KISASU L-ANBIYA AND FUSUS AL HIKAM: A Comparative Study
Posted by PuJa on January 1, 2012
KISAH PARA NABI dan FUSUS AL-HIKAM – Satu Kajian Perbandingan
Turita Indah Setyani *
http://fakirabdillah.blogspot.com/
Latar Belakang
Sastra Melayu sepanjang kehidupannya banyak dipengaruhi oleh agama Islam. Hal itu telah dibicarakan sejak tahun 1977 hingga saat ini. Sejak bulan Juli 1977 hal itu menjadi perbincangan yang hangat di Malaysia, yaitu ketika Shahnon Ahmad menerbitkan makalahnya “Sastra Islam” di dalam Majalah Dewan Bahasa, Kuala Lumpur. Dan Majalah Dewan Sastra (Agustus 1977) pun mengadakan “Forum Sastra Islam”. Hari Sastra 78 di Kuala Trengganu juga membicarakan secara khusus kesusastraan Melayu dengan Islam.
Saat itu perbincangan sedikit mereda, tetapi menjadi pembicaraan hangat kembali ketika Kassim Ahmad mengungkapkan ulasan tentang buku Shanon Ahmad yang berjudul Kesusastraan dan Etika Islam di Majalah Dewan Sastera November 1982. Terjadilah polemik di antara tahun 1983 (Dr. Liaw Yoek Fang, 1991: 203).
Sebagian besar dari karya sastra Melayu ini, termasuk cerita Al-Quran, banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu mudah dipahami, berdasarkan tinjauan sejarah perkembangan Islam di dunia, agama Islam yang datang ke suatu daerah dengan tujuan mengislamkan penduduknya tetap dipengaruhi oleh kebudayaan setempat.
Namun yang jelas dari pembicaraan yang cukup beragam, dapat disimpulkan bahwa sastra Islam adalah sastra tentang orang Islam dan segala amal salehnya. Sedangkan sastra Islam Melayu adalah sastra orang Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu (Dr. Liaw Yoek Fang, 1991: 204).
Cerita Al-Quran dalam bahasa Melayu terkenal dengan nama Kisah Al-Anbiya. Naskah-naskahnya cukup banyak dan terdapat di perpustakaan-perpustakaan di Leiden, London, dan Jakarta (Dr. Liaw Yoek Fang, 1991: 206). Salah satu Kisah Al-Anbiya yang akan digunakan dalam kajian ini adalah edisi teks Kisasu L-Anbiya yang telah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Berdasarkan uraian di atas, maka muncullah pertanyaan, benarkah karya sastra Islam Melayu banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam? Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas tentang nilai-nilai keislaman yang terkandung di dalam Kisasu L-Anbiya (Nafron Hasjim selaku pemimpin proyek penerbitan buku ini) dibandingkan dengan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam Fusus Al Hikam (Ibn ‘Arabi) yang juga dianggap tidak selaras dengan konsepsi-konsepsi keilmuan Muslim yang “mapan”1.
Namun Fusus Al Hikam memberikan kontribusi keilmuannya dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam. Lebih khusus lagi, dalam bidang studi Sufisme. Jika selama ini orang kerap menilai bahwa Sufisme Islam hanya berkutat dalam dimensi individual (private), maka dalam buku ini Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa Sufisme ternyata memiliki dimensi yang berwatak sosial, misalnya dengan sikap inklusivitas agamanya tersebut2.
Hal inilah yang menjadi alasan utama dalam kajian makalah ini. Selain itu, keduanya memuat cerita nabi-nabi atau tokoh-tokoh yang namanya disebut di dalam Al-Quran.
Tujuan studi banding terhadap dua karya tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai ajaran tentang keislaman yang terdapat di dalamnya? Sekaligus untuk menjawab pertanyaan di atas: “Benarkah karya sastra Islam Melayu banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri?” Diharapkan dari pembicaraan yang akan diungkapkan dapat memberikan sumbangan terhadap khazanah sastra Islam pada umumnya dan khazanah kesusastraan Melayu pada khususnya.
