Pages

Tuesday 10 January 2012

NERUDA: SUREALISME DARI UDIK

NERUDA: SUREALISME DARI UDIK
*) Oleh Nirwan Dewanto


Barangkali Pablo Neruda bukan penyair, melainkan puisi itu sendiri. Penyair adalah ia yang menciptakan puisi, bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari: puisi sering menggunakan bahasa yang suram, berat, tersengal-sengal. Sedangkan bagi Neruda, menulis puisi ibarat bernapas. Puisinya lancar, meletup-letup, berkilauan. Banyak penyair harus berjuang menangkap kata-kata, sedangkan bagi Neruda, puisi datang memilihnya tanpa ia sendiri tahu puisi itu datang dari mana, "entah dari sebuah sungai atau musim gugur, entah kapan dan bagaimana". Ia, khususnya sejak umurnya 50-an tahun, adalah penyair yang berbahagia: segala yang ia sentuh--sejak garam sampai perempuan, sejak iguana sampai politik--menjadi puisi.

Pernah seorang kritikus berkata, puisi Neruda jadi lemah lantaran isi kebahagiaan di dalamnya. Ia menyarankan agar si penyair menambahkan penderitaan, agar puisinya jadi lebih berbobot. Namun, Neruda membahasakan kembali "teori sastra" si kritikus: menurut teori ini, katanya, radang usus buntu (apendisitis) akan menghasilkan prosa yang cemerlang, sedangkan penyakit radang selaput perut (peritonitis) bisa mendorong puisi yang sublim. Sedangkan Neruda sendiri tak bisa memilih, karena ia mengibaratkan dirinya omnivora, makhluk pemakan segala: "Aku ingin menelan seluruh bumi. Aku ingin meneguk segala lautan".

Memang penyair kelahiran Parral, Cile bagian selatan, 1904 ini jatuh hati kepada benda, tumbuhan, dan binatang. Dalam puisinya, segala makhluk itu tampak melebihkan wujud mereka, bahkan lebih bernyawa dan cantik ketimbang manusia atau malaikat. Demikianlah kita bersua dengan, misalnya, ular anakonda yang menggelung bak lingkaran bumi, sekaligus ganas dan religius dalam timbunan lumpur suci; artichoke yang berpakaian seperti serdadu dan kelak kita menelanjanginya untuk memakan daging jantungnya yang hijau damai; anggur minuman punya kaki ungu dan darah topaz; kaus kaki wol yang begitu indah sehingga membuat kaki si aku seperti petugas pemadam api yang lumpuh; pakaian yang menjadi sakit dan tua bersama si empunya; garam yang membingkiskan ciuman malam-samudra ke lidah.

Persahabatan atau percintaan itu sarat dengan pengulangan imaji: benda atau makhluk yang sering dipanggilnya "engkau" itu ditonjolkan secara berulang-ulang dengan pelbagai analogi, sehingga citranya jadi begitu tajam, lebih konkret ketimbang kenyataan itu sendiri. Citra utama itu pun mendesak-desak melalui irama yang membadai dan baris yang patah-patah--sering tiap baris terdiri dari sebuah kata--sehingga gamblang pula kita merasakan kehadirannya. Dengan kata lain, pengulangan kata membuat apa yang fantastik menjadi yang wajar dan sehari-hari, begitu juga sebaliknya. Jika banyak yang menyebut puisi Neruda sebagai surealisme, itulah surealisme yang riang menyenangkan, terbalik dengan surealisme dalam lukisan Salvador Dali atau Max Ernst yang membuat kita cemas, menggigil, dan terpojok.

Dengan menulis "ensiklopedia" makhluk fantastik, Neruda mencapai masa stabilnya--masa puncaknya, masa bahagianya?--sebagai penyair. Dia yang berhasil mengambil jarak dari cinta erotis dan ideologi. Berdamailah dia dengan bahasa: yakni ketika dia menyadari bahasa sebagai kembaran dunia, bukan sekadar efek dari pemberontakan pribadinya, bukan pula alat untuk menaklukkan dunia. Kita ingat bahwa Neruda mengawali kepenyairannya pada akhir umur belasan sebagai pendendang sajak cinta yang menggebu-gebu. Dialah orang udik dari pegunungan yang mencoba memeluk puisi modern sebagaimana dia ingin melihat lautan. Dan tubuh perempuan terkasih adalah jembatan terbaik untuk membebaskan diri dari kungkungan asalnya, lingkungan kelas pekerja ayahnya.

