Pages

Friday 6 January 2012

Ironi Barat dan Islam

Ironi Barat dan Islam
Posted by PuJa on January 6, 2012
Hasnan Bachtiar *
__Shohifah SM Edisi 1 – 2012

ISLAM itu adalah dua hal. Pertama, adalah agama, sedang maknanya yang lain adalah ilmu. Dua kesimpulan ini terangkum jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an, maupun Sunnah Rasulullah sebagai cahaya-cahaya yang menerangi.
Namun sayang, sebagian golongan tidak pernah mengakui bahwa Islam itu adalah ilmu yang mulia. Bahkan, pengetahuan mereka hanya sebatas bahwa Islam hanyalah citra kebengisan, kepentingan politik dan iman masyarakat tribal, seolah belum pernah meraih peradaban. Itulah ironi, dari arogansi pengetahuan sebagian ummat. Suatu bentuk pengingkaran yang nyata.
Menggambarkan hal ini, Roger Garaudy di dalam bukunya yang terkenal, Promeses de l’Islam (1981), mencontohkan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak pernah mengakui kebesaran Islam. Misalnya saja, masyarakat Barat sejak abad ke 13, tidak pernah mengakui bahwa peradabannya yang sedang berkembang “sedikit” itu, sejatinya telah mewarisi dan berhutang budi pada peradaban Islam yang luhur.
Dalam buku dengan isi yang sama, namun berjudul L’Islam habite nore avenir, seorang filsuf Perancis ini mengungkapkan kekecewaannya pada peradaban Barat bahwa, “Telah sampai waktunya untuk insyaf, karena perkembangan Barat mendorong kita untuk hidup tanpa tujuan dan kematian. Mereka membenarkan dirinya dalam suatu kebudayaan dan ideologi yang keji” (1981: 17).
Para intelektual dunia telah mafhum bahwa, kegagalan Barat tersebut, antara lain karena anggapan dan sikap mereka yang terlampau meninggikan tiga hal. Pertama, meninggikan arogansi kepemilikan alam. Menurut mereka, alam adalah miliknya sendiri, bukan miliki dunia. Kedua, mereka mengimani konsepsi yang tak mengenal belas kasihan tentang hubungan manusia. Individualisme adalah ciri khas keseharian yang nampak positif, padahal juga bersifat mengekang diri sendiri maupun orang lain. Ketiga, mereka punya nilai yang menyebabkan rasa putus asa terhadap masa depan. Dengan kata lain, menanggalkan kebenaran tentang ketuhanan.
Kiranya perlu contoh-contoh agar lebih terang persoalan-persoalan ini. Pertama, soal arogansi kepemilikan alam. Seolah-olah bagi mereka, manusia di seberang teritori, kebudayaan dan peradaban lainnya tidak berhak atas dunia. Dunia hanya patut mereka warisi. Perdamaian, HAM, kemajuan sains dan teknologi, seluruh bidang pengetahuan, citra dunia, hingga sumber daya alam seperti minyak, uranium (nuklir) dan kekayaan tambang lainnya, merekalah yang berhak mengelola, serta tentu saja “memilikinya”. Tidak heran jika dewasa ini, Israel, Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat hendak menggencarkan serangan militer ke Iran yang disinyalir telah mengembangkan nuklir.
Kedua, alih-alih mengapresiasi privasi dan hak pribadi, manusia Barat menciptakan masyarakat persaingan pasar, konfrontasi, dan kekerasan, di mana kehidupan ekonomi dan politik memihak yang kuat, sekaligus memperbudak atau memangsa mereka yang lemah. Tidak pernah ada di dalam sejarah bahwa negara dunia ketiga akan bangkit dan bersaing dengan negara adikuasa. Indonesia jelas tidak sebanding dengan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kekuasaan ekonomi dan politik (Barat), tidak pernah rela agar negara berkembang turut andil dalam pesta peradaban.
Ketiga, masyarakat Barat memelihara ateisme. Namun di sini, bentuk ateisme tersebut adalah spesifik. Memang ada banyak jenis ateisme. Misalnya saja, ada ateisme yang menyanyikan kematian Tuhan (Requiem aeternam deo) seperti Nietzsche, ada yang sangat relijius namun menolak agama (kekafiran relijius) seperti kisah Doktor Faust, ada pula ateisme yang mengakui agama dan tuhan namun memanfaatkannya untuk menjerat, merampok dan menguasai manusia lainnya yang mereka anggap sebagai liyan. Ateisme yang terakhir inilah yang lebih dekat dengan rasa putus asa akan masa depan. Sejatinya mereka beragama, namun tidak sungguh-sungguh menjalankannya, karena yang berlaku adalah birahi imperialismenya. Dalam khazanah latin, tradisi itu disindir dengan menyandang sebutan conquistadores atau kaum penakluk. Itu bukan sebuah prestasi.
