Pages

Tuesday, 31 January 2012

Chinese Prosecutors Cite 'Subversive' Poem at Dissident's Trial


Chinese prosecutors on Tuesday presented the poem of a veteran Chinese dissident as evidence of inciting subversion.

The lawyer for Zhu Yufu said prosecutors at the trial in eastern China cited his poem, titled "It's Time," which urged his fellow citizens to rise up and demand greater freedoms.

The poem was published during the height of the Arab Spring uprisings that swept across North Africa and the Middle East last year. Zhu was detained as part of a crackdown by Chinese officials on political dissidents who called for similar protests.

Zhu denies inciting subversion, saying he did not organize any protests. He also denied posting the poem to any public online forum, saying he only shared it with friends.

No verdict was given Tuesday as the three-hour trial concluded in Zhu's hometown of Hangzhou. His lawyer expects the court to hand down a verdict sometime in February.

Zhu's punishment is expected to be similar to those of three other dissidents who have received nine and 10 year prison terms for inciting subversion over the last two months.

The 58-year-old dissident has been convicted twice before for his activism. He spent seven years in prison after his first conviction in 1999, and served another two years in prison after a conviction in 2007.

Zhu's poem includes these lines:
"It's time, Chinese people! / The square belongs to everyone / the feet are yours / it's time to use your feet and take to the square to make a choice."

http://www.voanews.com/english/news/asia/east-pacific/Chinese-Prosecutors-Cite-Subversive-Poem-at-Dissidents-Trial--138387919.html

Acep Zamzam Noor Raih Hadiah Rancage 2012


Acep Zamzam Noor Raih Hadiah Rancage 2012
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta - Kumpulan sajak Paguneman karya Acep Zamzam Noor yang diterbitkan Terbitan Nuansa Cendekia Bandung terpilih sebagai karya yang pantas mendapat Hadiah Sastra Rancage 2012 untuk bahasa Sunda dan berhak mendapat piagam dan uang Rp 5 juta. Demikian keputusan yang disiarkan Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, pada Selasa, 31 Januari 2012.

Hadiah Sastra Rancage diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah, khususnya Sunda. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage sejak 1989.

Puisi-puisi Acep dalam buku itu, menurut Ajip, terkait dengan kumpulan sajak pertamanya dalam bahasa Sunda, Dayeuh Matapoe (1993), yang masuk nominasi Hadiah Sastra Rancage 1994. Kedua buku itu melukiskan bercampurnya perasaan dan pikiran dalam perjalanan, baik dalam jagat besar maupun dalam jagat kecil. Dalam kumpulan sajak pertama yang dilukiskan itu terutama tempat-tempat yang jauh, termasuk yang di mancanegara, sedangkan dalam kumpulan yang kedua, Acep mengunjungi tempat-tempat di tanah tumpah darahnya.

"Hal itu menyebabkan sajak-sajak Acep terasa lebih sublim daripada sajak-sajaknya yang lebih dahulu. Tidak ada yang baru pada cara Acep melukiskan rasa, gagasan, dan suasana. Tapi hampir dalam setiap sajak tampak keterampilan, pengetahuan, dan keluasan pandang Acep sebagai penyair yang menonjol," kata Ajip.

Dengan demikian buku Acep berhasil menyingkirkan tujuh karya unggulan lainnya, yakni kumpulan cerita pendek Duriat karya Saini K.M., Hate Awewe karya Risnawati, dan Samping Kebat Haturan Ema karya Dudi Santosa, naskah drama Mun-Tangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga, kumpulan esai Ngamumule Basa Sunda karya Wahyu Wibisana, dan dua kumpulan pantun, Sisindiran: Rorotekan karya H. Adang S. dan Sisindiran jeung Wawangsalan Anyar karya Dedy Windyagiri.

Acep Zamzam Noor adalah penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Putra tertua dari K.H. Ilyas Ruhiat, ulama dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, ini menempuh pendidikan di jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dan melanjutkannya ke Universit Italia per Stranieri di Perugia, Italia. Acep telah melahirkan lebih dari sepuluh kumpulan sajak berbahasa Indonesia dan menerima beberapa penghargaan, seperti South East Asian Write Award dari Thailand (2005) dan Khatulistiwa Literary Award (2007).

Selain untuk karya terbaik, Yayasan Rancage juga memberikan hadiah kepada orang yang berjasa dalam bahasa Sunda. Tahun ini, hadiah itu diberikan kepada Etti R.S., sastrawan Sunda kelahiran Ciamis, 31 Agustus 1958. Etti pernah mendapat Hadiah Sastra Rancage untuk kumpulan sajak Maung Bayangan (1995) dan Serat Panineungan (2009).

Perannya dalam pengembangan sastra Sunda juga dilakukan saat menjadi pengurus dan kemudian menjadi Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (sebelumnya Paguyuban Pangarang Sastra Sunda), yang kini masih dijabatnya. Paguyuban itu sering menggelar sayembara menulis drama dan sajak Sunda serta mengusahakan penerbitan buku-buku sastra karya pengarang muda dengan bekerja sama dengan penerbit-penerbit profesional.

KURNIAWAN

http://www.tempo.co/read/news/2012/01/31/114380800/Acep-Zamzam-Noor-Raih-Hadiah-Rancage-2012

Sastra yang Menggurui, Anak Cacat?


Sastra yang Menggurui, Anak Cacat?
Posted by PuJa on January 31, 2012
Musa Ismail
Riau Pos, 22 Jan 2012

SASTRA dan filsafat memang berbeda. Muatan-muatan sastra – sebagian besar – adalah muatan-muatan penuh filsafat. Sebaliknya, inti filsafat tidak bisa kita katakan sebagai (teras) sastra. Karya sastra yang lahir merupakan refleksi mendalam tentang makna kehidupan sebagai cakupan dari filsafat kehidupan. Dari karya sastra, filosof bisa mengkaji nilai-nilai sebagai inti filsafat. Antara sastra dan filsafat memiliki keterkaitan walaupun berbeda. Sebagai suatu hasil kreativitas manusia, sastra mampu memberikan tunjuk ajar. Inilah yang bakal menjadi dasar bahwa sastra itu bersifat didaktis.
Ahmad Syamsu Rizal, Dosen Filsafat UPI, mengatakan bahwa hubungan filsafat dengan sastra adalah berkenaan dengan muatan itu. Filsafat akan bermakna dalam sastra kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena merupakan filsafat hasil perenungan manusia untuk menemukan jatidirinya. Jadi, di sini sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karakter sastra. Sastra mengandung unsur hiburan sehingga nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu pemikiran kefilsafatan jadi tidak terasa. Sastra tidak menggurui beda dengan filsafat yang murni. Filsafat disebut sebagai pengetahuan lapis kedua bahkan ketiga.
Sastra memang tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Jika dipisahkan, sastra akan dilanda kegersangan yang dahsyat. Alasannya, sastra yang bermutu adalah sastra yang bernilai, memproses pemikiran, dan membawa perkembangan bagi kualitas kehidupan. Salah satu nilai tersebut adalah beraneka hal yang berkelindan dengan dunia filsafat. Proses-proses edukatif dalam sastra akan memberikan nilai berharga bagi perkembangan manusia. Nilai-nilai tersebut akan menjadi pelatihan mental bagi pembacanya. Dalam hal ini, sastra melibatkan dirinya ke situasi yang akan membangun perikehidupan dan perikemanusiaan.
Beberapa kali pertemuan (perbincangan) sastra yang pernah diikuti, saya sering mendengar pesan bahwa sastra itu berada antara gelap dan terang. Sastra itu samar-samar. Filsafat yang disusupkan dalam sastra mestilah tidak menggurui. Hal ini disebabkan perihal menggurui tersebut akan melahirkan kebosanan-kebosanan, kelelahan-kelelahan, mungkin juga kebodohan-kebodohan. Sastra yang menggurui terlalu menganggap bahwa pembacanya itu bodoh. Mochammad Asrori mengatakan pula, karya sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma dan moral. Melalui karya sastra, seorang pengarang mampu menyisipkan nilai-nilai moral yang tidak bersifat menggurui atau memberatkan sehingga pesan-pesan moral itu dapat ditangkap penikmat sastra dengan baik.
Cap negatif terhadap sastra yang menggurui tentu berkaitan dengan nilai-nilai/etika yang dikandungnya. Menurut Hans Kung (1991) dalam bukunya Global Responsibility In Search of a New World Ethic, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke ‘’paska modernitas’’ ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan. Keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Untuk mengatasi bencana itu, karya sastra merupakan salah satu cara terabit karena wajah didaktis yang dimilikinya. Pertanyaannya yakni apakah memang benar bahwa sastra yang menggurui itu akan memberatkan, membosankan, atau melelahkan. Apakah memang benar bahwa sastra itu berada antara terang dan gelap seperti yang disampaikan Alber Camus. Ungkapan Camus ini pernah disampaikan Zuarman Ahmad pada penyerahan Ganti Award di Galeri Ibrahim Sattah, Bandar Serai, Maret 2009. Dia mengatakan bahwa salah satu novel nominator ketika terlalu menggurui. Apakah sastra yang menggurui merupakan karya sastra yang kurang baik sehingga beberapa pakar dan sastrawan sekalipun sering mencemoohkan kehadirannya di tengah denyut dunia sastra kita.
Kepribadian kita tidak sama. Karakter kreativitas sangat berbeda. Latar belakang pun akan mempengaruhi karakter penulisan kreativitas sastra. Patutkah kita berpendapat bahwa Gurindam Duabelas (sekedar menyebutkan salah satu contoh) karya Raja Ali Haji itu membosankan atau melelahkan karena terlalu banyak menggurui? Kalau kita kaji secara saksama, karya sastra lama merupakan karya sastra yang kaya dengan aspek didaktis-eksplisit. Baik prosa maupun puisi dalam sastra lama, memperlihatkan kecondongan-kecondongan ke arah yang dikatakan sebagai yang menggurui tersebut. Pertanyaannya sekarang, tidak menarikkah karya-karya seperti itu? Lantas, mengapa pula karya sastra demikian mampu menembus batas dan ruang waktu?
Kita sebaiknya tidak larut dalam opini – yang seakan-akan – berpandangan bahwa sastra yang menggurui itu kurang layak untuk ditampilkan. Bahkan, tidak sedikit pula yang menilai bahwa sastra yang menggurui itu sungguh memalukan. Inilah opini yang sadis. Selain masalah latar belakang dan karakteristik penulis, ini juga berkaitan dengan selera dan latar belakang pembaca. Situasi dan kondisi sosial pembaca akan mempengaruhi selera dalam menyikapi suatu karya sastra.
Sastra merupakan wadah untuk mengkomunikasikan, memperjelas, dan mengekspos nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa sastra yang menyampaikan nilai-nilai secara gamblang tersebut dikatakan kurang menarik dan melelahkan? Bagi saya, ini suatu kemasan. Apapun bentuknya, jika dibungkuskan dengan sastra, dia tidak akan menjadi kitab kutbah karena sastra memang tidak identik dengan sifat retorika. Karena itu, sastra sebagai alat bisa dijadikan apa saja. Sastra bisa dijadikan alat pembangkit pemberontakan. Sastra bisa mempengaruhi pembaca tanpa terasa atau propaganda. Sastra juga bisa secara terang-terangan dan sarat dalam memprovokasi pembaca.
Kritikan-kritikan yang menghantam lebih mengarah pada ketidakinginan untuk menerima kelahiran sastra yang menggurui. Sastra yang menggurui dianggap anak cacat dari penulisnya. Anggapan-anggapan miring seperti ini justru memperparah eksistensi karya sastra. Seakan-akan, karya sastra ini menanggung beban dosa yang mahaberat di tangan, hati, dan otak pembaca yang anti atau mengalami gangguan jiwa. Dikotomi seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Biarkan saja eksistensi sastra yang menggurui itu kita kembalikan sebagai karya sastra saja.
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/01/sastra-yang-menggurui-anak-cacat.html

Cerpen "Perempuankah Aku"


Perempuankah Aku
Posted by PuJa on August 19, 2008
A Rodhi Murtadho

Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.
Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.
“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.
“Mau ke kampus,” jawabku lirih.
Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.
Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.
Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.
Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.
Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.
Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.
“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.
“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.
Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.
“Aku suka dan sayang kamu, Da.”
Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.
“Kau menghina aku ya, Gun.”
“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”
Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.
“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”
“Kau perempuan bagiku, Linda.”
“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”
Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.
“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”
“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”
“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”
Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.
“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”
Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.
Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.
Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.
Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.
“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.
“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.
“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”
“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”
Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.
Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.
“Ibu!” berbisik lirih.
“Ya, Lin. Ada apa?”
“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”
“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”
“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”
Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.
“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”
“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”
Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.
“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”
“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.
“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”
Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.
“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”
“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”
“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”
Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.
Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.
Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?
Surabaya, 30 November 2004

Sang Maestro Penyair Musik Iwan Fals


Sang Maestro Penyair Musik Iwan Fals
Posted by PuJa on August 17, 2008
Berobsesi Konser Keliling layaknya Gipsi
Obrolan Sore Bersama Iwan Fals
Sugeng Sulaksono
dipetik dari Jawa Pos, 17 Agustus 2008

