendhotwukir tidak menyusunnya secara kronologis tapi menempatkannya dalam urutan waktu yang meloncat-loncat. Barangkali penempatan sengaja begini dilakukan atas dasar pertimbangan bersifat tematik, bukan suatu kebetulan. Yang sedikit mengganggu dan kurang saya pahami, paling tidak merupakan pertanyaan yang belum terjawab oleh saya mengapa dalam teks puisi Gendhowukir [selanjutnya saya sebut Gendhot] terdapat penggunaan huruf-huruf besar [kapital] seperti ‘Terbang Tinggi’, ‘Burung-burung Bangau’, ‘Aku Termangu’, ‘Sungguh Kita’, ‘Kerak Nisan’, ‘Lalu Kawanan’, dan lain-lain… dan lain-lain yang berserakan dalam puisi Gendhot. `Apakah ini suatu kesengajaan dengan perhitungan dan makna unik ataukah kesalahan ketik yang tidak dikoreksi? Jika suatu kesenggajaan dan dilakukan dengan perhitungan unik maka saya merasa kemampuan saya amat terbatas untuk memahami dasar kesengajaan mahasiswa filsafat ini sehingga terasa menganggu keinginanan saya untuk memahami Gendhot secara maksimal sesuai kemampuan saya. Pengaruh bahasa Jerman yang menulis kata benda dengan huruf besarkah ini? Tapi kata ‘tinggi’ atau ‘termangu’, kukira tidak bisa dikategorikan pada kata benda.
Masalah begini saya angkat karena seorang penyair kukira akan cermat mempertimbangkan masalah-masalah titik-koma, tanda baca dan cara penulisan sebagai bagian dari puisi dan bahasa. Boleh dikatakan tidak ada yang tidak dipertimbangkan dan tidak dihitung dalam puisi [tanpa usah saya mengajukan deretan contoh-contoh pendukung pendapat ini]. Akan sangat aneh, jika orang seperti Gendhot tidak mempunyai alasan untuk melakukan hal-hal demikian [Lihat: Lampiran]. Apalagi puisi, bahasa dan filsafat, kukira ,mempunyai tautan sangat erat, lebih-lebih bagi seseorang yang menggunakan puisi dan bahasa sebagai sarana pengungkap diri.
Bahwa Gendhot mengalirkan ke berbagai milis ‘Sajak-sajak Protes Sosial’nya di tengah-tengah keadaan tanah air seperti sekarang pun kutafsirkan bukan sebagai suatu kebetulan. ‘Sajak-sajak protes sosial’ ini saya lihat sebagai tanda keperdulian dan kepekaan Gendhot sebagai penyair dan pemikir yang sangat terusik oleh keadaan yang dihadapkan padanya. Di samping itu barangkali ia pun bentuk halus bagaimana Gendhot menanggapi karya-karya sastra baik puisi atau prosa yang ‘wangi birahi’ di dunia sastra Indonesia dengan menggunakan berbagai dalih atau alasan. Dengan ‘sajak-sajak protes sosial’nya secara tidak langsung sebagai orang Jawa, Gendhot barangkali ingin bertanya kepada para sastrawan yang memburu uang dengan dalih seks dan erotisme: ‘Bagaimana sikap para Anda pada masalah-masalah sosial begini?’. Melihat keadaan sosial demikian, Gendhot pun dengan tanpa tedeng aling-aling mempertanyakan penggunaan nama Tuhan yang digunakan untuk korupsi dan melancarkan terorisme. Dengan mengangkat ‘tema-tema sosial’ bahkan memprotes keadaan sosial yang demikian, Gendhot mempertanyakan tanggungjawab sastrawan dan seluruh anak bangsa. Sehingga akhirnya protes Gendhot, sesungguhnya bukan hanya sebatas protes pada keadaan sosial [dalam arti luas] tetapi juga dialamatkan kepada penanggungjawab penyebab keadaan sosial demikian dan kepada ketidakacuhan atau ketidakperdulian pada kemanusiaan. Melalui sikap ini, saya kira, Gendhot hanya kembali melanjutkan tradisi sastra sebagai republik berdaulat dan sastrawan sebagai warga dari republik berdaulat tersebut sesuai dengan sejarah kelahiran sastra itu dan hubungannya dengan kehidupan. Melalui ‘sajak-sajak protes sosial’nya, saya melihat seakan-akan Gendhot ingin mengatakan: Lihat, ini lho masalah-masalah besar yang ada di hadapan kita. Lalu bagaimana para Anda menyikapinya?
[Untuk bisa mengikuti ulang sanjak-sanjak Gendhot, maka sebagian di sini saya lampirkan].
2.
Membaca puisi-puisi Gendhot yang terhimpun dalam ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ pada saya memunculkan beberapa pertanyaan, antara lain: Apa yang disebut masalah sosial, apa saja yang masuk dalam kategori masalah sosial, apakah protes dan bagaimana puisi atau sanjak melakukan protes [jika menggunakan istilah Gendhot, ‘sajak’].
Gendhot dalam kumpulan sanjak ini memang berbicara tentang beberapa masalah mulai dari kaum gelandangan di bawah jembatan melalui masalah kerusakan lingkungan, banjir, terorisme, korupsi, sampai kepada masalah tanah dan lain-lain… Yang menjadi pertanyaan saya: Apakah masalah cinta lelaki dan perempuan yang tentu punya kaitan dengan status perempuan dalam masyarakat, masalah seksual, pelacuran, kriminalitas, lesbian, homo, kenakalan remaja, drop out, pengangguran, dan lain-lain….`bisa dimasukkan masalah sosial atau tidak? Apabila kata sosial adalah sinonim dari masyarakat maka kukira masalah-masalah terakhir ini pun bisa dimasukkan ke dalam masalah masyarakat atau sosial. Masalah sosial adalah masalah kehidupan itu sendiri yang memang menjadi lahan garapan sastra-seni dan ilmu-ilmu sosial. Sanjak-sanjak Gendhot yang dihimpun dalam ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ memang belum seluruhnya disiarkan sehingga barangkali terlalu awal untuk menarik kesimpulan tentang apa yang Gendhot maksudkan dengan sosial dan ‘sajak-sajak sosial’. Yang saya permasalahkan di sini jika lahan garapan sastra-seni termasuk puisi adalah soal-soal kemasyarakatan atau sosial, maka tepatkan kita menggunakan istilah ‘sajak-sajak sosial’ yang tersilip pada ungkapan ‘sajak-sajak protes sosial’. Kalau pemahaman saya benar, kiranya tidak ada karya apa pun yang luput dari masalah sosial atau kehidupan. Cerita-cerita ‘horor’ model Frakenstein atau Dracula atau Harry Porter, legenda-legenda rakyat berbagai negeri dan pulau tanahair , barangkali tetap ada dasar sosialnya. Demikian pun hal nya dengan cerita-cerita cinta seperti Romeo dan Juliet, atau Banyuwangi atau cerita percintaan di zaman feodal Yogyakarta dan cerita-cerita sejenisnya. Juga cerita-cerita Sade, cerita-cerita silat, cerita-cerita Yoesoef Syo’ib [produksi Medan] atau bahkan cerita-cerita yang disebut ‘roman picisan’ yang banyak dijual di pasar-pasar dan pelabuhan laut [dalam hal ini saya menisbikan pengertian porno di dunia sastra].
Jika kita mengamati cerita-cerita cinta itu, sesungguhnya kita dapatkan protes terhadap keadaan masyarakat pada waktu masanya. yaitu rintangan feodalisme atas terjalinnya percintaan alami dua mahluk sebagaimana agama atau alasasan politik ‘tidak bersih’ lingkungan menghambat percintaan dan terhalangnya pernikahan. Cerita cinta,misalnya ‘Gadis Berambut Putih’ Tiongkok adalah salah satu cara mengungkapkan protes terhadap keadaan dan nilai dominan pada suatu saat tertentu sebagaimana juga adegan telanjang telah digunakan oleh Brigitte Bardot guna melawan kekangan nilai dominan Katolisisme di Perancis sebelum Revolusi Mei 1968. Beberapa literatur juga menunjukkan kepada saya bahwa rambut gondrong, lagu-lagu Elvis Presley yang dibilang oleh Bung Karno sebagai ‘musik ngak-ngik-ngok’ pada hakekatnya adalah ujud pemberontakan generasi muda pada nilai dominan yang mengungkung mereka.
Barangkali adanya benih perlawanan terhadap nilai dominan yang sudah tidak tanggap zaman ini di banyak tempat atau negeri menyebabkan Revolusi Mei 1968 menyusul adanya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar Tiongkok mendapat gaung di mana-mana. Dalam hal ini Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok, Chou Enlai dengan ‘politik pingpong’*]nya lebih cepat tanggap keadaan dibandingkan dengan banyak negarawan dari Dunia Ketiga [istilah Alfred Sauvy] pada waktu itu. Kalau sekarang di Perancis, bentuk protes ini dilakukan melalui musik rap [Bentuk seni yang sejak lama populer di Tiongkok dan dinamakan khwaipan. Jadi saya meragukan anggapan bahwa rap bermula dari Amerika Serikat].
Apa yang sedang mau katakan dengan contoh-contoh di atas adalah pertanyaan adakah sastra yang lepas dari keadaan sosial? Jika demikian, tepatkah istilah ‘sastra sosial’ padahal lahan garapan sastra itu memang masalah-masalah sosial dan kehidupan? Bahkan pada sanjak-sanjak erotis Paul Valery pun saya melihatnya tidak lepas dari masalah sosial zaman Paul Valery. Demikian juga pandangan filsafat seseorang pun kukira punya dasar atau latarbelakang sosial pada periode sejarah tertentu. Atas dasar alasan-alasan di atas, saya kira akan lebih sederhana jika kita tidak merinci karya sastra sebagai karya sosial atau tidak. Jika kita mengatakan ‘a-sosial’ barangkali yang dimaksudkan adalah sikap yang tidak manusiawi, sikap yang barangkali muncul dari status sosial-ekonomi penyair. Dengan ini saya membedakan antara dasar sosial, fungsi sosial dan sikap sosial seorang penyair dan karya.
Apabila kita berbicara tentang ‘protes sosial’ maka kita sampai pada sikap. Sikap memprotes bisa dituangkan dalam berbagai bentuk pengungkapan seperti mengetengahkan keadaan [naratif, bertutur], memaki langsung, membanding, dan macam-macam cara lagi. Sikap bisa tertuang berupa ‘makna’, bisa juga sebagai ‘pesan’. Makna untuk dikhayati sedangkan pesan untuk dipahami. Pesan mempunyai tujuan, makna barangkali tuturan yang menggelitik kita mencari hakiki tersembunyi. Pesan barangkali suatu anjuran bukan hanya diam tapi bertindak setetelah kita mengkahayati hakekat. Bertindak atas dasar yang dipandang hakiki itu. Makna tidak mengeluarkan pernyataan.
Contoh, baris-baris Robert Burn berikut:
‘My love is like a red, red rose
That’s newly sprung in June’
Beda dengan baris-baris T.S . Eliot dalam ‘The Love Song of Alfred Prufrock:
‘Let’s go then, you and I
when the evening is spread out against th sky
like a patient etherized upon a table’
Berbeda dengan Burn, Eliot mengajak ‘ Let’s go then, you and I’.
Kalau kita menggunakan puisi sebagai sarana pengungkapan menyatakan sikap maka tentu saja atau selayaknya kita memperhatikan kaidah-kaidah sastra atau perpuisian dalam menyampaikan makna atau pesan, sekalipun kita memang mengenal adanya arus yang sekarang disebut gerakan ‘anti puisi’ dalam dunia perpuisian. Berhenti pada makna atau melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan pernyataan, kukira tidak menentukan puitisitas puisi. Inti masalah di sini seperti yang pernah dikatakan oleh penyair Amarzan Ismail Hamid ketika mengomentari sanjak-sanjak A.Wispi alm. adalah ‘puisi itu tetap puisi’ termasuk ketika puisi itu menyampaikan pesan atau pernyataan.
Permasalahan ini agaknya disadari benar oleh Gendhot ketika menulis ‘Sajak-sajak Protes Sosial’nya.
Catatan:
*]. Politik pingpong adalah keputusan PM Chou Enlai mengundang tim pingpong Amerika Serikat ke Tiongkok usai pertandingan pingpong sedunia di Jepang. Para pemain poingpong Amerika Serikat pada waktu itu umumnya berambut gondrong. PM Chou menilai rambut gondrong mereka sebagai ujud pemberontakan pada stagnasi nilai [lihat JJ. Kusni tentang ‘Solusi Dekonstruksi’ dan solusi pemberontakan]. Sejak itu dimulailah proses pendekatan hubungan antara RRT dan Amerika Serikat, berpuncak pada kunjungan Presiden Nixon dan Kissenger ke RRT. Saya memahami ‘politik pingpong’ PM Chou sebagai politik dengan pendekatan kebudayaan.
