KERJA KEPENYAIRAN. TENTANG MASA LALU PENYAIR TARDJI
Posted by PuJa on August 12, 2008
Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Seorang lelaki muda, selanjutnya kita panggil saja dengan sebutan Tardji, berkeinginan menulis puisi. Sebelumnya memang, ia pernah membaca puisi, sebuah puisi yang dianggapnya bagus. Yang tidak menggurui, tidak menyodorkan “seruan provokatif”, tidak menghardik. Tapi justru dengan itu, ia tergugah. Ia sependapat dengan kata-kata, terkesima dengan kalimat-kalimat, dan ia ingin menuliskannya kembali. Tentu saja, ia menulis dengan kata-kata yang lain, menyajikan dalam kalimat-kalimat yang berbeda. Di dalam anggapannya, menulis puisi adalah kerja yang unik, menantang, menggiurkan, sekaligus penuh kerahasiaan.
Seorang Tardji lalu lebih banyak lagi membaca puisi, tidak hanya puisi yang dikultuskan “berwibawa”. Dari sekian banyak puisi yang dibaca, memang ada yang benar-benar berwibawa, seperti yang pertama kali ia baca. Selebihnya, ia rasa sebaiknya dimasukkan dalam kumpulan puisi remaja. Kadangkala terlalu ngotot dengan keinginan, kadangkala terlalu manja dengan kata-kata, sepertinya kata-kata adalah batu bata yang dapat dipakai memebangun rumah model apa saja, kapan saja. Seorang Tardji sedemikian menghormati kata-kata, dan memang, ia meyakini, “penyair adalah orang yang hidup dalam dunia kata-kata”.
Meskipun kadangkala, ia berbeda pendapat dengan banyak orang tentang berwibawa tidaknya sebuah puisi, Tardji sepenuhnya sadar, ada hal-hal lain di luar puisi yang lebih menentukan penerimaan pembaca. Entah anggapan kritikus sastra, entah terlalu seringnya dibicarakan, entah terlalu seringnya dibacakan, entah alasan penciptaannya yang mencengangkan. Mungkin juga, disebabkan penyairnya menjalani hidup teramat puitis.
Misalnya gemar bertindak tidak sopan, melanggar aturan, jarang mandi -jarang makan, tidak beristri -beristri terlalu banyak, atau karena si penulis puisi telah “berhasil” dibidang lain, yang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia kepenyairan. Tardji tetap yakin dengan aparat kritiknya sendiri. Puisi berwibawa karena kata-kata, karena kalimat-kalimat, karena teks yang utuh dan sekaligus memancar memasuki lorong-lorong imajinasi. Pernah Tardji mengenal seorang penulis puisi yang dengan getol mengkesankan bahwa puisinya adalah simbol pemberontakan terhadap kekuasaan yang korup, pelurusan terhadap nilai-nilai moral, pembelaan kepentingan kaum bawah… Tardji hanya tersenyum, setelah dibaca, puisi tersebut akan lebih berharga bila ditulis sebagai artikel kemanusiaan. Memang berapologi, memberi paradigma kepenyairan itu penting, tapi akan menjadi tidak penting/berharga bila tidak dibarengi kualitas puisi itu sendiri.
Puisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah sikap. Dan sebuah sikap, tentu saja, memihak kaum tertentu, meminggirkan kaum yang lain. Karena itu, beban puisi tidaklah ringan. Puisi mesti menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Puisi bukanlah tentara, yang katanya demi “negara boleh melenyapkan nyawa manusia”, dan puisi bukanlah pelacur, yang setelah dibayar, boleh tenteng kemana saja. Tapi, puisi mesti bersikap sebagai tentara, mesti loyal seperti halnya pelacur, atau puisi mesti cerdas sebagaimana cendekia, bahkan bijak seperti Budha.
Kesadaran Penciptaan
Tardji, karena sedemian ingin tidak hanya berpuisi, tapi juga “turut berpendapat” dalam lalu-lintas perpuisian. Maka, Tarji belajar kepada para penyair yang telah berhasil. Belajar kepada para penyair tanah air, dan dibantu sedikit kemampuan berbahasa asing, Tardji belajar kepada penyair luar tanah air.
Hasilnya, Tardji menyakini, setidaknya ada tiga kesadaraan yang dibutuhkan seorang penyair yang ingin berhasil. Pertama, kesadaran untuk membaca realitas/ masyarakat, kedua, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sebelumnya, ketiga, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sejaman.