Iwan Fals tergolong jarang bercerita banyak tentang dirinya. Pada suatu sore, dia membuka diri. Mulai karir, keluarga, hingga situs pribadi yang sering diutak-atik orang iseng diungkapkannya.
MENGUNJUNGI rumah Iwan Fals di kawasan Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, terasa berbeda. Maklum, hunian pria bernama lengkap Virgiawan Listanto itu bukan di kawasan perumahan elite. Dia tinggal di tengah perkampungan yang sekitarnya masih terdapat banyak kebun dan lahan kosong.
Lahan seluas 1,5 hektare tersebut sangat asri. Ada beberapa bangunan dan pendapa. Meliputi musala dan sanggar untuk latihan karate atau menari. Berdiri pula beberapa gazebo bambu. “Itu persiapan Konser Merdeka,” sambut Iwan kepada Jawa Pos yang datang bersama perwakilan dari PT TVS Motor Company dan IPM PR pada Kamis (14/8).
Dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan ke-63 Indonesia, Iwan memang mengadakan konser di halaman belakang rumahnya. Demi even bertajuk Konser Merdeka tersebut, disiapkan sebuah panggung megah dengan hiasan kepala burung garuda. Belasan pekerja masih sibuk dengan tugas masing-masing untuk mengejar target agar bisa tampil kemarin (16/8).
Halaman belakang rumah Iwan untuk konser itu diperkirakan mampu menampung seribu orang. Dia mengatakan, sebenarnya sudah sejak Januari 2008 tempat tersebut terpakai. Sebab, setiap bulan dia mengadakan pertunjukan musik untuk umum. “Tapi, nggak bebas-bebas amat. Bayar Rp 30 ribu,” imbuhnya.
Sepuluh persen dari uang hasil penjualan tiket itu disalurkan untuk kegiatan sosial. Hanya, lanjut Iwan, dana tersebut belum terkumpul banyak. “Saya kok tertarik (menyalurkan uang sosial, Red) ke lingkungan, ya. Tapi, belum tahu, dananya masih kecil sekali,” tutur pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961, itu.
Setiap bulan, rata-rata tiket untuk pertunjukan tersebut memang terjual habis. Tapi, pernah juga sisa banyak. Penontonnya hanya sekitar 800 sampai 900 orang. Menurut dia, itu terjadi tidak lama setelah harga BBM naik. “Ternyata, kena dampaknya juga,” tambah Iwan lantas tertawa. Kalaupun ada keuntungan, dia tak hanya menggunakannya untuk keperluan pribadi dan keluarga. Dia harus menghidupi 200 orang yang bergantung dari aktivitasnya.
Awalnya, menurut Iwan, pertunjukan bulanan tersebut dibuat karena dirinya sering latihan bersama pemain bandnya. “Kalau latihan tapi nggak perang-perang, pusing juga. Jadi, ya sudahlah, kami bikin sebulan sekali sambil menunggu job sesungguhnya,” terang suami Rosana itu.
Bersamaan dengan Konser Merdeka, Iwan me-launching situs pribadi secara resmi. Dulu, jelas Iwan, dirinya pernah membuat website sendiri tanpa dibantu ahli. “Tapi ngeri, tiba-tiba banyak gambar porno. Sekarang, kerja sama dengan Falcon. Mereka janji mengurusnya. Bahkan, ada tiga wartawannya,” ulas pemilik tinggi badan 171 cm tersebut.
Iwan berharap suatu hari bisa konser keliling ke berbagai daerah sambil mempelajari budaya setempat. “Saya sangat terobsesi oleh gipsi. Debu (kelompok musik, Red) juga. Mereka kan dari Nepal, ke China, ke mana-mana bawa keluarga 90 orang. Di kepala saya, (yang terpikir, Red) itu terus,” ucapnya.

REVOLUSI DAN SAKIT GIGI


REVOLUSI DAN SAKIT GIGI
Posted by PuJa on August 16, 2008
Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=499

Saya ibaratkan reformasi dengan sakit perut, pembuangan demi pembersihan, pencucian. Sedangkan revolusi, menyerupai sakit gigi, proses di mana terjadi ketegangan syaraf-syaraf otak yang menyempitkan peredaran udara kebugaran. Sehingga menimbulkan tekanan-tekanan yang menarik rasa nyeri tidak tertahan. Yang berasal dari pengolahan bahan tidak seimbang, tidak bersih penuh kotoran dalam skala peta perpolitikan.
Sebagai kesalahan berulang yang bertumpuk menjelma gumpalan ledakan, pasti teriakan-teriakan yang keluar dari kondisi kesakitan itu terjadi. Jerit di mana tidak sampai dimaknai, tidak difahami sebelum datangnya kebebasan masa, atas kendornya urat syaraf kelenturan sesaat. Nantinya rasa bermasyarakat terganggu, suatu saat menemui pemberontakan.
Ada yang mengatakan ini disebabkan masuk angin. Terlalu banyak wacana yang ditelan masyarakat pribumi tanpa mengindahkan nilai mutiara atau sekadar hembusan. Dimana pola-pola analisa yang kritis tidak tertanam, mengundang para spekulan, lantas pemaknaan nilai membuyar, bercerai berai. Tanda-tanda ketegangan urat syaraf para pengemban idealitas masih terkungkung kebutuhan materi, menjelma tuntutan yang membuat watak cengeng.
Perlu digaris bawahi, sakit gigi itu kompleksitas perasaan logika. Fikiran-fikiran yang sering digunakan dengan cerdas dan lincah, cekatan dalam mengambil unsur wacana luar atas jarak diri, namun masih kurang memperhatikan efek yang terjadi di dalamnya. Sehingga gejala kotoran sempat tertelan, menjadi permasalahan paling genting ketika sampai menghasilkan suatu karya sebagai tujuan.
Ketegangan revolusi sebenarnya bisa dihindari, sehingga tidak sampai berdarah-darah. Namun bisakah demikian? Pembengkakan mulai terjadi, kian menyudutkan di ruang tunggu bernama nafas renungan. Maka revolusi perlu demi mencapai puncak kesadaran tertinggi akan realitas kesemrawutan, gejolak yang tertahan dari pemompaan tidak juntrung, atau yang tadi disebut awal munculnya masuk angin.
Tapi tujuan dari itu, bukan berarti mencabut gigi yang selalu menyeret keadaan genting. Kita bisa memperbaikinya dengan membersihan lingkungan, menambahkan gizi, disamping perlunya istirahat penuh, guna memulihkan tenaga. Lewat mengendorkan urat-urat syarat, ketika alternatif penyembuhan mulai dijalankan. Dengan sangat hati-hati, perasaan tinggi kemanusiaan, dan tetap menggunakan pertimbangan nalar, akan kapan harus berhenti, saat ketegangan mulai mendorong pada sikap keburukan.
Realitas lubangnya gigi harus diterima dengan sadar, untuk memudahkan teknik penyembuhan. Ditambah dukungan beberapa elemen, pijat urat para agamawan memberi pencerahan, obat-obatan para pakar. Dan di sini, sugesti positif pun patut dijalankan, sebab rasa sakit gigi itu tidak tertahan, karnanya sumbangsih semua pindah meredam sakit sangatlah dibutuhkan. Lingkungan penuh ketenangan, dialog tidak menggurui, atau yang harus kita telan sebagai jamu akar-akaran.
Setelah seluruh elemen di bawah kendali pemimpin tertinggi kesadaran puncak, penerimaan total dalam pelaksanaan, memungkinkan terselesaikan kemelut tersebut. Maka kudunya dimulai dengan pertimbangan sangat teliti, agar tidak mengganggu aroma revolusi. Tidakkah bau revolusi pada bidang-bidang lain memberi dampak kurang baik, sebagian dalam bentuk kepuasan anarkis.
Di sini seyogyanya dibicarakan pula makna keseimbangan, antara birokrat dan masyarakat di dalam kesadaran masa, bahwa memang terjadi revolusi. Keadaan membingungkan di satu sisi, bagi yang belum siap menerimanya. Penuh ketegangan, saling singkur pendapat, jikalau itu tidak dibersihkan dengan berkumur, semacam tahap finishing daripada revolusi.
Makna revolusi bukan sekali jadi, tetapi pengulangan diri menyadari keadaan, realitas gigi berlubang, dengan mengembangkan kemungkinan, agar tidak sampai tercerabut gigi yang sakit. Atau kita harus kritis menghadapi setiap persoalan, sehingga tidak timbul kecemburuan sosial. Bagi yang mengetahui persoalan tubuh pemerintahan, janganlah sok gegabah, meski dirinya seorang dokter demokrat.
Yang perlu diperhatikan pula, harus berani menjegal gejala-gejala pembekakan dari peresapan wacana, dengan analisa jitu perasaan lembut, peralatan manajemen kemanusiaan. Di mana ruang waktu lain harus diperhitungkan, sehingga masa-masa tidak terfokus pada satu gigi semata. Ini takkan sampai jika rasa sakit masih menggetarkan tubuh negara, tetapi kita bisa keluar dari keadaan genting tersebut dengan menguras keringat dingin atas kerja, semangat membangun sektor lain. Tetapi keseluruhannya ditujukkan demi perbaikan gigi yang menyedot banyak perhatian pemerintah saat itu.
Kudunya ada perbaikan saluran informasi yang harmonis, yang sanggup menyehatkan badan kenegaraan. Aspek yang perlu dijaga, senantiasa mengukur suhu tubuh serta tekanan udara kehangatan. Sebab bagaimana pun wilayah dingin atau kebekuan informasi amat menentukan tekanan suhu rendah. Dan dari penyumbatan kesementaraan kembali berulang, yang otomatis berakibat balik keadaan darurat, atau kambuh.
Olehnya, keseiramaan segala unsur tubuh kenegaraan harus dinyanyikan dengan baik, berseruling kasih perdamaian. Di satu sisi juga memerhatikan, hal yang dapat memindahnya sakit gigi pada sakit gusi. Di sini dituntut tidak sekadar mematuhi perintah dokter demokrasi, tetapi juga melihat dampak-dampak lain. Menimbang mahalnya obat atau bahan bakar minyak, masalah struktur pemerintahan yang kaku. Atau malah berbalik seperti keadaan sebelumnya, memakan yang lezat-lezat tanpa mempedulikan dampak kurang baik bagi gigi, sejenis tuntutan kebutuhan yang tidak sesuai anggaran pemerintah.
Kita tidak bisa memanipulasi keadaan darurat dengan berpesta-ria kemerdekaan, serupa pembuangan dana yang tidak disalurkan secara tepat. Agar tidak kembali berulang keadaan krisis, perlunya prihatin atau menggunakan bahasa curiga. Mencurigai gerak-gerik pemerintah yang menimbulkan bobolnya dana rakyat, semisal anggaran pembelian mobil sekadar mentereng, sedang masih sakit gigi.
Kita dapat merombak pandangan ini dengan berhemat di segala bidang, namun tidak pada sektor yang jelas-jelas membutuhkan, semisal kasus kelaparan yang masih melanda di mana-mana, khususnya di pinggiran kota. Maka seharusnya ada ruang dialogis nyambung, pertukaran informasi pada semua lini, transparan, kalkulasi berlanjutan mencapai kejituan bentuk, efektif-efesien yang sebenarnya.
Ini cita-cita atau mimpi? Namun ketika semua bangsa tubuh bermimpi dalam keseluruhan. Tidakkah organ merasa terasing, lalu menemukan kesadaran hakiki. Realitas kebersamaan kerja, berbaur dengan sepak terjang pemerintah. Dan infestor asing hanya kembali teringat, tanpa melihat asal mula rasa sakit yang bersarang di kedalaman diri anak bangsa.
Karenanya, harus membolak-balikkan perasaan penalaran, agar tidak dalam kondisi mandek, atau slilit yang menciptakan sakit gigi yang lain. Puncak kesadaran itu penerimaan total dengan merasakan sakit sekujur badan kenegaraan, unsur pemerintahan serta rakyat menanggung hutang sebagai modal menanjaki waktu walau sangat tertatih dan hati-hati. Agar tak kembali terjerumus dalam struktur kapitalis keblinger, pemerasan yang hanya mengundang nikmat sesaat seperti prosesi dukun urat yang mengurut. Yang kembali kambuh, kalau tidak benar-benar dengan kesadaran mendasar, bukan omong-kosong belaka.
Kita tidak dapat menyelesaikan semua dengan mengesampingkan rasa sakit, atau hanya dengan perawatan seadanya, khotbah para pembual yang membuat mules masuk angin dan sebagainya. Di sini harus menyadari, antara jarak sakit dan kesembuhan itu kenikmatan tiada terkira, wujud yang menggairahkan. Dan semoga apa yang terasakan itu menuju kesembuhan total. Bentuk apa pun pemerintahan, yang terpenting demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, amin.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
2005, ditulis di sekretariat SPL (Serikat Petani Lampung), wilayah Surabayan, Bandar Lampung.