3.
Sejauh bacaan saya hingga sekarang, terkesan bahwa ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ lebih bersifat tuturan [Lihat: Lampiran]. Gendhot membatasi diri pada pelukisan keadaan papa memilukan Indonesia di berbagai bidang. Di hadapan keadaan papa memilukan demikian, Gendhot menguasai diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan apa-apa kecuali bertutur kepada siapa saja: Beginilah keadaan Indonesiaku sampai dengan hari ini. Apa-bagaimana sikap selanjutnya yang harus dilakukan di hadapan keadaan berwarna hitam suram itu, penyair menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca atau pendengarnya. Kalau Gendhot mengatakan bahwa kusanjak ini adalah ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ maka protes itu ia lakukan dengan cara bertutur. Dengan tuturan ia mengunjungi dan berbicara dengan nurani anak bangsa dan siapa saja. Optimisme? Pesisme? Kedua-duanya ia simpan untuk diri sendiri. Hanya saja dengan ‘tuturan protes’ kita bisa menangkap jelas bahwa penyair menolak kepapaan yang membuat manusia tidak manusiawi di negeri kelahirannya. Indonesia dilihatnya sebagai negeri di mana puisi telah dikubur seperti yang ia tulis dalam puisi berikut:
Sajak Kita Telah Terkubur
Kata – kata kita telah melintas di kelembaban
Menjenguk masa lalu.
Sajak kita telah terkubur
Lesap di Tangis, menggenang di Muara Duka
Juga Bunda kita yang telah tiada
Di tembak tentara
Tiada gerimis kata-kata
Dari kerongkongan kerak Nisan berdebu
Di kuburnya satu, hendak memburu.
Sankt Augustin- Jerman, 060605
Pandangan Gendhot mengingatkan saya kepada pernyataan Elie Wiesel, sastrawan pemenang Nobel Perdamaian, bahwa setelah Auswitch ‘puisi telah mati’. Hanya saja kemudian saya melihat puisi itu muncul kembali semenjak kemenangan rakyat Vietnam dengan sokongan dunia dalam perang mengusir Amerika Serikat. Kalau penglihatan saya benar maka kenyataan dan perkembangan dunia telah membantah pernyataan Elie Wiesel dan bahwa kemanusiaan serta manusia tidak gampang-gampang dikalahkan apalagi dihancurkan. Puisi, jika dipandang sebagai lambang kemanusiaan dan nurani, maka ia pun tidak mati seperti halnya matahari walau pun untuk sementara tertutup awan kelabu dan hitam tapi ia tidak runtuh. Matahari itu tetap ada dan suatu saat akan mengirimkan sinarnya ke bumi. Kalau pun puisi seakan nampak mati di hadapan kekerasan tapi sebagaimana dikatakan oleh Blaise Pascal [1623-1662]: ‘all the efforts of violence cannot weaken truth, and only serve to enhance it the more’, ‘…truth exists to all eternity and finally triumphs over its ennemies’ [Lihar: Julian Hawthorne, John Russel Young, John Porter Lamberton [ed.], Chicago, 1900, hlm-hlm. 270-271]. ‘Truth’ dan puisi , kukira tidak bisa dipisahkan. Puitisitas justru juga hadir oleh adanya ‘truth’ dalam puisi.
Apakah puisi akan mati di Indonesia? Kalau benar demikian maka Indonesia menjaadi suatu kekecualian. Kalau pun Indonesia seperti sekarang pada waktu mendatang, tidak bisa diperttahankan, apakah hal ini berarti ‘sa jak kita telah terkubur’ selamanya? Sebagai orang yang akhirnya jadi pengembara tak menentu ujungnya sampai sekarang akibat tragedi demi tragedi menimpa negeri, tapi saya masih mempercayai bahwa puisi tidak mati di Indonesia. Indonesia bukan negeri di mana puisi akan berkubur. Saya memahami duka Gendhot yang juga duka saya dan duka kita. Tapi saya berbeda dalam melihat esok , pandangan yang membuat saya tidak hilang harapan. Bayangkan apa jadinya jika harapan hilang, apakah hidup akan punya api dan nyala?
Tertinggal kesan pada saya ketika membaca ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot adalah protes dengan airmata sedangkan saya menganjurkan bukan airmata sebagai solusi tapi barangkali adalah solusi dekonstruksi dan pemberontakan. Mulai dari dekonstruksi nurani yang berlanjut dengan pemberontakan pikiran. Saya menolak kepasrahan dan ketundukan. Bahkan saya melihat ‘non-volience movement’ pun terdapat violence yaitu violence of non violence. Kiranya kita jangan tekecoh di sini. Protes sekali pun dengan airmata tidakkah ia merupakan bentuk violence juga? Dalam hal ini saya teringat akan lagu populer di masa Festival Pemuda Dunia di `Berlin pada tahun 1950an yang berlirikkan antara lain:
‘ Join in the fight o Negroes comrades
Join in the fight and struggling comrades
Join in the fight and stand up straight now
Black and white will rebuild the world
O brothers don’t you weep don’t you cry
Salvation is not coming that way’
‘To rebuild a world a new’ yang didenggungkan oleh Bung Karno adalah solusi dekonstruksi dan solusi pemberontakan juga adanya, bukan ‘crying and tears solution’ o,my dearest brother, solusi yang kukira masih relevan untuk hari ini. Puisi pada dasarnya adalah pemberontakan dan dekonstruksi untuk esok yang manusiawi. So what? Lalu apa? Apalagi jika bukan seperti kata T.S. Eliot: ‘Let’s go then, you and I/when the evening is spread out against the sky’. Ya, let’s go you and I . Let’s go merenggut merebut hari ini dan esok. Barangkali tokoh beginilah yang diperlukan Indonesia hari ini dan bukan figure peratap tapi benar-benar seorang penyair yang sanggup tak berkerdip menatap mata ajal demi membela puisi dan mengembangkan puisi sebagai lambang kemanusiaan dan nurani manusia. Jika demikian tentu saja kita tidak kelebihan penyair.
Tapi pergulatan Gendhot nampaknya yang terutama tidak terletak pada soal solusi yang mungkin ia simpan sendiri atau ia cadangkan karena ia hadir dengan kumpulan ‘Sajak-sajak Protes Sosial’nya lebih dengan menyodorkan permasalahan.
Pergulatan yang menonjol pada Gendhot melalui antologi yang bertema besar dan luas ini terletak pada usahanya membela puisi sebagai puisi. Artinya, ia mencoba menyampaikan pikiran dan perasaan ‘protes sosial’nya melalui puisi dan secara puisi. Karena itu ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot saya katakan sebagai perjuangan membela puisi. Usaha memperjuangkan puisi sebagai puisi.
4
Pergulatan yang menonjol pada Gendhot melalui antologi yang bertema besar dan luas ini, sebesar dan seluas kehidupan itu sendiri sehingga merupakan lahan garapan tak kunjung selesai diolah , terletak pada usahanya membela puisi sebagai puisi. Artinya, ia mencoba menyampaikan pikiran dan perasaan ‘protes sosial’nya melalui puisi dan secara puisi. Karena itu ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot saya katakan sebagai perjuangan membela puisi. Usaha memperjuangkan puisi sebagai puisi. Memperjuangkan dan mempertahankan karakteristik puisi sebagai alat pengungkapan diri. Kesan ini menjadi kian mencuat apabila saya bandingkan dengan lirik lagu-lagu penyanyi Perancis, Renaud, misalnya yang terkumpul dalam album ‘’La Jungle’ di mana penyanyi yang menjadi sahabat alm. Presiden Mitterrand dan istrinya Danielle Mitterrand ini melukiskan berlakunya sejenis hukum rimba, ‘la loi de jungle’ di dunia kita. Hanya saja kudapatkan lirik-lirik Renaud Ferre lebih mengutamakan pesan tapi seakan-akan kurang mengindahkan puitisitas seperti yang dicoba oleh Leo Ferre atau Brassen dan lebih-lebih pada Jacques Brel [Lihat: Jean-Claude Zylberstein [ed.], ‘Tout Brel’, Editions Robert Laffont, Paris,1998, 403 hllm]. Selain memperhitungkan puitisitas, dalam lirik-lirik lagunya Brel juga mencoba menukik permasalahan yang dia angkat lebih jauh. Dari renungannya yang melampaui permukaan gejala, Brel sampai pada kesimpulan bahwa ‘l’homme est un nomade’ [manusia adalah seorang nomaden]. Puitisitas tidak identik dengan membuat puisi itu menggelapkan puisi sehingga penyair menyuguhkan puisi-puisi gelap. Dalam hal ini saya teringat akan kata-kata penyair asal Aceh, Agam Wispi yang ketika menyimpulkan pengalaman berpuisinya [Wispi hidup mati dari puisi], sampai pada kesimpulan bahwa ‘puisi yang indah adalah puisi yang sederhana [Lihat: Filem Otobiografis Wispi produksi Yayasan Lontar, Jakarta]. Barangkali sanjak-sanjak Tiongkok Klasik dari Dinasti Tang atau pun haiku Jepang bisa diambil sebagai contoh dari apa yang dikatakan oleh Wispi atau puisi Ho Chi Minh berikut:
‘bulan memancing syair
tunggu sampai besok
aku sibuk dengan urusan perang’
atau puisi Mao Zedong dalam kusanjak ‘Sanjak-sanjak Mao Zedong’ yang diterbitkan oleh Pustaka Bahasa Asing Beijing [1963?]:
‘aku kehilangan alpenku
dan kau liumu’
tapi ‘kehilangan’ ini tidak membuat Mao mundur dari jalan perjuangan yang telah ia pilih atau dalam sanjaknya ‘Mengunjungi Kembali`Shao San’ [lihat: Sepuluh Sanjak-sanjak Terbaru Mao Zedong, terbitan Suara Rakyat Indonesia, Nanchang, tahun [?], alihbahasa Magusig O Bungai].
‘pengorbanan pahit membulatkan tekad yang kuasa
menempa surya dan candra bercahya dicakrawala baru’
Dari baris-baris kutipan di atas, saya ingin memperlihatkan bahwa kesederhanaan tidak menghilangkan puitisitas tapi membantu audiens menangkap makna dan sampai kepada pesan. Kesederhanaan puitis ini pun diperlihatkan oleh pantun-pantun, seloka dan gurindam kita yang agaknya mengilhami juga penyair seperti Raudal Tanjung Banua [lihat antologi puisinya ‘Gugusan Mata Ibu’, Bentang, Yogyakarta, Mei 2005]. Tentu saja tidaklah gampang menjadi sederhana yang puitis. Untuk mencapai taraf ini diperlukan kerja keras penyair.
Agaknya Gendhot mencoba menempuh alur jalan puisi demikian, jalan puisi ‘yang utuh’ [fusionnelle], jika menggunakan istilah esais Perancis Yves Mazagre [Lihat: Yeves Mazagre, ‘La Poesi Pense-t-elle’, Majalah Poesi, Paris, September 2005, hlm-hlm. 73-83]. Gendhot mencoba sederhana tapi tetap menjaga puitisitas. Barangkali hal inilah yang menandai antologi ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot [Lihat: Lampiran]. Di sini saya kembali menggunakan puisinya yang saya saya sukai, lepas dari setuju tidaknya saya dengan solusi serta pandangan Gendhot, sebagai contoh dan di atas sudah saya kutip :
Sajak Kita Telah Terkubur
Kata – kata kita telah melintas di kelembaban
Menjenguk masa lalu.
Sajak kita telah terkubur
Lesap di Tangis, menggenang di Muara Duka
Juga Bunda kita yang telah tiada
Di tembak tentara
Tiada gerimis kata-kata
Dari kerongkongan kerak Nisan berdebu
Di kuburnya satu, hendak memburu.
Sankt Augustin- Jerman, 060605
Kalau pemahaman saya benar, dari puisi ini tergambarkan tragedi dan duka Indonesia sampai hari ini, terlukis jelas kepongahan militerisme tanpa mengucapkan militerisme kecuali ‘Juga Bunda kita yang telah tiada/Ditembak tentara’. Tragedi dan duka ini sampai ke tingkat: ‘Tiada gerimis kata-kata/Dari kerongkongan kerak Nisan berdebu’. Tapi sekalipun demikian, walau pun Gendhot hanya membeberkan masalah, sikap yang ia simpan sendiri akhirnya tak tertahan hingga mencuat juga keluar tidak ikut terkubur bersama ‘sajak’nya. Sikap itu terucap dalam dua kata singkat dalam: ‘hendak memburu’. Di hadapan tragedi dan duka ini, Gendhot masih mempunyai kehendak yang tak henti memburu. Kehendak yang tentu saja kukira bernama masih adanya optimisme tapi tidak Gendhot uar-uarkan dalam bentuk slogan atau pernyataan bombas . Ia sadar bahwa ia sedang menulis puisi. Makna dan pesan dipadukan oleh Gendhot. Dalam sanjak ini Gendhot menggabungkan Burn dan Eliot dalam ungkapan-ungkapan sederhana menukik.