Bacalah Veinte poemas de amor y una canción desesperada (Dua Puluh Sajak Cinta dan Sebuah Lagu Putus Asa, 1924). Sebuah sajaknya melantunkan bahwa tubuh si kekasih seperti dunia yang terbaring dalam penyerahan, sementara tubuhnya sendiri kasar seperti tubuh petani menggali ke dalamnya, merindukan sang anak yang akan melompat dari kedalaman bumi. Bagi Neruda, payudara adalah piala dan pinggang adalah mawar. Pun tubuh perempuan diibaratkannya sebagai lumut, cairan susu yang tak sabaran, atau dasar sungai kelam di mana rasa hausnya yang abadi mengalir. Bahkan dalam putus asa cintanya, Neruda masih juga melambungkan lagu puja. Dalam diri kekasih yang meninggalkannya, bertimbun-timbun segala perang. Si kekasih menelan segala seperti hamparan udara, namun dari ia pula sayap burung-nyanyi mengepak. Kekuatan Neruda: ia memainkan ironi. Lagu putus asanya membuat kita tersenyum, bahkan tertawa. Namun, jika kita tertawa terlalu lebar, ia membuat kita gemetar lagi. Pada puncak lagunya, ia mendedah bahwa si kekasih adalah kuburan bagi segenap ciuman, dan pada nisannya api masih menyala.

Neruda mencuri api itu dan memeliharanya dalam dirinya: nyala kehidupan, sekaligus nyala kematian. Cinta erotis masih menggema di kemudian hari, di antara cinta politiknya. Kini Neruda menggeser perhatiannya, barangkali dengan terpaksa, dari tubuh perempuan ke tubuh bumi. Ia terhukum untuk mengembara: sebagai diplomat muda, ia dikirim ke Burma, Sri Lanka, Hindia Belanda, dan Singapura; dalam pelayaran ia menyinggahi pelbagai belahan Asia yang "udaranya lembut seperti kulit perempuan". Namun, pengembaraan ini justru mencerminkan kegentaran Neruda: tubuh bumi tak pernah mirip tubuh perempuan.

Kumpulan sajaknya, yang ia selesaikan di Batavia, Residencia de la tierra (Perumahan di Bumi, 1933), adalah perpanjangan dari lagu putus asanya: di luar Amerika Selatan, ia memperparah rasa bersalahnya karena impitan ajaran Katoliknya, rasa getirnya dalam membawa tradisi aus moyang Indiannya, kegentarannya menghadapi peradaban Asia yang tak mengenalnya, dan alam--lautan, pegunungan, belantara--yang seperti hendak memangsanya. Namun, dengan lagu giris ini pula Neruda mencoba mengalihkan egonya menjadi wakil kesadaran kolektif manusia Amerika Selatan pasca-jajahan yang remuk-redam oleh penindasan, alkoholisme, kekurangan gizi, kemiskinan, dan penyakit.

Pengembaraan adalah penemuan kembali kampung halaman. Kritikus Emir Rodriguez Monegal menyatakan, Neruda adalah pengembara yang tak bergerak: ia pergi ke seluruh dunia tanpa meninggalkan rumahnya, negerinya. Saya cenderung mengatakan, Neruda berkelana seraya membawa kampung-halamannya dalam bungkusan, bagaikan jimat yang penolong. Nasionaliskah dia? Pengolah warna lokal? Tak senyampang pun dia menyeru-nyerukan pentingnya sastra nasional. Bahasa Spanyol membebaskan dia dari kungkungan semacam itu: itu bahasa yang menantang dia, juga generasinya, dengan pencapaian dunia sejak Cervantes dan Gongora di abad ke-18 sampai Ruben Dario di abad ke-20. Namun, secara ironis Neruda sering membandingkan dirinya dengan Vicente Huidobro, penyair garda depan Cile. Di depan Huidobro yang "memangsa segala mode terbaru dari Paris" (kubisme dan surealisme, misalnya), katanya, ia sungguh rendah diri tak berhingga, anak udik tanpa harapan. Bersama Octavio Paz, kita dapat mengatakan: Huidobro tak pernah bernafsu mencari akar, ia penerbang di langit tinggi, sedangkan Neruda selalu menjejak ke bumi, bahkan kakinya menjadi akar itu sendiri.