PARADE PUISI-PUISI ALFIYAN HARFI

PARADE PUISI-PUISI ALFIYAN HARFI
Posted by PuJa on August 14, 2008

PENIUP SERULING

setiap kali kuraba dadamu
luka-luka itu terlindungi
oleh letakan tangan juga jiwaku
setiap kali kita berciuman
jiwa kita yang rapuh
bertemu dalam lagu yang sedih
bersamamu serulingku
aku akan terus bernyanyi
akan terus bernyanyi
sampai angin mencatat notasinya
lalu di suatu tempat suatu waktu
akan ia nyanyikan, duka kita
untuk yang mati
dan yang tak bisa mati

Yogyakarta ’05

KEPADA SETIAP MAWAR
janganlah takut bila terpikirkan olehmu
kelopakmu yang indah akan layu
lalu gugur dan tenggelam
ke dalam debu yang dulu menyimpan
kerinduan benihmu
janganlah takut, karena bila kau takut
bagaimana mereka akan bahagia mendapatimu
memancarkan warna merah yang duka
maka dengan segenap keindahan dan durimu
tadahkan seluruh dirimu mencecap syukur
kepada musim dan matahari yang memberimu
beberapa menit yang indah—atau satu detik
dalam keindahan yang luas dan abadi

Yogyakarta ’06

MATAHARI DAN BAYANG-BAYANG
bila kau lihat matahari di kaki langit
maka aku ada di belakangmu
sebagai bayang-bayang
dan bila kau lihat bayang-bayangmu
maka aku adalah matahari
yang menciptanya

Majenang ’04

ODE BAGI YANG TAK DIKENAL
Aku ingin mendekat dan mengenalmu:
Mengenal bagaimana kau bangun
dan melangkah di tengah dunia
Bagaimana kau sentuh ranting kering
dan membuat mawar tumbuh darinya
Aku ingin mengenal bagaimana
Matamu menutup dan menyimpan
mimpi yang kecuali aku
tak seorang pun tahu
Aku ingin mengenal
Setiap udara yang kau hirup
Serta wangi yang kau hembuskan
Aku ingin mengenalmu kian dekat
Hingga aku mengenalmu
Layaknya aku mengenal diriku sendiri
Aku ingin menjadi akrab dengan kulitmu
Layaknya udara akrab denganku
Aku ingin menjadi akrab dengan suaramu
Layaknya aku akrab dengan kata hatiku
Aku ingin mengenalmu hingga
Aku mengenal segalanya;
Dan setiap bunga nama yang tumbuh
Mengakar padaku memancar padamu

November ’07-Mei ’08

SEPASANG MATA
lebih sunyi dari sebuah cermin
matamu bening bagai hati pencinta
dimana aku melihat diriku
menatap bagai malam padamu
kau yang menatap asing padaku
perhatikan bayang-bayangmu
tersimpan di kedalaman mataku
bagai cahaya menunjuk pusat kegelapan
apa dan kemana kau mencari
aku bersemayam di atas matamu
mengikuti bagai arah dan waktu
bila mataku terpejam, kau bersembunyi
menjelma mata air yang mengalir di tubuhku
sebagai kehangatan dan cahaya teduh yang abadi

Yogyakarta ’05-’07

DUNIA MENYATUKAN KITA
dunia ini milikku, dunia ini milikmu
awalnya kita berbagi
bagiku jalan yang sungguh milikku
bagimu jalan yang sungguh milikmu
dan ketika pada satu jalan
dunia ini menemukan kita;
kau memilikiku dan aku memilikimu
ambillah mataku, ambillah lenganku,
ambillah jantungku untuk mengalirkan darahmu
ambillah tubuhku untuk hidupmu
ambillah hidupku agar ia sempurna
dunia ini milikmu juga milikku
dunia ini milikku juga milikmu
tanpa kita berbagi lagi

Yogyakarta ’06

DI ATAS BUKIT TERAKHIR
: Zainal Arifin Thoha
dan ia yang banyak berkelana
mengarungi dunia dan bernyanyi
gemanya menggaung di lembah dan lautan
tapi ia sendiri, pergi menyusuri
kebebasan dan kesunyiannya
memandang lembah-lembah biru
mendengar bisikan dari kabut
bahagialah ia yang tidak memiliki apa-apa
dunia berserak di bawah kakinya
yang melangkah ke bukit terakhir
dirasakannya angin bangkit
dari dunia yang menampung jiwanya
dengan kedua tangannya terangkat
layaknya sayap-sayap yang suci
ia menghembus ketakterbatasan

Februari ’07, beberapa pekan sebelum ZAT wafat

SEBONGKAH BATU
bila sebongkah batu
kulempar ke angkasa
lalu kusebut nama cahaya
maka jadilah itu matahari
bila matahari
kuhempas nafas langit
kugesek awan-awan tipis
maka jadilah itu gerimis
gerimis mengantarku padamu
lalu kusebut nama bunga
maka terbanglah kata-kata
seperti kupu-kupu
hinggap di kelopakmu; ungu
sambil menikmati matahari
ia tafsir makna ayat-ayat itu

2005

SUBLIM
Aku terbangun dari mimpi yang adalah kamu
Mandi air hangat yang adalah kamu
Minum segelas susu yang adalah kamu
Memasuki hari cerah yang adalah kamu
Menulis sajak-sajak dengan tindakanku
Hasratku terserap kedalam kebebasan
Aku melangkah penuh dan ringan
dan menemukanmu di atas kata-kataku
Segalanya telah tercipta dan terungkap
Dan seperti galaksi, segalanya
mengalir dalam keseimbangan yang penuh
Kebahagiaan dan duka cita
menyublim dalam seluruh kekuatan verba

Juli 2008

PLANET LETIH
Tahun-tahun menjauhkanku
Dari cahaya muasal—
Ledak tangis yang suci.
Setiap cinta kembali mengabu
ke dalam tubuh tuaku.
Putaran-demi putaran
Mengekalkan kebingunganku
Demi kekuatan yang menguasai
Getar setiap planet
Demi planet yang menguasai
Setiap getar abadi
Demi setiap cahaya
Yang melayari langit redup
Demi mimpi
yang terbenam
di kerut mata tua
Demi cinta yang letih
Demi jiwa yang penuh
Oleh anggur terpendam
Demi air mata
yang menetas bagai kata
Maafkan setiap duka
yang membusuk di tubuhku
Tumbuhkanlah ia
Menjadi bermacam warna
Pada bermacam mahkota bunga
Terimalah setiap warna
Sebagai anugerah cinta
Seperti cahaya melintasimu
O semesta abad-abad.

Cipari, 10 Januari 2008

MENGENANGMU
sendiri berjubah kelabu
malam tergeletak
di atas semua
yang belum meninggal
berdiri di atas dunia
yang bukan milikmu
kau panggil masa depan—
kau panggil aku
kerinduan menggigil
malam mencair
sepasang kaki melangkah
ke dalam gelap

28 Januari 2008

BAYANG-BAYANG AKHIR CERITA
di lembar terakhir yang gelap
rambut putih muncul di antara rambutmu
dan kerut masa lalu yang bagai akar terpendam
tampak di wajahku dan wajahmu;
saat itu, kita tak lagi mengucap cinta
namun memahaminya lewat tatap mata
dan belai gemetar masa tua
saat itu kau tahu aku mencintaimu
yang tak muda lagi, tanpa hasrat dan tujuan.
mencintaimu dengan segala kecantikan
dan keagungan dalam jiwamu
lalu kau memelukku
ketika malam mengatupkan selimut daun-daunnya
dan burung hantu menyanyikan akhir yang indah
dari suatu cerita panjang yang melelahkan

SI GILA PADA SI PENANTI
aku tahu kau merindukan
tanganku di atas tidurmu
cintaku di atas hidupmu
dan kau tahu
aku hidup di atas cintamu
cinta telah menguasai kita
bahkan sebelum kita
mampu mengucapkannya,
jiwaku dan jiwamu punya satu sayap
dan cinta kita yang menyatu
mengepakkan sepasang sayap kita
meninggalkan sepasang jasad yang rapuh
kau percaya
cintalah yang membawa kekasihmu
dan kesedihanmu dan kekuatanmu
membuat cinta mempercayaimu–
memilihmu jadi puterinya
di tanganku tersimpan abadi
detak jantung tidurmu
memberiku kekuatan
untuk menggoreskan nama kita
pada tiap benda
bahkan di atas otakku yang gila
bersyukurlah
pada ketidakwarasanku,
ia membawamu kemana aku pergi
untuk menyelamatkan hidupku
sebelum jasadku mengabu
ditelan bumi yang jauh
dan bila kau menemukanku
bersama hidup dan cintaku
tapi tidak bersama warasku
kau duduk bersandar kursi
mengamati dan menjagaku–
mengapa matamu basah
dan tubuhmu berguncang?

2006

PERGILAH
Pergilah dan jangan katakan di mana kau akan tinggal
Karena aku tak akan pernah mencarimu
Jangan pernah sekalipun mencoba mengingat namaku
Karena aku pun telah melupakan suaramu
Di lautan yang berbeda, kita masing-masing berlayar
dengan kapal yang digoyahkan ombak pecah.
Jangan sekalipun menyanyikan lagu cintaku
kencangkan tali biola dan patahkan lengannya.
Kini, segalanya nampak beda dari pengalamanku
Segalanya mengenakan selimut ketelanjangannya kembali:
Angin mencipta ombak, duka mencipta suara
Ketika kubawa diriku meninggalkan pulau dan tubuhku.

Juli 2006

DI DALAM KERETA
gemuruh senja di langit
bergerak ke masa lalu
sepasang rel menjalar
dari masadepan
kini kutahu
kereta terus berjalan
menuju perhentian tak dikenal

2005-2006

Alfiyan Harfi. Pencinta Puisi yang lahir di Cilacap, 30 Nopember 1986. Alumnus Pesantren Cigaru I Majenang. Sempat mampir kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan tidak selesai. Pernah juga nyantri jalanan di Pesantren Kutub asuhan alm. Zainal Arifin Thoha.
Puisi dan cerpennya baik asli maupun terjemahan dimuat Suara Merdeka, Solopos, Koran Sore Wawasan, Harian Surya, Tabloid Tren, Jurnal Kebudayaan The Sandour, serta beberapa antologi bersama seperti Herbarium [bersama penyair muda 4 kota; yogya-Bandung-Denpasar-Padang], Blues Mata Hati [Penyair-penyair Banyumas Besar] dan Pendhapa 5 [Temu Penyair Jawa Tengah 2008].
Sekarang tinggal di rumahnya di RT 01/Rw 06 Prumpung-Serang-Cipari-Cilacap-Jawa Tengah 53262. Sesekali melakukan ziarah dan pengembaraan sastra ke Kroya, Cilacap, Yogya, Solo dll. e-mail: aleph_harv@yahoo.co.id no. Hp: 085 726 239 473 atau 081 391 299 816

ESAIS, TUKANG CERITA, HINGGA KRITIK SASTRA


ESAIS, TUKANG CERITA, HINGGA KRITIK SASTRA
Posted by PuJa on August 14, 2008
Fahrudin Nasrulloh

Pada mulanya esai diikhtiarkan sebagai karangan tak begitu panjang, kadang bernuansa prosa, yang menyoal hal ihwal dari telusur pandang tertentu dan subyektivitas esais secara bebas (bandingkan: Ensiklopedia Britanika). Proposisi ini kemudian bergulir ke ranah estetik dunia kepenulisan lain bahwa esai “seolah” prosa, atau dimensi yogabasa (istilah Rendra dalam gagasan proses kreatif) sebagai “bagian” dari prosa. Atau penjabaran serebral pemikiran puitik dari puisi jika hal ini dianggap sebagai perjumpaan yang absah.

