Nalar Dekonstruktif Teosof Islam
Posted by PuJa on December 29, 2011
Nova Burhanuddin
http://lakpesdam.numesir.com/
Siapa yang mendaku tahu bahwa Allah-lah Sang Penciptanya, tanpa merasa bingung, maka itulah bukti kebodohannya.
(Ibn ‘Arabi dalam al-Futûhât al-Makkiyyah)
I
Landasan awal yang bisa kita pijak dalam kaitan antara dekonstruksi dan teosofi adalah bahwa teks adalah tajalli (“penampakan”, representasi) dari Tuhan. Para teosof berkesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara makhluk dengan Sang Khalik. Kaitan erat ini termanifestasi dalam konsep bahwa alam semesta, beserta seluruh isinya dan apa saja yang berkaitan dengannya, tak lain adalah tajalli dari Allah. Kesimpulan semacam ini tak hanya dihasilkan dari sudut pandang teosofis. Namun sebenarnya bisa dilacak dari seluruh teolog dan pemikir muslim–bahkan dalam tingkatan tertentu mencakup juga seluruh manusia yang berpikir, muslim maupun kafir. Seperti al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib–buku tafsir yang begitu kental aura teologi asy’ariyah sekaligus aura filsafat abad tengah dan aura sains–pada awal jilid pertama menyebutkan bahwa tiap detil dari penciptaan di dunia ini dan di akhirat nanti hakikatnya menunjuk bahwa semuanya adalah ciptaan Allah Yang Maha Esa. Pembedaan antara istilah tajalli ala para teosof dan istilah menunjuk Sang Esa ala para teolog dan filosof klasik, tak lain akibat pengaruh relativitas maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran masing-masing pemikir. Karena kita tahu, maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teosof, sebenarnya adalah ihsân, ma’rifatullâh, dan ahli ihsân. Sementara maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teolog dan filosof adalah wilayah manusia berpikir secara umum. Dan perlu diingat, pembagian wilayah ini secara relatif dilihat dari sudut pandang derajat kemampuan subjek-objek sasaran dalam menemukan dan membuktikan pendapat-pendapat tersebut secara non-taklidi.
Ada baiknya kita terangkan disini maksud dari relativitas maqâm. Pemahaman ini mungkin terinspirasi dari kritikan balik Syaikh Mahmud al-Ghurab terhadap Ibn Taimiyyah dalam Syarh al-Kalimât al-Shûfiyyah. Menurutnya, Ibn Taimiyyah bisa menyalahkan Ibn ‘Arabi karena hanya berangkat dari apa yang ia pahami dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, bukan dari pemahamannya terhadap Ibn ‘Arabi itu sendiri–meski secara global saja, tak menembus kejiwaan Ibn ‘Arabi secara paripurna. “Orang yang memahami perkataan belum tentu memahami yang berkata. Tapi orang yang memahami yang berkata sudah tentu memahami perkataan,” tutur Syaikh Mahmud al-Ghurab. Artinya, kritikan sangat pedas itu didorong oleh ketakmengertiannya akan Ibn ‘Arabi sebagai seorang sufi yang berbicara atas nama ahli ma’rifat. Pantas saja Ibn Taimiyyah begitu tega mengatai Ibn ‘Arabi sebagai memiliki jiwa setan, kafir, musyrik, meghancurkan bangunan syari’at. Ini menunjukkan adanya perselisihan maqâm yang menyebabkan ketidakobjektivan dalam krtikan ini.
Bukti lain yang menunjuk kesesuaian dua istilah antara para teosof dan para teolog-filosof tersebut adalah kesamaan hasil untuk menunjuk adanya Sang Pencipta Yang Esa, baik itu diteropong lewat istilah tajalli maupun istilah menunjuk Sang Esa. Bahkan pun dalam teologi Kristen yang mempercayai konsep Trinitas, teologi Budha dan Hindu yang mempercayai konsep banyak tuhan, masih tersisa benih-benih keEsaan–meskipun dalam bentuknya yang masih keruh.
Kesimpulannya–berdasar ajaran Ibn ‘Arabi ketika menafsirkan ayat Wa qadlâ rabbuka allâ ta’budû illâ iyyâhu–adalah bahwa semua manusia, bahkan semua makhluk, ditakdirkan untuk pasti menyembahNya, mengEsakanNya, dalam bentuk, derajat, tingkatan, dan kekeruhan yang bervariasi. Senada dengan ini ‘Abdul Karim al-Jili dalam Al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifati al-Awâkhir wa al-Awâil pada jilid dua, bab terakhir.
