Tentang Kecantikan Itu
Posted by PuJa on December 30, 2011
Bre Redana
Kompas, 27 Des 2011
Ada hal menarik dari pertunjukan monolog Inggit oleh Happy Salma di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, tanggal 22 Desember 2011. Pertunjukan yang naskahnya ditulis oleh Ahda Amran dan disutradarai Wawan Sofwan ini bagus. Selama dua jam lebih Happy membawa penontonnya terpaku, terpesona pada Inggit Garnasih (1888-1984), yang seolah merasuk pada aktris asal Sukabumi ini. Siga kasurupan, roh Inggit ngageugeuh dina ragana.
Bahkan bagi mereka yang antusias pada sejarah, dari berbagai cerita mengenai Inggit—istri Sukarno pada masa sebelum Indonesia merdeka—ada hal khusus bisa tertangkap di situ, yakni Inggit sebagai persona, sebagai pribadi, dengan sifat dan karakternya. Itulah yang jarang terungkap pada penulisan sejarah, termasuk biografi. Sejarah, kadang menjadi—istilah Fukuyama—ODAA alias “one damned thing after another”.
Dalam pentas monolog Happy, Inggit bukan hanya tampil dalam lintasan sejarah berikut peristiwa yang dialaminya—yang sebagian bisa kita tangkap lewat buku karya Ramadhan KH atau Cindy Adams—melainkan juga bagaimana wanita ini menyikapi situasi, baik situasi politik, rumah tangga, cinta.
Keberhasilan Happy menjadi Inggit membuat beberapa penonton berkaca-kaca matanya. Beberapa ibu menonton sambil tak tahan mengeluarkan kegemasannya—bagaimana setelah ikut menyertai Sukarno dalam pembuangan segala, sampai Bengkulu Sukarno berpaling pada wanita lain, yang kita kenal sebagai Fatmawati. Yang mengharukan bukan kelembekan Inggit, tapi justru ketegarannya. Ketika Sukarno memintanya untuk berpengertian, bahwa Sukarno ingin menyunting wanita lain, Inggit menggunakan haknya untuk berkata tidak.
“Ceraikan aku dan kembalikan aku ke Bandung,” katanya.
Dalam sejarah kita mengenal, Inggit melewatkan hari tua di Bandung dalam kehidupan sederhana, sebagai pembuat jamu dan bedak. Dia memanggil Sukarno “Engkus”. Tatkala Sukarno wafat tahun 1971, di depan peti jenazah Soekarno yang disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta, Inggit berucap lirih: “Engkus, geuningan Engkus the miheulaan Inggit. Kasep, ku Inggit didoakeun… (Engkus, rupanya Engkus mendahului Inggit. Cakep, Inggit mendoakanmu).”
***
Pentas itu telah menghidupkan Inggit. Pertanyaan yang terus mengganggu—dan kian membuat penasaran—bagaimana Inggit senyatanya, pada masa mudanya, yang membuat Sukarno kepincut? Di sini boleh jadi setiap orang bermain dengan ruang imajinasi yang tersedia.
Sukarno dari Surabaya datang ke Bandung untuk melanjutkan sekolah pada usia sekitar 20 tahun. Inggit lebih tua 13 tahun darinya, dan pada saat Sukarno datang ke Bandung dan idekos di rumahnya, Inggit sudah menjadi istri pedagang bernama Sanusi. Itu adalah perkawinan kedua Inggit. Sebelumnya, dia menikah dengan Kopral Residen bernama Nataatmadja.
Seorang istri pedagang, berhadapan dengan aktivis pergerakan, intelektual, bagaimana kira-kira perasaan Inggit? Bahkan begitu menginjak rumah setelah dijemput Sanusi di stasiun. Sukarno langsung mendaratkan pujian kepada calon ibu kosnya itu. Dia memuji bunga merah hiasan sanggul Inggit.
Padahal bunga itu kuning. Pemuda ini ngawur. Hanya saja, siapa tidak terpincut oleh rayuan gombal pemuda tampan ini?
Rumah yang semula sepi, menjadi ramai sejak kedatangan Sukarno—waktu itu namanya masih Kusno. Tamunya adalah para aktivis pergerakan, seperti Hatta, Sjahrir, dan lain-lain. Inggit suka melihat Sukarno dengan mata berbinar-binar. Mungkin dengan senyum semanis Happy itu.
Seorang wartawan kawakan yang pernah dekat dengan Bung Karno—tak perlu saya sebut namanya—menceritakan Sanusi sering meninggalkan Inggit sendirian dengan Bung Karno dengan alasan berdagang di luar kota. Baiklah, anggap saja ini ruang imajinasi yang tersedia. Wartawan tadi bilang, katanya Bung Karno pernah bercerita, “Bayangkan. Di malam Bandung yang dingin itu, hanya berdua dengan wanita cantik yang sudah matang.”
Bung Karno kemudian menikahi Inggit. Bersama Inggit inilah masa formatif Sukarno. Inggit menemaninya belajar malam-malam, sambil membuat jamu. Dengan jualan jamu dan bedak itu pula Inggit menopang ekonomi kehidupan mereka berdua.
Ketika Sukarno dibuang ke Ende, Inggit menyertai. Begitu pula ketika Sukarno dibuang ke Bengkulu. Selama 20 tahun Inggit satu-satunya wanita bagi Bung Karno.
Kita hanya bisa mengira-ngira, bagaimana kira-kira sosok wanita yang sebenarnya begitu penting hidupnya bagi Sukarno ini. Ingat, selama 20 tahun berarti Sukarno hanya dengan Inggit. Setelah periode Fatmawati, tidak lama kemudian muncul perempuan-perempuan lain, sampai tumbangnya Bung Karno di tahun 1965.
Dengan kata lain, selama 20 tahun pertama Bung Karno dengan satu wanita, bernama Inggit. Pada 20 tahun berikutnya, ibaratnya Bung Karno dengan 20 wanita…
Jelas, Inggit bukan wanita biasa.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/12/tentang-kecantikan-itu.html
0 comments:
Post a Comment