Puisi
apakah aku harus bertanya kepada puisi
di mana pohonan menjelma menjadi bait-bait
matahari menjadi penandamu
bahwa tak ada yang menghalangi
jika malam bukan dirimu.
kita adalah sepasang alat tulis sederhana
aku adalah pena yang akan menuliskan setiap gerak bibirmu
dan kau adalah kertas yang akan menjadi alas lirikku
sebelum menjadi puisi, aku bukan siapa-siapa
seperti tak mengenal apapun, amnesia
atau sengaja melupakan
sampai berada pada tingkat hibernasi tertinggi
di sana tak ada mimpi pertemuan kemarin
tak tahu kapan harus bangun melihat
wajamu yang baik
setelahnya, sebutlah aku sebagai siapa saja
dan siapa yang jadi pngikutmu
segala yang ada dalam tubuhmu
adalah metafor
dan segala yang ada di luar tubuhmu
adalah alur panjang
ketahuilah, aku mencintaimu kapan saja
sampai puisi habis terbakar
2012
Perayaan luka
Seperti sebelumnya,
aku tak pernah menemukan seromoni apapun hari ini.
Mesiu telah meledakan matamu di langit,
membutakan semua peristiwa,
atau kau pura-pura tuananetra
agar bayanganku dipaksa diseret jauh-jauh
juga terompet telah membuatmu tuli
atas pernyataan cinta berulang kali.
Mungkin,
hari ini kau telah merayakan kemenangan sekaligus perpisahan
dengan meniupkan nafasku yang masih menyisa di mulutmu.
Dan pada detik-detik terakhir
akan kuucapka selamat
dari lidahku yang paling berat
Di sini, aku malah berkemas mengumpulkan kenangan perjumpaan
2011-2012
Pelanggan
Sebagai pelangganmu, kali ini aku akan membeli jantungmu, apakah ada pertanyaan atau pernyataan tentangku, membeli telingamu dan membisikan cuaca agar kau tak kehujanan atau kepanasan saat menuju rumahmu, membeli tanganmu dan melingkarkan cincin di jemari sebagai tanda kemenangan, membeli kakimu supaya kita sama-sama melangkah dalam arah yang tepat. Tapi aku tidak sanggup membeli wajahmu, sebab terlalu mahal bagiku untuk menyisir rambut dengan penuh kecemburuan, menggantungkan antinganting, mengalungkan berlian di lehermu, apa lagi menempelkan lipstik di bibirmu yang bukan milikku. Sungguh tidak sanggup, dan aku bukan pelanggan setiamu.
2011
Ledeng-Gardujati
: humaira
Lihatlah,
pertokoan yang menjanjikan kita membeli gaun pengantin,
yang ingin segera menikah di malam purnama,
penjual kosmetik
pakaian, atau salon yang akan memangkas
setiap kecemburan.
Sayang, seratus delapan puluh detik lampu merah
terlalu lama, semakin resah menuju rumah,
memperkecil ciuman kita menjadi rendah
: tidak basah dan tidak berdarah
kuning semakin ragu untuk memulai
pembicaraan,
apakah kita sudah benar-benar saling mencintai
atau pura-pura amnesia?
Sempat kita terjebak waktu di belokan dua kilometer
setelah kau mencintai kaca belakang
dengan embun yang tak sempat memanjakan mata,
sementara kakek itu tidak ingin terlambat
melihat cucuknya menikah untuk kedua kalinya setelah
pertama gagal karena kekasih perempuan meninggal,
seorang ibu dengan anak usia dua tahun,
menangis ingin segera memahami celana dalamnya
kenapa musti ganti tiap lima jam sekali.
Perlahan kaupun memegang tanganku dengan gemetar
menelusuri tiap lentik jemariku
menghafal poro-pori
dan melupakan kuku panjangku yang selalu menerobos
setiap lekuk tubuhmu.
Sayang, berapa jam lagi untuk sampai
sementara aku terlalu mencintai jam-jam yang kau inginkan
dan kau pun terlalu berkeringat mencintaiku.
Setelah itu, lupakanlah terminal,
sebab kita tidak lagi membuang gelisah atau luka
selama mengasihi perjalanan.
Yakini bahwa kita adalah sepasang kekasih terbaik
di jalan itu.
2011
0 comments:
Post a Comment