Pages

Sunday, 1 January 2012

Bahasa Sunda dari Kongres ke Kongres

Bahasa Sunda dari Kongres ke Kongres
Posted by PuJa on January 1, 2012
Dadan Sutisna
Pikiran Rakyat, 26 Juni 2011

DI antara bahasa-bahasa ibu di Indonesia, bahasa Sunda paling sering dikongreskan. Bahkan, intensitasnya akan menyamai Kongres Bahasa Indonesia, karena sama-sama diselenggarakan sembilan kali. Bahasa lain yang kerap mengadakan kongres adalah bahasa Jawa (lima kali) dan bahasa Bali (lima kali).
Kongres Bahasa Sunda (KBS) diprakarsai oleh Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBBS). Sebelum kemerdekaan, masyarakat pendukung bahasa Sunda juga pernah menyelenggarakan kongres, yaitu tahun 1914, 1918, 1922, 1926, dan 1929. Kemudian pada tahun 1952, inohong Sunda menyelenggarakan Konferensi Bahasa Sunda di Bandung yang menjadi cikal bakal lahirnya LBSS. Jadi, jika dihitung dengan masa sebelum kemerdekaan, bahasa Sunda telah 14 kali dibahas dalam suatu kongres.
Penyelenggaraan KBS dilatari oleh permasalahan bahasa Sunda, yang kemudian diperbincangkan untuk mencari titik temu dan kesepakatan. Hasil kongres selanjutnya dituangkan dalam keputusan atau rekomendasi, agar dilaksanakan oleh pihak-pihak pembuat kebijakan serta masyarakat pendukung bahasa Sunda.
Isu yang selalu mengemuka dari setiap penyelenggaraan KBS adalah upaya menyesuaikan bahasa Sunda dengan perkembangan zaman. Agar bahasa Sunda ngindung ka waktu, hasil Konferensi Bahasa Sunda tahun 1952 merekomendasikan dibentuknya suatu badan untuk memelihara bahasa dan sastra Sunda. Kemudian berdirilah LBSS. Salah satu kegiatan yang tertuang dalam anggaran dasar LBSS adalah menyelenggarakan KBS.
Sejak pendiriannya, LBSS telah delapan kali mengadakan KBS, dan tahun ini yang kesembilan. KBS I sampai IV diadakan di Bandung, yaitu tahun 1954, 1956, 1958, dan 1961. Dari empat kongres tersebut, rekomendasi yang paling nyata adalah dibukanya Jurusan Sastra Sunda di Unpad dan UPI, penyusunan pedoman ejaan bahasa Sunda dan penyusunan Kamus Umum Bahasa Sunda. Selain itu, diterbitkan pula buku-buku yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Sunda.
Selama 27 tahun, sejak 1961, LBSS tidak mengadakan kongres. Atas dorongan dari beberapa tokoh pemuda, antara lain Acil Bimbo dan Uu Rukmana, tahun 1988 LBSS menyelenggarakan KBS V di Cipayung Bogor. Maman Sumantri, Ketua LBSS pada periode 1984-1988, menyebutkan bahwa KBS V merupakan upaya untuk merumuskan kembali bahasa Sunda dalam menyongsong abad XXI. Selanjutnya, LBBS menyelenggarakan kembali KBS VII di Gedung Merdeka tahun 1993, KBS VII di Garut tahun 2001, dan KBS VIII di Subang tahun 2005.
Rekomendasi dan Realisasi
Penyelenggaraan KBS bertujuan untuk menemukan solusi, kesepakatan, kebijakan, dan strategi berkaitan dengan permasalahan bahasa, sastra, dan aksara Sunda. Meski demikian, kongres-kongres sebelumnya kerapkali mendapat sorotan tatkala dipandang sebagai acara rutin yang bersifat seremonial. Hal ini lantaran beberapa rekomendasi kongres, belum juga dilaksanakan hingga datang kongres berikutnya.
