Pages

Thursday, 19 January 2012

Tembakan

Tembakan
Posted by PuJa on January 19, 2012
Aleksandr Pushkin (1799 – 1837)
diterjemahkan: Delvi Yandra
http://www.riaupos.co/

Ketika muda, aku adalah seorang tentara di angkatan darat. Kami tinggal di sebuah kota kecil. Hidup sungguh terasa membosankan. Tidak ada gadis-gadis. Hanya tentara yang saling bertemu setiap hari. Kami makan malam bersama, mabuk bersama dan bermain kartu bersama.
Sampai akhirnya seseorang datang menetap di kota kecil ini. Dia bukan seorang tentara, tetapi dia berada di angkatan darat. Dia bicara dan bertingkah seperti orang Rusia, tetapi dia punya nama Italia—Silvio.
Silvio adalah orang yang penuh rahasia. Dia punya banyak uang untuk dibelanjakan, tetapi dia hanya mengenakan pakaian usang dan tinggal di sebuah rumah yang kecil dengan dua kamar.
Silvio sering mengajak para tentara untuk makan malam bersamanya. Makanannya biasa saja, tetapi ada banyak sekali botol anggur di sana. Kami selalu membawa pulang minuman tersebut.
Tak seorang pun tahu dari mana Silvio berasal dan tak ada yang menanyakannya. Kami sedikit cemas pada Silvio.
Usianya tigapuluhlima tahun, yang mana bagi kami, terlihat sangat tua. Apalagi, dengan hobinya yang suka menembak itu. Dia memiliki banyak sekali koleksi pistol. Dia seorang penembak jitu dan tak pernah sekali pun sasaran luput dari tembakannya.
Kami yang muda ini sangat tertarik untuk berduel dengannya. Kami kerap membicarakan tentang duel. Kutanyakan padanya apakah dia pernah berduel. Dia menjawab dengan enteng, “ya” dan dia kembali diam. Aku menyadari bahwa dia tak ingin membicarakan hal itu. Barangkali dia telah membunuh banyak orang dalam duel.
Seorang tentara baru, datang di kota kecil ini. Kami mengajaknya untuk bertemu dengan Silvio, orang yang mengundang kami makan malam. Usai makan malam kami bermain kartu.
Kami meminum banyak sampanye. Kami semua mabuk. Tentara itu berbuat curang ketika sedang bermain kartu. Silvio menuduhnya sehingga membuat tentara itu marah.
“Apa kau menuduhku telah berbuat curang, pak?” Dia berteriak pada Silvio.
Silvio tampak naik pitam, tetapi dia diam saja. Ditatapnya tentara itu dalam keheningan.
Dengan cepat tentara itu meraih sebuah botol dan melemparnya ke arah kepala Silvio. Silvio lekas mengelak dan botol itu berderai di dinding di belakangnya.
Kami mengira Silvio akan menantang tentara itu untuk berduel. Namun hari berlalu dan tak ada apa pun yang terjadi. Kami terkejut. Dan kami lebih terkejut lagi ketika Silvio meminta maaf kepada tentara itu. apakah Silvio seorang yang pengecut? Mengapa Silvio tidak menantang tentara itu untuk berduel?
Aku, sendiri, menemukan rahasia Silvio. Tentara lainnya tak pernah belajar untuk jujur.
Jumat selalu menjadi hari yang menggembirakan. Kurir datang, mengantar surat-surat, paket dan suratkabar. Hidup sungguh membosankan ketika kami saling membacakan surat dan turut berdukacita pada tentara yang tak pernah menerima surat.
Silvio tak pernah menerima sepucuk surat pun. Tetapi pada Jumat yang lain, sepucuk surat datang untuk Silvio. Surat dari Saint Petersburg. Kubawakan surat itu untuknya. Dia segera merobek sampulnya dan membaca surat itu dengan cepat.
“Aku harus pergi malam ini,” katanya dengan gelisah. “Aku harus menyampaikan salam perpisahan kepada semua temanku. Tolong undang semua tentara untuk makan malam di sini pukul tujuh nanti.”