Membaca realitas membawa pengertian turut menyelami persoalan yang menggelibat di masyarakat. Agar puisi tidak mengada-ada. Sejauh yang Tardji baca, puisi berwibawa senantiasa dekat dengan kondisi masyarakat. Dan, itu tidak mungkin terwujud bila tidak ada pemahaman terhadap persoalan masyarakat. Secara lebih lebar, masyarakat dapat diartikan sebagai tradisi, perilaku aktual, dan kebudayaan. Dari tanah air, Tardji melihat ada puisi yang lahir dari persilangan antara masyarakat bawah, kerajaan, dan penjajahan.
Puisi demikian berciri organis (rima dan bentuk yang ketat), mendayu-dayu seakan rindu kebebasan, gelisah yang terpendam, romantik disebabkan tidak setuju dengan yang terjadi pada kekinian. Juga semasa riuh-rendah kemerdekaan, puisi yang berhasil dan kebal jaman adalah yang berciri menggebu-gebu, menyeruak-sengak, merenggut perhatian, jujur, serta penuh kejutan. Puisi seperti itu, memang hanya milik jamannya, sehingga justru dapat dibaca sebagai pelajaran melihat jaman. Misalkan masyarakat berbentuk jam, maka puisi adalah ritmis tik-taknya.
Misalkan masyarakat adalah botol, puisi adalah perih lukanya. Yang patut dicermati, hubungan masyarakat dengan puisi bukanlah hubungan logis, misalnya antara perempuan di dunia nyata dengan perempuan di dalam cermin. Ada sublimasi dalam puisi.
Demikian juga yang terjadi di luar tanah air, kondisi masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Mungkin tidak dalam kesengajaan penciptaan, sebab konon ada yang meyakini puisi adalah gerak bawah sadar, tapi seorang penyair berwibawa selalu peka dan responsif dengan masyarakat. Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra, membuktikan kepekaan pengarang dalam menyelami realitas. Tahun 1914, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang pertama. Saat itu dunia barat, Eropa dan Amerika, sedang tekun-tekunnya mendewakan rasionalitas, surealisme menemukan bentuknya melalui karya sastra “dada”.
Yaitu, pemberontakan menyeluruh terhadap rasionalitas, tanpa kompromi. Teks puisi menjalin kode-kode bahasa estetiknya dengan logika yang “tak masuk akal”, misalnya pemakaian logika tumbuhan, hewan, atau juga kartu domino. Surealisme pertama, dada, dapat digambarkan sebagai perahu nelayan yang berlayar dari pasar ke pasar. Tahun 1936, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang ketiga. Saat itu dunia barat baru saja dilanda PD I, surealisme menemukan bentuk melalui psikoanalisa. Teks puisi mendistribusikan kode-kodenya memakai logika mimpi.
Tardji, pada dasarnya, memang seorang petualang. Gemar mengarung luas pengetahuan. Tardji menelusuri sejarah puisi hingga pada bentuk-bentuk yang paling primitif. Tardji menemukan mantera. Puisi anonim, tanpa pengarang tunggal, dan karenanya dekat dengan masyarakat, menjadi milik masyarakat. Kata-kata dalam mantera menyadarkan Tardji, bahwa kata dalam puisi tidak harus memiliki beban pengertian, yang lebih penting adalah bangunan teks yang mistis.
Lalu Tardji singgah pada Chairil, memperoleh pelajaran tentang puisi simbolis. Ke-aku-an yang utama. Sublimasi diri yang menukik dan menggema. Bahwa puisi tidak harus, kalau bisa jangan, berkompromi dengan bahasa masyarakat. Benar, bahasa puisi lahir dari masyarakat, tapi setelah jatuh ke tangan penyair, bahasa seakan direnggut dari realitas. Menjadi milik diri.
Selain itu, Tardji juga bergaul dengan puisi para penyair lain yang sempat tercatat. Mengakrapinya. Mencocok-cocokkan penilaiannya dengan penilaian kritikus. Kepada puisi yang dipuja, ia mencari sebab dipuja. Kepada puisi yang terhina, ia cari tahu kenapa terhina.
Terhadap puisi luar tanah air, Tardji amat terkesima dengan bentuk-bentuk puisi Perancis. Tardji kagum pada puisi Baudelaire yang tajam, berjiwa, tragik, dan memabukan. Kata-kata dalam puisi ibarat “hutan lambang” yang tak ‘kan selesai dirambahi. Tardji berdecak kagum pada puisi Mallarme yang hitam, hitam, dan hitam. Puisi, begitulah Tardji saksikan, sederajat dengan agama. Puisi hanya untuk diyakini. Tetapi, Tardji paling takjub pada puisi Rimbaud yang mistis, magis, terbebas dari segala ikatan. Puisi hadir untuk puisi itu sendiri. Puisi yang apabila dibaca seperti menyedot, membetot, memecah-mecah, menghamburkan jiwa ke “daerah tak dikenal”.