Apabila persepsi ini ditimbang-lanjutkan, esai dapatlah disejajarkan atau dikategorikan sebagai genre sastra tertentu; sebagaimana prosa, puisi, catatan harian, ataupun (oto)biografi. Kita pun dapat menemui dan mencermati pada sejumlah esais terkemuka kita seperti — sekedar contoh — pada esai-esai Soekarno, Hatta, Sjahrir, Goenawan Mohamad, Ahmad Wahib, Umar Kayam, Ong Hok Ham, Emha Ainun Nadjib, Sindhunata, sampai Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka.
Ulasan secara spesifik perihal esai dapat kita susuri, misalnya, lewat tulisan “Esai tentang Esai”-nya Arief Budiman (majalah Horison, 1/1, 1966); “Esai: Godaan Subyektivitas”-nya Ignas Kleden (dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan terbitan Grafiti: Jakarta, 2004), atau “Membaca Esai”-nya Sapardi Djoko Damono (Jurnal Cipta, 2007). Bahkan, lebih lawas lagi, kita dapat menelisik esai-esai Montaigne (1533-1592), atau Walter Benjamin (1892-1940). Penulis yang terakhir disebut ini pernah menulis esai bertajuk, “Tukang Cerita: Renungan tentang Karya-karya Nikolai Leskov”. Tulisan ini dipandang Frank Kermode sebagai The Great Essays on Leskov, dan Peter Brooks menilai esai tersebut setaraf dengan karya penulis lain seperti Sigmund Freud dan Roland Barthes. Esai-esai Benjamin ini terkumpul dalam Illumination, Essays and Reflections yang terbit 1969 di New York.
Benjamin membabarkan ihwal karya penulis Leskov dari Rusia tersebut. Esai ihwal Leskov ini mulai dikaji ulang dan diperhitungkan 30 tahun kemudian setelah Benjamin mati bunuh diri pada 1960 di Jerman. Keunikan esai “Tukang Cerita” terletak pada kepusparagaman metafora, kembangan gagasan yang jenius dan alami, serta mendedahkan kelokan “pemikiran puitis” — meminjam istilah Octavio Paz — yang mengharukan sekaligus merangsang gairah kreatif pembaca untuk bertadabur terhadap apa yang didiskusikannya.
Tercerabutnya hasrat menulis dengan gaya bercerita secara tulus tentang kehidupan bahkan keseharian (semisal dalam aras sosial, budaya, atau keagamaan), juga lunturnya kemampuan bertukar-tangkap dengan pengalaman secara murni mengisyaratkan pada kita, tegas Benjamin, bahwa seni bercerita dalam menulis esai sedang “mendekati ajalnya” (atau sudah mati?).
Sebab tulisan — yang lazimnya ilmiah akademik — yang melulu berbalur dan terkungkung oleh data-data referensial semata dalam kajian posmodernisme sudah dianggap usang, meski dari segi kemanfaatan tetap dihargai dan bermanfaat di segala bidang kajian. Karena itu kajian ilmiah akdemis hingga “cultural studies” yang bersifat etnografis nyata-nyata telah malih menjadi mazhab tersendiri. Semisal pada lelaku penelitian-penelitian Cliffordz Geertz, Malinowski, sampai tulisan “adventurous” V. Surajprasad Naipaul dalam Among the Believers: An Islamic Journey (Alfred A. Knopf: New York, 1981). Beranjak dari paparan ini, Will Derks menganggap esai yang baik — pun tidak sekadar pada tingkatan melampaui batas kesadaran referensial — sebagai genre sastra yang berada di antara ilmu pengetahuan dan puisi.
Karenanya, spirit ide di kedalaman esai merupakan wedaran diskursif dengan piranti ilmiah dan bahan dasar “daur ulang pengetahuan” dari warisan kebudayaan manusia sampai yang tersilam sekalipun. Klaim akan “something here and something there” sebagai “yang Lain” dan bersifat estetik yang ditabalkan berharga bagi manusia (dan seni itu sendiri) pada batas tertentu adalah secebis cetusan untuk merancang ulang “citra” baru dari budaya atau seni yang dibayangkan itu.
Dari sini tukang esai yang sekaligus memiliki kepiawaian sebagai tukang cerita: ia menulis dengan kesadaran intelektual-alaminya secara maksimal mengintrusi “tata kognisi yang logis” dalam menghayati dan melakoni suatu karya bahasa, bukan sekadar “kesempurnaan logis” seperti yang disorongkan Max Weber. Di dalamnya kesadaran murni mencerna realitas dengan sejernih mungkin, keteraturan harmoni-kosmos pikiran, baik yang luput maupun yang tertangkap darinya; pada akhirnya mampu menghasilkan esai yang bisa diresap-renungi bobot dan keindahannya.
Esai barangkali pula adalah remah terkecil tapi gamblang dari puisi yang memang diniatkan berlarat-larat dari segi bentuk, penjelasan, dan gaya berceritanya. Kendati esais lumrahnya tak menyimpulkan gagasan. Ia menulis dengan kecermatan juga penghayatan akan gerak-gerik juga keluwesan pengungkapan bahasanya, dan pemikiran puitik di kedalamannya menjadi spirit yang menggerakkannya.
Sebagai misal, kita bisa menengok esai-esai Goenawan Mohamad, terkhusus dalam Catatan Pinggir. Membaca Catatan Pinggir ibarat menonton ragam epos manusia yang maha panjang, katalogus bercecabang yang seolah menampung kronik manusia (meski tak seluruhnya) yang ditulis secara piawai, menghanyutkan, ambigu, terkadang nylekit tapi kontemplatif dari seabrek persoalan mulai dari yang remeh-temeh hingga yang kontroversial. Sejumlah pemikir semisal William R. Liddle, Ignas Kleden, atau Haidar Baqir (baca: Catatan Pinggir 6, terbitan Pusat Data Analisa Tempo: Jakarta, 2006) juga pernah turut mengapresiasi penulis yang juga wartawan dan penyair ini. Tentang esai-esai GM, Haidar Baqir menyebut, “Esai adalah puisi yang kurang surealis, lebih kompromis dengan keruntutan alur dan sistemik, lebih telaten berargumentasi, dan — sampai batas tertentu — lebih teleologis. Dengan kata lain, lebih konvensional. Selebihnya, esai adalah puisi.”
Memang esai GM — meminjam Heidegger (dalam The Thinker as Poet) — bergerak dan bersenandung, “mengakar dari Ada dan mengarung ke lubuk kebenarannya.” Terasa bagai olah fikir dengan balutan renik peristiwa kehidupan yang ditulis secara puitik. Mengalun seperti lirik dan denting musik The Soft Parade (The Doors), atau Journey to Transylvania (film: Van Helsing), atau The Lonely Sheperd (film: Kill Bill). Saya cuplikkan paragraf pembuka dari esai GM berjudul U.K. (majalah Tempo, 24 Maret 2002) berikut: “Orang-orang bertanya, hari itu, di dekat makam Umar Kayam yang baru diuruk di pekuburan Karet, setelah kembang mawar ditaburkan, setelah doa selesai, setelah mereka yang datang berbela sungkawa satu demi satu pulang, setelah jenazah itu ditinggalkan dan berangsur-angsur digantikan dengan kenangan: apa yang ditinggalkan penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini? Saya tidak bisa segera menjawab, karena kalimat apa pun terlampau pendek. Sementara hari bertambah petang saya berjalan meninggalkan Tempat Pemakaman itu, dan yang saya ingat – dan yang kemudian ingin saya sebutkan – adalah sebuah deretan: Madame Slitz. Tatum. Cybill. Bawuk. Sri Sumarah. Marno. Mister Rigen. Nansiyem. Beni Prakoso. Dr. Legowo Prasojo. Lantip….”
Barangkali GM hanyalah contoh dari banyak esais Indonesia yang memilih laku “yogabasa” dengan menggunakan gaya “Tukang Cerita” Benjamin. Artinya, gaya kepenulisan esai dengan spirit bercerita dapat dilakukan oleh siapa pun. Terlebih bagi pengkaji sastra atau kritikus sastra. Bahwa kritik sastra sampai saat ini nyata-nyata tak berperan optimal sebab; pertama, banjirnya karya sastra yang berakibat telaah dan pemetaan perkembangan sastra dari waktu ke waktu menjadi mustahil dilakukan. Atau memang tak adanya karya sastra yang bermutu yang layak dikaji secara diskursif. Dan alibi yang terakhir ini kerap dijadikan kambing hitam. Susah sudah menemukan sosok HB Yassin dengan dedikasi pendokumentasian sastranya, meski di lingkup Jakarta. Atau dokumentasi sastra Ragil Suwarno Pragolapati pada tahun 70-an (zaman Persada Studi Klub) di Yogyakarta yang kini sudah sulit dilacak keberadaannya.
Kedua, gagasan Benjamin tersebut bisa dijadikan inspirasi bagi esais (dengan kreativitas masing-masing) untuk membangkitkan matinya kritik sastra selama ini. Jika Budi Darma menyebut kritik sastra sebagai seni. Maka literary criticism, serta deretan istilah lain yang mendampinginya: literary study, literary theory, critical theory (Kompas, Minggu 8 Juni 2003), bagi saya, akan mernyingkapkan sekian celah kemungkinan yang lebih luas terhadap kritikus sastra yang “berjiwa seni” agar dapat dengan bebas mengeksplorasi kemampuan menulis mereka tanpa harus terjerat dalam keketatan akademik literary criticism yang ada selama ini.
Ketika esai yang dibayangkan tersebut (seperti dilukiskan Benjamin dan Will Derk) menjadi bagian penting dari sastra kita (sebagaimana yang diharapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Jurnal Cipta, 2007), tentu, dari sana diharapkan terlahir esais-esais — bukan epigon — yang dapat menyegarkan dan memberikan perubahan terhadap dinamika dunia kesusastraan kita kini dan mendatang.

Cerpen"SAAT PERTUNJUKAN DI CANDI BAJANGRATU ITU BERLANGSUNG, MENETESLAH AIR MATAKU"


SAAT PERTUNJUKAN DI CANDI BAJANGRATU ITU BERLANGSUNG, MENETESLAH AIR MATAKU
Posted by PuJa on August 14, 2008
Hardjono WS