Itu dikuatkan oleh Quran yang tak membatasi pengecapan istilah musyrik (antonim kata mukmin, yang mengEsakanNya) hanya kepada non-muslim, tapi juga berpotensi mencakup muslim. Lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd. Bahkan pun dalam kompetisi menghampiriNya, para sufi masih juga bersikeras untuk selalu mengEsakanNya–meskipun sudah tentu mereka muslim–supaya sekali-kali tak terjatuh pada jurang kesyirikan dalam beragam bentuk dan esensinya.
Tajalli Tuhan yang semacam ini sebenarnya bukan hanya diketahui oleh para ahli makrifat, namun juga oleh semua orang yang berpikir. Tentu saja apa yang dimengerti oleh mereka berbeda secara detil dengan apa yang dimengerti khalayak ramai. Yang bisa dimengerti para awam hanyalah jejak, atsar dari tajalli tersebut. Itu bisa diidentifikasi dari kenyataan bahwa kita memiliki kesan yang berbeda-beda terhadap satu objek. Mungkin ada yang beranggapan perbedaan kesan itu muncul semata-mata dari pandangan subjektif kita terhadap objek. Tapi saya kira itu separuh benar, karena subjek dan objek selalu berkait-kelindan dan tak pernah benar-benar terpisahkan. Itu juga terbukti dari temuan-temuan mutakhir dalam dunia fisika–diantaranya Teori Ketakteraturan Heisenberg–yang menyebutkan bahwa tiap detil elektron dari atom mengalami pergerakan “abadi” yang tak teratur. Inilah mungkin yang digambarkan oleh Ibn ‘Arabi dalam Al-Futûhat al-Makkiyyah dan sebenarnya “disepakati” secara umum oleh para teosof Islam bahwa penciptaan Tuhan itu abadi, alam mengalami penciptaan terus menerus, tiap saat penciptaan bagaikan aliran sungai yang tak bisa terulang lagi.
Jejak penciptaan “abadi” ala para teosof tersebut juga bisa dilacak kemiripannya dalam kerja Derrida. Dalam salah satu wawancaranya bersama televisi Amerika, yang termuat dalam film dokumenter Derrida, ia berkata bahwa tiap teks memiliki jejak yang samar dan tersembunyi, yang berpotensi mendekonstruksi bangunan utuh teks itu sendiri. Itu bisa diperjelas dari logika “ketidak-mungkinan” penulisan yang dikemukakan Derrida, sebagai konsekuensi logis logika sederhana dalam filsafat klasik Yunani dan Islam. Yakni, bahwa satu (Arab: Wâhid, bukan Ahad) tak pernah ada bila tak ada dua. Bahwa konsep ide tak mungkin sepenuhnya dapat tertuangkan dalam bentuknya yang asal dan sempurna ke dalam teks. Selalu saja ada pereduksian ide awal dalam teks jadi. Artinya, ada kemungkinan kesan yang berbeda-beda dari tahap ide menuju tahap teks. Kesan yang diterima ketika mendapat ide berbeda denga ketika telah terwujud dalam teks.
II
Landasan bahwa teks adalah salah satu representasi Tuhan bisa mengantarkan kita pada keniscayaan harmonisasi antara dua pertentangan (al-taufîq li al-dliddain). bn ‘Arabi berpandangan, ketika menafsirkan ayat laisa kamistlihi syaiun: bermakna tanzîh; wa huwa al-samî’u al-bashîr: bermakna tasybîh. Yakni, Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh. Al-Jili dalam al-Insân al-Kâmil berpandangan bahwa tak bisa dikatakan ayat Wamâ khalaqtu al-jinna wa al-insa illâ liya’budûn yang meniscayakan semua manusia dan jin pasti menyembahNya, bertentangan dengan adanya pembedaan antara mukmin dan kafir, karena hakikat ibadah terkadang juga meliputi mukhâlafah (Jawa: nulayani; Indo: menentang) dan maksiat. Pandangan terakhir ini mungkin bisa lebih tak “membingungkan” bila diharmoniskan dengan pandangan Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam al-Hikam: maksiat yang menyebabkan kehinaan dan rasa membutuhkanNya, lebih baik dari ketaatan yang menyebabkan rasa luhur dan rasa sombong.
Pandangan bahwa Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh sebenarnya bisa dibilang revolusioner. Kesimpulan semacam itu bisa dipahami bila kita mengikuti sejarah pergolakan pemikiran teologis antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, juga antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, dan juga antara al-Razi dan Ibn Taimiyah. Namun bagi penulis, pertentangan itu tak akan selesai dengan sendirinya bila masing-masing masih bersikukuh akan kebenaran mutlak pendapatnya dan mendaku bahwa pihak lawan tak ada sisi kebenarannya sama sekali. Nah, posisi betubrukan ini coba diselesaikan oleh para teosof dengan menyatakan bahwa Allah disamping sifat tanzîh, juga memiliki sifat tasybîh. Ini mungkin semacam legitimasi teosofis terhadap fenomena alam dan fenomena sosial yang nampaknya selalu bertubrukan dan tumpang tindih, namun dibalik semuanya itu menyimpan keharmonisan penciptaan yang luar biasa. Artinya, keharmonisan tak meniscayakan keselarasan melulu, tapi juga mengandung ketakselarasan dalam dirinya sendiri. Harmonis adalah gabungan antara yang selaras dan yang tak selaras dalam satu tubuh dengan komposisi yang ketelitian kadarnya tak terhingga.
