Pages

Wednesday, 18 January 2012

Telunjuk

Telunjuk
Posted by PuJa on January 18, 2012
Tandi Skober
http://www.suarakarya-online.com/

Tuhan, saya ikhlas memiliki tubuh kurus melengkung. Ini sudah resiko kerja sebagai pesuruh kantor di dalam jajaran birokrasi bungkuk udang. Soalnya, sebagai pesuruh kepala kantor, setiap kali bersua-sosok para pejabat, badan saya akan membungkuk sembarimenyilangkan tangan di atas selangkangan paha dan memegang anuku. Itu saya lakukan berkali-kali, berpuluh-puluh kali, beratus-ratus kali, terus menerus, terus-terusan.

Maka tak aneh bila tubuhku menjadi melengkung berbentuk udang bungkuk. Lagi pula sebagai Wong Cerbon, saya ini kerap diajari sesepuh berwajah suci, “mesti Den hurmat maring ratu lan pusaka leluhur. Wong ngawula ing ratu luwih pakewuh. Nora kena mingggang-minggring. Kudu manteb sartanipun. Artinya: Mesti hormat sama raja dan budaya leluhur. Bila mengabdi jangan setengah-setengah. Harus mantap! Hal itu, dengan ikhlas kuakses sebagai substansi komitmen kultur pengabdianku.

Itulah sebabnya di dinding ruang tamuku terpampang potret pembesar negeri seperti halnya, Presiden, Gubernur, Walikota, Camat, Lurah, RW hingga RT! Potret itu bukan potret sembarang potret, bukan juga sekedar potret pajangan.

Soalnya, usai shalat menghadap presiden dari segala presiden jagad raya, saya langsung berdiri tegak menghadap kumpul gambar pembesar negeri. Saya akan membungkuk seraya meletakan kedua tangan saya di antara selangkangan kaki seraya berkata, “Saya, Tandi Skober dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya akan tetap mengabdi kepada negeri Indonesia Raya yang kaya raya tanpa rasa ria,” Disebabkan hal itulah, tubuhku bungkuk melengkung. Ini saya maklumi sebagai resiko sejatining wong cilik. Artinya lagi, soal tubuh melengkung itu, soal yang biasa-biasa saja. Akan tetapi ini menjadi luar biasa ketika usiaku mendekati masa persiapan pensiun.

Aneh, setiap kali saya bungkuk hormat dan tanganku menyilang di selangkangan paha menghadap para pejabat, entah mengapa saya mengalami revitalisasi ereksi. Mendadak anuku itu mengalami penganuan di luar kewajaran. Mula-mula ada getar-getar di seluruhsaraf pahaku. Usai itu saya rasakan ada ribuan semut merayapi punggungku, menjalari lenganku, dan lompat getar ke pahakaku. Terus, ya itu tadi: ada ereksi abnormal!

Saya malu. Hal ini, saya nilai sebagai tindak tanduk “telunjuk” yang kurang ajar. Bungkuk hormatku jadi serba kikuk. Untungnya para pembesar tidak tahu bahwa ada pembesaran abnormal itu. Ini lantaran celana kolorku saya buat ekstra besar. Dengan begitu dipastikan celanaku ini bisa mengakomodasi adanya fenomena aneh itu.

Ikhwal ini terjadi tak cuma di lingkungan kantor. Ketika saya bersua sosok dengan para pembesar kota di mall, lantas bungkuk hormat, menyilangkan tangan di antara selangkangan, lagi-lagi ada ereksi. Anuku aneh. Ketika mobil dinas bos lewat, saya bungkuk-hormat, menyilangkan tangan, juga anuku beranu-anu.

Ketika gambar-gambar pembesar negeri terpampang di alun-alun lantas dengan sadar saya bungkuk hormat, menyilangkan tangan, maka lagi-lagi telunjukku ngacung.

Malangnya, soal ereksi anuku itu berjenjang pula. Bila saya berhadapan dengan Kepala Bagian, maka ereksi ini tidak begitu keras. Tapi bila berhadapan dengan eselon lebih eliteis maka kualitas dan kwantitas ereksi kian kencang. Lebih malang lagi apabila saya bungkuk hormat menghadapi kumpul pejabat, tak pelak bungkuk hormatku, tangan menyilangku dan ereksi anuku menjadi berlipat-lipat. Di sini proses pembesaran begitu sangat cepat.

Sekali tempo, misalnya, saya disuruh menyediakan hidangan mamiri untuk rapat para pejabat. Saat memasuki ruangan, saat itu pula keringat mengucur deras. Dan, lagi-lagi anuku itu bergetaran luar biasa. Ada getar-getar aneh bungkuk hormat. Ada lorong melengkung-lengkung. Ada agregat ereksi yang akhirnya? Astaga, selangkanganku basah! Saya gemetar!

Di toilet, saya langsung muntah-muntah. Saya kutuk telunjuk abnormal itu. Saya kutuk langit-langit nasib yang menyeretku pada lingkar-lingkar penyimpangan. Bahkan saya nyaris putus-asa mau memutus tuntas anuku.

“Sudahlah, Kang,” bujuk istriku, Dewi Ratu Persik Mona ketika saya ceritakan ereksi abnormal itu, “Sabar, sabar dan sabar.”