Pagi itu aku akan melihat sebuah tontonan di Bajangratu, candi yang berdiri megah ini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi negeri besar dan ternama.
Ratusan tahun candi ini berdiri dan telah mengalami perbaikan supaya tidak roboh. Berdiri di atas pelataran yang ditata rapi, menyapa pengunjung dengan kesepiannya sendiri dan tidak bisa berkata apa-apa meski mampu menjadi saksi bisu tentang sejarah negeri ini.
Aneh, pagi itu menjadi lain. Umbul-umbul sebagai kebesaran negeri ini masa lampau berkelebatan ditiup angin. Mobat-mabit amat anggunnya. Berwarna-warni merah, kuning, hitam dan putih sebagai lambang hidup diri manusia. Warnapun bagi nenek moyang kita dulu amat berarti untuk mawas diri.
Pemain musik telah menempati tempatnya masing masing, dan amat sederhana. Tidak seperti pementasan pementasan yang harus diiringi gamelan. Gender, gong dan kendang mulai terdengar pelan. Makin lama makin keras dan tiba-tiba berhenti ketika kendang menyentak kemudian ditimpali suara gender amat nyaring. Nikmat terdengar. Dari arah candi muncul arak-arakan dengan segala kebesarannya meski tidak mewah.
Seorang anak muda duduk di atas tandu sementara tembang pun muncul diantara bunyi gamelan. Aneh, suasana candi Bajangratu berubah tiba-tiba menjadi semarak seakan candi itu sendiri salah satu dari ratusan penonton yang saat itu menonton pementasan. Bajangratu saat itu seakan diam, tetapi menikmati dengan sepenuh hati tontonan pagi itu.
Setelah arak-arakan itu masuk, tiba-tiba muncul adegan perang dan seorang narator membaca naskahnya dengan cara dibaca seperti membaca puisi. Sesekali tembang muncul dengan suara khasnya, suara pesinden meski yang melakukan masih muda.
Tiba-tiba air mataku menetes keluar dari pelupuk mata. Aku ingat anakku Ganang beberapa tahun yang lalu pergi ke kota lain setelah membawa kekecewaan yang amat berat.
Masih ingat bagaimana ia menangis berkepanjangan agar diijinkan untuk mengikuti kegiatan semacam itu.
“Aku kan tidak melupakan tugas-tugas utamaku sebagai anak sekolah. Nilai di rapot kan tidak pernah jelek,” katanya meyakinkan diri. Pikiranku hanya satu kepada bapaknya yang sejak awal kurang senang kalau Ganang mengikuti kegiatan kesenian di sekolahnya. Ayahnya amat sayang kepada satu-satunya anak semata wayang itu. Mengapa mengikuti kegiatan teater tidak mengikuti tari atau menyanyi saja?
“Teater itu bagian pendidikan di sekolah pak dan itu bukan merupakan tujuan bagi anak-anak. Proses menjadi manusia pak,” katanya lagi saat berhadapan dengan ayahnya di gandok depan rumah menirukan kata-kata pelatihnya yang kebetulan juga gurunya sendiri. Aku terhenyak sejenak.
“Pokoknya kau harus berhenti dari kegiatan itu kalau kau mau meneruskan sekolah,” kata ayahnya keras. Tak ada yang diucapkan Ganang saat itu kecuali menangis dan langsung masuk kamarnya. Tak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan ayahnya, dan aku hanya bisa diam.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan amat meriah, dan tontonan di pelataran candi itupun usailah. Semua penonton memberi selamat berjabat tangan dengan para pemain termasuk kepada Ganang sutradaranya sendiri.
Air mataku tak dapat kubendung lagi, dan aku sendirilah yang tahu arti air mata itu. Terharu dan tersadar dengan apa yang baru kunikmati pagi itu. Aku menangis pagi itu. Candi Bajangratu tetap diam dengan gagahnya. Yang kulihat tidak hanya saja candi perkasa ini, tetapi seakan ikut mengucapkan selamat kepada para pemain dan kepada anakku yang saat itu tak mampu menolak pelukan candi dengan hangat seakan berbisik: ”Selamat dan terimakasih Ganang” Aku hari ini banyak dikunjungi anak cucuku dengan penuh suka cita.
Aku memandang dari jauh, seakan ikut melihat dan mendengar candi bajangratu bercerita tentang dirinya. Menurut ceritanya Bajangratu ini lebih tepat kalau tidak disebut candi, tetapi sebagai pura atau gapura. Ini kalau dilihat dari bentuknya. Hanya sebagai bangunan untuk lewat dari sebuah tempat ke tempat lain, melewati tangga yang naik dan turun, bentuk paduraksa.
Sejarah juga telah menulis dengan ragu-ragu tentang keberadaannya dan fungsi candi ini. Sebagai peringatan tentang pemerintahan sang raja Jayanegara atau tempat abu raja itu sendiri.
Sebagai seorang penonton yang cukup senang menikmati tontonan yang menarik ingin rasanya aku lari dan memberi selamat kepada seluruh pemain terutama kepada Ganang anakku sendiri, tetapi aku malu. Yang kulakukan hanya kubiarkan air mataku mengalir deras dan sesekali kupejet hidungku karena air hidung akhirnya tak mau mengalah ingin menunjukkan keharuanku juga. Pikiranku meloncat amat jauh menembus ruang dan waktu yang amat panjang.
Semenjak larangan ayahnya tak dapat dibantah lagi, akhirnya Ganang menjadi anak pendiam. Tak ingin mengikuti kegiatan apa-apa di sekolah. Ganang menjadi pemurung.
Aku tahu itu semua, tetapi aku tak mampu melawan, sampai ayahnya mendapat tugas di tempat yang masih sering terjadi perang saudara di negeri sendiri. Ayahnya harus berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Timor Timor yang akhirnya harus pulang hanya nama saja.
Kematian ayah makin membuat Ganang semakin murung seakan tak ada lagi semangat untuk hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan sekolah sebagai kewajiban saja bukan sebagai suatu hal yang membuat seseorang makin perkasa dan semangat.
Nilai rapotnya selalu pas-pasan dan benar-benar membuat Ganang tidak memiliki gairah sama sekali. Sampai suatu ketika ia bertemu lagi dengan pak Bagas pelatih keseniannya dulu.
“Tidak pak, aku sudah mati dan aku tak tahu harus melanjutkan ke mana nantinya, apalagi ibu kan hidup sendiri.”
“Kenapa tidak dendam?” tanya pak Bagas.
“Kepada siapa ?” Ganang balik bertanya.
“Kepada ayahmu sendiri?” pancing pak Bagas.
“Kepada ayahku?” tanya Ganang.
“Ya. Tahu bentuknya dendam itu?”
“Nggak pak” jawab Ganang tegas.
“Dendam tidak mesti selalu jelek.
Sekarang yakinkan pada orang tuamu apa yang kaulakukan amat baik dan bisa berguna untuk orang lain. Ganang dulu kan dilarang untuk kegiatan kesenian karena sayang berkelebihan dari ayahmu. Sekarang ayahmu sudah tidak ada. Yang melarang dan berkuasa tidak ada. Mengapa tidak kau teruskan lagi impianmu dulu sampai menjadi kenyataan?”
Ganang diam, berpikir agak lama. “Hidup ini milikmu Ganang, bukan milik siapa-siapa. Tergantung pada dirimu sendiri tentang pada dirimu sendiri tentang hidup ini. Kau buat apa hidupmu ini. Semua ini tergantung padamu.
“Mau kau buat baik atau jelek, semua ini tergantung pada dirimu.” Ganang makin diam. “Kau buat untuk merenung terus tanpa dendam yang positip? Tak ada yang bisa kaulahirkan dari pekerjaan merenung terus.”
Aku tersadar, bangku-bangku tempat penonton sudah mulai kosong. Seorang demi seorang sudah mulai pulang. Kulihat para pemain dan Ganang masih dikerumuni penonton malah beberapa wartawan sedang mewawancarai. Untuk yang kesekian kalinya aku menangis, air mataku menetes tetapi tidak sederas seperti tadi.
Angin semilir datang menerpa tubuhku terasa sedikit segar meski matahari sudah merangkak sejak tadi tetapi belum sampai di pertengahan langit atas Bajangratu.
Candi megah yang terletak didesa Dukuh Kraton Kecamatan Trowulan pagi itu benar-benar tampak semarak.
Biasanya sepi, tetapi pagi itu tampak semarak dan gairah.
Mobil wisata atau disebut mobil kereta dengan warna-warni yang semarak tampak berderet di tepi jalan. Begitu juga mobil-mobil pribadi juga berderet di tempat yang sudah tersedia.
Candi bajangratu tampak makin anggun seakan ikut mengantar tamu sampai di pagar kawasan candi. Dengan latar belakang pelataran yang ditumbuhi rumpaut dan pepohonan yang rimbun, candi ini makin anggun dan asri.
Candi ini pernah direnovasi agar tak roboh. Di bagian dalam candi ditahan dengan besi yang cukup kuat. Sayang, cara pengerjaannya sedikit kasar, sehingga besi itu sedikit menampakkan ketidakasliaan candi ini.
“Ayo bude ke mas Ganang,” ajak ponakanku. “Nanti saja. Kau saja yang ke sana,”jawabku menutupi rasa malu sekaligus kebanggaan yang tak mungkin kusembunyikan.
Setelah ayahnya gugur di medan perang, Ganang memaksaku untuk mengijinkan melanjutkan studinya di bidang kesenian dan satu-satunya kota yang dituju adalah Jogjakarta, karena di kota ini juga ada kakak ayahnya.
Ganang tak bisa dicegah, dan apa yang dilakukan saat pulang menjengukku adalah permohonan maafnya sekaligus doa restu dariku untuk meniti hidupnya sesuai pilihannya sendiri bukan pilihan ayahnya atau aku sendiri. Akhirnya aku yang menyerah kalah, kalah tanpa peperangan. “Ganang ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahiranku,” katanya saat pulang ke rumah dengan beberapa temannya.
“Kalau ayah bisa berbuat sesuatu buat bangsa dan negaranya sampai harus gugur di medan perang, aku juga ingin mempersembahkan sesuatu meski hanya untuk sebuah kota,” katanya dengan keyakinan yang tampaknya tak mungkin mau surut kembali.
“Aku dilahirkan di kota yang pernah menjadi sebuah negeri pusat kebudayaan saat itu, ingin rasanya Ganang bercerita kepada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku tentang negeri ini sekecil apapun,”katanya.
Aku makin percaya ada sesuatu kekuatan dalam dirinya, apalagi setelah berani beberapa tahun tinggal di luar kota kelahirannya. Trowulan kota kecil, sebuah kota kecamatan di kawasan kabupaten Mojokerto adalah kota yang menyimpan sejarah besar di negeri ini. Mojopahit yang mengenalkan bendera merah putih, mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika seperti Sumpah Palapa-nya Patih Gajamada.
Jauh sebelum negeri ini memiliki Sumpah Pemuda tahun 1928, Gajah Mada sudah menyampaikan Sumpah Palapa. Tak akan tidur nyenyak sebelum Nusantara ini menjadi sebuah kawasan yang bersatu. Trowulan inilah yang menjadi obsesi Ganang untuk berbuat sesuatu bagi kotanya. Membangunkan candi yang tidur panjang dengan rambutnya yang rapi dan bersih. Menggeliat bangun menyampaikan salam dan senyumnya yang hangat kepada pewaris bangsa ini lewat pertunjukkan keseniannya. Sejak aku masih kecil sampai menjadi guru, aku beberapa kali melihat candi ini, tak pernah berubah.
Bagaimana aku bersama temanku melihat candi-candi di Trowulan dengan perasaan senang hanya karena bisa bepergian bersama sama teman sekelas. Guru pun tak pernah memberikan cerita yang bisa kuingat sampai sekarang. Aku senang tetapi terasa hambar karena tak mendapat apa-apa. Begitu juga saat aku menjadi guru dan bisa mengajak murid-muridku melihat candi Bajangratu ini.
Kebahagiaanku hanya satu bisa menyenangkan hati murid-murid bisa menikmati warisan nenek moyang kita.
Saat aku menjadi murid sampai menjadi guru, candi ini tak pernah ada perubahan sama sekali. Asri, tetapi sepi dan lengang seakan tak ada kehidupan kecuali menikmati onggokan batu yang tersusun rapi, kuat dan indah.
Hari itu aku bisa merasakan bagaimana candi itu merasa amat bahagia karena merasa hidup kembali. Aku bahagia dan tiba-tiba air mataku menetes lagi, karena aku yakin ayah Ganang saat melihat dari sana jauh, dan amat jauh pasti kebahagiaan yang muncul dan pasti permintaan maaf akan disampaikan kepada anakku.
Seperti apa yang dimainkan para pemain, kisahnya tidak jauh dari sejarah candi itu sendiri sehingga para penonton bisa mengerti sejarahnya. Layaknya seorang guru bercerita tentang setangkai kembang, di tangan kanannya telah tersedia kembang yang diceritakan.
Bajang artinya kecil. Ratu artinya raja.
Raja yang memerintah Mojopahit setelah R. Wijaya adalah anaknya sendiri Raden Jayanegara. Ia diangkat menjadi raja ketika masih kecil. Pemerintahan tak bisa tenang dan damai. Di mana-mana perang saudara terjadi karena kurang puas dengan kebijakaksanaan sang raja. Muncul pemberontakan-pemberontakan Ra Kuti, Ronggolawe dan lain-lainnya. Jayanegara tak mampu memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mangkat karena ulah sahabat terdekatnya: Tanca.
Untuk memperingati wafatnya raja yang masih kecil itulah Bajangratu itu dibangun. Diperkirakan Bajangratu didirikan antara Abad XIII dan awal Abad XIV karena raja Jayanegara wafat pada tahun 1328 [strata dhinar meng kappongan, bhiseka ringesrenggapura pratista ring antawulan] ini tertulis pada Pararaton. Pigeud yang menerjemahkan Negara Kertagama menceritakan bahwa sang raja wafat tahun 1328 dan didharmakan di dalam kedaton. Arcanya dalam bentuk Wisnnu terdapat di Shila Petak dan Bubad. Bubad itu terletak di Trowulan, sedang Sela Petak yang belum diketahui dengan pasti sampai sekarang.
Kubaca sekali lagi tembang yang ditulis dalam synopsis serta cuplikan naskah pertunjukan pagi itu:
Hei prajurit kang angesti
Aja cidra neng negaramu
Andepani tanah wutah ludira
Anatepi sumpahira…
Para dewa di atas langit
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak memiliki ibu dan bapak
Ibu bapakku adalah tempat ajalku kelak
Tempat aku lahir dan mengenyam nikmat
Para dewa di dalam bumi
Dengarkan sumpahku ini
Aku tak punya anggota badan lagi
Anggota badanku adalah bakti pada pertiwi
Anggota badanku adalah cinta pada negeri
Mereka adalah alat-alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya
Mereka hanya mampu berkata daulat tuanku raja.
Perang terjadi dimana-mana, banjir darah menggenang dimana-mana.
Air mataku menetes lagi satu-satu. Yang lewat dan singgah di pikiran dan batinku adalah bayangan ayah si Ganang saat bertugas di daerah pertikaian di negeri ini: Timor Timur.
Dia hanyalah alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya. Ia harus bertugas menumpas para pemberontak. Ia gugur di medan perang.
Ia tak punya anggota badan lagi. Anggota badannya hanya baktinya kepada negeri ini. Anggota badannya hanya cinta pada negeri ini sampai ia harus mati meninggalkan keluarganya.
Memang sebagai seorang prajurit sejati ia wajib memiliki semboyan yang ditulis Ganang anaknya sendiri. Anaknya yang tak pernah diperbolehkan memasuki dunia seni. Sampai pada saat pamit hendak pergi ke tempat tugas, pesan yang disampaikan tetap tak berubah: ”tolong Ganang, jangan diperbolehkan meneruskan kegiatannya. Sebuah tempat telah kusiapkan untuk hidupnya supaya baik untuk masa depannya.”
Aku tersadar saat seseorang mencari-cariku mendekat dan mengajak segera ke tempat para pemain karena Ganang sudah lama menungguku. Aku segera menuju para pemain yang masih sibuk untuk mengemasi pakaian dan bersiap untuk pulang. Pada wajah-wajah mereka tampak kebahagiaan yang pasti orang lain tak mampu merasakan. Berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat seakan mereka telah menyelesaikan tugas yang amat besar.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri. Dan aku tak mengerti perasaan apa yang muncul saat itu. Terharu, malu, bahagia, bercampur-aduk menjadi satu. Sementara seorang penonton tiba-tiba datang dan memberi selamat kepadaku.
“Selamat bu, putranya telah berhasil.” Tangan itu terus kugenggam erat, sebab yang muncul dalam pikiranku malah muncul hanya satu: malu.
“Kenapa bu?” tanyanya dengan heran
“ Tidak apa-apa,” jawabku agak berat.
“Mas Ganang berhasil membangunkan candi yang sudah ratusan tahun menikmati tidur panjangnya.” Aku makin terpuruk mendengar pujian itu. Aku ingin menangis keras-keras, karena merasa tak kuat menahan perasaan malu yang makin lama makin bertumpuk.
Ganang muncul dan aku tak ingin ia yang menjabat tanganku lebih dahulu. Kusambut tangannya dengan mesra, jabatan tangan seorang ibu yang menumpahkan segala perasaan tentang rasa terharu, malu, bahagia dan bersalah.
Bergejolak perasaan itu bergumpal-gumpal menyesakkan dada salaing tindih perasaan itu. Saling bergumul dan saling mencabik membuat nafasku makin sesak, dan satu-satunya jalan hanyalah sebuah pelukan dan air mata kubiarkan deras-sederas perasaanku padanya.
Kupeluk erat-erat bahu Ganang, tak ingin kulepaskan sebelum aku selesai mengucapkan segala perasaan dan rasa bersalahku, meski itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Setelah puas kulepaskan pelukanku, tetapi mataku tak mampu memandang arah lain. Kupandang anakku. Yang kulihat adalah seorang laki-laki gagah tak ubahnya bapaknya sendiri yang sekarang pasti berada di sana jauh di sana. Aku yakin ia memandangku berdua di altar candi Bajangratu yang menjadi saksi pertemuan batin antara ibu dan seorang anak laki-lakinya.
“Kenapa?” tanya Ganang dengan pandangan aneh. “Bapakmu lahir kembali di tempat ini Ganang,”kataku bangga.
“Lain Bu, bapak gagah di sana, Ganang gagah di sini,”katanya dengan enak, seenak hidupnya yang telah dimiliki dengan cara dan pilihannya sendiri. Aku lebih bangga lagi mendengar kata-kata itu.
Kugandeng Ganang dan benar, aku telah dipertemukan lagi dengan suamiku yang sudah almarhum, anakku sendiri di candi Bajangratu ini. Kedua-duanya adalah laki laki yang gagah dan kucintai. Kupamdang sekali lagi wajahnya saat meninggalkan kawasan candi dan sempat berkata meski hanya dalam batin.
“Benar Ganang, bapakmu gagah di sana, engkau gagah di sini.” Diam-diam candi Bajangratu mengantarkan kepergian kami dengan gagahnya. Sebentar lagi suasana kembali sepi.
[Jatidukuh,2004]