Ruang lingkup kajian, baik dari teks Kisasu L-Anbiya maupun Fusus Al Hikam, dibatasi hanya pada tokoh nabi, karena nabi adalah individu yang, dalam bentuknya, menampilkan dan mewujudkanan semua kemungkinan kemanusiaan. Dengan perkawinan dan mempunyai anak, ia mengungkapkan tabiat (sifat dasar) kemanusiaannya. Dengan menerima wahyu, walau tidak dapat membaca-menulis, ia merupakan “wadah” sifat-sifat Ketuhanan yang berkumpul di dalamnya.
Nabi adalah Prototipe Universal yang menyatu dalam dirinya aspek batiniah-kekal dan aspek lahiriah fenomenal realitas (Laleh Bakhtiar, 1976: 19-20). Sesuai dengan tujuan kajian dibatasi lagi hanya pada tiga tokoh nabi, yaitu
Nabi Adam, Ibrahim, dan Musa.
Mengapa hanya tiga nabi? Selain karena dalam Kisasu L Anbiya hanya mengisahkan ketiga nabi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketiga nabi itu memiliki kekhususan tersendiri yang telah diketahui secara umum, yaitu Nabi Adam merupakan nabi yang pertama, Nabi Ibrahim disebutkan sebagai bapak tauhid, dan Nabi Musa adalah yang memperoleh 10 perintah Allah (Ten Commandment).
Namun yang lebih khusus lagi, bahwa ketiga nabi itu termasuk dari tujuh nabi yang dianggap sebagai prototipe yang dapat mewakili perjalanan keimanan seseorang (suluk/salik) dalam tujuh tingkatan maqamnya atau disebut juga sebagai prototipe universal/manusia insan kamil (Laleh Bakhtiar, 1976: 112).
Pembahasan
Kisah nabi-nabi yang dinyatakan sebagai prototipe universal, tentunya merupakan bacaan yang bersifat religius. Bacaan-bacaan semacam ini hanya dapat dimengerti atau dipahami ketika memiliki kesepahaman dalam mengungkap realitas dibalik pengetahuan yang berupa simbol. Sebab menurut Laleh Bakhtiar simbol adalah wahana bagi transmisi realitas-realitas Ilahi, yang mentransformasikan kita dengan membawa kita ke keadaan keadaan wujud yang lebih tinggi dari mana diri kita berasal.
Dikenal sebagai alam dalam dirinya sendiri (‘alam-i-mitsal), mereka adalah tempat ‘perjumpaan’ alam Pola Dasar atau intelijibel dan alam fenomenal, sensibel. Alam simbol ini adalah cerminan atau pantulan dari alam Pola Dasar. Ia mengumpulkan esensi-esensi universal ini dan kemudian memantulkannya ke bawah ke alam ini. Makin jauh sesuatu bergerak dari alam intelijibel pengetahuan tercerahkan, dan makin dekat dengan alam sensible fenomena, makin partikularitas ia menunjukkan kelahiriahannya (2001: 50).
Untuk mengungkapkan simbol-simbol tersebut, dalam kajian makalah ini digunakan pendekatan hermeneutik. Hermeneutik, menurut Andrew Edgar & Peter Sedgwick, yang dikutip oleh Fauzi Fashri dalam bukunya Penyingkapan Kuasa Simbol, dapat diartikan sebagai teori analisis dan praktik penafsiran terhadap teks. Dan Fashri sendiri menyatakan sebagai kajian filsafat yang memiliki perbedaan dengan cara kerja epistemologi pada umumnya – yang menitikberatkan ukuran kebenaran pada rasionalitas ilmiah.