Kami pun datang ke rumah Silvio pukul tujuh malam. Tampak Silvio telah mengepak barang-barangnya ke dalam peti. Usai santap malam, dia menyampaikan salam perpisahan kepada kami satu per satu. Sambil menggenggam tanganku, dia berkata perlahan, “nanti aku ingin bicara padamu setelah yang lain pulang.”
Aku menunggu sampai semua tamu pulang. Kemudian Silvio mendekatiku dan berkata, “aku selalu menganggap kau adalah sahabatku. Kita mungkin tidak akan bertemu lagi, jadi aku ingin menceritakan kisahku padamu.”
“Kau ingat tentara yang pernah melempariku dengan sebuah botol?” Silvio mulai bercerita. “Kau pasti menduga aku akan menantang tentara itu untuk berduel, bukan? Mungkin kau berpikir aku seorang pengecut. Biar kujelaskan padamu. Aku tidak bisa membahayakan diriku sendiri. Enam tahun lalu aku memukul wajah musuh bebuyutanku. Orang itu masih hidup. Aku bersumpah untuk membunuhnya. Itulah mengapa aku tetap bertahan.”
“Apakah itu juga alasan kau pergi sekarang?” Aku bertanya.
Silvio hanya diam. Dia buka peti miliknya dan mengeluarkan sebuah topi tentara. Dia pasang di kepalanya. Aku melihat ada lubang bekas peluru di topi itu.
“Aku bekerja sebagai tentara kavaleri,” ujar Silvio. “Sewaktu muda, aku peminum berat dan petarung yang tangguh. Berduel di mana saja setiap hari. Aku tak pernah kalah dalam duel tersebut. Aku yang terbaik dalam segalanya.
“Namun seorang kaya raya, pemuda dari keluarga berada ikut dalam kavaleri. Dia cerdas, cakap dan berani. Dia juga penjudi yang beruntung. Seluruh gadis di Saint Petersburg tertarik padanya.”
“Sekonyong-konyong aku pun menjadi yang kedua. Lelaki itu tangguh dalam segala hal. Aku membencinya. Aku ingin membunuhnya.”
“Pada suatu malam, kami bertemu dalam acara makan malam. Aku ingin membuatnya marah. Aku berusaha bersikap kasar padanya. Dia dorong tubuhku dan menantangku berduel. Kami sepakat untuk bertarung dengan pistol di lapangan terbuka pada pagi esoknya.”
“Aku datang lebih awal. Dia terlambat. Dia berjalan sambil menertawakanku. Dia tampak sedang memakan buah ceri yang dia petik di jalan. Dia terlihat muda dan memesona dalam terpaan cahaya matahari pagi.”
“Kami melempar sebuah koin untuk menentukan siapa yang akan menembak lebih dahulu. Dia menang; tentu saja. Dia selalu beruntung.”
“Kami berdiri dalam jarak dua belas langkah. Diraihnya pistol dan menembak. Pelurunya menembus topiku. Seharusnya dia bisa membunuhku dengan mudah, tetapi dia melewatkannya.”
“Dan tibalah giliranku. Dalam jarak dua belas langkah, aku tidak mungkin luput. Dia tahu aku dapat membunuhnya dengan mudah. Tetapi dia berdiri di sana, memakan buah ceri, dan menertawakanku. Dia tampaknya tidak takut dengan kematian!”
“Tetapi aku tidak bisa membunuhnya. Kusarungkan pistolku. Kukatakan padanya agar jangan muncul lagi di hadapanku sampai saat kematiannya tiba. Aku akan menunggu sampai hari itu datang. Aku akan menemuinya lagi ketika aku tahu bahwa dia mencintai hidupnya. Pada saat itu, aku akan membunuhnya.”
Silvio terlihat pucat ketika dia mengakhiri ceritanya. Dia melihat ke arahku dengan mata yang menyala dan aku khawatir.
“Dan apakah saat itu adalah sekarang?” Tanyaku.
“Ya, ini adalah malam pernikahannya,” tukas Silvio.
Kami berjabat tangan. Aku tidak bisa melepas kepergian Silvio. Seperti ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi padanya. Suatu ketika, dia begitu hangat seperti api. Di waktu yang lain, dia terlihat dingin seperti es.
Silvio lekas menaiki keretanya dan pergi. Aku tak pernah melihatnya lagi.