Pengasingannya di Asia ditebusnya kembali dengan bermukim di Spanyol. Didapatnya kembali nyala kehidupan: pelukan bahasa ibu, ranah Spanyol yang tengah menyelenggarakan eksperiman demokrasi. Ia menyatukan diri dengan baris terdepan penyair Spanyol seperti Rafael Alberti dan Federico Garcia Lorca, yang menularkan kepadanya bagaimana menyerap nyanyian rakyat. Bahkan Alberti mendorong sikap politiknya kian jauh ke kiri. Tapi segera diperolehnya lagi nyala kematian: Perang Saudara Spanyol, yang meletus ketika kaum fasis militer menggulingkan pemerintah Republikan yang sah. Kumpulan puisinya, España en el corazón (Spanyol dalam Hati, 1937), mendekat ke wicara sehari-hari seraya bertahan samar-samar pada warna surealistisnya.

Lihat, Neruda mendedahkan lagu cinta lagi. Ia menyambut milisi internasional pembela Republik Spanyol sebagai pasukan yang hatinya tersepuh mesiu bagaikan roti yang terbuat dari abu dan perlawanan. Kepada ibunda mereka yang gugur ia berkata bahwa mereka tak mati, mereka hanya berdiri tegak di tengah bubuk mesiu bagaikan sumbu yang terbakar. Begitu banyak kematian dilihatnya namun ditenggangnya itu sebagai "rimba tercelup darah yang membunuh putra-putramu". Kepada para jenderal fasis ia katakan bahwa dari setiap lubang luka Spanyol akan muncul Spanyol yang lain, dari setiap anak yang mati akan muncul sepucuk senapan yang bermata. Ia nyanyikan lagu puja bagi pasukan antitank yang menunggu di tengah ladang bagaikan benih menanti angin beliung baja.

Namun, kata-kata bersayap mulai menggelisahkan Neruda: perlukah dunia yang berlumur kekerasan ini ditopengi dengan surealisme? España mencerminkan juga keraguannya tentang hakikat kepenyairannya sendiri: ia mulai bertanya bagaimana puisi mendapat tempat dalam perjuangan umat manusia. Dapatkah puisi mengabdi kepada orang biasa? Ia mengecam sendiri puisinya yang terdahulu sebagai puisi yang terlalu banyak mengolah "yang irasional dan yang negatif". Sebagian puisi dalam España tampak melebih-lebihkan kesederhanaan ungkapan, seakan keindahan itu adalah sebuah dosa di tengah erang dan jerit para korban. Puisi yang tak lagi "bicara tentang mimpi, daunan, gemunung," sebab darah anak-anak tumpah ke jalan, "mengalir sederhana seperti darah anak-anak".

Namun, jika Spanyol adalah ibunda dan kekasih sekaligus, Neruda tak dapat memeluknya, juga membelanya, lama-lama. Negeri itu jatuh ke tangan kaum fasis. Mungkin kejatuhan ini membebaskan Neruda dari kesederhanaan yang diharuskan oleh sikap politik kirinya. Haruskah ia menyanyikan kembali lagu putus asa? Mungkin tidak: karena ia telah menguarkan semacam kredo puitik (atau politik?) bahwa jalan pribadinya telah "bertemu dengan jalan semua orang". Atau ia kembali menyanyikan sajak cinta bagi kekasih lamanya: bumi Amerika Selatan? Puisi Neruda yang berikutnya, khususnya yang terkumpul dalam Canto General, menunjukkan hubungannya yang kompleks--semacam permainan tangkap-dan-lari--dengan surealisme.

Neruda hanyalah seorang surealis dengan tanda petik. Di Amerika Selatan, surealisme adalah bakat alam sekaligus warisan sejarah. Kronik kaum penakluk (conquistadores) penuh dengan ketakjuban berlebihan terhadap bumi dan manusia kawasan itu: pencanderaan mereka bersifat fantastik (baca: surealistik) ketimbang realistik. Bagi mereka, Amerika Selatan adalah Dunia Baru: surga yang hilang sekaligus harus ditaklukkan. Watak fantastik ini diambil alih sekaligus diparodikan oleh para penyair dan novelis abad ke-20 dari benua itu. Pada saat yang sama, karya sastra Amerika Selatan adalah juga pantulan terbalik dari catatan kaum naturalis, antropolog, dan sejarawan Eropa. Kerabat dari puisi Neruda adalah novel-novel, misalnya Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian) Gabriel Garcia Marquez, dan Hombres de maiz (Manusia Jagung) Miguel Angel Asturias.