Berbicara tentang penukikan masalah, artinya menganalisa masalah dan tidak berhenti pada permukaan atau gejala, sekarang menjadi salah satu debat dalam dunia puisi Perancis seperti yang terungkap dalam polemik di Majalah Poesi nomor September 2005, terutama antara Jacques Roubaud dan Yves Mazagre. Permasalahan yang diperdebatkan adalah soal apakah puisi selayaknya mengandung pemikiran dan renungan ataukah tidak merupakan suatu keniscayaan. Roubaud menganggap tidak merupakan suatu keniscayaan bahkan tidak perlu karena menurut Roubaud puisi adalah ‘suatu permainan bahasa yang otonom’ [est un jeu de langgage autonome] artinya bersifat sangat pribadi, tidak dapat ditransfer’ [demeure prive, intramissible] dan secara pasti tidak harus mempunyai sifat publik [la forme poesi n’est pas strictment publique]. Lebih jauh Roubaud mengatakan bahwa puisi pemikiran atau renungan bukanlah bagian dari sastra. Apakah pendapat yang pernah diucapkan di Indonesia yang mengatakan bahwa ‘penyair tidak memerlukan kepintaran’ termasuk dalam lingkup aliran Roubaud ini? Poesi menurut Roubaud adalah dunia yang berbicara kepada kita dengan menggunakan sarana bahasa dan langsung dengan bahasa. Yves Mazagre menamakan pendapat Roubaud ini sebagai jalan pertama bagi puisi. George Bataille menyebut puisi begini ‘puisi berindah-indah’ [poesi esthetisante] yang dia kritik sebagai ‘puisi kosong’.
Sedangkan jalan kedua bagi puisi adalah jalan yang ditempuh antara lain oleh Andre Breton yang berguru pada kaum romantis Jerman, menganggap bahwa ‘intuisi puisi mengantar kita ke jalan Pengetahuan sebagai bentuk pengenalan atas kenyataan bersifat yang supra peka’.
Pandangan lain yang oleh Mazagre disebut sebagai jalan ketiga bagi puisi adalah jalah yang ditempuh oleh Gertrude Stein. Dalam pandangan Gertrude Stein perumusan dengan kata untuk melukiskan sesuatu memang sering mengasingkan dan bahkan membuat cacat sesuatu tersebut. Namun diperlukan. Stein berpatokan pada perumusan ‘a rose is a rose’ [sekuntum mawar tetap sekuntum mawar] dan ia membawa kita kepada sesuatu lalu dari sesuatu ini kemudian diajak untuk memikirkan maknanya lebih jauh. Sealur dengan Stein adalah C.Pincon yang menganggap bahwa pendalaman makna merupakan keabadian dari eksistensi yang tidak bergerak’ [immobile].
Sedangkan jalan lain adalah apa yang ditempuh oleh ‘operasi anti puisi’ dari penyair Tiongkok seperti Yu Jian yang mengatakan bahwa ‘puisiku memang tidak puitis’ tapi dengan puisi tidak puitis demikian Yu Jian merasa lebih leluasa mengungkapkan diri dan menuangkan segala. Inilah yang dia maksudkan dengan ‘operasi anti puisi’ yang patut digalakkan berdasarkan bahasa-bahasa hidup dalam masyarakat. Puisi yang sebenarnya menurut Yu Jiang adalah kemederkaan itu sendiri. ‘Puisi menolak segala larangan dan tabu’, ujar Mazagre. Puisi-puisi demikian adalah bahasa yang berpadu dengan dunia [univers]. Dengan kata-kata Andre Velter barangkali puisi ‘anti puisi’ ini barangkali bisa disebut sebagai usaha mendapatkan pintu masuk baru ke kenyataan. Pada pihaknya, dalam debat ini, Yves Mazagre menawarkan solusi jalan terpadu.
Jika menggunakan debat di atas sebagai acuan dalam memahami puisi-puisi ‘Sajak-sajak Protes Sosial’, jalan atau alur pikiran manakah yang ditempuh oleh Gendhot dalam kegiatannya berpuisi?
5
Jika menggunakan debat di atas sebagai acuan dalam memahami puisi-puisi ‘Sajak-sajak Protes Sosial’, jalan atau alur pikiran manakah yang ditempuh oleh Gendhot dalam kegiatannya berpuisi?
Kalau pembacaan saya benar atas a antologi ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ ini, maka nampak bahwa penyair dalam antologi ini tidak berhenti pada metode Robert Burn dan juga tidak menggunakan model Renaud tapi lebih mencoba mentrapkan solusi jalan terpadu yang diusulkan oleh Yves Mazagre di mana pemikiran dan seluruh unsur perpuisian dimanfaatkan.
Penyair yang semula mengendalikan diri untuk Cuma bertutur tentang keadaan, akhirnya tidak lagi mengendalikan perasaan dan tidak lagi menyembunyikan keinginannya tentang wajah kehidupan, termasuk Indonesia, yang ia mimpikan. Mimpi ini ia nyatakan dalam puisi berikut yang disiarkan, bukan dalam rangkaian pertama, tapi pada serie ke-VIII [saya dapatkan belakangan]:
Negeri Makna
hidup damai tetap terjaga
hadir’mu’ Bunda tegak berdiri
pertanda hidup semestinya membawa kasih dunia
memandang alur-alur sapa
agar kasih semakin tumbuh dewasa.
lalu kuncup-kuncup mekar mencinta wajah ceria
cinta yang kau tawarkan, laksana embun pagi
bening memberi salam bagi rerumputan hijau
memancarkan seberkas cahaya bintang bening.
keteduhan puteri adalah ruh dalam hati tak bernoda
menitipkan kasih
renung keindahan istana
kecup keelokan’mu’.
negeri bayu membelai senyum mesra
temui ombak ajak seri menuju negeri makna
menjunjung tinggi bela, bila cinta tertikam negeri angkara murka
keheningan menjadi bermakna tatkala Sang Puteri tiba
menghalau pekat jiwa.
Berbagi kasih
laju perlawanan ‘tuk sesama
semua berlaku karena cinta
seia bangun langit cemara, rindang ‘tuk semua nurani semesta.
rajabasa, 110602
Mimpi penyair ia rumuskan sebagai ‘Negeri Makna’. Sebagai seorang mahasiswa filsafat, Gendhotwukir dalam puisi-puisinya memperlihatkan usaha keras menggunakan gejala sebagai pengantar diri menyelam lubuk hakekat. Jalan keluar yang diajukannya adalah jalan kasih, yang memperlihatkan pengaruh Katolilisisme pada diri penyair seperti antara lain tertuang dalam bait berikut:
Berbagi kasih
laju perlawanan ‘tuk sesama
semua berlaku karena cinta
seia bangun langit cemara, rindang ‘tuk semua nurani semesta.
Solusi cinta ini juga dikemukakan ulang oleh penyair antara lain dalam sanjaknya berjudul ‘Tuk Katresnan’, puisi berbahasa Jawa. Lebih jauh penyair menulis tentang apa yang ia maksudkan dengan cinta sebagai suatu falsafah:
“Cinta adalah menggapai angan-angan tertuju belaka
luka-luka adalah kepingan cinta, meski tak tergapai cinta yang terkaya
cinta menjadi kerdil tatkala menolak menjadi meluka
tengoklah ke gudang luka-luka. Cucup manisnya luka-luka cinta
nada-nada luka melodikan cinta bergema”
Apakah ini yang ditawarkan oleh penyair sebagai jalan keluar dari kemelut, tragedi, duka serta luka yang menimpa Indonesia sampai ini? Kata-kata ‘Cucup manisnya luka-luka cinta/nada-nada luka melodikan cinta bergema’ menampilkan ke hadapan saya tokoh Yesus dengan filsafat dan sikap cintanya yang konsekwen ia pertahankan hingga salib Golgotha. Pada baris-baris ini pun saya melihat usaha keras penyair menukik hakekat permasalahan atas dasar gejala yang ia lihat.
Apakah dengan baris-baris demikian Gendhot menyandarkan mimpinya terwujud melalui kasihsayang dan pengorbanan seorang mesias yang bersifat individual? Agaknya juga tidak karena agaknya penyair lebih memilih kebangkitan bersama para pencinta seperti yang ia tulis bahwa dengan: ‘berbagi kasih’ maka ‘laju perlawanan ‘tuk semua’ yang ‘semua berlaku karena cinta’ dan ‘seia bangun langit cemara, rindang ‘tuk semua nurani semesta’ maka ‘Negeri Makna’nya akan terwujud. Dari sini nampak bahwa penyair tidak menyandarkan diri pada adanya mesianisme supermen. Ketika penyair mengatakan ‘seia bangun’ saya melihat betapa penyair menyandarkan diri pada manusia. Manusia dengan cinta kemanusiaan dan bukan pada manusia yang menyalahgunakan nama Tuhan seperti yang ditulisnya di bawah ini:
Memoar Terorisme
Atas nama Allah dan Agama, nyawa melayang di aroma kebencian. Atas nama yang katanya kesucian, duka anak-cucu kita mulai tersimpan.
Jika demikian Allah itu harus juga ditiadakan. Ia tidak membela kemanusiaan, setelah Ke-Allah-an-Nya diilhamkan.
Ataukkah kita yang telah salah membaca Allah dan kemauanNya?
Ataukah karena kita juga telah menyebut diri Allah?
Jerman, Juli 05
Manusia-manusia yang ‘menyebut diri Allah’ dan ‘yang telah salah membaca Allah dan kemauanNya’ dikritik keras oleh penyair dan barangkali ia masukkan kedalam kategori ‘manusia sampah’ yang membuat kehidupan di negeri kita berada ‘Di Toilet Kubangan’ yang membuat nurani kita ‘menjadi ‘batu/kelu; gagu’. Jalan cinta agaknya dilihat oleh penyair sebagai cara untuk mengobah ‘manusia sampah’, manusia batu/kelu;gagu’ untuk menjadi manusia lagi.
Dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan serta saat bertutur, Gendhotwukir sebagai penyair nampak sangat keras berusaha memperjuangkan puisi tetap sebagai puisi dengan jalan terpadu yang dirumuskan oleh Mazagre. Usaha ini ia coba dengan mempertahankan persamaan bunyi atau menggunakan perbandingan-perbandingan tanpa keseganan memasukkan kata-kata daerah bahkan singkatan-singkatan seperti Bulog, TKI, APBN yang dipandangnya layak yang bagi sementara penyair dipandang menggagetkan jika di bawah ke perpuisian. Pada usaha terakhir ini, saya melihat penyair juga sedang melakukan ‘operasi anti puisi’ model penyair Yu Jian.
Dalam usaha memperjuangkan puisi tetap sebagai puisi, agaknya tidak semua usaha Gendhot terlalu berhasil. Kadang karena usaha ini terasa ada yang sangat dipaksakan, apalagi saya kira, persamaan bunyi tidak menjamin puitisitas sebuah puisi. Untuk menjelaskan maksud saya, saya ingin mengangkat puisi Gendhot berikut:
Di Tanah Airku
di tanah airku
aku telah menjadi batu
kelu; gagu
di menara setuju;
korupsi tanpa malu
budak papi-papi meraju
; sejarah membeku
pada kelangkaan sagu
parlemen pesiar melulu
rakyat tidak maju-maju
Bangku Kelas-Jerman, 070106
Persamaan bunyi atau persajakan pada puisi di atas memang dipertahankan benar oleh Gendhot dari sejak judul hingga baris terakhir. Puitisitas masih bisa didapat pada pada tiga baris pertama:
‘di tanahairku
aku telah menjadi batu
kelu; gagu
di menara setuju’
Tapi pada baris-baris selanjutnya puitisitasnya menurun sedangkan persajakan akhir hanya menimbulkan kekakuan sanjak. Berbeda dengan sanjak berikut:
Sajak Kita Telah Terkubur
Kata – kata kita telah melintas di kelembaban
Menjenguk masa lalu.
Sajak kita telah terkubur
Lesap di Tangis, menggenang di Muara Duka
Juga Bunda kita yang telah tiada
Di tembak tentara
Tiada gerimis kata-kata
Dari kerongkongan kerak Nisan berdebu
Di kuburnya satu, hendak memburu.
