Melampaui Teologi Multikultural
Posted by PuJa on January 12, 2012
Asarpin
Kajian tentang teologi multikultur selama ini tak memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan kehidupan umat beragama. Basis berteologi dengan acuan pada nilai-nilai kultural lokal tidak relevan dan hanya berpotensi mengaburkan analisis relasi kuasa yang ada. Kehendak untuk membangun struktur-struktur lokal dalam bingkai pluralitas dalam masyarakat multikultural secara tidak langsung melanjutkan bentuk-bentuk kajian yang kurang membumi.
Mengingat ketergantungan pada relasi kuasa begitu penting, maka tak mengherankan jika klaim wacana teologi lokal dan teologi pribumi terdengar seperti tong kosong. Istilah lokalitas yang dilanjutkan dengan pemberdayaan dan partisipasi tak lebih dari sikap menyembunyikan implikasi politik yang menindas. Istilah itu pada gilirannya mengalami pengebirian, terutama ketika menghubungkan ‘kelokalan’ dengan liberalisme ekonomi. Akibat dari praksis wacana teologi semacam itu, ia tetap membiarkan berlangsungnya oligarki dan kediktatoran dengan nama berbeda.
Tawaran untuk mengembalikan nilai teologi yang arif pada persoalan lokal terdengar sangat ‘menggoda’ sekaligus menjanjikan. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan, demokratisasi, partisipasi meluncurkan energi dan meliberalkan masyarakat sipil—seperti bisa kita lihat dalam agenda-agenda pembangunan Bappenas dan Menkokesra pada pemerintahan SBY– adalah hal-hal yang menciptakan mimpi dan ilusi. Penempelan nilai-nilai lokal dalam kebijakan pembangunan terkesan melingkar-lingkar, selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni liberalisasi ekonomi. Penggunaan istilah lokalitas dan partisipasi bisa dilihat sebagai ilustrasi ‘bujuk rayu pembangunan’ untuk mengeruk potensi kekayaan alam negeri ini. Dan ini sudah terbukti, privatisasi atas sejumlah BUMN-BUMD di beberapa daerah tak lain adalah bentuk penjajahan baru yang lebih canggih dan lentur.
Beberapa dekade lalu, intelektual kita disibukkan oleh kajian teologi pembebasan yang merupakan imbas dari gerakan teologi Kristen Amerika Latin. Namun, belakangan wacana itu meredub seiring dengan banyaknya tawaran ‘baru’ di ranah teologi. Dalam pengamatan sepintas, para intelektual kita ternyata tidak sungguh-sungguh memikirkan masalah-masalah yang ada sampai tuntas. Mereka mencangkuli satu lahan pertanian, lalu meninggalkannya untuk menggarap lahan lain, bahkan sebelum sempat menyebar benih. Akhirnya, mereka tak mampu berpikir mendalam, mengakar. Kebiasaan yang mereka pegang teguh adalah tidak pernah mendalami suatu gagasan sampai tuntas ke dasarnya, atau berpikir dengan ketat dan teliti. Jadilah para intelektual kita ini orang-orang yang berpikir instan, dangkal, superfisial dan impulsif.
Di sinilah bentuk kelatahan bermula, dari sikap berpikir yang instan dan pragmatis. Apa yang mereka anggap sebagai sesuatu yang ‘baru’ langsung ditangkap, dan yang lama kemudian ditinggalkan. Teologi pembebasan yang sempat diwacana-publikan di Indonesia akhirnya layu sebelum berkembang dan nyaris tak dapat tempat di tengah-tengah kesibukan mengadopsi wacana baru. Pesona metode dekonstruktif dan hermeneutis, pluralisme dan multikulturalisme, belakangan ini, adalah hal-hal yang bagi mereka akan menciptakan mimpi.
Teologi yang baru itu justru akan memunculkan sebuah bahaya baru: ‘kalau di dunia Barat metode ini sering dikritik sebagai ilmu yang terpukau berat dengan kebudayaan lain yang eksotik, di Indonesia keterpukauan terbalik, memberi pemujaan yang berlebihan pada teoretikus impor pascakolonial sebagai ikon. Nama-nama empu kritikus keren seperti Baudrillard, Habermas, Foucault atau Derrida masuk dalam sebuah dunia ekonomi budaya pop, layaknya kegandrungan remaja ABG yang ngefans berat dengan grup rok alternatif yang menjadi idola mereka’.
Begitu juga dengan gaung multikulturalisme yang dilahap mentah-mentah oleh para intelektual di Indonesia. Mereka menganggap multikulturalisme sebagai wacana alternatif untuk merayakan pluralitas pemikiran dan keyakinan, yang berbeda dengan gagasan-gagasan pluralisme sebelumnya. Orang seperti Moeslim Abdurrahman begitu gelisah dengan maraknya wacana multikulturalisme di Indonesia dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup penting untuk dijadikan bahan refleksi: Apakah artikulasi perbedaan yang diwacanakan multikulturalisme lebih penting ketimbang pembebasan? Tatkala kita temukan orang yang lapar secara masif, orang kehilangan pekerjaan yang menambah alienasi sosial yang semakin banyak, apakah mungkin bisa kita pahami dari perspektif hubungan antaragama, atau dari segi perspektif multikulturalisme yang alami? Bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, lebih dari sekedar kesadaran agama yang menghidupkan sikap keterbukaan yang romantis tanpa peka terhadap mata-rantai kekuasaan yang eksploitatif?
Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali teologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Sebuah teologi yang radikal dalam menentang segala bentuk patologi sosial dan ketidakadilan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana teologi ini seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan dan penindasan, sehingga tidak menjadi penindas baru? Inilah agenda yang harus dituntaskan oleh kita, para politikus dan intelektual di tanah air.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
0 comments:
Post a Comment