Pages

Thursday, 29 December 2011

Schizophrenia

Cerpen Langgeng Prima Anggradinata
Schizophrenia


Setiap sore Mariam menonton televisi. Ia menonton film yang buruk menurutku. Kartun Tom and Jerry. Ya, jelas saja murahan, di sana Tom, seekor kucing rumah yang menderita. Dia dipukul. Disakiti. Brengsek.

**

Sore itu Mariam menonton kartun tidak berkualitas itu lagi. Aku duduk di samping sofa, depan televisi. Dia tertawa terbahak-bahak melihat Tom terlindas mobil, lalu Tom dipukul-pukul oleh majikannya dengan sapu. Mariam melihatku. Pandangannya seperti berhasrat ingin melakukan sesuatu. Lalu ia pergi ke dapur, entah mengambil apa atau berbuat apa, lalu ia kembali ke ruang TV.

“Hei, Tom!” Ia bicara padaku. Matanya seperti mata orang yang kesambat setan. Dia berbicara kepadaku sambil mengacungkan pisau.

Ia menghujamkan pisau kepadaku dengan penuh tenaga. Aku melompat ke sofa. Sabet pisaunya merobek kulit sofa. Cepat. Seperti cahaya yang masuk ke mataku. Pisaunya bercahaya. Pisaunya meleset dari tubuhku. Ada apa dengan Mariam? Orang ini kesetanan. Aku masih tetap tenang dan memandang mata Mariam. Tapi pisaunya kembali melayang ke arah kepalaku. Meleset lagi. Aku melompat ke lantai. Sofa kembali robek.

Aku bersembunyi di bawah kasur, sementara Mariam masih mencariku sambil berteriak-teriak kesetanan.

“Tom, Tom, di mana kamu?”

Dengus nafasnya terdengar hingga magrib. Rumah ini terlihat gelap dan sepi. Tak ada lampu, hanya cahaya dari televisi yang menyala di ruang TV. Orang tua Mariam selalu pulang malam. Ya, larut malam karena sibuk bekerja. Mariam tidak punya saudara, setiap hari aku yang menemaninya. Namun ada orang lain yang sering mengajaknya berbicara, namun entah siapa. Aku tidak pernah melihatnya, dan barangkali orang itu pun tidak pernah melihatku.

Ia sangat kesepian dan tertekan dengan kehidupannya. Kerjaannya kalau tidak belajar, ya, nonton televisi. Tetapi Mariam lebih banyak belajar sendirian, sedangkan menonton TV hanya dilakukan pada saat kartu Tom and Jerry mulai. Mariam tidak sekolah lagi, karena berulangkali ia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap gila tetapi kupikir ia anak yang cerdas, bahkan jenius.

Aku teman, barangkali juga kekasihnya. Kami selalu bermain bersama, makan bersama, dan menonton televisi. Kami pun pernah tidur bersama. Mariam anak yang cantik, aku mencintainya. Kami pun pernah bercinta. Ada seorang pembantu di rumah ini, tetapi jika hari telah sore dia pulang, tepat saat Mariam menonton kartun bodoh itu.

Kali ini Mariam menuju kamar tempat aku bersembunyi. Masih juga memanggil-manggil. Aku mengigil. Dia sudah gila.

“Tom, kamu di mana?”

Dia membuka lemari. Masuk kamar mandi. Melihat kolong tempat tidur. Dia melihatku.

“Oh, Tom, ternyata kau di sini. Kemarilah, Tom. Kau amat kusayang. Kemarilah. Hamlett, Hamlett, lihatlah dia adalah kekasihku”.

Hamlett. Ya, itulah Hamlett, orang yang tak pernah aku ketahui.

Mata Mariam kian memerah. Menyembunyikan pisau di balik tubuhnya. Nafas nafsu membunuh lahir dari hidungnya. Brengsek. Pisau cepat ingin menyelusup ke perutku. Aku menghindar dan lari ke ruang TV.

“Hai, Tom. Kau mau ke mana lagi?” Dia mengejarku lagi.