Sankt Augustin- Jerman, 060605
Persamaan bunyi pada ‘Sajak Kita TelahTerkubur’ sekalipun dipertahankan tapi ia nampak tidak terlalu dipaksakan. Sanjak ini lebih terasa keluar langsung dari hati setelah dilakukan pengendapan. Iramanya sesuai dengan emosi yang ada pada diri penyair. Pilihan kata dan perbandingan-perbandingan yang digunakan lebih tertakar oleh hasil renungan. Saya melihat bahwa kata ‘sajak’ yang ‘telah terkubur’ merupakan lambang yang dalam sebagai buah renungan Gendhot membaca dan menghadapi situasi. Kedalaman renungan ini tidak saya dapatkan pada sanjak ‘Di Tanah Airku’ yang ditulis Gendhot pada 7 Januari 2006. Benar juga bahwa sanjak ‘Di Tanah Airku’ memperoleh pembelaan teoritis jika kita menggunakan ‘operasi anti puisi’ Yu Jian. Dan tentu saja hak masing-masing penyair untuk memilih jalan bagi puisinya. Sebagaimana wajar pula bahwa tidak tiap puisi yang ditulis seorang penyair mencapai hasil serupa. Barangkali yang ketat menyeleksi puisi-puisinya adalah Chairil Anwar sebagaimana yang terdapat dalam antologi puisinya ‘Deru Campur Debu’ [Dian Rakyat, Jakarta, 1993].
Membaca antologi ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot, saya melihat bahwa penyair merasa sangat terusik oleh keadaan sosial yang dihadapinya saban hari dari waktu ke waktu dan kepekaan serta kegundahan membuat penyair ingin segera mereaksi atau menanggap dalam bentuk puisi. Hanya saja kekurang kesabaran membuatnya tidak seketat Chairil Anwar dalam menjaga kadar puitisitas puisinya. Keinginan segera menanggap agaknya jauh lebih mengusik diri penyair dibandingkan dengan pertimbangan kematangan puisi sekalipun puitisas senantiasa masuk dalam pertimbangan. Akibat logis dari keadaan begini, maka penyair sering memaksa-maksa diri dan mencari puitisitas dengan takaran matematika atau rumus. Akibatnya terjadilah pemaksaan diri atau lahirnya puisi yang lahir awal dari kandungan jiwa penyair. Hal ini saya lihat – kalau penglihatan saya benar – dengan membandingkan puisi ‘Sajak Kita Telah Terkubur’ dan ‘Di Tanah Airku’ di atas.
Dalam hubungan bagaimana meneyeleksi puisi ini saya ingin mengangkat ulang pengalaman yang diceritakan oleh Raudal Tanjung Buana ketika berada di Sanggar Minum Kopi Bali bersama antara Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira.
6
Dalam hubungan, bagaimana menyeleksi puisi ini saya ingin mengangkat ulang pengalaman yang diceritakan oleh Raudal Tanjung Buana ketika berada di Sanggar Minum Kopi Bali bersama antara Umbu Landu Paranggi [penyair yang lama tinggal di Yogyakarta sebelum pindah ke Bali] dan Frans Nadjira.
Untuk antologi puisinya ‘Gugusan Mata Ibu’ [Lihat:Penerbit Bentang, Yogyakarta, Mei 2005] tentang sikap ketat penyair menjaga puitisitas puisi, penyair Raudal Tanjung Banua dalam semacam kata pendahuluan berjudul ‘Rantau, Sparring Partner,* Silaturahmi’ antara lain menulis sebagai berikut [dengan pemintaan maaf kepada Raudal dan Penerbit Bentang Yogyakarta karena mengutipnya agak panjang tanpa izin, dan terimakasih jika permintaan maaf ini diterima!]:
“Di Sanggar Minum Kopi dimulailah tradisi kreatif yang sebenarnya. Puisi-puisi awal saya yang ditulis semasa di Padang, dibongkar, dan dirombak. Ini berlaku bagi semua penyair di sanggar, setiap ada karya baru [termasuk kemudian cerpen dan esai] tak lepas dari komentar. Kalau puisi kerap diasumsikan sebagai anakn kandung spiritual penyairnya, tentu akan ada saja rasa kecewa dan sakit hati. Tapi anehnya, tidak ada di antara kami yang kapok, malah selalu mencandu untuk datang membawa puisi baru, kemudian “dibantai” lagi beramai-ramai. Menariknya, keputusan untuk “merombak” [baca:merevisi], sepenuhnya ada di tangan penyair bersangkutan. Lewat cara ini, banyak sajak awal saya yang kemudian saya revisi, bahkan ditulis ulang, tapi ada juga yang saya pertahankan. Berbarengan dengan itu, puisi-puisi baru pun lahir”.
Ditulis juga oleh Raudal bahwa:
“Tradisi ini terus menjadi spirit dan inspirasi. Kami biasa mencorat-coret sebuah sajak, bahkan sampai tinggal satu kata. Ibarat tubuh, mungkin hanya tinggal sekerat tulang iga’.
Dituturkan juga oleh Raudal bahwa “Umbu sering menerima segapok puisi dari rekan penyair yang “ngamuk”, tapi tak jarang dengan tegarnya Umbu bilang, :Cukup diwakili satu sajak , ya!”. Kejam memang. `Tapi ia punya alasan: tingginya pengulangan dan keseragaman, atau kurangnya pengendapan” [Rudal Tanjung Banua , 2005:vii-viii].
Saya kira sikap Sanggar Warung Kopi dan Umbu ini adalah sikap bertanggungjawab terhadap puisi yang mungkin bisa digunakan juga dalam melihat ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot sebagai penyair. Sikap ini pun kukira termasuk sikap tanggungjawab penyair pada puisi, tanggungjawab puisi sebagai puisi dan tanggungujawab penyair sebagai penyair. Produktivitas sering melalaikan tanggungjawab ini. Apa yang dikisahkan oleh Raudal tentang proses kreatif di Sanggar Minum Kopi Bali mengingatkan saya akan masa remaja Yogya. Proses kreatif demikian pada waktu itu kami namakan sebagai saling asih, saling asah dan saling asuh. Dan ia memang merupakan tradisi seniman Yogya serta Republik Sastra-seni Bringharjo-nya. Perumusan yang kukira lebih mempunyai akar lokal dan tidak sangat mengArab jika kita menggunakan istilah ‘silaturahmi’. Tapi jika Raudal menggunakan istilah ‘silahturahmi’ disamping memang merupakan haknya, saya juga memandangnya sekaligus merupakan pencerminan keadaan yang menjurus ke arah sektarisme yang tidak pernah toleran dan secara nilai, anti Republik dan Indonesia karena tidak memperhitungkan keberadaan orang lain yang berbeda dan hakekat republik dan Indonesia itu sendiri. Ujud juga keterasingan diri di negeri sendiri. Dari segi antropologi mentalitas, penggunaan istilah ini barangkali juga perwujudan dari hilangnya jati diri seseorang baik sebagai bangsa atau pun individu. Seperti halnya apakah wasalam walaikum, apakah salam yang punya dasar budaya lokal di negeri kita, padahal Islam adalah agama baru di negeri yang bernama Indonesia yang hadir di negeri ini paling-paling sejak abad ke-XIII [kalau pengetahuan sejarah saya benar!]. Tapi barangkali memang demikian perkembangan Indonesia sekarang. Persoalan dan perkembangan besar yang tentu berada di luar permasalahan puisi –puisi Gendhot tapi hadir kehadapan kita mempertanyakan, apa-siapakah Indonesia itu? Benarkah Indonesia itu hanya milik para pengucap wasalam walaikum, silaturahmi dan pemegang salib?
Terhadap pertanyaan besar ini, kukira penyair perlu bersikap sebagaimana yang diucapkan oleh penyair Ramadhan KH dalam kumpulan puisinya ‘Priangan Si Jelita’ [Pustaka Jaya, Jakarta, 1958]:
‘Penyair paling setia
mengajak sekali waktu untuk bersikap’
Terus-terang saya menentang pelanggaran, pelecehan dan penginjak-injakan terhadap kemajemukan, bhinneka tunggal ika, yang merupakan hakekat republik dan Indonesia, bahkan kehidupan itu sendiri. Diktatur mayoritas akan menghancurkan republik, Indonesia dan mengacaukan kehidupan atas nama Tuhan sekali pun, apalagi jika kita mencermati sejarah Tuhan dari zaman ke zaman. Masalah ini pun disentuh oleh Gendhot dalam puisi-puisinya yang terkadang terasa menggugat Tuhan ketika bicara tentang cinta manusiawi dan keadaan sosial. Apakah mengatakan saling asih, saling asah dan saling asuh kurang bermakna, kurang prestisius dibandingkan dengan kalau mengatakan ‘silaturahmi’? Saya permasalahkan penggunaan istilah begini karena bagiku bahasa atau istilah tidak lepas dari alur pikir seseorang, apalagi bagi seorang yang berani menyebut diri sebagai penyair.
Tentu saja ini adalah suatu catatan sampingan dan pengembangan masalah ketika membicarakan puisi-puisi Gendhot dari segi ‘pengendapan’ dan ‘perombakan’. Masalah-masalah di atas kuketengahkan dari sudut pandang bahwa penyair adalah seorang free thinker yang oleh Mazagre dan Chairil Anwar disebut sebagai tidak punya tabu dan larangan dalam usaha memanusiawikan manusia dan pengembaraan batin penyair. Sedangkan masalah ‘pengendapan’ dan ‘perombakan’ mencerminkan tingkat profesionalisme.
***
Catatan:
Bandingkan ide ‘sparring partner’ ini dengan ide pelukis Amrus Natalsja dari Sanggar Bumi Tarung Yogya [dihancurkan sejak Orba berkuasa]]. Lihat: JJ. Kusni dalam ‘Catatan Di meja Nusa Dua dan Café Bandar’ serie sebelumnya tahun 2005.`Tentang Sanggar Bumi Tarung, lihat: JJ. Kusni, ‘Di Tengah Pergolakan. Pengalaman Turba Lekra’, Penerbit Ombak Yogyakarta, Agustus 2005].
7.
Dari profesionalisme penyair masalah ‘pengendapan’ dan ‘perombakan’ menunjukkan bahwa penyair ingin agar sanjaknya dalam mengolah tema apa pun tetap mampu mempertahankan kadar puitisitas. Protes [sosial] dalam sanjak, atau ‘sajak-sajak protes sosial’ bukanlah masalah baru dalam sejarah sastra dunia, termasuk dalam sejarah sastra Indonesia atau sebelum negeri ini menjadi Indonesia. Sehingga, kukira, permasalahan utamanya tertumpu pada ‘mutu artistik’ puisi. Karena ‘puisi tetap puisi’, jika menggunakan istilah penyair Amarzan Ismail Hamid di majalah Medium Jakarta [2005] ketika membicarakan tentang penyair Agam Wispi. Jika menggunakan Artinya tidak semua ‘puisi’ otomatis menjadi puisi. Di sinilah barangkali ‘mutu artistik’ ini berdiri sebagai juri. Kadang sulit dirumuskan secara obyektif dan hanya bisa dirasakan. Karena itu dalam berbagai tulisan sering didapatkan ucapan atau keterangan seperti ‘penilaian ini tidak didasarkan pada teori-teori tertentu tapi tidak lebih dari penilaian subyektif suka dan tidak sukanya saya’ [baca penulis resensi atau juri suatu lomba puisi ]. Metode subyektif ini memang lebih gampang dilakukan karena kurang menuntut jerih payah dalam mencari acuan dan pembanding. Hanya saja kelemahannya, ‘debat’ atau ‘diskusi’ seakan sejak awal sudah ditutup oleh pernyataan ‘penilaian subyektif’. Tapi benarkah ‘penilaian subyektif’ dalam menilai sebuah puisi memang tidak bisa dicarikan dan diberikan dasar penjelasan? Jika benar demikian maka untuk apa diselenggarakan Fakultas Sastra?
Pergulatan sengit menjaga puitisitas puisi [puisi sebagai puisi] ketika menyampaikan protes-protes atau kritik agaknya merupakan inti pergulatan penyair sejak lama. Dalam hal ini , Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] yang mengibarkan panji ‘seni untuk rakyat’ belum selesai dengan misinya karena terlalu awal dihancurkan secara organisasi oleh Orde Baru tapi ia meninggalkan ide ‘tinggi mutu artistik dan tinggi mutu ideologi’ [baca: pesan!]. Dengan ‘jam terbang’ kepenyairannya barangkali Taufiq Ismail cukup berhasil, tanpa mempersoalkan setuju tidak setuju dengan pandangan-pandangan Taufiq [lihat antara lain : Taufiq Ismail, ‘Tirani Dan Benteng’, Penerbit Yayasan Ananda, Jakarta, 1993]. Dari sudut pandang sejarah, kukira .`’Tirani Dan Benteng’ merupakan satu kronologi sejarah Indonesia pada masa Tragedi Nasional 1965 berdasarkan pandangan tertentu [sekali lagi lepaskan diri dari masalah setuju dan tidak setuju! Taqufiq dan siapa saja berhak mempunyai pendapat. Soalnya, apakah di negeri ini kita bisa menghormati hak berbeda?!]. Melalui ‘Tirani Dan Benteng’ , Taufiq dengan jujur mengatakan dan mencatat dirinya tanpa keengganan bahwa ‘ Inilah aku Taufiq Ismail!’.Kemudian bisakah Taufiq menghormati pendapat dan sepakat memberi hak hidup kepada pendapat yang berbeda dengannya? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sebuah nilai tersendiri. Jawaban Arief Budiman dan Goenawan Mohamad terhadap pertanyaan ini kukira telah memperlihatkan kebesaran jiwa mereka baik sebagai anak manusia maupun sebagai budayawan dan pemikir.
