Pages

Sunday, 29 January 2012

Perpuisian Amerika Dari ”Emersonian” sampai ”Beat Poetry”


Perpuisian Amerika Dari ”Emersonian” sampai ”Beat Poetry”
Padang Ekspres • Minggu, 29/01/2012 11:14 WIB • (*) •

Perpuisian Amerika, pada satu kurun waktu didominasi semangat romantisme “Emersonian”. Hal ini terutama terlihat dalam pola ungkapan yang kental berkiblat ke situasi serta kondisi akhir abad XIX.
Tapi, meski para penyair periode itu dipandang tak habis-habisan menggali potensi dan kepribadiannya, namun nama-nama seperti Whitman, Emily Dickinson dan Gertrude Steind, mencuat ke seantero jagat sastra.
Bahkan, menurut para pengamat, “milik” merekalah yang kemudian dikembangkan Ezra Pound, T.S. Eliot, Wallace Stevens serta sekian banyak penyair besar berikutnya.

Upaya melepaskan diri dari elan perpuisian “Emersonian”, konon, diawali oleh Edwin Arlington Robinson. Kemudian, disusul Robert Frost dengan volume-volume versi “pastoral” yang mengandung humor dan penyajian yang amat mengesankan. Sementara penyair-penyair semisal Edgar Lee Masters, Vachel Lindsay dan Carl Sanburg, juga (mulai) berkiprah mengusung spirit Amerika Tengah-Barat.

Seiring itu lahir pula genre aliran kritik sastra baru yang lebih dewasa, sebagaimana tercermin dalam Main Current in American Thought (1927-30) Vernon L. Parrington dan atau Makers and Finders (1936-52) Van Wyck Brooks. Sedang peran(an) humanis akademis seperti Irving Babbitt atau Paul Elmer More pun diambil-alih oleh Kenneth Burke, Richard P. Blackmur dan Cleanth Brooks, para kritikus sastra professional lagi agresif-progresif. Terkait ini kontribusi media massa jelas tak dapat dikesampingkan. Kehadiran Poetry: A Magazine of Verse (1912-?) umpamanya, melempangkan jalan ke arah pembicaraan yang teratur menyangkut seluk-beluk perpuisian.

Salah seorang penyair yang acap kali muncul di majalah Poetry, John Gould Fletcher, merupakan inspirator dan atau motivator yang giat memajukan teknik penulisan (per)puisi(an) Perancis. Selain itu Fletcher juga terjun langsung membina para penyair Amerika Selatan. John Crowe Ransom serta Allen Tate akhirnya memang eksis dengan pengalaman keduniawiannya. Sementara Robert Penn Warren, dengan puisi-puisi naratifnya, ternyata mampu menandingi energi dramatis yang mewarnai karya-karya Robinson Jeffers serta “Perang Sipil”-nya Stephen Benet.

Dalam pada itu Ezra Pound, Amy Lowel maupun yang lainnya, yang dikenal sebagai kelompok “imagist”, bersinar dengan Des Imagistes: An Anthology (1914). Image-image mereka konon bagus sekali, diksinya yang rapi dan apik berbanding sejajar dengan retorikanya yang menggerogoti tulang. Perlu dicatat, Wallace Stevens, metaphysical imagist potensial yang secara filosofis bereksperimen tentang kehumanismean sastra, mengetengahkan puisi-puisi (bersifat) abstrak lagi impersonal, merefleksikan aktualitas realisme berdasarkan imajinasinya yang kuat lagi akurat.

Namun sebagaimana diketahui, penyair besar Amerika yang paling masyhur lagi sangat berpengaruh di abad ke-20 ialah Ezra Pound dan T.S. Eliot. Keduanya dipandang berhasil mendedahkan kerevolusioneran pengungkapan puitisasi modern. Image-image mereka yang luar biasa, yang dinamakan “logika imajinasi”, disinyalir dapat mengimbangi logika Aristotelian. Keduanya mengusung gaya dan atau sikap puisi baru yang kenyal, memberdayakan bahasa secara luas dan bebas serta mengintegrasikan “kredo-kredo” para penyair dari pelbagai penjuru dunia.

Lewat ciptaan yang bersumber pada seni “Provencal” dan atau Cina, dan juga melalui buku puisi seperti Homage to Sextus Propertius (1919) serta Hugh Selwyn Mauberley (1920), Pound membuktikan dirinya sebagai seorang master perpuisian. Sedang dalam The Cantos (1916-?) Pound menghadirkan puisi yang mengacu pada kemutakhiran. Sejarah dibatasinya sebagai hasrat mengingat masa lalu, menghubungkan kemodernan dengan kebudayaan yang lebih awal, Odysseus dan Dante. Ya, Pound memperkenalkan sebentuk daya lihat terhadap “Kota Baru” umat manusia yang berangkulan erat dengan masalah perekonomian, keterampilan dan (ke)seni(an) pada umumnya.

Eliot, yang ditahun 1927 berkebangsaan Inggris, selaku penyair papan atas memikul beban (mental) yang tidak ringan lantaran apa-apa yang dia tulis kontan menjadi persoalan yang menarik perhatian masyarakat (sastra). Puisi-puisi permulaan Eliot, Prufrock and Other Observations (1917) dan The Waste Land (1922), memuat studi dramatis tentang kebobrokan emosi spiritual umat manusia. Sedang Ash Wednesday (1930), Four Quartets (1943) serta puitisasi drama Murder in the Cathedral (1935) atau The Cocktail Party (1950) maupun The Confidential Clerk (1954), jelas, mempertegas keyakinan religius(nya) yang sesungguhnya.

