PUISI GURIH SYAHREZA FAISAL
Oleh Sarabunis Mubarok
“Hal-hal sederhana membentuk kesempurnaan,
tapi kesempurnaan bukanlah hal yang sederhana”
Saya pernah berseloroh di antara kawan-kawan Sanggar Sastra Tasik (SST), bahwa setidaknya ada tiga hal yang pernah mempengaruhi kehidupan manusia di muka bumi, yaitu agama, bumbu, dan energi. Kontan kawan-kawan saya tertawa karena hal tersebut sepintas terdengar lugu dan kocak.
Bumbu, pada beberapa abad silam telah menggerakkan bangsa Eropa untuk merambah berbagai kawasan di dunia, pun ke indonesia. Bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda rela jauh-jauh datang ke Maluku hanya untuk mendapatkan rempah-rempah. Lada, kemiri, cabai, lengkuas, jahe, kencur, kunyit dan sejenisnya, pada masa itu menjadi barang yang sangat berharga. Demi memuaskan lidah, pada masa itulah bangsa Eropa melakukan ekspansi besar-besaran, yang kemudian membawa akibat, Nusantara terjajah selama ratusan tahun.
Di Indonesia sendiri, makanan memiliki sejarah yang sangat panjang dan beraneka ragam seiring dengan keanekaragaman budaya di masing-masing daerah. Maka wajar saja jika nasi yang menjadi makanan pokok hampir di semua daerah, menyandang berbagai istilah khusus dalam rangkaian proses memasaknya. Sawah kebunnya, padi pohonnya, gabah bulirnya, beras dagingnya, tepung bubuknya. Setelah dimasak memilik banyak nama pula; nasi, tumpeng, wuduk, liwet, bubur, kupat, lontong, dan sebagainya.
Begitupun dengan tumbuhan, ada ratusan ribu spesies yang tumbuh di indonesia. Tentu saja banyak hal mengerikan ketika kita berbicara tentang alam. Keserakahan manusia menyebabkan tumbuhan satu persatu menuju kepunahan. Hutan terus dibabat, pohon-pohon mulai menuliskan biografinya untuk dikenang di buku-buku catatan.
Dan tiga hari yang lalu, saya menerima sebuah buku tentang berbagai makanan dan tumbuh-tumbuhan. Tapi bukan buku resep atau catatan keanekaragaman hayati, melainkan sebuah antologi puisi, berjudul “Hikayat Pemanen Kentang” karya Mugya Syahreza Santosa, penyair muda potensial asal Cianjur, Jawa Barat.
Meskipun dalam tiga atau empat tahun terakhir ini banyak penyair yang menulis puisi bertema kuliner, buku Syahreza ini masih cukup menarik untuk disimak. Secara umum bukunya bercerita tentang dua hal, yaitu tumbuhan dan makanan. Ditulis dengan tuturan bahasa yang sederhana, tidak njlimet, enak dibaca dan dipenuhi banyak rima meskipun pola rimanya tidak terlalu beraneka.
Tiga puisi pembuka dalam antologi “Hikayat Pemanen Kentang” bertema umbi-umbian. Dari tiga sajak inilah saya menemukan Syahreza benar-benar mengakrabi umbi-umbian, terutama kentang dan singkong. Diawali dengan sebuah puisi berjudul ‘Musim Panen Pekebun Muda” dan dan ‘Pemanen kentang”. Dua puisi ini menghadirkan metafor sederhana dengan diksi-diksi yang cukup akrab di telinga, namun mampu menyiratkan makna-makna yang mampu menghentak rasa, membawa pembaca pada kesadaran akan sebuah kebersahajaan.
Dan meskipun bersubjek orang ketiga, dua puisi yang bercerita tentang musim panen ini terasa kuat mengeluarkan empirisme penyairnya. Ada kegembiraan atas sebuah hasil dari proses yang memerlukan kesabaran. Juga ada ritual sederhana sebagai bentuk kebersyukuran. Semoga memang sejembar itu adanya, meskipun saya tidak mendengar jeritan tanah yang diracuni pupuk kimia, atau rintihan daun yang disiram insektisida.
Puisi ketiga berjudul “Singkong”. Ada sebuah samar kenangan yang melecut dari masa kanak. Dengan aku lirik yang cukup kuat, Syahreza berhasil mendedahkan kasih sayang dalam sebuah kesederhanaan.
Saya mungkin tidak terlalu tertarik pada diksi-diksi dalam sajak ketiga ini. Namun ada sebuah ironisme yang terbaca di akhir bait ke dua, seperti memberi jawaban atas dua puisi sebelumnya. Kalimat yang menjelaskan bahwa singkong yang dihadapinya bukan singkong yang sama dengan singkong yang telah membesarkannya, seolah memberitahukan kepada pembaca bahwa kanak-kanak inilah yang kini jadi pekebun muda, mengikuti jejak ibu-bapaknya.
Selain tiga puisi pembuka, saya tertarik pada dua puisi lainnya yang berjudul “Rebung” dan “Hikayat Gairah Aur”. Dua sajak yang bercerita tentang pohon bambu muda dan bambu tua ini seperti hendak membangun kontradiksi, dan mengisyaratkan sebuah ironi. Dua sajak ini seolah ingin mengingatkan pembaca pada nasib yang tengah dan akan dijalani.
Berikut nasib bambu muda pada larik puisi “Rebung”: bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu/ hidup kalian memang akan sampai di situ/. Sedang pada puisi “Hikayat Gairah Aur” tertulis: Jangan tebas mereka, jangan potong pula/ sebab jauh di dalam hatinya/ dikandung gairah, menggenang cinta/ sepanjang hayatnya/. Begitulah penyair menuliskan aur muda yang ditakdirkan menjadi sayur, dan gairah aur tua yang akan sampai di liang kubur.
Selain lima puisi tersebut, puisi-puisi tentang tanaman lainnya sangat terasa lokalitasnya. Ada sehimpun kedekatan penyair dengan kehidupan sehari-harinya. Saya kira masih sangat terbuka jika tema-tema tersebut didalami lebuh jauh, sehingga menghasilkan puisi yang lebih menarik, agar tak terasa terburu-buru, dan tdak terbaca sekedar curahan emosi sepontan semata.
Selain puisi-puisi bertema tanaman, di bagian akhir antologi ini dimuat tiga belas puisi kuliner. Meskipun sangat terasa seperti memindahkan resep masakan ke dalam bentuk puisi, setidaknya puisi-puisi ini mengajak pembaca untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah kita makan. Pembaca juga seperti sengaja diajak menemukan hal-hal menarik pada setiap proses memasak, sampai makanan tersaji di meja makan. Pembaca juga diajak berkenalan pada berbagai perabotan dapur, bahan baku dan bumbu-bumbu.
Dari ketiga belas puisi kuliner ini, puisi ”Petunjuk Dapur” terasa lebih menonjol. Baik dari bentuk pengucapan maupun gagasan yang ingin disampaikan. Memasak rupanya sebagian dari proses hidup yang tengah bergejolak dalam batin penyairnya. Sebuah gairah masa muda dengan jujur disampaikan dalam larik berikut: sebuah cobek dan ulek/ menunggu dosa kita lumat/ dan digantikan jadi pahala/ itupun kalau bisa//.
Sedikit mengherankan memang, karena tak banyak laki-laki yang bisa atau setidaknya mengerti tentang proses masak-memasak. Apalagi saya yang taunya cuma makan saja, hehehe…
Sarabunis Mubarok,
Sastrawan dan pemerhati sastrawati
Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST)
dan komunitas Azan
0 comments:
Post a Comment