Sambil membaca ‘Sajak-sajak Protes Sosial’ Gendhot saya tertarik pada usaha dan cara Dorothea Rosa Herliany seperti antara lain yang dilakukannnya dalam sanjak berikut:
Negeri Bencana
alangkah giris lagu hujan, musim yang
terlalu cepat menyeberangi tanahtanah
pecah dan padang tandus. kunikmati
kehangatan rindu yang berhamburan
bersama uap hujan
tapi tak bisa kurasakan tanah bencana
mangkukmangkuk bubur diaaduk debu. Dan
burung bangkai yang tak sabar menunggu.
tak tak bisa kurasakan tubuh yang
gemetar. Tulangtulang gemerutuk dan
pasirpaasir yang tiba-tiba berdarah
dengarlah angin; ia tak lagi menerbangkan
debudebu, tapi bau daging saudaramu
[Dari : Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999].
Menjelaskan latarbelakang puisi Rosa ini, Herman J.Waluyo menulis:
‘Puisinya [baca: Dorothea Rosa Herliany –JJK] yang berjudul “Negeri Bencana” berlatar belakang kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Penyair menyatakan dengarlah angin, ia tak lagi menerbangkan sebu-debu/tapi bau daging saudaramu. Saat kerusuhan itu, banyak orang terbakar di toko, rumah-rumah, atau mobil yang dibakar massa”. [Lihat:Herman J Waluyo, ‘Apresiasi Puisi’, PT.Gramedia Pustaska Utama, Jakarta 2003, hlm. 155].
Cara Rosa dan Taufiq berbeda dalam melukiskan serta menyampaikan pandangan atas keadaan yang dihadapi. Tapi yang mau saya tunjukkan dengan mengangkat puisi Rosa ini adalah usaha Rosa untuk mempertahankan puitisitas dalam mengungkapkan kritiknya atas kerusuhan Mei 1998. Rosa mencoba keras tidak jatuh pada kalimat-kalimat sloganis dalam mengajukan pandangannya [tentu masih banyak contoh lagi dari Rosa], tapi ia dengan menjaga kesabaran melakukan renungan dan pengendapan lalu menuangkannya dalam bentuk puisi. Rosa agaknya nampak cukup berdisiplin dalam soal menjaga puitisitas ini. Sedangkan Gendhot mungkin agak kurang, karena barangkali mengejar desakan rancangan dan tidak tahan oleh pecutan keadaan yang menyiksa jiwanya.
Sekali lagi bahwa Gendhot sadar akan arti puitisitas, kukira tidak terbantahkan. Hal ini saya llihat dari usaha Gendhot menghindari monotonisme bentuk dan melakukan berbagai percobaan seperti yang ditunjukkan oleh puisinya di bawah ini:
Di Toilet-Kubangan
Di toilet anak kecil membayang gedung megah. Lalu melesap di ruang kusut, tempat guru dan murid menyari ilmu. Sesak ilmu, hafal ditiru. Guru membisu. Gaji tak baru, buku baru !! disunat melulu.
Di toilet ibu membisu, membaca lutut kaku. Tumpuhan utang, tak kunjung hilang. Hutang; maling negara.
Di toilet teroris meramu, Asu-Mengasu ! Dancuk-Mendancuk ! Matamu, Sahid ???!!!
Di toilet mahasiwa menghafal, utang negara di pundaknya. Demo, bukannya ajar asih.
Di toilet Petani ( maaf petani kok Toilet, kubangan. Aku juga anak petani ) menghojat pada emprit-emprit yang merampok padi, juga emprit-emprit Bulog. Harga gabah naik, turun, turun dan terus turun !
Di toilet politikus memasang, rencana mengambil uang dari lutut pertiwi yang membisu, gedung baru dan APBN !
Sankt Augustin- Jerman, 091204
Juga pada puisi berikut:
Tragedi Pembunuhan Kenangan
Sejak aku membunuh kenangan, ada yang mengatakan aku akan membunuh kehidupan. Tidaklah demikian. Hidup tanpa kenangan berarti berenang-renang di lautan waktu obyektif. Dengan kekar tangan-tangan memegang rembulan dan matahari. Tiada malam tiada siang, karena telah kuhancurkan semuanya. Dengan remuknya matahari dan rembulan maka bertaburan kunang-kunang di setiap sudut pandang. Itulah keabadian. Malam dan siang tiada, maka tiada kemarin, tiada masa yang akan datang. Masa kini pun tiada karena yang ada adalah “ini hidup”. Siapa tidak merindukan itu. Aku adalah yang sama. Tapi yang sama tetap akan dirindu agar ada yang baru. Surgaku adalah kesendirian dalam keabadian tanpa malam dan siang. Saat itu tiada duka, duka adalah kelahiran janin dari gelap dan terang. Camkan dunia tanpa terang dan gelap ! Jangan lalu mengigau yang ada adalah kegelapan. Yang ada adalah keabadian terang. Kegelapan adalah terang yang belum sempurna. Kesempurnaan dan keabadian tanpa mengenal sekepak kegelapan. Keabadian sejati adalah bersama matahari-matahari yang memancar dari berpenjuru-penjuru. Tiada mengenal perjalanan hidup, bukan berenang melainkan berenang-renang…
Sungai Rhein, 060304
Puisi-puisi Gendhot, kiranya sulit dipahami tanpa disertai bekal pengetahuan dasar filosofi karena terkesan pada saya bahwa dalam melihat Indonesia dan masalah, sebagai pelajar filsafat, Gendhot berangkat dari pandangan sadar filosofis. Jika dikatakan secara umum, sekalipun karya setelah ditulis dan disiarkan menempuh jalan kehidupan sendiri tapi untuk memahami mereka diperlukan pengetahuan tentang penulis – ibu kandung karya –, tahu latar sejarah dan keadaan, jadi tidak cukup hanya bersandar pada teks sebagai teks. Kecuali itu Gendhot juga sadar akan arti puisi dan sadar bahwa ia sedang menulis puisi karena itu ia berusaha sekeras mungkin mempertahankan puitisitas puisi-puisinya walau pun kadang ia tidak terlalu berhasil. Usaha mempertahankan puitisitas puisi yang menandai antologi inilah yang saya namakan ‘memperjuangkan puisi’ sehingga puisi berbicara sebagai puisi.
Sedangkan eksperimen-eksperimen bentuk yang dilakukan oleh Gendhot memperlihatkan usaha penyair yang tak henti mencari terobosan demi terobosan dari kemandegan – tanda dari kegelisahan kembara batiniah penyair sehingga tidak heran terkadang terdengar suaranya kritik pada Tuhan yang seakan lepas tangan pada keadaan buruk di bumi yang mengusik nurani penyair. Ini kupahami sebagai tanda bahwa penyair pada dasarnya memang seorang pemberontak-pencari nilai manusiawi – prasyarat untuk berada selangkah di depan keadaan sehingga tak segan seperti tokoh SunWukung tidak segan menyerbu dan mengobrak-abrik sorga . Karena penyair adalah seorang penyair maka senjatanya tidak lain Singkat kata, kukira dengan keberhasilan dan kegagalannya, Gendhot telah mencoba menulis puisi sebagai puisi. Puisi sebagai lambang dan alat memanusiawikan manusia dan memcoba memindahkan ‘sorga’ ke bumi, seperti yang tercermin pada judul antologi ‘ Sajak-sajak Protes Sosial’. Karena penyair akan berhenti menjadi penyair jika tidak lagi bersyair maka melihat pencarian dan usaha sadar Gendhot, tidak berkelebihan bahwa di hari-hari mendatang dari tangan Gendhotwukir akan lahir puisi-puisi dengan puitisitas dan nilai ide yang lebih berbobot. Apakah ini penantian sia-sia? Gendhot sajalah yang akan membantu kita menjawabnya.****
Paris, Januari 2006
_____________________________________
* Dr. JJ Kusni, Sastrawan dan Esais yang tinggal di Paris, lahir pada tanggal 25 September 1940 di Kasongan, Kalimantan Tengah. Di tengah kesibukannya menjadi penulis yang sangat produktif, ia masih memberikan kuliah dan seminar di tingkal nasional maupun internasional seperti di Perancis, China, USA, Vietnam, Jepang, Australia, Malaysia, Indonesia dan masih banyak negara lainnya.
Riwayat Pendidikan: Political Science (Journalism and Communication), Gadjah Mada University (Yogyakarta, Indonesia, 1965); Maîtrise: Economic Developement of l’Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l’EHESS, Sorbonne) (Paris,Perancis) ; M.A. in anthropology of l’EHESS (Paris, Perancis); Ph.D. in history of l’EHESS (Paris,Perancis); International Law (Diplomacy) of New South Wales University,Sydney (Australia).
Buku dan karyanya yang telah diterbitkan: Negara Etnik. Beberapa Gagasan Tentang Pemberdayaan Dan Pembangunan Masyarakat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah (Fuspad, Yogyakarta: 2002), Dayak Membangun. Masalah Etnik Dan Pembangunan. Kasus Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah (PT. Paragon, Jakarta: 1994), Sanjak dan Bunga (Yogyakarta: 1959), Indonesian Progresive Poem (Jajasan Pembaruan, Jakarta: 1962), Karungut Jata Sansana Tingang (PT Paragon Jakarta: 1994), Sansana Naga Dan Tahun-tahun Pembunuhan (ISDM, Culemborg: 2000), Di Negeri Orang. Puisi Penyair Indonesia Eksil (Amanah Lontar Jakarta & Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam: 2002), Catatan Studi Tentang Drama Teladan Tiongkok (Angin Timur, Nanchang: 1970), Catatan Studi Tentang Garis Sastra-Seni PKI 1950-1965 (Suara Rakyat Indonesia, Beijing: 1969), Di Tengah Pergolakan. Sastra & Seni (Yayasan Langer: 1981) dan masih banyak lagi.
Adapun naskah drama yang telah dipentaskan: Api Di pematang. Drama tentang aksi sepihak (Pesat,Yogyakarta:1964), Tanah Ketaon. Drama tentang aksi tani di Boyolali 1964 (Sudah dipentaskan di Yogyakarta), Obor Merapi. Drama tentang aksi tani di Boyolali 1964 (Sudah dipentaskan di Yogyakarta), Nyanyian Remaja. Saduran dari karya Yang Mo (Sudah dipentaskan di Yogyakarta: 1964), Crime and Punishment. Saduran dari karya Dostoyevski (Sudah dipentaskan di Yogyakarta: 1962), Bukit Belleville. Drama tentang Komune Paris (Sudah dipentaskan dan diterbitkan oleh Suara Rakyat Indonesia: Beijing,1978), Di sebuah Perkebunan Kopi. Drama tentang perlawanan kaum tani Sumatra Utara (Majalah Api, Tirana: 1980).
Beberapa naskah buku yang telah siap untuk diterbitkan: Kekuasaan Paralel: Kekuasaan Republik & Masyrakat Adat — Usul Bagi Indonesia Di tengah Krisis, Budaya Betang (Long House Culture) dan Tragedi Sampit Februari 2000. Akar Dari Sebuah Konflik Etnik. Kasus Kalimantan Tengah.
* Gendhotwukir, Penyair Cyber, lahir 7 Januari 1978 di Desa Gemer, Dukun, Magelang, Jawa Tengah. Pernah aktif di Komunitas Teater Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Teater Komunitas Merapi dan Teater Kampus “KAMPUNK”. Banyak karya puisinya tersebar di berbagai situs internet, milis dan beberapa telah mulai terbit di beberapa media cetak di Indonesia. Penyair Cyber ini pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi “Widya Sasana” Malang. Saat ini menetap di Jerman dan tercatat sebagai mahasiswa filsafat dan teologi di Philosophisch – Theologische Hochschule St. Augustin, Jerman. Disamping studi, juga menulis opini dan menjadi jurnalis untuk Majalah Sastra Budaya “AKSARA”, Majalah Katolik “HIDUP” dan Harian Suara Merdeka CyberNews.