Teks Sastra Hudan

Teks Sastra Hudan
Posted by PuJa on August 13, 2008
Bernando J. Sujibto
http://darisebuahsudut.blogspot.com/

(Mas Hudan, semoga kau menemukan blog sudut kecil ini. Saya menuliskan setelah kita sempar ketemu di Rumah KUTUB, duiskusi, nyracau, gila, dan asyik. Setelah itu kau meninggalkan satu buku Nabi Tanpa Wahyu, suatu himpunan esai yang telah membuat sengkau menjadi buah bibir orang-orang, jadi kontroversi. Saya bersyukur di kancah kesusastraan Indonesia mempunyai sosok yang ‘licin’ dan ‘blur’ sepertimu. Ini adalah awal bagi masa suatu proyek masa depan sastra yang sebenarnaya [?])
Teks adalah segalanya dan di luar teks tidak ada apa-apa, itulah ungkapan ekstrem yang sempat terlempar dari sosok cair Hudan Hidayat. Adagium ini pula yang telah menjadi polemik sengit sepanjang paruh tahun 2007. Labih lanjut Hudan menandaskan bahwa nilai apapun tidak dapat menghalangi kebebasan berekspresi. Rupanya, filosofi dan komitmen terhadap konstruksi sebuah teks telah menjadi jalan hidup Hudan dalam menapaki jalan panjang kesusastraan Indonesia. Hingga sekarang, terutama dalam esai-esainya, Hudan tetap meneriakkan pembebasan teks sastra dari klaim dan kepentingan komunal yang telah ikut melumpuhkan perkembangan kesusastraan kita ke depan. Teks dalam karya sastra tak ubahnya sebuah ’wahyu’ yang menuntut multitafsir dan bergantung kepada siapa saja yang mebacanya.
Setelah meredanya polemik sengit yang sempat “membakar jenggot“ banyak tokoh sastrawan senior terutama Taufiq Ismail, Hudan kembali datang dengan jurus dan ajian-ajian yang lebih sempurna ditatal dalam bentuk kitab. Ia kembali datang dengan setumpuk maskot, sebuah buku kumpulan esai berjudul Nabi Tanpa Wahyu, yang semakin melengkapkan ide-ide cemerlang Hudan yang tercecer. Buku esai ini semakin mengokohkan Hudan sebagai sosok tegar yang terus menyiarkan kebebesan menulis dan menafsir teks karya sastra yang disinyalir sebagai teks wakyu itu.
Hadirnya seorang Hudan bagi pentas kesusastraan Indonesia merupakan anugerah yang luar biasa. Hudan datang setelah menjalani berbagai proses dalam kesenian yang ‘berdarah-darah’ dan menawarkan penemuan dari balik pengembaraan panjangnya itu. Hudan menyadari sebelumnya akan nasib kesusastraan kita yang sedang mengalami sakit komplikasi. Dari kondisi carut-marut itulah Hudan bangkit dan membidani dunia kesusastraan dengan intens sehingga melahirkan karya novel yang jauh berbeda dari para pendahulunya, yaitu Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini hingga sekarang masih menjadi ‘terdakwa’. Di samping itu, kumpulan dua cerpennya juga ikut menyertainya Orang Sakit dan Lelaki Ikan dan memastika sosok Hudan bukan hanya sekedar menebar omong kosong, seperti banyak dituduhkan oleh musuh-musuhnya.
Bagi Hudan, kesusastraan adalah upaya membuat lubang atau terowongan, upaya merekonstruksi dunia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Semesta, juga dengan dirinya sendiri. Terowongan ini membuat dunia semacam pecahan yang tak utuh lagi. Sia-sia menampitkannya. Sebab dalam terowongan itu hadir bermacam lambang dan nilai (hlm. 141).
***
Benar adanya jika sosok Hudan bukan hanya liar-frontal dalam karya—cerpen, novel dan esai-esai—nya saja. Tetapi keliaran atau “kegilaan”, seperti disebut Nurel Javissyarqi dalam epilognya (hal. 197), telah benar-benar hadir dan melekat pada sosok keseharian (daily behavior) Hudan. Ia hidup mewakili karya-karya yang dihasilkannya itu. Jika mau diucap: Hudan bukanlah manusia munafik yang bersembunyi di balik karya sebagaimana dilakukan oleh penulis lain.
Hudan telah menunjukkan bahwa hidup-dirinya adalah hasil sublimasi dari pergulatan panjang yang menyertai dalam pencaharian proses kepenulisannya, begitu juga yang terlahir lewat karya-karyanya yang sangat mencengangkan publik, terutama ketika lahir novel Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini, seperti dituturkan Hudan, adalah hasil puncak-klimaks dari masa inkubasi yang mendera Hudan selama kurang lebih 15 tahun yang memaksa memacetkan proses kepenulisannya karena dirinya dituntut harus menjalani lebih serius lagi proses kreatif yang tak berujung demi menemukan nilai kehidupan yang selama ini disamarkan dan dipasung oleh sebagian kelompok dan kepentingan. Dan hal itu pun telah dibuktikan dengan penuh semangat oleh Hudan lewat pemberontakan esai-esainya.
Dalam hal penciptaan karya sastra, Hudan ingin menghasilkan ciptaan yang berfungsi sebagai kenangan (hal. 43), demi kesinambungan proyek kemanusiaan yang sehat dan damai. Tentu saja kenangan seperti itu berguna bagi manusia untuk menyempurnakan hidupnya. Itulah yang mendasari usaha Hudan dalam menangkap dan menafsirkan wahyu yang tanpa “nabi” itu.
Lebih fantastik lagi, dengan usaha serius yang hingga kini konfrontatif, Hudan ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan dengan apa adanya. Ia hanya ingin menuliskan seperti apa yang menjadi iman rekan seperjuangannya, M. Fadjroel Rahman, bahwa “kita adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batasan imajinasi, kreasi…” (hal. 17). Maka tidak ayal jika kemudian dari tangan Hudan lahir karya sastra yang tidak biasa dan diklaim banyak orang sebagai “karya syahwat” (tentu terutama oleh Taufik Ismail!).
Kenyataan hidup demikian bagi sebagian orang dinilai sebagai tabu, jelek, dan cacat sehingga tak kurang dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—yang paling lihai mengeksplorasi bidang ini—mendapat serangan pedas dari masyarakat luas. Padahal, menuliskan cacat kehidupan adalah menghormati hidup itu sendiri (hal. 69). Penalaran ini diakui memang aneh. Tetapi itulah karya sastra, karya yang bermain di ranah metafor dengan piranti bahasa dan simbol sebagai perangkat urgen yang memungkinkan munculnya ambivalensi, multitafsir, dan ambiguitas. Sementara penciptanya (sastrawan) maupun pembacanya (publik) berhak menjadi seorang “nabi” yang bebas menafsirkannya.
Sekarang yang perlu dihadirkan dalam pembacaan karya sastra adalah bagaimana ia dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai sebuah demensi penciptaan yang terbangun di atas papan humanisme. Manusia dan kemanusiaanya menjadi keniscayaan dalam karya sastra, dan perjalanan riwayat kesusastraan itu sendiri. Karya sastra tidak boleh dibawa kepada hal-hal kecil dan ekstrim seperti dilalukan oleh sebagian kelompok. Di sini kita harus berusaha bagaimana sastra dikembalikan kepada konteks kemanusiaan yang universal itu.
Dari itu, Hudan akan selalu hadir menyertai setiap buku yang ada di tengah pembaca. Karena adagium “penulis mati ketika karyanya terbit ke publik” tidak berlaku bagi Hudan. Ia, seperti yang diteriakkannya sendiri, akan mengiringi karya-karya yang telah dilahirkannya. Karena karya, seperti mengutip perkataan Pram, adalah anak yang harus diasuh dan dijaga kesehatannya. Komitmen ini dilakukan Hudan selama 3 tahun dengan berkeliling hampir seantero Indonesia dengan membawa kumpulan cerpen terbitan awal ke tengah pembaca, terutama mahasiswa dan komunitas sastra.
Lebih jauh, buku ini akan menyajikan perspektif yang lebih luas tentang sastra yang diperjuangkan Hudan, terutama sejak setelah masa inkubasinya sekitar tahun 2002. Dalam konteks inilah kita perlu membaca tuntas perihal sosok Hudan dan karya-karyanya demi menghindari truth claim (klaim pembenaran) yang lahir dari tindakan parsial terhadap sebuah teks sastra. Karena bagaimapun, teks sastra adalah serupa wahyu yang tak selesai-selesai ditafsir bersama denyut kehidupan kemanusiaan kita sebagai penerus kenabian.

Cerpen "KIDUNG CINTA AMOY"