Michael Foucault, pengarang The Archeology of Knowledge, pernah menyarankan untuk tak tertipu dengan rasionalitas, pun irasionalitas. Karena dalam diri seseorang atau teks yang dikatakan rasional, tersimpan jejak-jejak irasionalitas. Begitupun sebaliknya. Jacques Derrida, pelopor filsafat Dekonstruksi, penulis Of Grammatology, berhasil menguak jejak-jejak kehancuran, ketidak-harmonisan, keterputusan dalam setiap teks yang terlihat padu dan harmonis. Dekonstruksi itu terjadi karena adanya shackles of rational/metaphysical thought (belenggu rasional/pemikiran metafisik) yang menyebabkan proses penulisan, sekaligus juga pemahaman akan hasil tulisan dari sudut sang pembaca, menjadi tak terkontrol–sehingga terlupakanlah sebagian detil yang sebenarnya berpengaruh besar dalam terwujudnya makna yang relatif komprehensif. Tentu saja makna metafisik disini tak sama dengan “metafisik” ala para teosof muslim: yang pertama berdasar ilusi rasional, sementara yang kedua berdasar kasyf.
III
Titik lain yang menjadi pertemuan antara dekonstruksi sebagai aliran filsafat dan ajaran teosofis sebagai kearifan ilahiah adalah al-hairah/confusion/perplexed/bewilderment (kebingungan). Ian Almond dalam Sufism and Deconstruction ~ A Comparative Study of Derrida and Ibn ‘Arabi berpandangan bahwa confusion (kebingungan) dalam wilayah filosofis dan sufistik terjadi ketika sejumlah rasionalitas kita tak cukup untuk memahami apa yang sedang terjadi. Seolah volume gelas dalam pikiran kita tak cukup menampung dahsyatnya curahan volume air laut yang begitu bergelombang. Kebingungan ini menahan logika bahasa kita untuk bicara. Kita terdiam heran, seraya tak paham.
Dalam tradisi filsafat timur dan barat secara umum, kebingungan teridentifikasi sebagai problem yang harus segera dipecahkan. Kebingungan adalah keraguan antara ya dan tidak. Keraguan tak lain merupakan tahap pertama seseorang dikatakan berfilsafat. Apa yang mendorong al-Ghazali bergonta-ganti “pegangan” dalam menggapai ilmu yang meyakinkan, seperti terbaca dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, tak lain adalah keraguan. Dalam tradisi filsafat timur juga, kebingungan dianggap sebagai ketidakmampuan mengerti kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam setiap fenomena alam dan sosial yang seringkali acak, saling tumpang tindih, dan seakan saling bertubrukan tiada henti. Selain itu juga masih dianggap sebagai keadaan mental atau spiritual yang mundur dan butuh pemulihan. Sementara itu, filsafat pembangkit renaissance barat ala Descartes, sebagaimana dalam The Discourse on the Method, ialah proyek mengatasi keraguan demi menggapai standar keilmuan yang meyakinkan.
Namun tak selamanya identifikasi harus segera dipecahkan itu benar. Dalam salah satu pengajian umum, penulis mendengar KH. Asrory al-Ishaqi ra, salah seorang master sufi di Surabaya, pernah dawuh, “Ma’rifatullâh itu memiliki awal dan akhir. Awalnya adalah berpikir dan akhirnya adalah bingung.” “Bukankah keyakinan itu menenangkan hati, Yai?” lanjut sang Kyai, mengutip pertanyaan salah satu muridnya. “Ya, namun siapa sih yang tak bingung-cemas, bila meyakini bahwa semua takdir baik dan buruk pada akhir hayat manusia itu semata-mata di tangan Allah?” Sementara itu, salah satu dampak “ledakan horizon semantik” dalam filsafat Dekonstruksi adalah kemungkinan menjadikan kebingungan bagian integral dalam konsep kebenaran yang lebih luas. Kebingungan bukan lagi problem, ia hasil akhir. Dengan menerima kebingungan sebagai salah satu elemen penting dalam konsep kebenaran yang lebih luas, sebenarnya kita telah membobol belenggu rasional dan metafisik hingga kita bisa mengerti “situasi yang sebenarnya”.