Dijumput dari:
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/182
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/183
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/184
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/185
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/186
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/187
http://gendhotwukir.multiply.com/journal/item/188

Puisi Kritik Kehidupan


Puisi Kritik Kehidupan
Posted by PuJa on May 27, 2012
Judul : SELENDANG BERENDA JINGGA
Penulis : Zulkarnain Siregar
Penerbit : Jejak Publishing, Yogjakarta 2011
Jenis : Sastra
Tebal : XXIX + 148
ISBN : 978.979.19552.4.9
Peresensi: Ali Soekardi
http://www.analisadaily.com/

DULU, seorang penyair akan merasa begitu gembira dan bahagia jika karya-karyanya (baik yang telah dipublikasi lewat media massa atau belum), dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Ya, semacam antologi puisi. Namun sekarang berkat kemajuan dan kecanggihan tehnologi di bidang komunikasi, atau lebih dikenal sebagai dunia maya, maka sarana publikasi karya sastra itu menjadi lebih banyak dan lebih luas penyebarannya yang berarti juga pembaca atau peminatnya bertambah banyak pula.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh penyair Zulkarnain Siregar. Penyair yang produktif ini telah menulis sekian banyak puisi yang semuanya dipublikasikannya lewat dunia maya, atau tepatnya lewat facebook. Ada sekitar limapuluhan puisi karyanya yang telah dipublikasikannya, dan kini telah lahir pula dalam bentuk buku yang diberinya judul Selendang Berenda Jingga (Himpunan Puisi Facebook).
Buku kumpulan puisi yang berjudul puitis ini (juga merupakan judul salahsatu puisinya-hal. 10) diberi prologue oleh Irwansyah Hasibuan dan pengamatan puisi oleh Antilan Purba (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan), pengantar oleh MJA Nashir (penulis dan pejalan kaki) ser-ta epilogue oleh Prof.Dr.Ikhwanuddin Nasution,M,Si (Guru Besar pada Departemen sastra Fakultas Sastra USU Medan), terasa agak unik.
Apa itu – Setiap puisi yang ditulisnya dan disiarkan lewat facebook selalu disertai komentar pembacanya, dan ini semua dikutip dan dihadirkan dalam bukunya yang dicetak indah dengan cover berwarna kuning dan coklat yang menarik. Selama ini hal seperti ini belum pernah ada, kecuali resensi, atau juga komentar atau pembahasan oleh para kritikus sastra puisi atau prosa.
Penyair ini terasa begitu “mahir” bermain kata-kata. Namun bukan sekedar kata kosong, tapi kata yang dilahirkannya dalam bentuk puisi itu mempunyai makna tersendiri. Justru inilah yang menimbulkan kesulitan bagi pembacanya (apalagi yang awam) untuk bisa mengerti atau memahami maknanya dengan cepat.
Perlu berulang-ulang membacanya, menyerap dan merenungkannya, hingga timbul penafsiran yang tentu saja penafsiran pembaca yang satu akan berbeda dengan pembaca lainnya. Meskipun ada beberapa yang sebenarnya agak mudah untuk menemukan maknanya, seperti Euforia (84), Kalau Esok Masih Ada (13), atau Tak Lagi Jadi Elegi (133).
Jelas ini berbeda dengan karya-karya penyair Taufik Ismail, yang meskipun bermain kata-kata penuh makna dan kritik terhadap suasana dan lingkungan, masih teramat mudah untuk dimengerti oleh pembaca awam. Hal ini dikemukakan bukan untuk membanding, tapi masing-masing penyair itu mempunyai ciri dan kekuatan masing-masing yang saling berbeda dalam menyampaikan rasa hatinya.
Dan Zulkarnain Siregar dalam kumpulan Selendang Berenda Jingga ini ter-nyata mempunyai rasa hati yang beragam kegelisahan, kekecewaan, kemarahan, pemberontakan, tapi juga rasa iman, cinta, gagasan, kerinduan, dan juga harapan.
Jika di negeri kita sekarang ini tumbuh perasaan tidak puas bahkan kecewa di hati rakyat melihat perkembangan situasi, rasa ketidakpercayaan terhadap bapak-bapak pemimpinnya yang dulu telah diberinya suara ketika Pemilu/Pilkada lewat Tak Lagi Jadi Elegi (buat capres dan cawapres RI) penyair telah mengingatkan yang antara lain katanya :
andaikan tuan-tuan dan nyonya terpilih
jangan sangka berutang ke luar negeri
sumber penyelesaian bencana
negeri berbagai pulau ini
sebab kami pun tak tau, untuk apa ?
yang kami tau hutan kami gundul
yang kami tau sawah kami jadi realestat
yang kami tau ladang kami jadi ruko
tanah bukan milik kami
bahkan diri kami pun
bukan milik kami lagi
Hati ini ikut sakit membacanya. Tapi jadi lebih terluka membaca Euforia yang menggambarkan kegeraman terhadap suasana yang selalu menuntut bebas lalu menodainya sendiri :
kemarin kaugugat kuasa
dan bebas kaujadikan perisai
demi vested interest
hari ini kelakuanmu semena-mena
kaugadai, tanah dan air ini
demi untuk kerajaanmu
di negeri orang
esok anarkimu menjadi-jadi
kaujual, seluruh isi negeri ini
agar kau bisa nyaman bersama makelar begundal
Itulah sekedar cuplikan dari begitu banyak puisi yang terkumpul dalam Himpunan Puisi Facebook Zulkarnain Siregar, Namun dari secuil cuplikan sudah sangat terasa kritik yang terkandung di dalamnya terhadap kehidupan kita berpemimpin, bernegara, dan bermasyarakat, bahkan juga mengenai lingkungan alamnya. Penyair menumpahkan kekesalan, kejengkelan dan kemarahannya, namun masih dalam susunan kata puisi yang wajar dan sopan.
Di sinilah terasa keutamaan penyair yang tidak calak mengumbar kata tapi mengena !
23 Nov 2011

Haji: Pengarang, Imajinasi, Fakta Sosial


Haji: Pengarang, Imajinasi, Fakta Sosial
Posted by PuJa on May 28, 2012
Bandung Mawardi
Republika, 14 Desember 2oo8

Ibadah haji mengantarkan muslim membuka pintu seribu satu kisah sejak Nabi Adam sampai pandangan eskatologis. Haji memiliki konvensi sebagai ibadah manusia pada Tuhan. Haji kerap mengingatkan pada imajinasi-religiusitas. Ibadah haji membuka kesadaran muslim untuk ziarah imajinasi dengan melampaui batas ruang dan waktu.
Rentetan kisah kerap memberi pengalaman unik dan otentik tentang religuisitas sampai perilaku sosia-ekonomi-politik. Imajinasi menjadi kunci penting untuk masuk dalam kisah dan memungut hikmah melalui interpretasi. Haji identik dengan kisah Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Muhammad, atau kisah-kisah biografis lain. Imajinasi menemukan momentum pencerahan untuk menjadi tanda seru pada iman dan praksis hidup.
* * *
Pengalaman haji dituliskan Ajip Rosidi dalam seri puisi religius. Menuliskan haji memang memiliki dalil reflektif dan nostalgia atas biografi diri. Ajip Rosidi dengan liris menulis fragmen-fragmen mengesankan selama menunaikan ibadah haji. Puisi “Aku Datang, Ya Tuhanku, Aku Datang” merupakan tanda iman Ajip Rosidi untuk sadar atas panggilan Tuhan. Ajip dengan kalem mengungkapkan: Aku datang sekarang / bersimpuh di hadiratMu / menjerit menembus langit / menyelam dalam diri / yang berendam dalam kasihMu / bersarang dalam rahmatMu / yang sia-sia kuhitung / sia-sia kubagi. Kesadaran religius Ajip Rosidi masuk dalam rindu memuncak dan melahirkan imajinasi-imajinasi menggetarkan.
Ibadah haji memang kerap memberi imajinasi dan kisah menakjubkan. Kausalitas peristiwa dan pengalaman cenderung implisit. Tanda-tanda Tuhan selalu mengingatkan manusia untuk sadar atas berkah dan balasan sekian perbuatan selama hidup di dunia. Manusia pun dengan tunduk datang menghadap Tuhan dengan doa-doa dan laku-laku ibadah.
Laku representatif dari lakon manusia menghadapi godaan setan dan fitrah untuk mengimani Tuhan tampak dalam peristiwa melempar jumrah di Mina. Ajip Rosidi mencatatkan itu dalam puisi “Mina”: Tiga buah lubang / jadi sasaran lontaran / Berjuta orang mengepungnya / tapi setan lepas juga / masuk dalam diri lelaki / yang memaki-maki terinjak kaki // Tiga buah lubang / tak habis-habisnya diserbu / Tapi orang-orang yang penuh nafsu / setan pun bersembunyi di situ / Tak mungkin ia dilontar / Tak mungkin ia dilempar.
Danarto mengisahkan ibadah haji dalam catatan harian memukau dan menggelikan. Pengarang cerpen-cerpen sufistik ini dengan lincah dan lihai menuliskan seribu satu kisah dalam haji. Buku Orang Jawa Naik Haji (1984) menjadi dokumen penting dari seorang pengarang dalam kesibukan imajinasi-religius.
Haji seorang pengarang memang menjadi ibadah tak biasa karena pelbagai ulah dan imajinasi. Inilah pengalaman Haji Danarto: “Ibadah haji sesungguhnya saat manusia bergabung kembali dengan esensinya. Apakah hamba telah jadi idiot dengan pura-pura tidak tahu ketika engkau menempa cincin pertalian Kita: Allah, Allah, Allah, Maha Suci Engkau, ya Allah. Yang telah mencipatkan haji. Ada bumbu pasir, gunung batu, tanaman kering, dan udara panas yang berseru: di sini sudah dibangun tempat menyatu.”
Ajip Rosidi dan Danarto memiliki cara dan bentuk berbeda untuk mengisahkan haji dengan dalil pengalaman dan imajinasi. Ibadah haji kentara dengan pintu-pintu imajinasi untuk mengantarkan manusia pada masa lalu dan masa depan (eskatologis). Imajinasi atas dunia menemukan titik sambungan untuk imajinasi langit dan akherat.
* * *
Kesusastraan Indonesia modern tidak memiliki data melimpah mengenai sastra mazhab haji. Pengarang-pengarang mungkin kurang memiliki ketertarikan untuk mengisahkan haji dengan alasan entah apa. Hamka menunjukkan diri sebagai pengarang dengan sensibiltas religius. Sekian teks Hamka menunjukkan ada ikhtiar mengisahkan haji meski dalam kadar kecil. Haji sekadar menjadi perisitiwa instrumental untuk menguatkan cerita dan karakter tokoh.
Haji itu imajinatif. Pengertian ini mungkin jarang terpahami oleh pengarang. Laku-laku ibadah selama haji tak luput dari olah imajinasi. Pelbagai peristiwa dan doa merepresentasikan pintu-pintu masuk dalam imajinasi religius. Masjid, bukit, padang pasir, Kabah, atau sumur Zamzam adalah tanda-tanda dari perjalanan historis-eskatologis secara imajinatif dan empiris.
Haji sebagai tema besar hadir dalam novel Ular Keempat (2005) karangan Gus TF Sakai. Novel ini mengacu pada kisah haji Indonesia pada tahun 1970-an. Pengarang merekonstruksi kisah perjalanan kelompok haji ilegal, kisah-kisah religius selama haji, kisah kultural-politik di Indonesia. Novel ini menjadi juru bicara penting untuk kehadiran sastra mazhab haji karena pengarang memberi kadar besar megisahkan haji dalam proses awal sampai implikasi ibadah haji. Novel ini bukan uraian teknis atau deskriptif mengenai ibadah haji tapi refleksi imajinatif atas ibadah haji dalam relasi agama, ekonomi, politik, dan kultural.
Laku haji dalam manifestasi imajinasi Gus TF Sakai: “Dan kini, pagi ini, kami kembali mengulangi laku Ibrahim: melempari Jumratul Aqabah, dengan batu-batu kecil yang kami pungut tadi malam. Lihatlah manusia ini, jemaah ini, mereka merengsek ke Jumratul Aqabah seperti pemandangan kemarin, seperti semut-semut putih yang merayap naik ke Jabal Rahmah. Ribuan.”
Peristiwa-peristiwa indah dan menakjubkan terjadi ketika berada di Mekah dan Madinah. Pengalaman religius itu mesti dilakoni dengan sekian perkara dengan taruhan politik-diplomatik ketika rombongan haji mulai berangkat dari Indonesia. Rombongan haji pada tahun 1970-an tanpa dokumen resmi pemerintah nekat menempuh perjalanan dengan niat ingin bisa menunaikan ibadah haji. Pemerintah Indonesia kelimpungan mengurusi rombongan itu ketika transit di Singapura dan Malaysia sampai ke Arab Saudi. Pemerintah ingin tegas menerapkan peraturan tapi tak sanggup memberi perlakuan secara akomodatif.
Novel Ular Keempat memang menunjukkan intensitas pengarang untuk mengisahkan haji dari perkara religius, birokrasi, dan peristiwa-peristiwa surealis. Pengarang dengan sadar mengajukan pertanyaan sebagai pijakan penulisan novel: “Betulkah orang-orang di kampungku beribadah bukan karena Allah, melainkan ibadah itu telah diwariskan turun-temurun? Dan betul pulakah apa yang dikatakannya bahwa aku pergi haji ke Mekah tak lebih hanya karena kebanggaan?”