Dalam sebuah wawancara Neruda pernah menyatakan, mudah bagi "kami", penulis Amerika Selatan, berlaku surealistik "sebab segala sesuatu bagi kami masih baru". Bagi Neruda, surealisme adalah ungkapan ketakjuban kepada dunia yang masih muda dan segar. "Segalanya sudah diwarnai dan dinyanyikan di Eropa, tapi tak di bumi sini." Sedangkan surealisme yang dicetuskan André Breton dan kawan-kawan di Paris 1920-an adalah ungkapan muak terhadap dunia yang sudah renta di tangan kaum borjuis-kapitalis, dunia yang dikuasai oleh ilmu dan teknik. Bagaimanapun, saya percaya, generasi Neruda juga menjadi surealistik dengan cara sebagaimana dinyatakan penyair Brasil Oswald de Andrade: menjadi kanibal, yaitu memangsa dengan ganas seni modern Eropa, dan bukan menirunya. Modernisme artistik di Amerika Selatan abad ke-20 adalah sebentuk reaksi keras terhadap optimisme kaum liberal-positivis akan kemajuan dan pembangunan. Surealisme yang bagi seniman Eropa mengorakkan ketidaksadaran penuh mimpi dan nafsu, bagi seniman Amerika Selatan harus juga mengungkap apa yang ditindas budaya dominan kulit putih: khazanah budaya Indian, kreol, dan kulit hitam.

Neruda tak pernah menunjuk seorang penyair surealis pun sebagai pendahulunya (meski belakangan ia berkawan dengan sejumlah penyair surealis Prancis yang juga memeluk komunisme.) Dengan aneh, ia menganggap Walt Whitman, penyair Amerika abad ke-19, sebagai guru agungnya, "ia yang mengajar kami untuk melihat". Kita dapat memandang Whitman sebagai penyair yang tak henti-henti merayakan dirinya. Bahkan, menurut seorang kritikus, Whitman tak berhubungan seks dengan siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Ia mampu membesarkan dirinya hingga meliputi alam dan perkotaan Amerika Serikat, bahkan membayangkan dirinya sebagai Kristus modern yang mengembarai kawasan benua itu. Namun, pada akhirnya, ia menyangkal dirinya, dengan menempatkan dirinya sebagai pembaca dan bertanya, "Apa yang kaudengar, Walt Whitman?" Sementara puisi modern banyak berselisih dengan kenyataan sejarah, Whitman justru berdamai, bahkan bernyanyi bersamanya.

Canto General (1950) yang berisi 300-an puisi adalah kitab tentang tumbuhan, binatang, sungai, bahkan batuan Amerika Selatan. Sebagaimana Whitman, Neruda melantunkan nyanyian pujanya dalam bentuk puisi bebas: baris-baris sajak yang tak beraturan dalam panjang dan tekanan, hampir tanpa pola, tapi penuh dengan pengulangan frasa dan irama. Sajak puncaknya dalam kumpulan ini, Alturas de Macchu Picchu (Tinggian Macchu Picchu), adalah puisi panjang dalam 12 bagian yang mendedahkan perkerabatan Neruda dengan para pekerja yang membangun kompleks bangunan batu ibu kota kerajaan Inca purba di punggung Andes itu. Namun, bagian demi bagian, sajak panjang itu terasa sebagai ironi dan pernyataan moral terhadap maut dan kerja, yang terselingi oleh ketakjuban Neruda akan arsitektur batu itu. Terasa, perjalanan ke puncak arsitektur adalah penggalian ke dalam, ke bawah permukaan, untuk menemukan akar.

Seperti biasa, ia memberi kita jeda: di antara kalimat-kalimatnya yang lancar membanjir hampir di seluruh bagian, bagian 9 adalah 43 baris, yang setiap barisnya adalah juga bait yang terdiri dari kalimat yang tanpa kata kerja. Inilah kocokan kimiawi dari sejumlah kata benda. Yang menonjol di sini adalah pengulangan kata "batu". Misalnya, "Jubah segitiga, serbuk sari batu.//Lampu granit, roti batu.//Ular mineral, mawar batu". Seakan dengan keterpatah-patahan bergaya mantra ini Neruda, bagaikan tukang sihir, menjemput kembali puing-puing untuk mewujudkan kembali keindahan purba. Pada bagian-bagian berikutnya, ia kembali lagi pada gaya Whitmanian: ia pelan-pelan mencandera dirinya sebagai bagian dari para pekerja Inca yang disebutnya "saudaraku". Diserunya mereka agar memberinya "sunyi, air, harapan", juga "juang, besi, gunung api". Dan diundangnya mereka, "Bicaralah lewat kata-kataku dan lewat darahku."