Beberapa penyair lainnya juga tak ketinggalan mengintroduksi dandanan puisi yang sama sekali baru. William Carlos Williams melesat dengan idiom-idiom kontemporernya. Marianne Moore cemerlang dengan ketajaman analisisnya. E.E. Cummings melejit melalui respons “kekanak-kanakan”nya. Hart Crane kian kukuh dengan pengucapan epik-epiknya. Elinor Wylie dan Etna St. Vincent Millay dinobatkan sebagai penyair liris yang mematarantai-i pertumbuhan (per)puisi(an) Amerika. Adapun Hilda Doolittle maupun W.H. Auden —penyair Inggris yang menetap di Amerika sejak 1939— pun semakin memikat perhatian para penyair muda masa itu.

Di samping mereka, Richard Wilbur, dengan semacam reaksi formalistik atas irama kemerdekaan para pendahulunya, membuktikan validitas logika “neo-Agustan” maupun lirik-lirik yang sebelumnya begitu dikagumi —yang walau bagaimanapun, terus dipelajari sekaligus dipedomani oleh angkatan muda. Karya-karya William Meredith misalnya, kentara mempertebal garis impressiveness-nya Wilbur. Dan dengan nuansa perbedaan cita rasa yang nyaris sama, hal itu pun ditemui dalam karya-karya Elizabeth Bishop, yang pada mulanya dianggap setia meneruskan style less-mannered-nya Marianne Moore.

Sementara Theodore Roethke adalah penyair yang memiliki kehalusan perasaan yang luar biasa, sekalipun kelihatannya cenderung mendekati W.B. Yeats ketimbang simbolist Perancis yang berpengaruh seperti Ricard Wilbur. Puisi-puisi Roethke, yang berhubungan dengan masa kanak-kanaknya di Pennsylvania, kembali diangkat ke dalam meditasi kehidupannya yang penghabisan, yang melewakan kegembiraan hidup dan firasat menyangkut kematian.

Dalam konteks “kegaiban” —pengekspresian diri melalui kebebasan yang diwariskan Whitman— di sisi lain, Allen Ginsberg tampil memimpin gerakan “Beat Poetry”. Dengan Howl and Other Poems (1956) Ginsberg telah menggoyah kasau-kasau (kaum) ortodoks dan konon, mengilhami sekaligus melambungkan nama para penyair non-akademik semisal Gregory Corso atau Lawrence Ferlinghetti.

Terkait “Beat Poetry” memasyarakat pulalah apa yang kemudian disebut “sajak proyektif”, yang antara lain mewarnai The Maximus Poems (1960) Charles Olson, Roots and Branches (1964) Robert Duncan, The Jacob’s Ladder (1961) Denise Levertov dan atau For Love (1962) Robert Creeley. Bersamaan dengan itu, lewat Homage to Mistress Bradsteet (1956) serta 77 Dream Songs (1964), John Barryman membuktikan dirinya sebagai seorang penyair yang patut diacungi jempol.

Selain Barryman, Robert Lowel juga sering disebut para pengamat sastra dewasa ini. Orisinalitas Lowel, sebenarnya terdapat dalam puisi-puisi yang berjudul The Quaker Graveyard at Nantucket, Lord Weary’s Castle dan juga Life Studien. Sedang puisi-puisi Lowel yang bersubyek kesejarahan, kemasyarakatan, kepribadian berikut responsibilitas (ke)manusia(an) pada zamannya, seperti ditemui dalam Lord Weary’s Castle (1946), The Wills of the Kavanaughs (1951), Life Studies (1959) dan For the Union Dead (1964), disinyalir berada dalam tradisi dan atau mode “Hawthornesque”.

Begitulah. Tak kurang dari enam dekade pertama abad XX merupakan masa puncak pertumbuhan (dan) prestasi perpuisian Amerika. Bakat-bakat besar muncul berkesinambungan, begitu cemerlang dan menakjubkan. Dalam bahasa yang lain, pada gilirannya perpuisian Amerika tidak lagi terpacak dalam sebuah aliran, menjelma beragam “mode” dengan para pembaru yang sukses mengintroduksi berbagai pencarian sekaligus temuan. Dan ini dimungkinkan karena adanya upaya pemahaman terhadap materi sosial kemasyarakatan yang tersedia berdasarkan pertumbuhan perbendaharaan kata yang pesat serta sintaksis yang baru, yang berkorelasi dengan logika non-Aristotelian dan konsep-konsep era “Emersonian”.

Ya, setiap penyair sudah pada mengerti agaknya —sebagaimana semua-semua musti maklum— bahwa sejarah, apalagi kesusastraan, selalu menyumbangkan “sesuatu” kepada peradaban dan atau umat manusia. Mengamati dan memahami, serta bisa merasakan untuk kemudian diungkapkan lewat media: kata atau kalimat. ***

Nelson Alwi, Esais.

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=22531

0 comments:

Post a Comment