KIDUNG CINTA AMOY
Posted by PuJa on August 12, 2008
Kirana Kejora

Ku berhenti di depan toko Orion. Suasana Kembang Jepun masih seperti dulu. Malam makin marak dengan aroma masakan China dan Suroboyoan. Kidung Kya-Kya, begitu ramai dengan polah arek-arek Suroboyo di kampung pecinan itu. Larutnya malam, tak membuat mereka beranjak dari tempatnya. Tetap santai menyenangkan perut, melegakan tenggorokan, dan menyamankan hati dengan berbagai hiburan di jalan itu. Kya-kya Kembang Jepun memang tiada duanya ketika kawasan itu semarak dengan malam budaya. The spirit of place, sajian arsitektur Tiongkok adalah sebuah kemutlakan. Kaya dengan apresiasi budaya. Dari musik keroncong, tarian dan musik klasik Tiongkok, hingga Barongsai anak-anak dan tari Ngremo Bocah. Belum lagi pagelaran acara bertema special, macam Shanghai Night, Dancing on the Street, dan Festival Bulan Purnama. Ah, aku jadi begitu rindu dengan kemeriahan kota lamaku. Tempat yang sarat dengan cerita suka sekaligus bersayat luka.
”Kamu china? Tinggal di Kembang Jepun?!”
”Iya Bunda. Ada masalah?” sahut Elang, sambil memegang tangan kanan bundanya senja itu di teras rumah mereka. Saat itu aku benar-benar bingung, sedih, kecewa, dan mati saja rasanya hati ini. Sudah kuduga, pasti bundanya tak bisa menerimaku. Perbedaan kami begitu banyak, etnis, agama, dan materi.
Bunda Elang hanya melirikku, lalu melengos meninggalkan kami berdua. Segera kubangkit dari kursi, dan aku secepatnya melangkah keluar teras. Meninggalkan rumah besar itu. Ku terjang derasnya hujan. Tak kugubris teriakan Elang.
Batinku menjerit, ”Kamu tak pernah punya daya arung sebagai lelaki Elang, namun kupaham. Karena trah, penerus dan pewaris tunggal Raden Priyo Kusumo membelenggumu akan sebuah pilihan. I know hon, ic. Never mind…”
Aku terus berjalan menyusuri jalan, memunguti puing-puing kehancuran hati dan cintaku senja itu. Aku harus kembali kuat seperti saat sebelum bertemu Elang. Seperti saat aku hidup sendiri, sebatang kara, karena mama meninggal tertabrak mobil angkut, ketika mau menggelar barang dagangannya di trotoar depan toko koko Hendra. Sedang papaku, sampai sekarang tak tahu rimbanya. Kata mama, sejak aku berusia 3 tahun, papa pergi sementara waktu sampai tak ada yang mencurigainya sebagai orang PKI. Dendamku pada sebuah Orde yang begitu bengis dan begitu mudah memvonis. Tak pernah berpikir begitu banyak memakan korban anak-anak yang psikologisnya menjadi tragis.
Terus kutelusuri riak-riak kecil air yang terkadang membanjiri jalan, dari jl. Sumatra hingga tak terasa aku telah sampai jl. Rajawali. Aku lelah sekali, tubuh semampaiku mulai kedinginan, menggigil. Dan tak terasa aku telah sampai di kamar kostku, di kawasan Kembang Jepun.
Semenjak itu, aku menghilang dari kehidupan Elang. Padahal di dalam rahimku telah ada benih cinta kami. Hanya untuk membuktikan bahwa aku tak sehina tuduhan bundanya, bahwa anak Kembang Jepun identik dengan keturunan geshia. Sebuah hal yang mustahil, ketika anak gadisnya masih perawan. Dan kami lakukan persetubuhan itu atas nama cinta. Kubuktikan kegadisanku pada Elang, sekaligus dia berharap dengan kehamilanku, bundanya mau merestui hubungan kami. Namun sebelum semuanya ini kami sampaikan kepada bundanya, aku memilih pergi setelah peristiwa senja itu, daripada sakitku makin tak bisa membuatku menikmati pernikahanku dengan Elang.
”Kamu perempuan bodoh me! Ndak cengli.”
Tak kuhiraukan kalimat seru cece Lani. Aku terus mengemasi semua pakaianku dari lemari kamar kostku.
”Kamu baru saja berkarir di dunia model karena Elang. Lalu kamu membiarkan dirimu hamil dan pergi darinya.”
Kulirik sejenak cece Lani, sahabat, teman satu kamarku, seorang waitress café di Kembang Jepun. Lalu kuhela nafas panjang, kuusap perutku yang mulai membuncit.
”Ada beberapa pilihan yang bisa kamu ambil. Minta pertanggungjawaban Elang, kawin lari, atau kamu gugurkan kandunganmu. Biar karirmu tak terganggu. Jangan bodohlah me.”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Setelah selesai berkemas, kucium pipi cece Lani. ”Ndak tahulah ce. Kamsiya. Aku harus pergi.”
Cece Lani menghalangi langkahku, ditatapnya aku, mata sipit kami beradu, kubuang pandangku ke lantai ubin kamar. Lalu jemari tangan kanannya memegang daguku, dan diarahkan padanya.
”Me, terus ndik mana kamu ntik tinggal? Mau pergi kemana? Ntik yok apa dengan…”
Segera kupegang tangan kanannya, kupeluk tubuh mungilnya. Dia menangisi kepergianku. Tujuh tahun kami selalu bersama dalam keceriaan dan kesedihan, sebuah persahabatan yang terjalin karena sakit yang kami rasakan sama. Di jalan kami bertemu dan di jalan kami hidup bersama.
”Sudahlah ce, biarkan meme pilih jalan hidup yang sebenarnya.”
Semenjak itu kami hanya berhubungan lewat surat. Dan satu tahun kemudian dia menikah dengan koko Johan, sales marketing salah satu produk minuman di café tempatnya bekerja.
Keterpurukan masa laluku tak menjadikan aku mati jiwa. Dengan tabungan yang ku miliki, kuberanikan diri pijaki bumi Jakarta. Beruntung kontrakku dengan beberapa iklan masih menghasilkan royalti. Hingga aku bisa merawat kandunganku dengan baik, selain bisa mengontrak rumah mungil di pinggiran Jakarta, dan sanggup menggaji ning Ginah, pembantu yang kubawa dari Surabaya. Dia yang selama ini membantuku berjualan baju di kaki lima Kembang Jepun, sebelum Elang, seorang fotografer ternama di Surabaya menemukanku, mengajakku menjadi modelnya, lalu memacariku dan mengajakku menikah.
”Sungguh, kusisakan cinta itu buatmu, bukan berarti kau tersia dan terbuang hon. Namun ku memang tak bisa mengikisnya habis. Aku terluka karenamu, bukan karena kau telah menyakitiku, namun karena kau pernah datang dengan keseluruhan cintamu…buat Kemilau….buah cinta kita, aku panggil dia Key…kunci cinta kita hon…”
Kukirim email kepada Elang, terus mengalir saja tak henti satu tahun ini, namun tak pernah ada jawaban darinya. Akupun tak mau mencari dimana dia. Bagiku kehadiran Key sudah sangat berarti. Aku hanya ingin, dia tahu aku punya bukti cinta itu tetap untuknya.
Meski karirku sebagai model cemerlang, namun ku tetap tak bisa memberi keluarga yang sempurna bagi seorang Key. Hingga ku terima pinangan Erick, seorang manajer hotel tempatku menginap, ketika aku ada show di Paris. Dia lelaki romantis yang bisa membuatku melupakan Elang meski hanya sejenak.
Aku memang wanita pemuja suasana, yang begitu merindukan sebuah kelembutan hati dan belaian kasih yang bisa menjadikanku wanita seutuhnya.
”I wanna married with you.”
Aku begitu larut dengan Erick yang meminangku di kala sunrise di bawah ”Gadis Besi” menara karya Alexandre Gustave Eiffel itu.
Tiga bulan kemudian, kami mengikat janji suci, menikah di Champ de Mars, di bawah la tour Eiffel, semua mengalir begitu saja, bak aliran sungai Seine yang terus setia menyejukkan besi menara itu, ketika panas menyengatnya. Sebuah surga dunia yang tak pernah ada dalam impianku. Bulan madu yang indah dengan mengunjungi istana Versailles, aku merasa menjadi permaisuri Louis XVIII. Mungkin ini sebuah kemenanganku atas pertapaan batinku selama ini. Meskipun sejujurnya aku belum sepenuhnya punya cinta buat Erick, namun aku ingat pesan ning Ginah, menikahkah dengan orang yang mencintaimu, kelak kamu akan bahagia. Dan Erick bisa menerimaku apa adanya. Bagiku saat itu, aku ingin membina sebuah mahligai indah berumah tangga.
Setelah menikah dan tinggal di Paris, Tuhan belum juga menitipkan buah hati kami di dalam rahimku. Mungkin karena di sudut hatiku, masih begitu lekat bayang seorang Elang. Hingga tak ada keikhlasan rahim ini buat mengandung benih Erick, entahlah. Padahal, Erick begitu tulus mencintaiku dan Key.
Ternyata Tuhan hanya sembilan bulan menjodohkan kami, Erick meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hatiku hancur karena aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku kembali hidup hanya bertiga dengan Key dan ning Ginah. Lalu kuputuskan untuk kembali ke Indonesia. Aku memilih Surabaya karena bagiku, kota ini adalah ibuku. Aku selalu home sick dimanapun aku tinggal. Aku mulai membuka sebuah usaha, yang tak jauh dari keahlianku. Membuka butik di Pasar Atum.
Butikku makin maju. Hingga aku bertemu dengan Prima Laksana, seorang designer kondang Surabaya. Meskipun pekerjaannya akrab dengan dunia perempuan, namun Prima adalah lelaki macho dan begitu sempurna di mataku. Kami sering mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah, setelah tujuh bulan berpacaran. Meski usianya lima tahun di bawahku. Aku sudah merasa mantap menyandarkan kelelahan hatiku padanya. Bagiku ini pernikahanku yang terakhir. Dia begitu bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayangi Key.
”Benar kan kataku. Kamu bisa temukan lelaki yang lebih baik dari semua lelaki yang pernah ada dalam hatimu…”
Aku hanya manggut-manggut mendengar kalimat cece Lani, sambil memegang cincin berlian yang telah melingkari jari manis kananku lima bulan ini. Lalu kami masuk ke dalam Rembulan café di Tunjungan Plaza III. Kami rehat sebentar, capek banget setelah shoping seharian sekalian nostalgia, karena kami lama ndak jalan bareng.
”Belum ada tanda-tanda junior Prima di perutmu me?”
Aku mengelus perutku yang masih ramping, sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan mengikuti cece Lani duduk di sudut kanan belakang cafe. Namun setelah duduk, pandanganku serasa tak nyaman dengan yang kulihat di samping kiri meja kami.
Aku kenal sekali dengan performance lelaki, dengan hem lengan panjang biru laut, yang hanya terlihat punggungnya itu. Aku terdiam, tak menggubris kalimat-kalimat cece Lani. Lalu cece Lani ikut terdiam, melihat ke meja samping kami.
Kedua tangan itu saling erat menggenggam, meremas, dan pasangan lelaki berhem biru itu menangis sesenggukan. Lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat yang meluncur dari lelaki berhem biru itu, ketika nada musik cafe berhenti.
”Yakinlah, aku masih sayang kamu. Aku menikah karena buat status saja. Berapa kali harus kubilang? Toh kita masih bisa ketemu tiap hari…sudahlah…ragaku miliknya, tapi hatiku tetap milikmu…”
Rasanya saat itu aku ingin segera membubarkan pemandangan menjijikkan itu. Namun ragaku tak kuat, karena gemuruh detak sang jantung yang benar-benar tak bersahabat lagi dengan tubuhku. Prima Laksana ternyata seorang gay! Aku pingsan!
”Saudari Lilian dan saudara Prima Laksana …silakan masuk ke ruang sidang tiga…”
Tiba-tiba aku dikejutkan suara petugas Pengadilan Agama yang memanggilku ke ruang sidang. Aku memasuki ruang sidang ditemani cece Lani. Nampak di ruang sidang hanya ada pengacara suamiku.
”Sabar me..semoga gugatanmu menang…”
Kalimat cece Lani datar, dia turut merasa sangat bersalah, karena selama ini dialah yang mendorongku untuk menerima lamaran Prima. Maka dia terus setia menemaniku hingga putusan sidang berakhir.
Ketukan palu hakim, memenangkan gugatanku. Namun terasa hampa hatiku dan kosong pikiranku. Kalut tak bermakna rasanya hidup ini, sebuah kelelahan yang tak berkesudahan. Cece Lani lalu membimbingku keluar dari ruang sidang.
”Ijinkan aku datang dengan keseluruhan cintaku…”
Sebuah suara yang datar dan berat, yang pernah kukenal. Aku dan cece Lani menghentikan langkah di pelataran mobil. Kami mencari arah suara itu, di belakang kami. Kami menoleh. Lelaki dengan tampilan macho, celana dan jaket blue jeans, rambut terkuncir rapi ke belakang. Aku merasa, tiba-tiba menjadi arca tua yang siap roboh.
”Elang…!” Sempat kudengar kalimat cece Lani sebelum mataku berkunang-kunang dan dibopong Elang, dibawa masuk ke dalam mobil…batinku menjerit…honey!
”Cik, tolong mobile minggir…”
Suara tukang parkir dan ketukan tangannya di kaca mobilku, membuyarkan lamunanku malam itu. Segera aku menjalankan mobilku. Kulajukan pelan-pelan menyusuri sepanjang jalan Kembang Jepun, sambil kuhapus air mataku yang tiba-tiba begitu saja mengaliri tirus pipiku.
Batinku malam itu. ”Dimana kamu Elang? Rumahmupun telah sunyi tak berpenghuni..maafkan aku hon…”
Rumah Hijau, 230907, energi kepak elang

Emansipatori Humanis Sastra


Emansipatori Humanis Sastra
Posted by PuJa on August 12, 2008
Ahmad Muchlish Amrin