Heroisme Neruda ternyata lebih mengedepankan cetusan dirinya sebagai penyair. Dibandingkan dengan Bertolt Brecht, penyair Jerman yang juga anggota Partai Komunis, Neruda tak berhasil menghapuskan kekentalan aku-nya demi ungkapan yang lebih lancar dan merangkum bahasa orang ramai. Kemenangan kaum fasis dalam Perang Saudara Spanyol seakan membebaskan dirinya dari dekapan realisme, bahkan realisme sosialis, yang sejenak dinikmatinya dalam sebagian España en el corazón. Kini, dengan kembali ke surealisme ia mampu mengungkapkan cintanya terhadap bumi dan sejarah Amerika Selatan. Dan dengan bantuan Whitman, Neruda meluaskan pandangnya, merangkumkan aku-nya ke segenap benda, manusia, dan bayangan di dunia ini.

Canto General barangkali pelaksanaan terbaik dari apa yang pernah dikatakan Neruda sebagai "puisi kotor": puisi yang dilumuri oleh kerja kasar dan kucuran asam, yang jenuh oleh asap dan keringat, yang berbau kencing dan harum bunga lili, yang merangkum laku manusia baik yang boleh maupun yang terlarang. Dengan ini Neruda berusaha melawan kaum modernis yang berupaya memurnikan puisi--membebaskan kata dari beban pengertian, termasuk pengertian politik.

Tulisan ini tak mungkin membahas seluruh faset kepenyairan Neruda. Cukuplah dikatakan di sini bahwa ia selalu mencari titik kesetimbangan antara puisi dan politik. Surealisme dan Whitmanianisme telah menyelamatkan dia dari demagogi. Ada kalanya ia terlalu asyik-masyuk dengan cinta politiknya: heroismenya, sikap berpihaknya, "kesadaran kelas"-nya sering terasa sebagai laku lajak di atas panggung--laku yang terlalu menyadari kamera yang merekamnya dan tepuk tangan yang menantinya. Namun, jika cinta politik ini begitu menghanyutkannya--jika puisi politisnya hanya mendekat ke jargon--ia menangkap kembali nyala cinta erotisnya. Pada usia 55 tahun ia menerbitkan 100 sonet cinta, Cien sonetos de amor, yang tak kalah bergeloranya dengan puisi erotisnya pada umur 19 tahun.

Bagaimanapun, Neruda yang terbaik bagi saya adalah ia yang sabar mencintai benda-benda. Ia yang tak lagi melambung-lambungkan aku-nya demi cinta politis maupun cinta erotisnya. Ia yang jatuh kasmaran kepada bahasa sehingga kata-kata bukanlah alat juang, melainkan kembaran benda-benda itu sendiri. Baris-baris sajaknya yang saya kutip pada awal tulisan ini menunjukkan kebahagiannya yang tak tertawar-tawar dalam menyejajarkan diri dengan, bahkan memasuki hidup benda, tumbuhan, dan binatang. Ketika cinta politiknya yang terakhir dikhianati--yakni ketika Cile pada 1973, sebagaimana Spanyol pada 1939, jatuh ke tangan kaum militer--Neruda mempertanyakan hakikat kepenyairannya dalam buku puisinya yang terakhir, Libro de las preguntas (Buku Teka-teki), yang diselesaikannya beberapa bulan sebelum kematiannya pada 1973: "Apakah aku diizinkan menanyai bukuku/bahwa benar akulah yang menulisnya?"

Seakan melecehkan heroismenya yang berlebihan pada masa lampau ia bertanya: "Apa yang akan mereka bilang tentang puisiku/yang tak pernah menyentuh darahku?" Namun, Neruda tetap pencinta yang tak pernah lelah, sehingga cara pandangnya masih juga membuat dunia ini tak henti-hentinya mempesona kita: "Mengapa mereka tak melatih helikopter/untuk menghisap madu dari cahaya matahari?" Mendahului kaum pascastrukturalis yang menisbikan hubungan bahasa dengan kenyataan, seraya meragukan keampuhan puisinya sendiri, ia melantun: "Adakah dua taring yang lebih tajam/ketimbang dua suku kata "ajak"? (Ingat, ajak adalah semacam anjing liar.) Bagaikan seorang anak yang takjub sekaligus sufi yang jenuh dengan penampakan lahiriah, ia memberi kita teka-teki: "Jika semua sungai terasa manis/dari mana laut mendapat garam?"

Sungaipenuh, Kerinci, 22 April 2001


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/04/30/IQR/mbm.20010430.IQR120562.id.html

0 comments:

Post a Comment