Hermeneutika mengandung kemahiran untuk memahami teks-teks yang berada pada ruang relativitas cultural dan historis dari setiap wacana manusia (2007: 19). Filsafat bertugas menjalankan hermeneutika terhadap pengalaman tentang realitas, yaitu menjelaskan nilai dan makna yang tersirat dalam pengalaman agar menjadi tersurat. Fungsi hermeneutik dari filsafat merupakan konsekuensi dari fakta eksistensial manusia. Di sini berarti, mencari pengertian eksistensial mengenai makna dan kebenaran hidup dalam dunia, dan bukan sekedar mencari pengetahuan rasional tentang manusia dan dunianya.
Dan tugas hermeneutika adalah melakukan interpretasi mengenai makna dari percakapn atau tindakan itu, dan memberikan penjelasan kausal mengenai mengapa peristiwa dalam bentuk percakapan dan tindakan tersebut terjadi. Makna ataupun penjelasan kausal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks histori dan segala kerumitan relasinya. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika ialah memilah-milah makna hidup yang terbungkus dalam kesadaran sejarah atau menyingkapkan horizon kehidupan yang sudah membaur dalam pengalaman budaya (J. Sudarminta, 2006:
172-174).
Dalam kaitannya dengan kajian makalah ini, tiga nabi yang akan dibahas adalah merupakan penggambaran tiga tahap perjalanan manusia yang mengarahkan tujuannya kembali kepada Tuhan.
Menurut Laleh Bakhtiar (2001: 111-113), dalam perjalanan kembali kepada Tuhan, seseorang melewati tujuh tahap tetapi dalam urutan terbalik, yang naik melalui tujuh aspek diri yang halus dan non-fisik. Tujuh tahap yang halus ini berhubungan dengan tujuh Rasul utama dalam monoteisme Semitik. Ketika seseorang mencapai
Kebenaran wujud-nya seseorang, ia telah menjadi Prototipe Universal atau Insan Kamil, penggambarannya terungkap dalam wujud tujuh Rasul yakni:
NAMA NABI MIKROKOSMOS MAKROKOSMOS
1. Adam Aktivitas tubuh/penggambaran jasad; Adam-nya seseorang adalah proses perolehan suatu ‘cetakan’ embrionik tubuh yang baru, suatu bentuk yang halus, non-fisik. Alam semesta, manusia
2. Nuh Indera-indera vital; Nuh-nya seseorang ialah organ kedua yang baru saja diaktifkan berkesesuaian dengan jiwa binatang, medan pertempuran operasi-operasi vital dan organic, yang merupakan pusat hasrat dan nafsu jahat, karena Nuh berada dalam situasi yang sama pada saat menghadapi perlawanan dari kaumnya. Alam bentuk-bentuk
3. Ibrahim Hati yang teguh; Ibrahim-nya seseorang adalah organ mental ketiga yaitu Hati spiritual, yang ada dalam bentuk embrionik dalam diri pelaku yang potensial ibarat mutiara yang masih tersimpan di dalam kulitnya; ini merupakan Aku yang hakiki, individualitas personal, Aku spiritual, karena Ibrahim adalah sahabat Tuhan. Ibrahim-nya seseorang berjalan menuju pusat pusat halus di atas-kesadaran. Alam persepsi spiritual
4. Musa Ambang di atas kesadaran; organ non-fisik keempat adalah Rahasia, taraf di atas-kesadaran, dan merupakan tahap monolog-monolog spiritual yang berkaitan dengan monolog monolog yang melibatkan Musa. Alam khayal/imajinasi
5. Daud Kerajaan Ruh; Daud-nya seseorang adalah organ halus kelima yaitu Ruh, yang karena kemuliaan posisinya diamanati sebagai ‘khalifah’ (wakil) Tuhan. Alam di luar bentuk
