Tetralogi Pramoedya Ananta Toer dalam Materialisme Karl Marx
Posted by PuJa on January 12, 2012
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Sri Fitri Ana *
http://antropologiui.wordpress.com/
Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.
Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Mingke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.
Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.
Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Yang cukup menonjol pada naskah Nyai Ontosoroh adalah proses pembangunan karakter berdaulat yang mampu menghadapi dan melawan kekuasaan dengan tanpa mencabik-cabik integritas perorangan maupun kelas. Apalagi proses pembangunan karakter tersebut dikenakan pada konteks sejarah penjajahan, yang masih relevan dalam kajian sosial-budaya masa kini sekalipun.
Tokoh Minke lahir pada 1880, tepat seratus tahun yang lalu jika dihitung sejak terbitnya novel Bumi Manusia (This Earth of Mankind) untuk pertama kali. Minke lahir di era kolonialisme Belanda sedang gencar-gencarnya menyedot kekayaan alam dan tenaga manusia Nusantara, hingga memasuki kurun 300 tahun, dihitung sejak VOC memasuki perairan Batavia dan mendirikan kantor dagang berupa loji yang digunakan sekaligus pangkalan laut.
Van den Bosch dengan programnya yang tersohor: tanam paksa/ cultuurstelsel mulai bergulir pada 1830-an, Belanda usai meraih kemenangan dalam perang Jawa yang lebih termasyhur dengan perang Diponegoro. Program jenius si Bosch demi kejayaan Nederland Raya terus berlanjut dan semakin bervariasi tanaman-tanaman yang dibebankan pada kaum petani pribumi, hingga pada 1870 para petani harus menanami duapuluhlima persen dari lahannya dengan tanaman wajib, berupa vanili, tebu, kayu manis dan sebagainya sesuai permintaan pasar dunia. Dengan latar belakang keadaan pribumi yang tertindas seperti itulah, Pramoedya dalam buku ini mencoba menggelar kejadian di satu pojokan bumi manusia – manusia pribumi Jawa.
Minke memperkenalkan namanya yang unik, layaknya pemuda memasuki masa dewasa. Ia seorang pelajar di HBS Surabaya. Minke pelajar pribumi yang cemerlang hingga usai ujian akhir sekolah kelak di HBS dinobatkan sebagai siswa terpandai nomor satu HBS Surabaya, dan nomor dua untuk seluruh Hindia Belanda. Prestasi siswa pribumi Jawa yang mengagumkan di masa itu. Di masa kekuasaan kolonial itu pribumi belum mungkin menjadi nomor satu seluruh Hindia Belanda.
Tidak semua anak mampu boleh masuk sekolah tinggi, kecuali anak ningrat pribumi, atau anak pejabat pribumi yang boleh belajar di sekolah setingkat HBS. Kekecualian bagi anak totok Belanda dan peranakan yang disamakan dengan totok. Minke masuk HBS dengan dukungan neneknya, bupati Bojonegoro.
Prestasinya dalam jurnalistik dengan nama samaran Max Tolenaar menulis untuk surat kabar di Jawa Timur. Guru sastranya yang liberal dan progresif memuji-mujinya sebagai siswa kebanggaannya selama karirnya sebagai guru sastra. Pribumi menulis untuk surat kabar di jaman itu? Luar biasa di jaman itu. Hal itu dimungkinkan bermodal nama samaran seorang peranakan ia mengumumkan dirinya, karena bagi peranakan masih layak peluang untuk menulis dalam surat kabar.
Hasil penelitian residen Bojonegoro bahwa pribumi punya tingkat intelijensi sama derajat dibanding orang Belanda. Penelitian yang diilhami oleh teori asosiasi Dr. Snouck Hurgronje mempunyai thesis: dapatkah pribumi bersama-sama Belanda memerintah orang pribumi Hindia? Residen Bojonegoro sangat terkesan pada Minke, obyek penelitiannya.
Perbedaan antara orang Belanda dan pribumi; orang Belanda datang sebagai penjajah dan penakluk sedangkan orang pribumi jadi taklukannya. Ketidakadilah berlaku di tanah jajahan manapun, bagi pribumi lebih jelas lagi mengejawantah dalam hukum bertingkat-tingkat yang berlaku di Hindia Belanda. Tingkat tertinggi Belanda totok, di bawahnya timur asing, dan paling bawah adalah pribumi. Pribumi di depan hukum selalu kalah melawan Belanda dan sebaliknya.