* * *
Haji itu perkara sosial? Pertanyaan kerap muncul dengan acuan kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia. Ibadah haji dengan dana besar kerap menimbulkan polemik mengenai implikasi kemaslahatan. Ibadah haji lebih dari sekali cenderung menjadi sasaran kritik ketika tak menyadari bahwa realitas sosial-ekonomi di sekitar berada dalam kemiskinan. Prioritas untuk haji dan sedekah-infak sosial kerap menjadi polemik dengan argumentasi pamrih individu dan toleransi sosial. Begitu.
Dijumput dari: http://kabutinstitut.blogspot.com/2009/01/haji-pengarang-imajinasi-fakta-sosial.html

Analisis Nilai Islami dalam Cerpen


Analisis Nilai Islami dalam Cerpen
Posted by PuJa on May 29, 2012
Irma Safitri *
http://www.riaupos.co/

Sastra merupakan karya seni yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai religius sebagai pedoman hidup dalam masyarakat. Atmosuwito (1989: 126) berpendapat, sastra merupakan cermin dari agama pengarangnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat dijadikan manusia sebagai salah satu alat untuk memberi penuntunan dalam kehidupan. Menurut Mangunwijaya (1994: 11), pada mulanya, semua sastra adalah religius. Dari pendapat ini, sastra dan religius akan bertemu pada satu titik karena ada peran kurang lebih sama antara kitab suci dan sastra. Yaitu keduanya memberi perenungan, pencerahan spiritual, kemerdekaan dan pembebasan manusia dari penindasan. Religius dan sastra membawa nikmat dan hikmat, memanusiawikan dan mereligiuskan manusia.
Sastra tak hanya memberi kesenangan tapi memberi pemahaman tentang kehidupan dan nilai-nilai kehidupan termasuk nilai religius. Sebuah karya sastra mengandung nilai-nilai kehidupan suatu kelompok masyarakat atau seseorang yang diwujudkan pengarang lewat gambaran watak tokoh-tokohnya maupun setting/latar ceritanya. Nilai-nilai ini dapat berpengaruh baik secara individual terhadap nilai-nilai religius. Pengaruh secara individual terlihat dalam bentuk-bentuk perubahan sikap, kepribadian, pola hidup, perilaku dan pandangan hidup.
Berdasar uraian di atas, penulis coba menganalisis nilai-nilai religius dalam cerpen ‘’Telekung buat Emak’’ karya Musa Ismail. Cerpen ini mengisahkan usaha Kahar dan keluarganya untuk membantu Emaknya yang telah lama keluar dari kaidah Islam. Seingatnya, sejak remaja hingga usianya yang sudah kepala tiga, ia tak pernah melihat Emak-nya salat lima waktu. Kahar merasa wajib menyadarkan Emaknya untuk mengerjakan salat. Awalnya Kahar sempat merasa tak ada celah di hati Emaknya untuk melaksanakan salat. Karena Ayahnya juga sudah berusaha keras membuka mata hati itu dengan untaian kalimat yang menyentuh perasaan. Namun tetap jawabannya selalu sama. ‘’Hatinya belum mau.’’ Kahar juga takut durhaka dan menyinggung hati Emaknya. Namun mengingat usia Emaknya sudah makin tua, Ia bertekad menemukan cara untuk menyentuh ceruk di hati Emaknya. Karena Kahar tahu betul, pengamalan agama pasti berhubungan dengan sekeping hati. Maka Kahar membawa Emak ke rumahnya, mengharapkan lingkungan masyarakat yang agamis dapat memberi renjisan sejuk di hati Emaknya. Melalui kegiatan wirid, yasinan dan santapan rohani, istri Kahar rajin membawanya ke kegiatan tersebut. Namun, masih saja hati Emak bersikeras tak tersentuh sedikitpun. Khawatir dengan sikap Emaknya, Kahar dan istrinya pun berusaha bicara dengan kata-kata yang baik agar tak menyinggung perasaan Emak.
Seperti dugaan Kahar sebelumnya, Emak sulit diajak untuk membuka pikirannya mengenai kewajiban salat. Malah Emak membantahnya dan mengatakan dia sudah tahu kewajiban salat dan sudah pernah melaksanakan salat waktu gadis dulu. Hanya sekarang hatinya seperti tertutup tak tergugah melasanakan salat. Malam itu jadi malam yang menegangkan. Kahar dan istrinya hanya mampu saling pandang dalam kekalutan saat Emak memasuki kamar dengan wajah yang suram. Mereka tak tahu apa yang berkecambuk di pikiran Emak. Sebulan kemudian, Emak dapat paket dari Kahar sebagai kado ulang tahunnya. Saat membuka paket Emak tertegun, ternyata isinya telekung. Mak langsung membawa telekung itu ke kamarnya. Pintunya di kunci rapat.
Dalam cerpen ini Musa menyampaikan pesan religius yang sedarhana, namun memiliki makna luar biasa. Karena dalam cerpen ini secara tak langsung Musa menyampaikan kebenaran yang ada dalam Alquran. Musa juga memberi pencerahan dengan coba membuka pikiran pembaca melalui dialog antar tokoh. Berikut kutipan yang menyentuh hati pembaca, menurut penulis:
‘’Kita mesti yakin. Mungkin inikah yang termasuk perjuangan? Banyak di antara kita kecundang dengan hati sendiri. Hati kita telah terlalu banyak menerima permainan-permainan duniawi. Padahal, itu cuma senda gurau yang hanya menggelitik hati. Itu cuma cara-Nya untuk menguji apakah hati kita masih tetap bersih dalam kontaminasi kehidupan gila ini. Atau, terlenakah kita dalam permainan kejaran gelombang kehidupan yang menciptakan buih-buih itu. Ingat, hati kita harus diberikan sempadan pada setiap jengkal perubahan.’’ ( Ayah Kahar)
Dari kutipan di atas lewat tokoh Ayah Kahar, Musa menyampaikan pesan religius. Bahwa hidup ini perlu perjuangan untuk mempertahankan iman dan ketakwaan. Hanya orang-orang yang kalah dan tak bisa memegang keteguhan imannya yang akan terlena dengan permainan dunia. Ini semua Allah beri sebagai ujian. Agar Allah dapat menilai, siapa di antara umatnya yang tetap di jalan yang benar.
‘’Tidak ada tapi-tapi. Jika menghidupkan salatmu, maka nyawa dan cahaya hatimu akan kembali bergairah dan cerah bersinar di mata siapa saja.’’ (Ayah Kahar)
Dari kutipan ini, Musa telah memberi suatu pencerahan pikiran dan menenteramkan jiwa pembaca. Apalagi direnungkan dengan makna dan hikmah dalam mengerjakan salat. Kita akan menyadari hanya dengan salatlah hati manusia akan kembali bergairah dalam menjalani hidup. Karena dengan salat manusia dapat terhindar dari perbuatan keji dan munkar, lebih tabah menjalani kehidupan, ikhlas menghadapi cobaan dan menenteramkan hati yang gundah. Dalam salah satu firman-Nya Allah juga menegaskan nilai positif dari salat: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar Ra’d 28).
‘’Bang, benar kata Allah bahwa nasib, kita sendirilah yang mengubahnya.’’ ( Istri Kahar)
Dari kutipan ini lewat tokoh Istri Kahar, Musa menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya Allah Maha Bijaksana memberi sesuatu wewenang istimewa pada manusia dibanding makhluk lain dan keistimewaan itu berupa pilihan yang kita buat untuk menentukan takdir kita di dunia. Ini sesuai firman Allah dalam Al Quran: ‘’Sesungguhnya Allah takkan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.’’ (Q.S. Al-Anfal 8:53).
Kita sebagai manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh dalam kehidupan. Hanya Allah tak memberi wewenang pada kita tentang akibat dari pilihan yang kita ambil, karena itu adalah hak dan kekuasaan Allah.
‘’Tapi, ini hakikatnya, Emak. Kematian pasti jadi teman dekat kita.’’ (Kahar)
Lewat tokoh Kahar, Musa menyampaikan pesan atau teguran mengenai kematian yang pasti akan dirasa tiap manusia dan semua mahluk hidup di dunia. Karena sesungguhnya tiap detik, umur manusia akan berkurang dan kematian akan makin dekat. Betapa sebuah nasihat yang luar biasa bermakna, sangat menyentuh dan tentunya sarat ilmu illahi yang sangat dalam untuk digali lebih lanjut. Sebuah perjalanan panjang yang akan saya hadapi nanti, Anda juga akan menghadapinya. Sama seperti firman Allah dalam Alquran (QS Ali Imran : 185) “Setiap yang berjiwa, pasti akan merasakan mati.” Demikianlah Allah menegaskan tentang keberadaan kematian. Sebuah pernyataan yang tak bisa dibantah dengan teori manapun. Itulah kekuasaan Allah.
‘’Kematian hati ada kaitannya dengan kematian salatmu.’’ ( Ayah Kahar)
Setelah merenung makna yang terkandung dalam kutipan ini, kita akan menyadari bahwa apa yang disampaikan Musa dalam kutipan ini adalah suatu fakta yang dapat kita temukan dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hati adalah raja dalam tubuh manusia. Hati memiliki kekuasaan yang mengatur semua perbuatan baik gerakan, maupun perkataan berasal dari perintahnya, lalu ia gunakan dengan sekehendaknya sehingga semua berada dibawah kekuasaan dan perintahnya. Dari hati seseorang meniti jalan istiqamah atau kesesatan, serta dari hati pula niat itu termotivasi atau malah pudar. Sesuai sabda Nabi SAW: “ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” Dari sini kita tahu begitu pentingnya peran hati dalam tubuh manusia. Maka jagalah hati dari segala hasutan setan, dengan berbanyak zikir, mendekat dan minta pertolongan-Nya agar kita selalu dalam lindungan-Nya dan tetap memiliki hati dan jiwa istiqamah.
‘’Alangkah bahagianya jika keluarga kita sentiasa menghidupkan salat. Abang yakin bahwa angkasa akan melihat rumah kita ini seperti cahaya bintang yang kita saksikan dari bumi. Terang menyinari dengan keabadian.’’ (Ayah Kahar)
Pada kutipan ini Musa selain menyampikan pesan, juga menyampaikan harapannya. Yaitu semua umat Islam dapat menghidupkan salatnya. Walau yang diungkapkannya dalam dialog ini tertuju pada keluarga Kahar, namun pesan dan harapan ini sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Suatu harapan yang tak semua orang memilikinya. Karena jika semua orang memilikinya, dunia ini adalah surga. Penuh dengan orang-orang yang bertakwa pada-Nya. Alangkah indahnya dunia ini yang selalu diselimuti cahaya Ilahi yang abadi di sisi-Nya.
‘’Padahal, kita sadar bahwa pada hakikatnya kita di dunia ini sentiasa menginginkan kebaikan dan kebenaran untuk menuju matlamat sejati.’’ (Ayah Kahar)
Apa yang disampaikan Musa dalam kutipan ini membuat kita menyadari, dari hati manusia yang paling dalam sebenarnya senantiasa menginginkan kebaikan dan kebenaran. Tak ada manusia yang hidup dengan hati yang tenang dan kebahagiaan yang hakiki, jika menjalani sesuatu yang membawanya ke perbuatan yang hanya memberinya kebahagiaan yang bersifat sementara. Walau kenyataannya hati kita selalu saja ego mempertahankan apa yang sudah kita jalani dalam hidup ini sudah melakukan kebaikan dan kebenaran.
Kesimpulan yang dapat saya ambil terhadap analisis nilai religius dalam cerpen ‘’Telekung buat Emak’’ karya Musa Ismail ini ialah, ia ingin menyampaikan pesan atau nasehat religius yang dikemas dalam konflik adanya pertentangan yang kuat antar tokoh. Dalam mempertahankan pendirian dan keikhlasan hati dalam mendirikan salat. Pesan Musa dalam cerpen ini: pertama , perlunya menjaga hati sebagai raja dalam tubuh manusia. Karena segala perbuatan yang dilakukan manusia berawal dari perintahnya. Kedua, pentingnya menegakkan salat. Sebagai tiang agama, peneduh hati dan sebagai ketakwaan pada-Nya. Ketiga, hikmah dalam mendirikan salat, yaitu dapat melindungi manusia dari berbuatan yang keji dan munkar dan mencapai ketentraman jiwa yang sesungguhnya. Keempat, sesungguhnya kematian itu akan pasti dirasakan setiap jiwa yang bernyawa. Kelima, tak ada kata terlambat untuk bertobat selagi ajal belum menjemput.***
*) Irma Safitri, Mahasiswa semester IV, Bahasa Indonesia STKIP Pelita Bangsa Bengkalis. Selain menulis esai, juga menyuka sastra. Bermastautin di Bengkalis. /27 Mai 2012

Mbah Mar


Mbah Mar
Posted by PuJa on May 27, 2012
Yulizar Fadli
http://www.lampungpost.com/

ANGIN kalem. Mata Mbah Mar melek-merem. Kambing-kambing gembalaannya juga tampak ayem mengunyah rumput gemuk yang tumbuh di Balai Pertanian—para penduduk menyebutnya balitan. Balitan milik pemerintah itu terbentang luas dan ditanami beragam ubi, bunga, sampai padi berkualitas tinggi. Yang terang, sekeliling kawasan itu dipagari kawat berduri.