Antara Derrida dan para teosof Islam, dalam masalah kebingungan, saya kira memiliki persamaan. Kedua pihak saling disalahartikan lantaran mengungkapkan pendapat yang cukup membingungkan. Masing-masing dari kedua pihak, membelah orang lain dalam kelompok yang mengaguminya dan kelompok yang membencinya. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai Sulthân al-‘Ârifîn, sebagaimana Abu Yazid al-Busthami. Karyanya sampai sekarang dianggap sebagai ensiklopedia sufistik terlengkap, yakni Al-Futûhât al-Makkiyyah. Namun disisi lain, ia dianggap sebagian ulama, terutama Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah sebagai seorang kafir, musyrik, ateis… Karya-karya di-black list oleh Al-Subki, juga al-Suyuthi. Adapun al-Suhrawardi al-Maqtul diangap sebagai master illuminasi dalam Islam (Syaikh Isyrâq) dan dikenal sebagai orang pertama yang berhasil mengkritik logika arstotelian dalam kerangka yang cukup matang secara sufistik dan menggantikannya dengan logika illumniasi (Manthiq al-Isyrâq). Masterpiecenya dalam hal ini adalah Hikmah al-Isyrâq. Namun ia pada akhirnya harus mati dalam pembunuhan penguasa lantaran mengajarkan tasawuf yang bertentangan dengan ajaran tasawu sunni. Adapun Ibn Sab’in dianggap tokoh yang berhasil meneruskan dan mengembang ide-ide Ibn ‘Arabi tentang wahdah al-wujud dengan menggulirkan ide al-wahdah al-muthlaq. Namun sayangnya juga banyak dikecam lantaran terlalu berani mengkritik banyak filosof Islam dan mengajukan teori al-wahdah al-muthlaq, sebagai kepanjangan teori wahdah al-wujud.
Sementara itu, Derrida begitu sering dikecam oleh banyak sekali pemikiran filosof. Ada yang mengatainya sebagai seorang filosof yang hanya bermain-main pada permukaan logika sehingga menghasilkan kesimpulan yang selalu membingungkan. Ada yang menyimpulkan dekonstruksi tak memberikan kemajuan apa-apa, karena tak berusaha menguak sedalam mungkin logika yang terkandung dalam sebuah teks. Tapi kritikan iu semua tak berarti apa-apa bila kita tak mempertimbangkan banyak pihak yang juga menerima baik aliran dekonstruksi ini. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa perselisihan dekonstruksi terjadi akibat tak memahami bahwa dekonstruksi bukanlah menhancurkan logika teks itu sendiri, melainkan menemukan dekonstruksi (ketakharmonisan, kehancuran) logika dalam tubuh teks itu sendiri. Ada pula yang menyimpulkan bahwa dekosntruksi berjasa besar dalam menemukan kemungkinan lain dalam pembacaan sebuah teks. Ini juga bermanfaat sebagai kritik keabsolutan komprehensifan sebuah teks. Juga mengandung kemungkinan perluasan makna komprehensif menjadi lebih luas, lepas dari segala pembacaan linear dan doktrinasi ideologi.
***
Tulisan diatas hanya sekelumit usaha untuk mengkomparasikan nalar teosof Islam dengan aliran dekonstruksi Derrida yang sangat populer dalam kajian teks dan sastra. Usaha diatas bukanlah usaha untuk menyamakan kedua kecenderungan tersebut. Juga tak bisa melegitimasi bahwa filsafat dekonstruksi adalah islami. Tulisan diatas jauh untuk dibuat sebagai salah satu proyek islamisasi pengetahuan, dengan cara islamisasi filsafat. Sama sekali tidak. Namun tulisan diatas hanya berusaha sesederhana mungkin untuk menunjukkan sekelumit kesamaan logika teosof Islam dengan logika dekonstruksi ala Derrida. Ini juga merupakan salah satu penguat banyak kesimpulan sebagian peneliti bahwa ajaran teosofi Islam–terutama teosofi Ibn ‘Arabi–merupakan ajaran yang paling mendekati filsafat modern dan posmodern sekaligus. Landasan historis untuk berkesimpulan demikian tak hanya ditunjukkan oleh kesamaan sebagan logika antara keduanya, tapi juga secara historis. Lebih tepatnya adalah pengaruh ajaran teosof Islam, terutama Ibn ‘Arabi, kepada dunia filsafat barat secara umum dengan tokoh-tokohnya seperti Pseudo-Dionysius pada abad ke-5-6 Masehi, Dante Alighieri (1265-1321), dan Meister Eckhart (1260–1327). Bahkan tokoh yang disebut terakhir adalah diantara tokoh yang begitu mempengaruhi Derrida dalam pandangan teologi “negatif”nya. Itu terlihat dalam analisis Derrida Revue de Métaphysique et de Morale yang muncul pada tahun 1964.[]
11 Desember 2010
0 comments:
Post a Comment