Secara umum, humanitas sastra berangkat dari spiritualisme kontemplatif sastrawan; mereka mengadakan pemberontakan terhadap nilai kemanusiaan yang dikebiri, kemudian muncul “sastra marxis” yakni karya sastra membela kaum proletar dan menolak kaum borjuis. Perbincangan semacam ini banyak dianalisis oleh Terry Eglation, Anton Lukacs.
Kita dapat melihat karya-karya para peraih Nobel mulai dari 1909 hingga tahun 2004 kemaren, misalnya karya-karya Gabriel Marcia Marquez, Frans Kafka, Luigi Pirandello, Brodsky, Rabindranath Tagore, Octavio Pazz, atau karya sastra Rusia yang terkumpul dalam antologi the Rusian Short Stories, disana terdapat Nicolai Gogol, Leo N Tolstoy, Maxim Gorky, Anton Cekov.
Semuanya punya paradigma kemanusiaan yang vulgar-demokratis. Bagaimana seorang Brodsky mempertahankan nilai religiositas Kristen di Rusia yang berkait kemanusian sehingga dia harus angkat kaki dari negerinya menuju Jerman. Atau pemberontakan Tagore terhadap pemerintah India, menyebabkan dirinya bertempat tinggal di penjara. Realitas pahit ini, terasa “manis” bagi sastra, sebab visi misi humanis sastra telah melampaui materialisme-hedonistik dan imprealisme-birokratik. Sastra dalam sejarahnya selalu melakukan emansipatori “spiritualisme humanis” yang kemudian diaksentuasikan dalam bentuk praksis.
Kenyataan semacam itu penting dilirik oleh khazanah kesusastraan Indonesia, sebab paradigma kesusastraan kita masih semu. Artinya totalitas berkesusastraan kita perlu dipertanyakan. Meminjam bahasanya Zainal Arifin Thaha (2003), berkesusastraan tanpa kepujanggaan. Di negeri kita ini, karya sastra yang pro-humanis masih dapat dihitung dengan jari.
Misalnya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, calon peraih Nobel tahun kemaren; satu-satunya menjadi kebanggaan Indonesia masa kini, (mengapa saya menulis masa kini?) Sebab sejak Lekra dilibas oleh Manikebu tahun 1960-an, oleh Undang-undang penghapusan Komunis di Indonesia, Pram sebagai tokoh Lekra juga ikut ke-bridel aturan “otoritarianisme” sehingga mulai tahun itu karya Pram dilarang beredar di Indonesia. Bahkan distributor karya-karya Pram, jika ketahuan aparatur negara, bisa diseret ke penjara; dianggap menyalahi aturan negara. Namun walaupun itu terjadi, dia masih eksis berkarya; mengkritik birokrasi secara vulgar, mengkritik nilai-nilai dehumanitas dengan keras dan tajam. Sehingga Pram sendiri masuk dalam tahanan. Begitukah wajah Indonesia merespon sastra?
Sejak Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid, red) membuka kran demokrasi di Indonesia; ia mempersilahkan sosialis-komunis hidup di Indonesia. Sejak itu, Pramoedya Ananta Toer menjadi seorang sastrawan agung, karena kegigihannya mengibarkan emansipatori humanis serta mengaksentuasi nilainilai tertutup (closed) yang berkembang di Indonesia. Bahkan kenyataan paling menggetarkan perasaan saya, ketika Agam Wispi, seorang pejuang Lekra meninggal di panti jompo Belanda tahun 2003 kemaren. Sejak tahun 1960-an, dia bertugas sebagai wartawan di China, mendengar dalam negeri terjadi keributan (tentang pembredelan Lekra dan penumpasan komunis), dia tidak pulang ke Indonesia, hanya menyelamatkan nyawanya dari otoritarianisme pemerintah.
Dia keliling ke berbagai negara, pada akhirnya terkapar di panti jompo Belanda. Pada tahun 1999 dia masih sempat diundang ke Indonesia untuk membacakan karya-karyanya di Jakarta, namun setelah itu, dia kembali lagi ke Belanda. Betapa pahit rasanya, ketika hanya menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri, ketika harus kembali lagi ke negeri orang yang jelas-jelas negeri pernah menjajah negerinya berabad-abad, memeras keringat nenek moyangnya, ambil hasil buminya, mengambil kekayaan rakyat secara paksa. Pedih!
Kedua tokoh saya sebutkan tadi merupakan pejuang kemanusiaan yang tangguh melalui mediasi sastra. Mediasi “tekstual” kemanusiaan menjadi bukti sejarah bahwa pada bangsa majemuk ini masih ada orang mampu memperhati kan nasib kemanusiaan secara bebas berdasarkan hak-haknya. Sehingga karya-karya agungnya memang betul-betul lahir dari rahimnya yang suci. Kita memahaminya, Sastra lahir dari kesunyian jiwa, rasa, hati dan setumpuk kegelisahan memotivasi sastrawan melakukan asketisme-esoteris dan religiusitas empiris melalui karya sastra.
Imajinasi mempunyai kedaulatan penuh dalam mengaksentuasikan nilai (value) dengan memanfaatkan kekuatan rasa dan rasionalitas untuk mengejawantahkan dirinya sebagai eksotisme-esoterik “Tuhan” dan semesta (cosmic). Sebab dunia imaginer sastrawan mampu menembus ruang-ruang tak terjangkau akal-material kecuali mereka menggunakan “indra batin” dalam bahasanya Dr. Naquib al-Atas, yang kemudian dirasionalisasikan akal menjadi bentuk pemikiran atau idealitas. Al-hasil–dituangkan dalam bentuk karya sastra.
Filsafat sebagai saudara kandung sastra memposisikan diri sebagai pembantu mengolah, menggali simbolisme alam sebagai makro kosmos; mengkaji “diri” secara subtantifnya sebagai mikro kosmos. Dari kajian-kajian itulah lahirlah karya sastra mengeksplorasi diri dan alam semesta serta relasional magnetiknya secara terus menerus mengadakan interaksi tak terbatas, baik bersifat irasional, rasional atau supra rasional.
Misalnya dalam buku Asrar-i Khudi dan Javid Nama karya Muhammad Iqbal, Aku (lirik) dalam puisi-puisi itu mengapresiasi bintang, planet, venus, saturnus, merkurius sebagai bentuk dari permenungan untuk menemukan sinyal-sinyal kuat yang menghubungkan antara eksistensi pribadi, ditemukan melalui refleksi dari diksi-diksi mikro kosmos yang kemudian diyakini dapat melahirkan makro-kosmos secara analitik.
Strukturalisme Sastra
Setiap struktur sastra, tentunya punya spirit, orientasi, paradigma spiritualitas-humanistik. Berhubung gencarnya arus globalisme modernitas, sastra Indonesia melahirkan tiga gerbong berpengaruh. Pertama, sastra mengandung superficial structure (struktur luar). Ideologi-ideologi luar dengan bebas menggerogoti khazanah sastra kita, mulai dari materialisme industrial dipengaruhi revolusi Prancis; dengan sebuah kejadian sosialisme Nazi sampai abad ini yang disebut “abad kebangkitan” sebagai spiritualisme barat.
Mereka telah bosan bersandingan dengan hal-hal bersifat mekanik dan akrobatik. Dari superficial structure ini, sastrawan melakukan internalisasi nilai (value internalization); mengeksplorasi seksualitas secara bebas dalam karya sastra yang kemudian melupakan nilai-nilai dasar kebudayaan kita. Tercermin dalam karya-karya Ayu Utami berjudul Saman, Garis Tepi Seorang Lesbian, karya Herlinatiens, Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur, Adam Hawa karya Muhyiddin M Dahlan, Kuda Ranjang, karya Binhad Nurrohmad. Dlsbg.
Munculnya karya-karya itu merupakan mediasi untuk menguakkan rasa terkungkungnya dengan cara “vulgar” dan “bebas”. Sehingga publik menilai karya yang demikian sebagai “sastra lendir” (Jawa Pos, 2004). Sayangnya, karya begitu-begitu dianggap sebagai suatu lompatan ideologis dan kekuatan yang mampu menggugat zamannya. Padahal pengambilan diksi, metafora, penggambarannya sangat jorok dan glamour, sesuai dengan karakter modernitas yang hanya diukur rasionalitas, libidonomics, dan pemuasan birahi; apabila diberi peluang untuk maju ke depan, mereka (sastrawan lendir) tampil sofistik (genit). Kita lihat karya Dorothea Rosa Herliany yang juga dikutip Afrizal Malna dalam bukunya Sesuatu Indonesia, berjudul Nikah Pisau
Tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna:
Tubuhmu yang bertaburan bulan-bulan kuabaikan
Sampai kurampungkan kenikmatan senggama
Sebelum merampungkanmu juga:Menikam jantung
Dan merobek dzakarmu dalam segala ngilu.
Realitas modernisme bukanlah sebuah kesempatan mengejakulasi dini dalam karya sastra, sebab karya sastra bukanlah idealisme situasional yang memancang ekspresi-ekspresi glamour. Bagi saya, modernisme ialah persaingan intelektual dengan segala aspek mediasi yang digunakannya mampu lebih bagus dan lebih baik dari era-era sebelumnya misalnya tentang hak-hak perempuan diperjuangkan Ibu Kartini, cenderung pada upaya penggalian intelektualisme dan pendidikan perempuan serta untuk menghilangkan image bahwa perempuan hanya bertugas di kasur, sumur dan dapur.
Modernisme dalam sastra diharap mampu memberikan mediasi lebih kontruktif terhadap pembacanya, bukan malah pembaca disuguhi dzakar dalam segala ngilu oleh Helvy, dengan puisinya tidak mencerdaskan itu. Dan memang sangat berbeda dengan karya Joko Pinurbo yang cerdas walaupun keliarannya nyaris sama dengan Helvy, bisa kita lihat dalam antologi Celana pada penggalan puisi yang berbunyi:
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
Akhirnya menemukan sebuah benua baru dalam celana
Dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
Penggalan puisi jenaka dan falsafi di atas bukan semata-mata kekosongan dan ke-iseng-an dalam menulis sajak. Akan tetapi dia telah memeras kreatifitasnya secara mendalam melalui kontemplasi total, Joko Pinurbo telah menemukan dirinya dalam Celana sehingga burung-burung pertapa layaknya Stephen Hawking pun mampu khusyuk mencari identitasnya sebagai seorang tokoh postmodern yang canggih.
Kedalaman idealitas Joko Pinurbo dalam puisi itu sebab dikemas dalam bahasa jenaka dan mengeksplorasinya dengan diksi ‘celana’ beserta isinya. Dan pembaca telah mengenal Stephen Hawking akan tiba-tiba diingatkan puisi “pornoistik” Jokpin ini, dan jika pembaca masih belum kenal, ia pasti akan mencari dan bertanya-tanya “siapa Stephen Hawking” sebenarnya? disitulah letak kecerdasan dalam puisi konyol-cerdas Joko Pinurbo yang jauh berbeda dengan ke-konyol-an puisi Helvy Tiana Rosa
Kedua, Profound structure (strukrtur dalam). Dalam konteks ini, Sastrawan hanya memanfaatkan khazanah yang berkembang di Indonesia yakni mewarisi khazanah Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dengan memilih bersikap dingin & religiusitas-imajined. Mereka kebanyakan berangkat dari khazanah sastra Islam sufistik, dalam bahasanya Abdul Hadi WM dan Kuntowijoyo disebut “sastra profetik” walaupun sedikit demi sedikit mereka mendasarkan pada beberapa tokoh di timur tengah, misalnya Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, Rabi’ah al-Adawiyah dan Fariduddin Attar.
Potret sosial-spiritual dalam penciptaan karya sastra tentu menggelantung dalam imajinasi penulisnya ditinjau dari vita, visum at mores-nya sehingga karya sastra dirasakan sangat indah dan sejuk serta memberikan kesempatan pada apresiator atau pembaca sebagai rider merasionalisasikan, merenungi, berkontemplasi serta masuk dunia pengarang; berarti cita-cita provokasi atau harapan dicipta penulis pada pembaca melalui teks telah sampai ke relung hati paling dalam. Di sanalah sebenarnya letak kedalaman sebuah sastra sufistik-profetik sehingga dapat dikatakan “kunci” pencerahan.
Ada beberapa model sastra profetik yang fungsinya memberikan pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis, dan tujuannya merealisasikan sifat-sifat ketuhanan dalam diri insan, serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Ali Ahmad Said seorang penyair Palestina terkemuka menulis bahwa betapapun beban bangsa Pelestina sangat berat perjuangannya merebut kembali tanah airnya, namun tetap perjuangan itu mulia dan dalam perjuanganlah kita menemukan harapan.
Dengan semangat apokaliptik dia menandai zaman kita hidup ini, yaitu zaman otak dan benda-benda mengerikan, namun manusia masih tetap menyadari dirinya sebagai makhluk theomorfis atau kerohanian sehingga memiliki kemampuan berontak. Sebagaimana dalam sebuah puisi Hallaj :
Neraka kubawa dalam diriku dan aku berjalan
Kuhapus jalan-jalan dingin tak terbakar oleh api
Dan kubuka jalan-jalan baru tak berufuk
bagai udara dan debu
Langkahku membuat musuh-musuh dalam diriku terbangun
Namun neraka adalah bantalku tidur.
Sebuah potret sosial-transenden dalam puisi di atas cukup jelas sekali bagi manusia telah masuk di halaman religiusitas-theomorfis, dia pasti telah menghilangkan panasnya api, dinginnya angin, sentuhan ruang dan waktu. Seakan-akan kaki telah tak menginjak bumi, tidak tahu entah berada dimana? jalan-jalan semakin terang dan membentang, petunjuk semakin jelas, hanya kita sendiri terkadang enggan berusaha karena sifat malas melingkupi seluruh tubuh.
Sastra sufistik setidaknya diberikan tempat menari di tengah gelanggang kehidupan dengan harapan tanpa meninggalkan kepentingan-kepentingan sosial, berkenaan dengan kesejahteraan sosial. Betapa tidak senang dan tidak bertanggung jawab individu sastrawan ketika hanya menikmati romantisisme religiusitas dengan-Nya, namun membiarkan khalayak terkapar di bingkai-bingkai glamouritas kehidupan (egois).
Ketiga, Syntesis Meeting (pertemuan gabungan). Dari varian ini, sastrawan melakukan penggabungan antara internalisasi superficial structure dan eksternalisasi profound structure yang kemudian lahirkan aliran baru; merealisasikan struktur lama yang baik dan mengadopsi struktur baru yang lebih baik. Tercermin dalam karya-karya Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, taufik Ismail, Acep Zamzam Noor.
Dengan itu dapat dibaca bahwa khazanah sastra kita termasuk khazanah sastra yang kaya dan dapat bergerak secara fleksibel, baik dalam aspek spiritualisme religius (religious of spiritualism) atau sosialisme humanis (sosialism humanist) atau bahkan menggabungkan diantara kedua disiplin itu menjadi sebuah aliran sastra lain dari yang lain. Tergantung pada kita, sampai dimana kecerdasan dan kecerdikan memberangkatkan imajinasi ke ruang-ruang yang lebih dahsyat dan tak terhingga. Wallahu A’lam.



One Response to “Emansipatori Humanis Sastra”
Qinimain Zain, on September 25th, 2008 at 6:50 am Said:
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)
Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).
JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.
Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.
Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?
Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).
Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.
SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).
Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.
Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).
Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.
SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).
Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.
Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).
Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.
SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)