6. Isa Ilham/pencurahan kasih; Isa-nya seseorang ialah organ yang menerima ilham, karena organ inilah yang mengabarkan dan memaklumkan Nama. Tabiah Ilahi
7. Muhammad Pencapaian Kebenaran; Muhammad-nya seseorang adalah Segel Kenabian, merupakan organ halus ketujuh yang diaktifkan. Hakikat Ilahi
Berdasarkan tujuh tahapan di atas, akan dipaparkan penggambaran tiga nabi yang terdapat dalam teks Kisasu l-Anbiya dan Fusus Al-Hikam yang disuguhkan dalam bentuk kolom agar secara langsung dapat dilihat perbandingannya seperti berikut ini:
NAMA NABI KISASU L-ANBIYA FUSUS AL HIKAM
1. Adam Manusia pertama. Adam diciptakan dari tujuh patala bumi dengan wujud dalam jasadnya yang merupakan simbol sang Realitas, yaitu kepalanya daripada tanah Hindi, tulangnya daripada tanah bukit Qaf, zakarnya daripada tanah Babil, belakangnya daripada tanah Arafah, hatinya daripada syurga jannatu lfirdaus, lidahnya daripada tanah Taif, dan kedua matanya daripada tanah Hud. Arketip manusia, yang berfungsi sebagai cermin untuk menjelaskan rahasia dari ‘refleksi terhadap realitas dalam cermin ilusi’. Cermin itu sendiri merupakan sebuah simbol reseptivitas dan refleksivitas alam kosmik, serta subyek pengamat sebagai Allah itu sendiri.
Jadi Adam digambarkan sebagai ‘prinsip refleksi’ dan ‘ruh dari bentuk yang direfleksikan’. Sehingga Adam disebut sebagai ‘Manusia Agung’ (al-Ins?n al-
Kab?r) [:60 & 64]. Adam adalah jiwa tunggal, sehingga esensi spiritual tunggal yang menjadi asal-usul manusia [:72]
2. Ibrahim Kekasih Tuhan [:43]; karena keteguhan iman dalam menjalankan perintah perintah Tuhan sepanjang hidupnya. Ketaatannya menjadikan ia diangkat sebagai Kekasih Tuhan. Al-Khalik/sahabat [khalla: penembusan/ penetrasi]. Persahabatan adalah jenis yang paling dekat [:121]. Ibrahim disebut Intim dengan Allah karena ia telah mencakup dan menembus semua Sifat Esensi Ilahi [:123].
3. Musa Kisahnya diceritakan secara lengkap. Saat perpisahannya dengan Khidir, ia mendapat pesan-pesan yang harus dilakukan dalam menjalankan hidupnya hendaklah senantiasa dengan kesadaran dirinya. Bahkan Khidir menyatakan bahwa Nabi Musa telah sempurna ilmunya tentang Kitab Taurat [:182- 189]. Munculnya sebuah kesadaran akan diriNya terungkap dalam peristiwa perpisahannya dengan Al-Khidr [:376].
Oleh karena itu, Musa digambarkan memiliki derajat ilmu ilahi [:378] Berdasarkan data di atas dapatlah terungkap persamaan dari kedua kisah yang terdapat dalam Kisasu L-Anbiya dangan Fusus Al Hikam, yaitu bahwa Nabi Adam menggambarkan keadaan wujud dari jasad manusia. Jasad Adam adalah perwujudan jiwa tunggal, sehingga esensi spiritual tunggal yang menjadi asal-usul manusia.
Diciptakannya Adam adalah untuk mengetahui rahasia Allah itu sendiri agar diriNya dikenal, ‘Siapa yang mengenal diriNya maka ia akan mengenal TuhanNya.’ Dari wujud jasadNya maka terungkaplah keRealitasanNya. Dalam pencapaian tersebut, Adam mengalami penyucian diri dengan menjalankan puasa sehari semalam sampai genap tiga hari berturut-turut, untuk menghilangkan tanda hitam di dahinya bahkan tanda tersebut membesar hingga seluruh tubuhnya. Kalakian maka datang tanda hitam pada dahi Nabi Allah Adam. Makin sehari makin besar tanda itu.