Tardji menemukan titik singgung antara puisi penyair Perancis dengan puisi penyair tanah air. Antara Chairil dengan Baudelaire, antara Mahatmanto dengan Mallarme, antara Rimbaud dengan masyarakat pemantera. Mungkin mereka tidak saling kenal, tidak saling membaca karya, tapi ekspresi estetik dan kejiwaan, mendekatkan puisi mereka.
Sebagai seorang yang ingin menjadi penyair, Tardji tidak sendirian. Ada banyak penyair dan calon penyair yang hidup sejaman. Mereka pesaing Tardji. Mereka dapat mengangkat dan menegakkan serta menjatuhkan Tardji.
Mereka dan Tardji sama-sama membaca sejarah puisi, hidup pada jaman yang sama, pada realitas dan persoalan masyarakat yang sama. Sangat mungkin, mereka dan Tardji melahirkan bentuk puisi yang sama. Dan, tentu saja, itu kejadian yang tidak diharapkan. Karenanya Tardji, mungkin juga mereka, membaca puisi dan kecenderungan puisi para penyair sejaman. Untuk meyakini diri, “saya berbeda” atau “puisi saya paling puitis”.
Naluri Kepenyairan
Membaca puisi, seberapa pun banyaknya, tentu saja, belum bisa diakui sebagai penyair. Syarat mutlak menjadi penyair adalah puisi. Memang, banyak orang menyebut seseorang penyair tapi belum pernah membaca puisi ciptaannya. Atau, ada seseorang yang sudah mengaku penyair padahal belum menulis lebih dari 50 puisi, bahkan mungkin baru menulis kurang dari 5 puisi. Tardji ingin, dan ini yang sedang diusahakannya, diakui sebagai penyair karena intens menulis puisi.
Berdasarkan yang Tardji baca, seorang penyair setidaknya dihinggapi dua sifat; peka dan bebal. Seorang penyair, Tardji tahu itu, menulis puisi karena kepekaannya. Panca indra penyair, yang ini Tardji juga tahu, tidak mudah tersentuh oleh gejala dan peristiwa yang ada. Penyair nyaris imun dari gerak realitas. Hanya saja pada momen-momen tertentu, ini yang Tardji belum bisa, penyair lebih peduli dari siapa pun.
Pada saat-saat seperti itu, penyair menyatakan bahwa setiap peristiwa, mekipun remeh, mewakili peristiwa yang lebih besar. Istilah Jawanya, kesatuan antara jagad cilik dengan jagad gedhe. Misalnya, suatu ketika seorang penyair melihat ada kuburan China yang diterangi cahaya bulan, sang penyair takjub dan berhenti lama. Ia lekas pulang dan menulis puisi,…bulan di atas kuburan.
Kepekaan penyair adalah keunikan yang terberi, ada dengan sendirinya. Tetapi Tardji, berdasarkan pada yang telah dibaca, meyakini bahwa kepekaan inspirasi puisi bisa dimiliki dangan cara dipelajari dan dibiasakan.
Maka sejak saat itu, Tardji menjalani kepenyairan. Pada mulanya ia pura-pura kurang nafsu makan karena belum dapat inspirasi, pura-pura belum mengantuk meski sudah pukul tiga pagi, pura-pura terkejut melihat daun jatuh, pura-pura cuek dalam menyeberangi jalan. Akhirnya, Tardji benar-benar sering kurang nafsu makan meski lapar, benar-benar tidak bisa tidur sampai pagi setiap hari, benar-benar sering terkejut tiap melihat daun jatuh, benar-benar sering terserempet kendaraan bila menyeberang.
Tardji pun menulis puisi. Tiap hari. Selagi masih bisa, kegiatan-kegiatan di luar menulis puisi dihindari. Setiap hari, hidup hanya menulis puisi. Satu, dua, tiga belas,…, berpuluh puisi Tardji tulis. Tiap beberapa puisi selesai, cepat ia kirim ke media massa. Demikian seterusnya. Tak henti-henti, sebab penyair adalah orang yang bebal.
Lima tahun sesudahnya, ada beberapa puisi Tardji dimuat. Bahkan, ada disertakan dalam antologi puisi regional. Tardji pun siap-siap mengeluarkan “kredo” bagi kepenyairannya. Kredo yang dapat menjembatani antara puisi dengan kritik, dapat membangun hubungan antara puisi dengan masyarakat. Maka pada suatu malam yang riang, pada suatu pesta perjamuan, diantara banyak wartawan, undangan, kerabat, dan teman dekat; Tardji berteriak “akulah penyair!”
________Surabaya
0 comments:
Post a Comment