EYD versus Edjaan Djadoel
“Matanja redoep, dengan iapoenja boeloe mata lentik sekali”. Itu kalimat pertama cerpen “Pengakoean Seorang Pemadat Indis” karangan Eka Kurniawan yang terbit tahun 2005. Cerpen ini ditulis dalam edjaan Van Ophuysen yang sudah kita tinggalkan pada tahun 1947. Mengapa Eka menggunakan ejaan zaman Belanda?
Di zaman reformasi ini khalayak ramai makin meminati sejarah. Awalnya orang cuma ingin tahu soal G30S, karena tidak puas dengan versi yang terus berjaya selama 32 tahun. Tapi sekarang perhatian pada sejarah menjalar pada periode-periode lain, terutama periode penjajahan. Di sinilah banyak orang, terutama generasi muda, menghadapi masalah besar. Mereka kesulitan membaca tulisan-tulisan lama yang kebanyakan tidak ditulis dalam EYD, dan banyak tulisan bermakna sejarah memang tidak ditulis dalam EYD.
Patut dicurigai
Di lain pihak, kini mulai bermunculan tulisan-tulisan lama tidak dalam EYD. Contohnya “Bakoel Koffie” atau “Boemboe Dessa”. Timbul kesan seolah-olah kita kembali ke zaman Belanda, ketika ejaan Van Ophuysen masih berlaku. Tapi jelas tulisan macam begitu cuma judul. Membaca judul dalam ejaan zaman kolonial jelas lain dengan membaca buku dari zaman itu.
Walaupun tidak menggunakan EYD tidaklah berarti bahwa ejaan seperti itu membangkitkan minat orang untuk membaca ejaan masa lampau. Dunia usaha yang menggunakannya jelas berupaya memanfaatkan kesempatan ketika masyarakat sekarang sudah mulai meminati sejarah, termasuk ejaan yang waktu itu berlaku.
Tidak kalah menarik adalah pendapat penulis Eka Kurniawan. Edjaan djadoel (jaman dulu), begitu katanya, dipakai untuk mengesankan bahwa penggunanya memang sudah tua. Eka mengaku tidak tahu kapan persisnya perusahaan itu berdiri, tapi sekilas membacanya, akan terbayang perusahaan ini sudah lama, sudah mapan sekali. Bagi Eka citra itulah yang ingin dibangkitkan.
Dengan kata lain makin banyaknya dunia usaha memanfaatkan ejaan non EYD tidaklah berarti khalayak ramai sudah terbiasa dengan ejaan lain. Kesulitan terhadap ejaan non EYD tetap merongrong.
Maka yang sebenarnya patut dicurigai adalah EYD sendiri, karena ejaan ini telah menghalangi generasi muda untuk membaca dan memahami sejarah mereka sendiri.
Buntet sejarah
Salah seorang tokoh yang sudah lama mencurigai EYD adalah Indonesianis senior Profesor Benedict Anderson pensiunan Cornell University di Amerika. Sudah sejak tahun 2001, Ben Anderson, begitu panggilannya, menulis EYD sebaiknya dilupakan saja. Alasannya ejaan itu menyebabkan angkatan muda menganggap buku-buku dalam ejaan “lama”, bikin mumet, aneh, dan tak terbaca.
Di sini Anderson datang dengan istilah “historical lobotomy”, maksudnya pikiran buntet sejarah yang diidap oleh generasi muda, antara lain, karena tidak suka baca tulisan atau buku dalam ejaan lama. Baginya ini adalah akibat politik jahat Orde Baru.
Membaca buku tulisan linguis asal Norwegia Lars Vikør yang berjudul Perfecting Spelling (menyempurnakan ejaan) tentang sejarah lahirnya EYD, orang bisa meragukan peran Orde Baru dalam soal ganti ejaan ini. Perundingan Indonesia Malaysia soal harmonisasi ejaan sudah berlangsung sejak akhir 1950an. Bisa-bisa keseragaman ejaan Indonesia Malaysia itu akan tetap datang, tak peduli Orde Baru tampil atau tidak.
Ternyata segala bentuk hubungan Indonesia Malaysia terhenti pada awal 1960an, ketika Bung Karno melancarkan konfrontasi dengan semboyan “Ganjang Malaysia”. Begitu pula perundingan soal ejaan, padahal sudah melahirkan kesepakatan Ejaan Melindo.
Baru ketika Orde Baru tampil, atas keinginan dan titah orang kuatnya, pada tahun 1966 perundingan ejaan ini dilanjutkan dan bermuara pada tahun 1972 ketika Indonesia Malaysia menyepakati serta memberlakukan EYD. Bahkan, supaya cepat dicapai persetujuan, Indonesia melunakkan pendirian. Dengan kata lain yang mengambil manfaat dan diuntungkan oleh EYD adalah Orde Baru. Ben Anderson jelas tidak salah tuding.
Iapoenja boeloe
Eka Kurniawan bisa jadi adalah satu-satunya penulis yang menggunakan ejaan lama. Ia menggunakan Edjaan Van Ophuysen dalam cerpennya “Pengakoean Seorang Pemadat Indis” terhimpun dalam kumpulan cerpennya Cinta tak ada Mati, terbitan 2005. Cerpen ini melukiskan kehidupan seorang pemadat pada akhir abad 19 di Hindia Belanda, nama Indonesia waktu itu. Dengan menggunakan Edjaan Van Ophuysen, Eka mengaku ingin tampil orisinal.
Eka menggunakannya tidak hanya karena ingin masuk ke situasi abad 19, tapi terutama juga mendalami literasinya. “Artinya bagaimana sih orang zaman itu menulis, tidak sekedar huruf atau ejaan yang mereka pakai, tapi juga logika gramatikanya kayak apa,” jelas Eka. Jadi memang itu merupakan penjelajahan bagi seorang penulis seperti Eka untuk masuk ke alam pikiran, situasi abad 19.
Eka mengaku ingin menggugah minat generasi muda pada ejaan lama. “Tujuan sederhanaku cuma membiasakan kita membaca tulisan dalam ejaan itu. Bagiku pada dasarnya halangan itu datang karena kita enggak biasa. Aku memang kesulitan ketika mulai mencoba baca buku-buku ejaan lama, tapi ketika sudah tiga empat buku dibaca, pada akhirnya kita bisa membaca seperti baca biasa, karena secara otomatis kita udah ngerti, langsung baca.” Jadi kalau terbiasa, halangan-halangan itu akan hilang juga.”
Ajolah kita ikoet adjakan Eka Kurniwan oentoek membiasaken diri dengen edjaan lama. Dengen begitoe kita tak asing pada kita poenja sedjarah sendiri.
Info:http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/eyd-versus-edjaan-djadoel
0 comments:
Post a Comment