Hatta maka lalu pada segala tubuh Adam jadi hitam, malainkan muka Nabi Allah Adam juga yang belum lagi hitam. …. Maka berkata Adam, “Ya, Tuanku Jibrail, apa jua yang hitam pada tubuh hamba ini dan hikmat apa jua yang dijadikan Allah Taala atas hamba?” Maka sahut Jibrail, “Hukum Allah atas Tuan hamba. Jika Tuan hamba hendakkan hilang yang hitam pada tubuh Tuan hamba itu maka puasalah Tuan hamba, sehari datang malam jangan Nabi Allah makan dan minum.”
Hatta maka Nabi Allah Adam pun puasalah sehari semalam itu. …. “Maka puasakan Nabi Adam pula sehari semalam lagi.” Maka sucilah tubuh Nabi Allah Adam datang kepada pusatnya. Maka ujar Jibrail, “Puasakan genap tiga hari supaya yang hitam-hitam pada tubuh Tuan hamba itu semuanya habis hilang.” …. (Nafron Hasjim, 1991: 30)
Sementara penciptaan terhadap Nabi Ibrahim yang disebut sebagai bapak tauhid, menggambarkan perwujudan dari nilai ketaatan dirinya terhadap perintah-perintah Allah dalam keadaanNya. Sehingga dalam kedekatannya sebagai sahabat atau kekasih Allah, Ia dapat mewujudkan sifat-sifat esensi keIlahianNya. Keadaan tersebut terungkap pada peristiwa ketika ia dibuang ke dalam api oleh kamu Namrut, dan ketika ia akan diberi pertolongan oleh Jibrail dan para malaikat, ia tetap bersiteguh menjalankan takdirnya dan tidak mengindahkan niat mereka, seperti kutipan di bawah ini:
…. Maka segala malaikat isi ketujuh lapis langit pun sujudlah ke hadirat Allah Taala dengan berseru-seru, sembahnya, “Ya Tuhanku, bahwa kekasih-Mu itu dibuang mereka itulah ke dalam api. Segeralah Kau harap akan dia. Bahwa Engkau jua Tuhan yang amat memeliharakan hamba-Mu.”
Hatta maka Jibrail pun datang dengan tujuh puluh ribu malaikat, bertanya, “Ya Ibrahim, maukah engkau kukipas api itu, kubuangkan ia ke dalam laut yang mahadalam?” Maka kata Ibrahim, “Tiada kuminta harap padamu. Yang mana firman Allah Taala, Tuhanmu, kepadamu itulah kaukerjakan.” Seketika lagi, Mikail pun datang kepada Ibrahim dengan tujuh puluh ribu malaikat sertanya, ujarnya, “Hai, Ibrahim, maukah engkau kupalukan segala kaum Namrut ini dengan sayapku supaya kutanamkan Namrut itu dengan segala kaumnya ke dalam bumi?” Maka ujar Ibrahim, “kerjakanlah barang yang /di-/ titahkan Allah Subahanahu wa ta ‘ala kepadamu.”
Maka seketika lagi datang pula Israfil dengan tujuh puluh ribu malaikat sertanya, katanya, “Ya, Ibrahim, maukah engkau kubinasakan mereka itu supaya sengkakala atas Namrut itu, niscaya matilah kaum Namrut itu.” Maka sahut Ibrahim, “Mana titah-Nya Tuhan itu kerjakanlah olehmu.” Maka ujar Jibrail, “Jika tiadalah berkehendak akan kami sekalian, mintak tolonglah
engkau kepada Tuhanmu.” Maka sahut Nabi Allah Ibrahim ‘alayhi s-salam, “Padalah bagiku Tuhanku. Ia juga yang mengetahui akan halku. Apa yang untung akan Allah Taala akan daku, di sanalah aku.” (Nafron Hasjim, 1991: 43)
Sedangkan penggambaran Nabi Musa mewujudkan bentuk kesadaran akan keberadaan Allah dalam jasad, ‘ruh manusia implisit pada raga.’ Peristiwa tersebut terjadi antara lain, ketika Musa berpisah yang ketiga kalinya dengan al-Khidr dan ketika ia berdialog dengan Fir’awn, seperti kutipan di bawah ini:
…. Karenanya, ketika terjadi pada kali ketiga, al-Khidr berkata, “di sinilah titik perpisahan antara aku dan kamu”. Di sini, Musa tidak berkata dan berbuat apa-apa, tidak menuntut lagi sahabatnya, karena dia mengakui signifikansi tingkatan yang telah dibisikkan kepadanya untuk menyangkal dirinya akan persahabatan lebih jauh apa pun. Musa, karenanya, tetap membisu dan mereka pun berpisah jalan (bercerai). (Ibn ‘Arabi, 2004: 376). “Aku hanya memberitahukan kepadamu tentang apa yang disaksikan oleh batinmu dan wujud esensial telah menjadikanmu meyakininya. …., karena Allah juga hadir dalam bukti-bukti intelektualmu” (Ibn ‘Arabi, 2004: 379).