Kegiatan rutin pada setiap KBS pada dasarnya sama, yaitu membentuk panitia, mengundang pemakalah, mempresentasikan makalah, dan kemudian menyusun rekomendasi. LBSS sebagai lembaga yang memprakarsai terselenggaranya KBS, kemudian mengadakan sosialisasi hasil kongres kepada pihak-pihak yang memiliki kebijakan, agar dapat dirasakan oleh masyarakat.
Adanya KBS semestinya membawa iklim yang lebih baik agar bahasa Sunda berkembang dan digunakan di tengah masyarakat Sunda. Betapa tidak, pada setiap KBS, para ahli bahasa Sunda mengemukakan gagasan dan solusi, mencari titik temu, merancang strategi, hingga tercapai kesepatan. Lembaran rekomendasi yang tertuang dalam keputusan kongres, merupakan agenda untuk mengembangkan bahasa Sunda di masa depan.
Setiap bahasa ibu di Indonesia, memiliki permasalahan yang sama, yaitu merasakan kemunduran, sulit mengimbangi perkembangan zaman, dan serangan kosakata dari bahasa nasional dan asing. Masalah-masalah inilah yang seringkali dibahas pada seminar, kongres, saresehan, atau perbincangan di antara pemerhati bahasa. Kebijakan UNESCO tentang pencanangan Hari Bahasa Ibu Internasional, mungkin memberi semangat untuk memperkuat eksistensi bahasa ibu. Tetapi hal itu tidak serta-merta menjadikan bahasa Sunda lebih berkembang.
Bahasa Sunda, sebagai bahasa ibu terbesar kedua di Indonesia, tentunya memiliki kesempatan yang besar untuk tetap hidup di masyarakat. Sayangnya, tak pernah ada data yang akurat tentang jumlah penutur bahasa Sunda. Tahun 1992, Maman Sumanti dalam Media Informasi LBSS VI menyebutkan jumlah penutur bahasa Sunda sebanyak 20 juta. Summer Institute of Linguistics mencatat ada 27 juta pengguna bahasa Sunda pada tahun 2005. Tahun 2011 entah berapa. Bahkan BPS Jawa Barat pun tidak mencatatnya. Pentingnya data penutur bahasa Sunda, bukan hanya persoalan statistik, tetapi menjadi rujukan agar kebijakan tentang bahasa Sunda tidak salah sasaran.
Isu lainnya tentang bahasa Sunda adalah masalah kemurnian bahasa. Sekitar satu abad silam, R.H. Muhamad Musa (1822-1886) menganggap bahasa Sunda tidak murni lagi karena sudah berbaur dengan kata-kata dari bahasa Arab, Jawa, dan Melayu. Demikian pula R. Satjadibrata, tahun 1950-an menyebutkan struktur bahasa Sunda sudah simpang siur dan kamayalon. Bagaimana dengan saat ini? Ya, tentu harus ada rujukan untuk masyarakat tentang bahasa Sunda yang “baik dan benar”. Jika kata-kata dari bahasa lain dianggap tidak tepat, tentu harus ada alternatif yang tertuang dalam kamus.
Satu-satunya sumber rujukan masyarakat tentang bahasa Sunda adalah kamus yang sesuai dengan pajamaman. Untuk pangsa generasi muda, diperlukan pula kamus yang lebih mendekati keseharian mereka, kamus praktis dan terbenam dalam piranti teknologi.
Hal lain yang perlu dilakukan dalam pengembangan bahasa adalah merancang komputansi linguistik untuk bahasa Sunda, seperti yang banyak digunakan pada bahasa-bahasa asing. Teknologi semantik, sebagai suatu kemajuan dari ilmu komputer, dapat digunakan untuk menganalisa bahasa Sunda.
Semoga hasil dari KBS IX di Bogor pada Juli 2011 mendatang, dapat menghasilkan produk kamus yang tidak hanya bersifat konvensional-tradisional, tetapi dapat memiliki aksesibilitas global agar dapat digunakan oleh segenap masyarakat dengan mudah.***
Dijumput dari: http://galuh-purba.com/bahasa-sunda-dari-kongres-ke-kongres/

0 comments:

Post a Comment