Kisah Minke dengan kekasihnya Annelies di seputar kegiatan pabrik gula melibatkan Minke berhadapan dengan hukum yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Minke masih beruntung berkat previlium previgiatum (kekebalan hukum tingkat tertentu) yang dimilikinya, karena belajar di HBS Minke sederajat anak bupati. Annelies anak seorang administratur pabrik gula, Herman Mallema.
Nyai Ontosoroh alias Sanikem berbangga hati anak gadisnya punya teman seorang pemuda yang belajar di HBS. Bersekolah di HBS berarti setelah lulus nanti akan menduduki jabatan tertentu dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, atau meniti jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Hindia Belanda atau di Nederland.
Perjuangan kelas dalam Anak Semua Bangsa
Anak Semua Bangsa seri kedua tetralogi karya Pulau Buru diawali, “Kepergian Annelies ke Nederland menumpang sebuah kapal laut maskapai KPM. Seorang wanita totok mengawal si sakit Ann dalam kapal yang berlayar dengan kecepatan abad 18. Juga seorang agen Melayu diam-diam mengawal sang dewi. Dan Annelies pun menyadari ada seseorang yang menjaganya dengan baik dan melayani dirinya sebaik mungkin di perjalanan jauh itu.
Annelies belayar dipisahkan dari keluarganya, dari suami dan ibunda tercintanya dengan alasan hak asuh dimiliki oleh saudara tirinya lain ibu yang tinggal di Nederland. Saudara tirinya itu seorang anggota militer Kerajaan Belanda.
Saudara tirinya menjadi pewaris utama harta Herman Mallema yang berada di tangan Nyai Ontosoroh. Annelies tentu tidak mendapat bagian dari warisan itu berdasarkan hukum Belanda. Mengapa Sang saudara tiri itu ngotot ingin memelihara saudara tirinya yang nyata-nyata tidak bakal mengusik warisan itu? Dan pemerintah Nederland maupun Hindia-Belanda membiarkan saja seorang anak dalam keadaan sakit parah dipisahkan dari ibu kandungnya sendiri?
Minke dan Annelies menikah secara Islam. Kepergian Annelies ke luar negeri dipisahkan dari suaminya itu telah didengar oleh penduduk Wonokromo dan Surabaya. Maka mereka terutama orang-orang Madura itu pun mengirimkan sepasukan penduduk tanpa senjata guna menghadang kereta Gubermen yang hendak meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh. Pemerintah kolonial Belanda yang kewalahan akhirnya mengirim pasukan khususnya Marsose untuk menindas orang-orang yang memberontak itu.
Pertentangan kelas penguasa (borjuis) melawan kelas rakyat jelata pun (proletar) terjadi. Pertentangan kelas pribumi terjajah melawan kelas bangsa penjajah (imperialis) terjadi.
Feodalisme dalam Jejak Langkah
Siti Sundari aktivis yang seafiliasi dengan Semaoen, dan Mas Marcokartodikromo asisten khusus Redaksi Medan Prijaji yang dipimpin Minke itu semuanya saja menyebarkan opini menghasut massa untuk menentang dominasi kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Mas Marco pernah sekali menulis tajuk yang ngawur sehingga membikin berang pemerintah kolonial – waktu itu Minke sedang dinas luar.
Siti Sundari perawan yang sudah cukup umur untuk menikah dan berumah-tangga ini anak seorang aparat pemerintah berpangkat wedana di Jawa Tengah. Belanda yang halus dibandingkan Orde Baru melalui kepanjangan tangannya berusaha mempengaruhi sang ayah sehingga jabatannya menjadi taruhan dalam kemampuannya sebagai orang tua mengendalikan sepak terjang anak gadisnya yang mendahului jamannya.
Semaoen lain lagi karena dia seorang anak angkat Belanda totok. Jadi tidak mudah untuk mengendalikan sepak-terjangnya yang sudah sampai pada memimpin kaum buruh transportasi kereta api. Di masa orde baru para pejuang muda dalam mendongkel kekuasaan Orde Baru mengumpulkan dan mempengaruhi massa para pekerja pabrik. Buruh pabrik swasta itu merupakan kekuatan proletar seperti dalam teori-teori marxisme sebagai massa kuli yang harus merebut alat produksi. Mereka tidak pernah berusaha merebut pabriknya sendiri akan tetapi rewel untuk minta kenaikan gaji atau mogok dengan tuntutan perbaikan nasib.