Kamu mungkin berkata kepadaku, “Wahai Fir’awn, kamu sedang menunjukkan kebodohanmu saat mengancamku, tetapi bagaimana dapat kamu memisahkan kami secara esensial, dengan melihat bahwa Esensi adalah Satu.” Fir’awn berkata kepada Musa, “Ia hanyalah tingkatan yang membagi Esensi, sekalipun bahwa Esensi tidak dapat dibagai atau dipisahkan. Tingkatanku sekarang adalah kekuasaan de facto di atas kamu. Walaupun pada dasarnya aku adalah kamu, namun berbeda darimu dalam tingkatan.”
Ketika Musa memahami ini, dia mengakui kebenaran Fir’awn, seraya berkata pada Fir’awn bahwa dia tidak dapat melakukannya [apa yang telah Fir’awn ancamkan] (Ibn ‘Arabi, 2004: 379-380).
Perbedaannya adalah hanya dalam bentuk pemaparan kisahnya. Pada Kisasu L-Anbiya pengisahan para nabi tersebut diceritakan dalam bentuk dongeng, sedangkan pada Fusus Al Hikam merupakan penggalan-penggalan pengisahan para nabi yang diungkapkan dengan gaya bercerita akuan oleh penulisnya. Maksudnya cerita tidak dipaparkan secara runut sesuai dengan kisah-kisah para nabi seperti yang sudah dikenal khalayak umum.
Memperhatikan gambaran yang tersirat dari para nabi tersebut di atas, dapatlah diungkapkan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami dari kisah-kisah mereka tidaklah terlepas dari peristiwa-peristiwa yang dialami manusia yang telah berkembang di sepanjang jaman.
Maksudnya adalah bahwa setiap manusia mengalami hal-hal yang tidak jauh berbeda dengan gambaran kehidupan para nabi, manusia dalam wujud jasadnya adalah yang digambarkan dengan jasad Adam. Manusia dalam wujud ketaatannya adalah yang digambarkan dengan persahabatan Ibrahim dengan Tuhan atau ia sebagai kekasihNya; dan manusia dalam wujud kesadarannya adalah yang digambarkan oleh keadaan perjalanan Musa
mencapai kesadaran ilahi.
Gambaran dari ketiga nabi itu merupakan keseluruhan wujud Realitas yang terdapat dalam diri manusia yang telah mengenal diriNya dalam bentuk perjalanan batinnya. Sehingga jika seseorang melakukan perjalanan spiritual ke dalam diriNya, maka ia akan mengenal dan memahami segala bentuk Realitas yang ada. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa pengetahuan ini tidak dapat dicapai dengan intelek, dengan sarana proses pemikiran rasional apa pun.
Sebab, jenis persepsi ini diperoleh hanya dengan penyingkapan (kasyf) ilahi yang darinya diperoleh asal bentuk-bentuk Kosmos yang menerima arwah. Sehingga muncul istilah Manusia dan Khalifah Allah (2004: 64).