Itulah persoalan-persoalan, di mana Islam sebagai al-din yang agung, pada akhirnya diremehkan atau bahkan hanya menjadi hal yang sepele saja. Namun ternyata yang mengagetkan, hal ini juga terjadi dalam kultur Timur, bahkan menjadi tutur dan laku masyarakat Islam itu sendiri. Kendati, dengan cara-cara yang berbeda, namun sama-sama merugikannya, bahkan jauh lebih buruk dari sikap masyarakat Barat. Orang Islam, merendahkan ketinggian Islamnya.
***
Pernah ada suatu ungkapan dari intelektual Mesir yang menghabiskan studinya di Perancis bahwa, Barat itu sedemikian maju karena meninggalkan agamanya. Berbeda dengan dunia Islam yang menjadi sangat merosot, karena para penganutnya telah meninggalkan Islam itu sendiri. Barat meraih peradaban, karena terbebas dari belenggu agama yang lebih banyak menekan dan menghilangkan dimensi kebebasan dan kemanusiaan. Namun sebagian masyarakat Islam, justru meninggalkan agamanya dengan membuat belenggu-belenggu baru, sehingga menghapus segala kebebasan. Demikianlah, manusia yang tidak merdeka adalah terpenjara oleh nafsu duniawi.
Meninggalkan Islam yang membebaskan, barangkali bisa dilakukan dengan memberinya makna yang kolot, bebal dan terlampau menjerat kebebasan atau kemerdekaan terhadap agama itu sendiri. Hal itu mungkin bisa “dimaklumi” karena terbentuk dalam kultur dan kondisi sosial yang beragam dan rumit. Menurut catatan Fazlurrahman, ada sebagian masyarakat Islam yang memilih untuk menjadi konservatif, pembela skripturalisme Islam dan sangat ketat terhadap hukum agama, hanya karena gagal membuat strategi kreatif dalam menghadapi modernitas, kolonialisme dan persaingan internasional.
Di Indonesia hal itu bisa disaksikan dengan mata telanjang. Yang miris, bahwa hal itu menjadi semacam penyakit (ironi) yang menjangkiti para intelektual Muslim. Ada banyak orang terpelajar, cendekia atau sarjana yang gagap dan gagal untuk menjawab tantangan zaman. Al-Quran dan hadits nabi dianggap sebagai hukum-hukum agama yang ketat, rigid dan tidak pernah kompromis dengan pelbagai bentuk hikmah dan kemanusiaan.
Setelah runtuhnya menara kembar WTC pada 11 September 2001, masyarakat Barat, antara lain Eropa dan Amerika menciptakan citra terorisme bagi keseluruhan masyarakat Islam. Ini semakin memperburuk keadaan, karena menambah langgeng tafsiran-tafsiran Islam yang membelenggu. Justru dari sini, yang menjadi pertanyaan mendesak bahwa, apakah dengan memperketat dan mendangkalkan makna Islam, maka akan menyelesaikan problem krusial di dunia internasional, khususnya menyangkut modernitas?
Kondisi-kondisi negatif yang menimpa sebagian umat Islam itu, paling tidak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengetahuan yang sempit akan Islam, lahir karena kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan itu bisa berupa hasrat atau kehendak. Dalam beberapa kesempatan, salah seorang Grand Syeikh dari Universitas al-Azhar, Kairo, Profesor Abu Zahro’ menegaskan bahwa itulah arogansi atas pengetahuan Islam mereka. Karena otoritas kultur Islam yang tidak seberapa, mereka mengklaim paling tahu tentang Islam.
Kedua, kurangnya pengetahuan akan Islam yang tinggi (ya’lu wala yu’la ‘alaih), karena rasa minder yang akut. Sebagian masyarakat Islam, terjangkit inferiority complex (merasa rendah diri) tatkala bergumul dengan realitas dunia yang sangat rumit, bahkan kerumitannya melampaui solusi tekstual sederhana dari kitab suci. Mereka rendah diri dengan kemajuan masyarakat lainnya dalam pelbagai bidang. Alih-alih teori-teori, khazanah intelektual dan peradaban Barat, – yang sedang populer dan menanjak – adalah tidak sebanding dengan tingginya agama, namun sebenarnya, secara tidak sadar, justru mereka memalingkan makna agung dari agama tersebut, yang sejak dari wataknya adalah menerima kebenaran dan kebaikan dari manapun. Bukankah dalam Islam kita mengenal tradisi tentang, hendaknya membuka mata terhadap ayat-ayat kauniyah? Hendaknya kita berlapang dada dengan ilmu-ilmu Allah yang ada di mana-mana? Pernahkah kita merenungkan kredo, al-maslahah, syariatun (setiap kebaikan, itulah agama yang sejati)?