Saya menunduk. Saya berharap di hadapan istriku ini, ada pilar-pilar bergetaran seperti halnya saya berbungkuk-hormat di hadapan para pejabat. Tapi, tidak bisa! Yang bisa cuma sekedar bungkuk, bungkuk dan bungkuk. Lantas melengkung gelisah, nihil!

Istriku tersenyum. “Coba dipancing, Kang. Kakang ke ruang tamu dulu. Bungkuk hormat dulu di hadapan gambar pembesar negeri. Insya Allah, kakang bisa perkasa.”

Saya setuju. Segera melompat. Dan berlari ke ruang tamu. Lantas menatap penuh konsentrasi potret para pembesar seperti Presiden, Gubernur, Walikota, Camat, Lurah, RW hingga RT! Usai itu, saya membungkuk seraya meletakan kedua tangan saya di antara selangkangan paha. Dan? Luar biasa. Semuanya terjadi. Anuku, langsung oke! Saya merasakan keperkasaan luar biasa, luar dalam.

Kini kudekati istriku. Tapi? Lagi-lagi gagal! Edan, pukimak! Justru di hadapan perempuan yang amat kucintai ini, saya tidak bisa apa-apa. Tak bisa perkasa. Loyo, dan loyo! “Maafkan, Rita Persik,” bisikku seraya menyedot kretek dalam-dalam.
“Coba kakang ulangi lagi, Menghadap potret pembesar lagi.”

Saran istriku saya turuti. Malam itu, hingga 12 kali saya bolak-balik menghadap potret pembesar negeri, lantas mengalami ereksi, tapi tetap saja nihil saat kulabuhkan di pembaringan cinta.

Bahkan ketika dengan tergesa-gesa saya pasang potret-potret pembesar itu di dalam kamar tidur, lantas saya bungkuk hormat, menyilangkan tangan dan ada ereksi, toh hasilnya sama saja: lagi-lagi nihil dan loyo ketika saya bungkuk cinta di hadapan istri.

Duka ereksi itu pada akhirnya tak bisa kuusir dari rutinitas keseharianku. Saya pasrah. Lagi pula, ereksi aneh ini bisa saja menggejala lantaran saya masih aktif menjadi pegawai negeri.
Mudah-mudahan, bila sudah pensiun, ereksi abnormal ini akan sirna.
“Ya, moga-moga saja begitu,Kang,” ucap istriku. Ia tersenyum seraya menatap cikcak yang tak enggan merayap.
Waktuku juga merayap. Akhirnya hari ‘H’ pensiunku datang juga.

Adalah hari bersejarah yang menggetarkan jiwa. “Kakang akan terbebas dari belenggu bungkuk hormat. Tubuh kakang akan kembali tegap, lurus dan normal. Terus? Ya,ya,yaa,” bisik istriku seraya membenahi kain kebaya hijaunya. Saya mengangguk, meski cemas. Kenapa? Di ruang benderang melepas pensiun ini ternyata dihadiri kumpul pejabat.

Bahkan menurut Kabag Kepegawaian, Drs Ipon Bae SH,M.Hum hari penglepesan purna bakti ini juga dihadiri Pak Bupati beserta istri dan Dharma Wanita bernama Ikhwan Fallah dan Agnes Monica.

“Ini hal yang langka, Tandi,” ucap Ipon yang berwajah suci itu,Pak Bupati menilai bungkuk hormat Saudara sangat luar biasa. Persis seperti segitiga sama kaki. Itulah sebabnya beliau langsung yang melepas purna bakti saudara.”
“Loh?”

“Bahkan beliau berharap bungkuk-hormat saudara itu bisa disuritauladani generasi muda. Sebab, tubuh melengkung saudara itu pada hakikatnya bermakna posmo.”
“Posmo?”

“Ya! Kemarin komisi X DPRD Ceribon yang menangani APBD baru saja mengesahkan dana lomba kerani bungkuk hormat. Lomba ini diilhami bungkuk-bungkuk saudara. Dan diproyeksikan menjadi lahan pemberdayaan birokrasi bungkuk sungkem.”

Bah! Ini berbahaya. Saya tidak tahu apakah cukup kuat celana panjangku memproteksi ereksiku ini. Saya jadi serba salah kaprah. Tapi, detak waktu berdetik juga. Waktu mengalir tak bisa ditepis. Ruang kian dipenuhi para pengunjung termasuk para wartawan. Di antara para wartawan itu tampak Bersihar Lubis, Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Dharma juga Damiri Mahmud.

Acarapun dimulai. Saat kepala kantor pidato, saat itu proses pembesaran memasuki garis edar ereksi. Lantas ketika protokol meminta saya dan istri berdiri di depan dalam rangka menerima cindera mata dari Bupati, tak pelak lututku gemetar.

Meski begitu, istriku memapahku. Dan berbisik, “Anggap ini cuma mimpi, Kang. Tabah.” Saya mengangguk. Diiringi tepuk tangan pengunjung, langkahku ragu menapaki keramik ruang perpisahan. Dan, astaga, anuku ini kian aneh saat melewati barisan para pejabat. Juga keringatku kian kinclong-kinclong ketika saya berdiri menghadap Pak Bupati, membungkuk hormat, menyilangkan tangan di antara selangkangan paha.

Pak Bupati tersenyum menerima bungkuk hormatku. Tapi resletingku itu oh resletingku itu. Astaga! Robek! Mata hadirin terbelalak. ***

* Bandung, 1 Nopember 2011

0 comments:

Post a Comment