Maklumlah sektor semacam buruh kereta api semasa orde baru sangatlah sulit untuk diorganisir dibandingkan buruh pabrik yang merupakan simbol proletar itu. Juga untuk mengadakan rapat terbuka di masa Orde Baru lebih sulit lagi dibandingkan di masa kekuasaan Belanda yang bisa dianggap cukup beradab. Aparat intel Orde Baru demikian canggihnya menjangkau hingga desa terpencil, mirip struktur intel Jepang yang kejam Kenpeitai. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka untuk pembaruan daripada pemerintah pendudukan Jepang maupun pemerintah Orde Baru. Wajarlah Belanda mampu berkuasa selama tiga setengah abad di Nusantara. Kolonialis Belanda harus menyerahkan kedaulatannya kepada Jepang karena terlibat peperangan sedangkan Orde Baru masih tetap tegak sampai detik ini hanya berubah julukannya menjadi Orde Reformasi yang wataknya sama saja. Bedanya sekarang orang bicara bebas dan menulis bebas asalkan mau bertanggung jawab atas perbuatan dan tulisan sendiri. Dan karena bebas berbicara dan menulis itulah sebagaimana watak aslinya orang Nusantara ialah ngeyel bin ngengkel alias ngotot terus menganggap dirinya yang paling benar. Itulah kelemahannya Pribumi yang baru belajar mengecap kebebasan mengeluarkan isi hati dan isi kepalanya.
Rumah Kaca
130 tahun silam, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan Biro Khusus yang ujungnya terbentuknya gerombolan bebas hukum alias mendapat perlindungan hukum secara klandestin dari pejabat kolonial. Gerakan gerombolan atau organisasi massa tidak resmi ini didalangi oleh oknum tertentu yang berlatar pejabat pemerintah demi kelanggengan kekuasaan kolonial, salah satu kepanjangan tangan Biro Khusus adalah de Zweep. Tugas pokok De Zweep adalah menghadang Pribumi yang berpikiran dan bertindak yang bisa membahayakan tatanan negeri jajahan di seberang lautan. Dalam masa Gubernur Jenderal Idenburg, de Zweep merajalela di Bandung.
Salah satu Pribumi maju di dunia pers dengan membantu rakyat miskin yang tertindas oleh pemerintah yakni Minke menjadi menjadi bulan-bulanan de Zweep yang bertindak berdasarkan perintah pejabat Algemeene Secretarie Pangemanann, De Zweep yang dipimpin Robert Suurhof menyimpan dendam pribadi terhadap Minke.
Ya, de Zweep yang kemudian hari berganti nama lain itulah secara tidak langsung adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda dalam memberantas pemberontakan para intelektual Pribumi, Minke malang-melintang dalam dunia pers yang tentu saja sulit dihadapi terbuka yakni dengan dasar hukum yang cocok karena itu sudah menyangkut pelanggaran atas kemerdekaan pers,
De Zweep dalam era reformasi ini bermetamorfosa dalam gerombolan baru berbentuk organisasi massa. Organisasi massa yang terdaftar resmi itu selalu hadir di mana ada gerakan komunis mulai tumbuh. Organisasi semacam itu yang cukup banyak jumlahnya juga hadir di tempat-tempat maksiat atau tempat orang menenggak minuman keras. Tampaknya bertindak demikian memang lebih praktis dan efektif langsung ke sasaran, bagi kepentingan oknum tertentu. Organisasi yang mirip gerombolan de Zweep di masa kolonial ini beroperasi layaknya gerombolan yang bertindak tanpa dasar kekuatan hukum alias main hakim sendiri. Dasar alasan hukum agama menjadi tameng untuk segala tindakan di luar hukum mereka, para ormas itu.
Salah satu munas gerombolan itu diadakan di sebuah kota sejuk tidak jauh dari ibukota. Dalam sebuah gedung milik punggawa Partai besar. Apa hubungan partai besar dan gerombolan De Zweep baru itu? Mungkin gerombolan de Zweep baru ini sekadar menyewa gedung atau bisa jadi adalah tukang pukul bagi siapapun yang kuat membayar dan mau mempergunakan keahlian mereka bertindak di luar hukum dengan bertameng gerakan agama tertentu. Tameng hukum agama tertentu memang tepat untuk jaman sekarang, terutama menghadapi gerakan komunis yang memiliki dasar filsafat materialis.