Dulu, hanya Mbah Mar dan Mbah Kirut yang boleh menggembalakan hewan ternak di tempat itu, karena pasangan suami-istri ini memang dekat dengan pimpinan Balai Pertanian. Misalnya saja Mbah Kirut, setiap bulan ia tak pernah absen membersihkan parit rumah dan kebun pribadi milik sang pimpinan. Kalau ada orang lain yang nekat atau diam-diam menggembalakan hewan ternak di sana, maka Pak Wayan, pimpinan balitan, bertubuh tambun, berkepala botak, dan berjenggot tebal, tak akan segan-segan membawa senapan burung untuk mengusir mereka semua.
Satu orang yang pernah sial terkena pelor burung Pak Wayan, ditembak dari jarak sepuluh meter dan mengena tepat di bagian kanan kakinya. Orang itu blingsatan. Ia lari terbirit-birit membawa sabit sambil mencangklongkan karung plastik berisi rumput ke bahunya yang tinggal tulang.
Sejak setahun setelah kepala negara baru didapuk di negeri ini, Pak Wayan meninggal akibat kecelakaan beruntun. Opel Blazer yang ia kendarai hancur tak keruan. Ada sekitar tiga atau empat kendaraan yang beruntun bertabrakan. Tak tahu pasti menelan berapa korban, yang terang, Pak Wayan meninggal di tempat kejadian. Sejak itulah, orang-orang jadi merasa bebas menggembalakan atau mencarikan rumput untuk hewan ternaknya di balitan.
“Udah enggak ada lagi yang bawa senapan burung sambil berteriak lantang,” ujar penggembala kepada penggembala lainnya.
Tapi hal itu berbeda buat Mbah Mar. Mbah kesayanganku itu merasa kehilangan bosnya. Mbah Mar yang paling kencang menangis saat orang-orang datang melayat di rumah duka. Mbah memelukku waktu menangis. Saat itu, aku iseng mengintip dari celah ketiak Mbah, kulihat Bu Wayan dan Mas Agung menangis sewajarnya. Tak berlebihan seperti Mbah Mar. Ibuku juga biasa saja, menghapus air matanya dengan ujung kerudung tanpa suara. Padahal kalau dipikir-pikir, ibulah yang setiap hari tinggal di rumah itu. Sebab Ibu adalah seorang pembantu. Mbah Mar dipanggil hanya jika Pak Wayan atau istrinya minta dipijat atau dikerik.
Mbah adalah dukun pijat paling andal dan terkenal di kampungku. Ada yang menjulukinya dukun serbabisa. Malah Mbah pernah dipanggil sebagai pawang hujan waktu ada hajatan pernikahan. Mbah andal menyembuhkan kaki orang yang keseleo, tapi Mbah tak berdaya menghilangkan nyeri di kaki kiriku yang pincang ini. Tapi, walaupun begitu, aku tetap dibawa ke mana pun Mbah pergi. Meskipun jalanku lambat, Mbah tak pernah marah. Ia tetap menuntunku ke tempat orang yang minta diobati. Mbah lebih senang mendatangi daripada didatangi pasiennya.
Mengenai upah, Mbah tak pernah mematok harga. Ia terima berapa pun jumlahnya. Kalau tidak memberi uang, biasanya mereka memberi barang. Beras dan gula yang paling sering Mbah terima. Dulu, orang juga sering memberi sebungkus rokok kretek semasa Mbah Kirut hidup. Tapi sejak suami tercintanya itu meninggal karena penyakit asma, tak ada lagi sebungkus rokok yang Mbah Mar terima.
***
“REJEKI itu sudah ditaker, jadi enggak mungkin ketuker. Gusti Allah Mahaadil, Tin. Walaupun Mbah Kirut sudah meninggal, tapi buktinya Mbah tetap tegar. Ibumu juga begitu. Bu Wayan kan sudah pindah ke Yogya. Pimpinan pertanian juga sudah diganti. Mau tidak mau ibumu harus cari usaha sendiri,” Mbah berkata panjang lebar sambil menghapus air mata di pipiku. Aku mendongak dan melihat wajah Mbah yang sudah keriput. Mbah tersenyum dengan bibirnya yang sumbing.
Aku tak boleh minder. Tak boleh marah dan tersinggung. Itu semua garisan takdir, Mbah menasihatiku waktu anak Pak Bawir mengejekku habis-habisan.
Aku memang cacat dari lahir. Aku tak mau sekolah lantaran teman-teman sekolah selalu menghinaku. Itu yang membuat sekolahku hanya bertahan sampai kelas III. Padahal sebenarnya aku ingin sekolah sampai tinggi seperti Mas Kandar. Dia sekolah di jurusan psikologi. Malah sudah sampai tingkat S-2. Aku dengar cerita itu dari Bapak Mas Kandar sendiri. Ia bercerita waktu dipijat oleh Mbah Mar. Pendengaranku masih baik, meskipun mulutku tak bisa bicara.
Aku tak tahu kenapa aku bisu. Dulu, waktu aku masih dalam perut ibu, kata Mbah Mar, ibuku pernah memukul ular sampai mati. Ibu kena tulah. Kena karma. Mana boleh perempuan hamil tua membunuh seekor ular!
Kupercayai mitos itu. Mitos yang menjadi sedemikian hidup di kepalaku. Aku jadi sangat percaya bahwa kecacatanku ini memang karena ulah ibu. Tapi, walaupun begitu, sedikit pun aku tak pernah membencinya.
Ibu juga mengajariku menembang Jawa, meski sebetulnya ia tahu aku tak bisa bicara. Kudengar suara ibu sangat merdu. Ia selalu menembangkan lagu Lingsir Wengi menjelang aku tidur. Aku mengangguk-angguk saja saat ibu mengajariku menembang—anggukan yang sama saat Mbak Manise mengajariku mengaji.
Ibu juga berkisah, sebelum menikah dulu, ia bergabung dengan salah satu kelompok campur sari bernama Ojo Dumeh. Di situlah ibu bertemu dan jatuh cinta dengan bapak. Bapak adalah pimpinan dalam kelompok itu. Ia yang mengajari ibu menembang. Katanya, suara bapak lebih merdu ketimbang ibu.
Kelompok mereka terkenal di seluruh kampung dan sering diundang kalau ada hajatan. Tapi sejak ada kelompok orkes baru di kampung itu, campur sari jadi terpinggir. Campur sari dilupakan. Mereka kehilangan periuk rezeki. Tapi untunglah, kata ibu, ia diminta jadi pembantu di rumah Bu Wayan—dan itu juga berkat Mbah Mar yang waktu itu diminta untuk mengeriknya.
Itulah sebabnya, kata Ibu, sejak usiaku tiga tahun, bapak memutuskan merantau ke tanah Jawa. Bapak tak pernah pulang. Tapi ibu terlihat sabar menunggu bapak pulang. Mungkin juga tidak, sama seperti aku yang merasa bahagia meskipun sebenarnya juga tidak. Bahagia tak bahagia tetap wajib berterima kasih pada yang memberi hidup, pesan ibu setiap ia selesai menembang.
Mbah sudah sering melarang ibu menyanyikan lagu itu. Katanya, kalau dinyanyikan di malam hari, lagu itu bisa mengundang hantu perempuan. Mbah menyebutnya kuntilanak. Tapi mitos itu seperti tak penting buat ibu. Tetap saja ia menembangkannya untukku tiap malam.
Aku tak tahu isi lagu itu. Ibu juga tak pernah bercerita tentang riwayatnya. Padahal aku ingin sekali melontarkan pertanyaan untuk sekadar tahu apa artinya. Tapi sayang, pertanyaanku itu tak dapat kulontarkan.
Ibu berhenti menembang saat usiaku 14 tahun. Tepat saat Bu Wayan kehilangan suaminya tercinta, bertepatan juga saat ibu harus kehilangan pekerjaannya. Karena pimpinan Balai Pertanian yang baru pasti mencari pembantu yang juga baru. Ibu harus mencari ranting rezeki lain. Gaji bulanan yang ia kumpulkan dari Bu Wayan menjadi modal berjualan di pasar. Dari jual tembakau, kue, sampai akhirnya menjual sayuran.
Masih di usia 14, saat kampungku sudah tak ramai membicangkan pemimpin baru di negeri ini, saat itu pulalah bapakku pulang dari Jawa. Aku lupa wajah bapakku. Aku baru tahu kalau ia bapakku setelah diberitahu oleh Mbah Mar dan ibuku. Aku kaku saat Bapak memelukku.
Bapak berperawakan kurus-tinggi. Pantas saja aku juga kurus seperti itu, pikirku dalam hati. Aku juga berpikir sekaligus ingin tahu, apa sebetulnya pekerjaan bapakku. Tapi sayang, aku tak sempat mendengar percakapan tentang pekerjaannya.
Oh ya, kata ibu, bapak yang memberiku nama Suprihatin. Tak tahu juga kenapa aku diberi nama itu. Kalau kata Mbah Mar, agar aku ini jadi perempuan yang penuh rasa prihatin, wajar, pandai bersyukur, dan tidak berlebihan dalam menjalani hidup. Ada-ada saja jawaban Mbah Mar.
Mbah Mar sendiri tidak memanggilku Suprihatin. Ia memanggilku, Gotin. Tak perlu kutanya kenapa. Karena aku suka dipanggil begitu.
Bapak tak lama tinggal di rumah. Mungkin hanya sepuluh hari. Setelah itu ia pamit pergi ke Jawa lagi. Aku sempat mendengar Bapak berjanji pada Ibu bahwa ia akan segera kembali. Bapak juga berpamitan padaku sambil menyentuh daguku setelah sebelumnya berpamitan dan mencium tangan Mbah Mar.
***
RUMAH berfondasi bata merah kini hanya ditinggali tiga penghuni. Aku, Mas Nalis, dan Mbah Mar. Ibuku meninggal pertengahan April lalu. Aku dan Mbah menemukannya tergeletak di atas amben. Mulutnya berbuih. Kata Mbah Mar, ia minum racun serangga. Bapak tak pernah tahu kalau ibu sudah meninggal. Sama halnya aku, tak pernah tahu apa gerangan nasib bapakku, sebab ia tak sekalipun pulang setelah pamit pergi ke Jawa enam tahun lalu.
Aku tengah hamil tua. Usiaku 20 tahun sekarang. Aku membuka usaha menjahit setelah setahun sebelumnya mengikuti kursus di Penjahit Perintis. Di sanalah aku mendapat keahlian sekaligus bertemu dengan jodohku, Mas Nalis. Aku menikah di usia 19, dan Mas Nalis empat tahun lebih tua dariku. Meskipun pendengaranya tak berfungsi, ia adalah suami yang sabar dan penyayang. Kami dinikahkan di KUA. Tanpa pesta. Hanya ijab-kabul biasa. Aku bersyukur. Karena kehadiran Mas Nalis mengingatkanku pada ucapan Mbah Mar, rezeki sudah ditaker, jadi enggak mungkin ketuker.
***
SORE begini Mbah pasti sedang menggembalakan kambingnya di Balai Pertanian. Mas juga pasti belum akan pulang dari pasar, kataku dalam hati. Aku khawatir. Perutku mulai sakit. Ada yang menendang-nendang di dalam perut. Aku pergi ke dapur mengambil minum. Kupikir sakitnya berkurang kalau aku minum air.
Belum sempat sampai di dapur, aku melihat seekor ular di dekat pintu. Kontan saja aku takut. Aku melompat belakang. Berusaha menjerit, tapi tak bisa. Entah kenapa tiba-tiba aku mengambil sapu, kayu, atau apa saja yang ada di dekatku untuk memukul ular itu. Ular itu jadi melawan. Sebagian badannya tegak sempurna. Ia mencoba mematuk, aku menghindar. Aku memukul, ia menghindar. Akhirnya, dalam waktu yang tak lama, aku berhasil memukul kepalanya.
Setelah berkali-kali kupukuli, akhirnya ular itu mati. Kurasakan perutku semakin sakit. Aku tak kuat berjalan. Aku bersandar pada meja kayu di sebelahku, mencoba menarik napas panjang—kemudian duduk sambil memandangi ular yang sudah mati itu. Aku menunduk dan memohon pada Tuhan, agar mitos yang kupercaya itu tak menimpa bayi yang sedang kukandung ini.
Gunungterang, Mei 2012