TV masih menyala. DVD player pun menyala. Di TV Tom sedang mengejar Jerry. Tom membawa pisau sedang Jerry lari ketakutan. Mimpi buruk apa ini?

“Oh, Tom, rupanya kau mau nonton TV bersamaku, ya? Baiklah. Ayo kita menonton bersama, Tom”.

“Hei, ada apa denganmu. Kau mau membunuhku?”

“Tom, Tom, tunggu dulu. Kau bicara? Kau tak pernah bicara padaku, Tom. Mengapa? Apa kau pura-pura bisu. Ah, tidak, Tom! Coba jelaskan padaku!”

“Namaku bukan, Tom!”

“Ya, Isa! Isa!”, sambil memukul-pukul kepalanya seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia berubah menjadi lebih gila.

Pisaunya kembali menyabet udara dan cahaya. Cahaya memantul dari mata pisau. Aku menghindar. Matanya bias cahaya merah. Kakinya menyenggol meja. Kotak whiskas dan sebotol neuroleptics tumpah memenuhi lantai. Udara dingin di ruang TV. Aku mulai lelah. Dia terus menghujamkan pisaunya ke tubuhku. Aku terus berusaha menghindar. Tubuhnya berada dekat dengan tubuhku. Tangan kanannya membelah udara dingin dan cahaya. Aku menghindar lagi dan lari ke loteng rumah, beranda, dan sampai ke atap rumah ini. Tak ada lagi tempat bersembunyi. Sial. Aku terjebak dalam udara.

Tak lama Mariam menemuiku di atap rumah. Kami bedua bertatapan. Matanya masih merah. Masih kesetanan. Aku terjebak di ujung atap. Terlalu tinggi untuk melompat ke bawah.

“Sayang, kau mau ke mana? Ini masalah cinta kita saja menurutku.Kau tidak perlu cemburu dengan Hamlett, dia temanku, ayolah, berkenalan kalau perlu”.

“Hamlett? Dia tidak ada. Barangkali aku pun tak ada. Cinta? Tahu apa kau tentang cinta? Kau baru 16 tahun”.

“Eee, Hamlett. Dia di kamarku sekarang, kau pun ada, di depanku sekarang. Iya, cinta. Pemikiran tentang cinta. Apakah kau tak ingat aku selalu membelai rambutmu yang halus, yang abu-abu dan kita selalu main bersama bahkan kita tidur bersama. Atau. Atau aku selalu mengunting kukumu itu. Kemarilah, Isa”.

“Tidak. Kau ingin membunuhku”.

“Oh, Isa. Tidak, Isa”.

Dia mendekatiku. Angin dari utara meniup rambutnya yang panjang sepunggung dan kaos ketat bergambar kucing menyembulkan dadanya. Dia mendekat. Lebih dekat. Pisaunya bercahaya lagi. Bulan separuh di badan pisau. Aku melompat ke wajahnya. Mencakar wajahnya. Dia berteriak. Kami hampir jatuh. Kami berada di bibir atap. Mencoba agar tetap seimbang. Pisau terjatuh ke bawah dan menancap di antara rerumputan. Aku masih di wajahnya dan menatap tajam. Mariam menatap dengan tatapan kosong. Udara masih kerasa tajam. Matanya kosong menatapku. Tubuhnya gemetaran. Aku mencium bibirnya. Ada sesuatu. Entah apa. Sebuah serbuan dingin yang melemahkan tubuhku. Aku gemetaran dan merasa takut. Genting-genting rumah pun longsor. Membawa kami ke udara bebas. Terjun bebas.

Aku mencium bau rumput dengan basahnya. Keempat kakiku patah. Ekorku tak bergerak. Kulihat Mariam. Matanya masih menatapku. Matanya mengeluarkan darah. Mulutnya pun berdarah. Terdengar suara aneh dari mulutnya. Mengeong. Retinanya memipih coklat seperti mata seekor kucing.***/2009/

0 comments:

Post a Comment