De Zweep di masa kolonial terutama memiliki anggota peranakan Eropa yang anti-pribum, De Zweep modern memiliki anggota penganut agama tertentu. Yang pertama di atas dipergunakan untuk memberantas gerakan rakyat Indonesia yang berusaha merdeka, berusaha bebas dari cengkeraman kekuasaan kolonial. Sedangkan yang kedua dipergunakan untuk memberantas kemaksiatan dan juga gerakan komunis yang berusaha bangkit dari liang kubur, karena dianggap sebuah gerakan yang ingin menumbangkan kekuasaan pemerintah. Tidak hanya kemaksiatan yang diserbu oleh de Zweep modern, juga aliran-aliran lain daripada agama tertentu yang dianggap tidak menjunjung aqidah. Mampukah de Zweep modern membendung kemajuan jaman? membendung sejarah perjuangan kelas? Jadi, para anak wayang bersiap-siaplah bersedia payung sebelum memulai gerakan apapun yang mengusik kekuasaan.
Pengaruh Marxisme-leninisme dalam Kesusastraan Indonesia
Di Indonesia, ajaran marxis ditentang keras oleh pemerintahan pada masa sebelum kemerdekaan dan pada masa Orde Baru. Namun tidak begitu halnya bagi para sastrawan indonesia. Ada banyak karya sastra Indonesia yang memuat ajaran marxis yang berbentuk novel, roman, dan puisi. Pada masa kolonial Belanda, novel-novel yang mengandung ajaran marxis disegel pemerintah dan dianggap sebagai bacaan liar atau bacaan terlarang bagi rakyat. Novel-novel tersebut misalnya Student Hijo karya Mas Marco, Hikayat Kadiroen karya Semaoen, dan sastra peranakan china lainnya seperti Teko jepang, Soe Hoek Gie, dan lainnya. Pada masa pemerintahan Orde baru misalnya novel Putri karya Putu Wijaya, novel-novel Pramoedya Ananta Tour, roman Atheis karya Achdiat K, dan lainnya.
Dalam novel Bumi Manusia memang terlihat adanya kelas-kelas. Novel tersebut berusaha membawa generasi muda ke dalam rangka pemikiran mereka yang merupakan pertentangan kelas.
Kesalahpahaman inilah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran Marx dianggap menakutkan oleh semua orang, terutama oleh masyarakat yang memiliki trauma politik akibat komunisme, seperti Indonesia. Padahal sepanjang sejarah sebelumnya, Marx memiliki atribut positif dalam masyarakat, yaitu bapak dan guru sosialisme modern, ekonom, dan sosiolog. Hampir semua pemikiran besar modern bidang ekonomi maupun sosiologi dipengaruhi pemikiran kefilsafatan Marx.
Materialisme pada dasarnya merupakan bentuk yang paling radikal dari paham naturalisme (L. Santoso, dkk, 2006 : 38). Menurut William R. Dennes, seorang naturalis, ketika naturalisme modern berpendirian bahwa apa yang dinamakan kenyataan pasti bersifat kealaman, maka kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami manusia. Satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada (Katsoff, 1992: 216-218). Materialiseme merupakan bentuk naturalisme yang lebih terbatas dan sempit.
Materialisme Karl Marx berpegang teguh pada pendapat bahwa kenyataan benar-benar ada secara objektif, tidak hanya ada dalam ide-ide kesadaran manusia. Karl Marx mengartikan materialisme dialektik sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus, yang memunculkan suatu keadaan akibat adanya pertentangan-pertentangan.
Jadi, dalam filsafat materialisme Marx muncul pemahaman bahwa kenyataan memunculkan kesadaran manusia, yang berarti memunculkan pengetahuan sebagai salah satu bentuk kesadaran. Materi memunculkan ide, dan dunia objektif adalah bahan dasar bagi munculnya pengetahuan manusia. Tanpa materi, maka kesadaran manusia tidak terbentuk, dan tanpa bahan dasar, maka indera manusia tidak memperoleh apa-apa.
*) Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia /June 7, 2011
Dijumput dari: http://antropologiui.wordpress.com/2011/06/07/tetralogi-pramoedya-ananta-toer-dalam-materialisme-karl-marx/
0 comments:
Post a Comment