Ketiga, pengetahuan mereka berasal dari rasa kecewa yang mendalam akan peradaban lain, di luar apa yang mereka miliki. Eropa dan Amerika barangkali, merekalah yang paling gencar berkampanye soal demokrasi, HAM dan kemanusiaan, namun faktanya, mereka pula pelanggar nomor wahid di dunia. Tapi apa jadinya jika pengetahuan alias tafsiran akan Islam adalah buah dari kekecewaan? Bukankah Nabi SAW. mengajarkan bahwa makanlah makanan yang baik, berasal dari hal yang baik? Dalam falsafah yang lebih mendalam bahwa, bukankah kebaikan itu mestinya berasal dari kebaikan pula dan bukan kekecewaan? Artinya bahwa, kebaikan Barat, hendaknya juga diapresiasi, tanpa harus latah ke-barat-barat-an (Eurosentrisme).
Inilah gambaran nyata, fenomena yang unik, suatu ironi yang menimpa masyarakat Muslim sendiri, yang kiranya kesulitan untuk menjawab tantangan zaman. Karena seluruhnya adalah pemalingan makna yang “tinggi” dari Islam, baik itu karena arogansi maupun kebebalan, maka untuk menyelesaikannya adalah mengembalikan Islam pada maknanya yang sejati. Islam itu adalah agama dan pengetahuan yang agung.
***
Ada beberapa jalan untuk merubah ironi akan arogansi pengetahuan Barat dan Islam, yaitu mengapresiasi prinsip progresivitas, bersikap terbuka dan optimis, serta tidak terlampau emosional tatkala mencandra teks-teks keagamaaan.
Pertama, menurut Doktor Muhammad Iqbal, dalam the Reconstruction of Religious Thought of Islam (1951), Islam itu secara alamiah memiliki prinsip gerak yang mengarah pada kemajuan. Prinsip ini sangatlah universal dan berlaku menjangkau semua golongan. Seperti tuturan ummu al-kitab, “Alhamdulillahi rabbi al-alamin,” yang berarti segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, seluruh umat manusia pula. Prinsip ini dalam khazanah syariah, lazim disebut sebagai ijtihad. Ijtihad itu adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan manusia dengan sungguh, untuk mewujudkan bahwa al-Islamu, ya’lu wala yu’la ‘alaih, Islam itu tinggi dan paling puncak. Jika umat Islam berpegang pada prinsip progresivitas ini, maka dia akan melepas segala pikiran negatif, kebelakang maupun terbelakang dan obskurantis atau kehilangan nyali untuk menatap kemajuan.
Kedua, adalah open minded dan optimis. Seorang sufi besar Imam Ghazali pernah menuturkan bahwa, segala ilmu yang benar (al-‘ilmu al-syar’iyyah), datangnya tiada lain dari Allah SWT. semata. Kita sangat sulit mengabaikan hal ini, bahkan seorang intelektual Barat Non-Muslim, Karen Amstrong mengakuinya dengan segenap kerendahan hati. Segala teori, pengetahuan, kultur, kebiasaan, tradisi dan peradaban, dari manapun datangnya, selama tidak bertentangan dengan akidah karena sifatnya yang positif, maka Islam menerimanya. Kemajuan sains dan teknologi misalnya, harus dihargai dengan baik karena mengandung manfaat yang besar. Nabi mengajarkan bahwa, “Ilmu yang paling baik, adalah ilmu yang bermanfaat.”
Ketiga, dalam menafsirkan teks keagamaan, Islam mensyaratkan adanya pikiran yang sehat, hati yang bersih dan niat yang suci. Tradisi ini, seperti digambarkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri, adalah tradisi irfani atau nilai dan prinsip kebaikan batin tatkala berijtihad. Rasulullah SAW. memberi teladan akan adanya pikiran yang waras, tidak emosional, dengan pembawaan yang tenang , bijaksana, solutif, namun strategis. Umat Islam akrab dengan kisah adanya salah seorang sahabat yang kencing di dalam masjid, kemudian hendak dipenggal kepalanya oleh Umar ibn Khattab ra. yang saat itu sangat emosional dan tidak terkendali. Namun Rasul mencegahnya dengan senyum dan langkah yang penuh hikmah, menjelaskan bahwa di dalam Islam itu, kebersihan adalah sebagian dari iman. Itu adalah sikap terhadap hal sederhana, apalagi tatkala menafsirkan al-Quran yang mulia. Apakah diperkenankan seorang mufassir secara arogan memberi makna atas ayat-ayat Allah? Tentu saja tidak.
Para pembaca yang budiman, khususnya kaum Muslimin yang dirahmati Allah, marilah senantiasa menjunjung Islam yang tinggi di hadapan dunia, mengapresiasinya, mempelajari, memperdalam dan menyalakan api-api kegemilangan dalam hidup sehari-hari. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.
*) Penulis pernah nyantri di bawah bimbingan KH. Abdullah Hasyim, Malang.

0 comments:

Post a Comment