Allah menguraikan seluruh persoalan ini pada kita, sehingga kita dapat memikirkannya dan belajar darinya tentang sikap yang tepat terhadap-Nya, dan agar kita tidak memamerkan sedikit wawasan atau pemahaman terbatas individu yang mungkin kita sadari. Bahkan, bagaimana kita dapat mengklaim suatu hal berkenaan dengan suatu realitas yang tidak kita alami dan tidak kita ketahui (2004: 66).
Ketahuilah, jika benar dikatakan bahwa sesuatu berkaitan dengan manifestasi yang mula-mula dalam bentuk yang memulai, maka jelas bahwa Allah memberikan perhatian pada apa yang diasali sebagai sebuah pertolongan untuk pengetahuan tentang-Nya, dan dikatakan dalam Alqur’an bahwa ‘Dia akan menjelaskan tanda-tandaNya di dalamnya’ [Alqur’an, XLVII: 31]. Jadi, Dia menegaskan bahwa pengetahuan tentang diri-Nya dirujuk pada pengetahuan diri kita sendiri.
Kapan pun kita mengasalkan setiap kualitas kepada-Nya, kita sendirilah yang menjadi wakil dari kualitas itu. Karena kita mengetahui-Nya melalui diri kita
sendiri dan dari kita sendiri, kita menisbatkan kepada-Nya semua yang kita nisbatkan pada diri kita sendiri.
Karena itu wahyu-wahyu ilahi datang kepada kita melalui mulut-mulut para
penafsir (nabi-nabi), karena Dia menggambarkan diri-Nya kepada kita melalui kita. Jika kita mempersaksikan-Nya, maka kita mempersaksikan diri kita sendiri, dan ketika Dia melihat kita, maka kita mempersaksikan diri kita sendiri, dan ketika Dia melihat kita, maka Dia sebenarnya melihat Diri-Nya sendiri.
Meskipun kita menggambarkan diri kita sendiri sebagaimana Dia menggambarkan DiriNya Sendiri, namun berbeda antara Dia dan kita, sebab ketergantungan eksistensi kita adalah kepada-Nya (Ibn ‘Arabi, 2004: 69).
Hal itu pun terungkap pada kisah Nabi Ibrahim dalam perjalanannya membebaskan kaum kafir (bersama Nabi Lut). Atas petunjuk Jibrail, pembebasan yang harus dilakukannya adalah masuk ke dalam bumi yang tiada henti (Nafron Hasjim, 1991: 83).
Petunjuk tersebut menggambarkan bahwa dalam pembebasan kekafiran individu, seseorang hendaknya dapat melakukan penyaksian dirinya dengan masuk ke dalam diri. Dan hendaknya hal itu dilaksanakan secara terus menerus, agar senantiasa semakin mengenal dirinya yang akan menuntun ke arah esensi eksistensi DiriNya.
Ditegaskan bahwa yang mula-mula (yang mempunyai awal) tergantung sepenuhnya pada yang menghasilkannya. Oleh karena itu, niscaya bahwa yang merupakan dukungan eksistensi awal seharusnya secara esensial, dan dengan sendirinya, menjadi dirinya, memenuhi dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada yang lain. Inilah yang memberikan eksistensi dari Wujud esensialnya sendiri pada eksistensi independen (Ibn ‘Arabi, 2004: 68).
Kita mengetahui bahwa kapan pun sesuatu menembus yang lain, ia diasumsikan menjadi yang lain. Perantara yang menembus disamarkan oleh yang ditembus, objek penembusan. Jadi, objek dalam masalah ini adalah lahir, sedangkan perantara adalah batin, realitas tersembunyi (Ibn ‘Arabi, 2004: 123). Di lain pihak, jika Realitas dipertimbangkan sebagai Yang Lahir dan makhluk sebagai yang tersembunyi di dalam-Nya, makhluk akan menerima semua Nama Realitas, pendengaran, penglihatan-Nya, semua hubungan-Nya dan pengetahuan-Nya.