***
Lima tahun kemudian, ayahku meninggal dunia. Aku memutuskan untuk menetap di kampung halaman. Tetanggaku adalah Tuan dan Nyonya Blagoy. Mereka menghabiskan liburan di Saint Petersburg.
Suatu hari, Tuan dan Nyonya itu mengunjungi kampung halamannya. Aku memutuskan untuk bertamu dan mengelilingi istana mereka yang luar biasa itu.
Seorang pelayan menyuruhku untuk menunggu di perpustakaan. Banyak sekali buku-buku dan lukisan di sana. Pandanganku tertuju pada salah satu foto yang tampak tak biasa. Aku mengamati foto itu ketika Tuan dan Nyonya pemilik rumah muncul.
“Apakah kau tertarik dengan fotoku?” Ujar Tuan itu.
“Ya, tuan,” jawabku. “Tetapi kenapa ada sebuah lubang peluru di dahi foto itu?”
“Itu bukan satu lubang, tapi dua,” jawab Tuan itu. “Peluru yang kedua menembus lubang yang pertama.”
“Sebuah tembakan yang luar biasa,” jawabku. “Aku kenal seseorang yang bisa menembak seperti itu. Dia penembak jitu terbaik yang pernah aku temui.”
“Dan siapa nama laki-laki itu,” Tuan itu bertanya.
“Namanya Silvio,” jawabku.
“Silvio!” Nyonya itu mendadak terkejut. Wajahnya menjadi pucat. Dia terduduk pada sebuah kursi. Tuan itu bergegas mendekat dan menggenggam tangan istrinya. “Aku tidak ingin mendengar nama laki-laki itu lagi!” Tukas Nyonya itu.
“Tetapi kita harus menjelaskannya pada tamu kita ini,” ujar Tuan itu. kemudian, sambil menatapku, dia berkata, “kami juga mengenal Silvio.”
Aku segera menyadari bahwa laki-laki inilah yang pernah berduel dengan Silvio. “Apakah Silvio menepati janjinya untuk membunuhmu?” Tanyaku.
“Ya, dia menepati janjinya,” jawab Tuan itu. “Lima tahun lalu dia berdiri di tempat kau berdiri sekarang.”
“Lima tahun lalu aku dan istriku menikah. Kami datang ke sini untuk berbulan madu,” lanjut Tuan itu. “Seorang pelayan bilang ada lelaki yang ingin bertemu denganku untuk urusan bisnis. Ketika aku tiba di perpustakaan, kudapati Silvio sedang menungguku. Dia datang untuk menuntaskan duel kami.”
“Silvio melempar sebuah koin untuk menentukan siapa yang akan menembak lebih dahulu. Aku menang, tetapi aku tak ingin mengawali kehidupan rumah tanggaku dengan pembunuhan. Tembakanku meleset di atas kepalanya, menembus foto yang ada di belakangmu itu.
Tibalah giliran Silvio untuk menembak. Seketika itu juga istriku mendengar suara tembakan yang pertama. Dia bergegas menuju perpustakaan. Dia melihat Silvio sedang menodongkan pistol ke arahku dan dihadangnya lelaki itu di depanku.
Lama sekali Silvio menatapku. Selanjutnya dia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Tampaknya dia mencintai istriku. Dia juga melihat bahwa aku tidak ingin mati. Lalu dia melakukan hal yang tak diduga-duga. Sebelum pergi, dia arahkan pistol ke fotoku. Dia tarik pelatuk dan pelurunya langsung mengenai dahi di foto itu. Pelurunya menembus lubang yang pernah kubuat sebelumnya. Kemudian dia pergi dan kami tak pernah bertemu lagi.
“Tuan tahu apa yang terjadi pada Silvio?” Tanyaku.
“Kami dengar dia terbunuh saat perang melawan Turki. Semoga Tuhan mengampuninya.”***
*) Aleksandr Sergeyevich Pushkin. Adalah seorang penulis terkenal Rusia di abad ke-19. Dia menulis banyak puisi dan juga cerpen. Dia dianggap banyak orang sebagai pendiri sastra Rusia modern dan seorang perintis bahasa vernakular dalam puisi-puisi dan dramanya. Cerpen di atas diterjemahkan oleh Delvi Yandra dari versi bahasa Inggris berjudul The Shot di kumpulan cerpen The Queen of Spades and Other Stories terbitan Dian Rakyat cetakan 2003.

0 comments:

Post a Comment