Namun, jika makhluk dianggap sebagai yang lahir dan Realitas sebagai Yang Batin di dalamnya, maka Realitas ada dalam pendengaran makhluk, seperti juga dalam penglihatan, tangan, kaki, dan semua fakultasnya (ibid.: 124). Selanjutnya terungkap pula bahwa “ketahuilah bahwa Allah tidak mengangkat seorang manusia yang mati, kecuali kalau dia menjadi seorang Mukmin, sejauh peringatan ilahi telah sampai kepadanya.” (ibid,: 383).
Selanjutnya tercerap makna secara langsung bahwa Allah memperlihatkan DiriNya dalam bentuk yang diinginkannya, sehingga ia dapat mendekati dantidak berpaling. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah diketahui bahwa dari penggambaran ketiga nabi tersebut mengajarkan tiga tahap perjalanan manusia yang mengarahkan tujuannya kembali kepada Tuhan.
Secara garis besar tahap-tahap yang dilalui untuk kembali kepada Tuhan, hendaklah mengingat keadaan dan keberadaannya dalam jasad (seperti jasad Nabi Adam), memiliki keteguhan hati atau ketaatan terhadap ketauhidan (seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim), dan senantiasa dalam kesadaran diri akan adanya eksistensi Tuhan yang merupakan wujud keadaan dan keberadaan dalam realitas diriNya (seperti yang terjadi dalam diri Nabi Musa).
3. Kesimpulan
Hasjim (1993: 134) menyatakan bahwa Kisasu l-Anbiya disebut sebagai cerita yang bermanfaat bagi pembacanya, karena di dalamnya terdapat cerita tentang perjuangan para nabi dan rasul dalam membina akhlak manusia. Sedangkan Fusus Al-Hikam pun merupakan cerita yang menyuguhkan tentang citra para nabi yang merupakan prototipe perjalanan
keimanan seseorang dalam maqamnya masing-masing.
Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya para nabi tersebut sebagai simbol yang menyiratkan keadaan dari tingkatan kehidupan manusia berdasarkan perjalanan ke dalam diriNya masing-masing.
Jadi bila seseorang dapat dengan sungguh-sungguh mengenal dan memahami diriNya, maka ia akan menjadi lebih arif dan bijak menghadapi keadaan dan keberadaan dalam realitas diriNya. Karena kenyataannya, sebagaimana wujud yang tidak ada selain apa yang dikenal oleh Diri-Nya, kita menentukan apa yang kita alami sendiri di masa lalu, masa sekarang, atau masa mendatang.
Memperhatikan data dan ulasan dalam pembahasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa nilai-nilai keislaman yang terdapat dalam Kisasu L-Anbiya dan Fusus Al Hikam sangatlah dalam.
Sebab dari nilai-nilai ajaran yang terungkap dari penggambaran yang disimbolkan para nabi tersebut, seseorang sebagai sang salik/pesuluk dapat menemukan esensi mengenai makna dan kebenaran hidup di dunia, yang bukan sekedar mencari pengetahuan rasional tentang manusia dan dunianya.
Jadi dengan demikian, tidaklah benar bahwa karya sastra Islam Melayu dianggap banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena keadaan yang ada justru sebaliknya. Kajian terhadap karya sastra Islam Melayu, Kisasu L-Anbiya ini dapat dijadikan masukkan sebagai salah satu karya yang bermuatan ajaran Islam yang berdimensi sufisme.
Hal ini tentunya perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam terhadap karya-karya sastra Islam Melayu lainnya, sehingga terbukalah kesempatan untuk melakukan kajian-kajian terhadap karya-karya sastra Islam Melayu atau sastra-sastra Melayu lainnya.
END
*) University Of Indonesia.
Dijumput dari: http://fakirabdillah.blogspot.com/2011/02/pandangan-orang-tentang-ibnu-arabi.html
0 comments:
Post a Comment