Pages

Monday 13 February 2012

Antitesis Revolusi dalam Pikiran Rendra "Langgeng Prima Anggradinata"

Antitesis Revolusi dalam Pikiran Rendra

oleh Langgeng Prima Anggradinata*

Jose Fernandez Diaz seolah-olah hadir melalui Guantanamera. Musik latin mengalun tetapi aksen etnik Indonesia tampak di sana-sini. Sebuah distrik di salah satu negera Amerika Latin pun tiba-tiba saja terbangun. Jose Karosta (Totenk Mahdasi Tatang) muncul dari tepi panggung. Ia membacakan sajak—sebuah soliloqui—untuk menanggapi situasi yang akhir-akhir ini bergolak di negaranya. Dari berbagai arah mahasiswa-mahasiswa datang dan bertanya-tanya tentang revolusi.
Menyadari sebuah gerakan massa tengah bergeliat, Max Carlos (Awan Sanwani) penguasa tiran memerintahkan militer untuk mengendalikan keadaan, meredam riak-riak gerakan tersebut melalui kampus yang berdiri sebagai pusat gerakan intelektual progresif. Kolonel Rodrigo Santos (Melfry Hehijary) bergerak melalui dekrit Max Carlos.
Keadaan politik semakin memaksa setiap orang berpikir untuk meraih kebebasan, termasuk para mahasiswa yang dipimpin Juan Frederico (Angin Kamajaya). Mereka bersepakat untuk membuat satu kekuatan nasional untuk menjalankan Revolusi Semesta Berencana sebuah teori revolusi Prof. Topaz.
Jose Karosta terperangkap dalam situasi itu. Baginya jalan keluar untuk menuju pada gerbang perubahan dan kesejahteraan rakyat hanyalah melalui kebudayaan. Revolusi hanya akan melahirkan penderitaan dan tiran baru.
Begitulah kira-kira cerita yang terdapat dalam reportoar “Mastodon dan Burung Kondor” karya WS Rendrayang disutradarai oleh Ken Zuraida Kamis (12/01/2012) di Aula Sanusi Hardjadinata Universitas Padjajaran, Bandung. Pementasanteater yang diproduseri oleh Ganjar Kurnia (Rektor Unpad) ini mencoba mengungkapkan hal-hal yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, di mana gerakan-gerakan massa yang bermula dari kampus dan desa (daerah) banyak bergejolak menuntut perubahan dan kesejahteraan.
Pementasan teater yang telah digelar di Jakarta dan Surabaya ini berupaya memaparkan ide-ide revolusi, perubahan, pembangunan, dan kesejahteraan dari sudut pandang gerakan mahasiswa, militer, kebudayaan, dan agama. Berbagai sudut pandang tersebut di satu sisi saling bernegasi sementara di sisi lain  saling mencerahkan, menjadikan teater ini kaya akan gagasan dan pesan. Kemudian gagasan perubahan melalui kebudayaan menjadi antitesis dari teori revolusi Marxisme klasik dan atau Stalinismeyang menekankan pada gerakan massa bersenjata, pergerakan kaum proletar, petani dan buruh. Reportoar yang pernah dilarang pentas pada tahun 1973 dibeberapa kota ini menawarkan gagasan baru mengenai perubahan yang dapat dilaksanakan melalui kebudayaan bukan dengan kekerasan atau perang.
Melalui Jose Karosta pikiran Rendra tentang perubahan mengalir melalui dialog-dialog yang represif, propagandis, dan bertenden. Ia mengungkapkan bahwa revolusi melalui kekerasan hanya akan melahirkan tiran dan penderitaan baru. Perubahan harus dimulai dari kebudayaan sebab kebudayaan merupakan akar tatanan kehidupan manusia. Kemudian perubahan pada hal-hal yang mengakar tersebut akan menciptakan perubahan sejati dan menyeluruh. Hal ini berbeda dengan Marxisme yang menempatkan sistem ekonomi sebagai basis dari komponen-komponen superstruktur (pendidikan, kebudayaan, sosial, dll). Untuk menghasilkan perubahan yang menyeluruh,perubahan sistem ekonomi merupakan hal yang mutlak.
Sejak awal lakon ini memberikan pemahaman-pemahaman tentang politik dan kebudayaan yang disampaikan melalui dialog yang represif dan tendensius. Hampir sebagian besar dialog mengandung pesan-pesan dan ajaran-ajaran. Nampaknya, pementasan ini memegang teguh pada prinsip teater sebagai propaganda.
Bentuk-bentuk visual sangat minimal untuk kemudian dijadikan simbol maknaistik yang mengarah pada penafsiran tertentu. Lakon ini sepenuhnya menggunakan media aktor dan dialog sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasan. Hal ini merupakan ciri khas Rendra dalam berbagai karya sastranya yang cenderung terang dan lugas. Ken Zuraida berupaya dan berhasil mempertahankan ciri khas tersebut dan itu adalah sebuah pilihan.
Pilihan ini bukan tanpa resiko, penumpuan sepenuhnya gagasan melalui aktor dan dialog dapat berimplikasi pada ketahanan penonton dalam mencerna lakon ini. Kemungkinan runtuhnya ketahanan penonton dalam menyaksikan lakon yang berdurasi kurang lebih 2 jam 40 menit ini cukup besar. Dialog-dialog yang “menyerang”dan agitatif dapat menimbulkan efek psikologis penonton yang kemudian bisa berujung pada kejumudan apabila dinamisasi ceritanya tidak terjaga.
Secara unsur fisik dramatik (penataan artistik, properti, kostum, dan lampu yang digunakan) teater ini cukup modern. Lakon ini menggunakan level-level untuk memperkuat konfigurasi atau  tipografi pertunjukan, membangun dimensi ruang panggung, sekaligus mendukung eksplorasi dan variasi blocking aktor-aktornya. Sebab pada dasarnya dalam lakon yang didukung sekurangnya 22 aktor ini membutuhkan ruang-ruang panggung yang memadai dan penyiasatan blocking yang cukup tepat. Blocking menjadi prioritas dalam membangun kekuatan visual dan aktor dalam lakon ini. Hal tersebut bisa jadi dapat meminimalisasi kejumudan visual pertunjukan itu sendiri.
Pencahayaan dalam pertunjukan ini didukung puluhan buah lampu modern dan berdaya ribuan watt. Namun, sayangnya pencahayaan hanya optimal dalam membangun ruang panggung dan penanda waktu. Namun, aktor tidak melihat cahaya itu sebagai sebuah ruang. Pencahayaan nampaknya tidak terlalu signifikan dalam membangun suasana dan atau psikologis tokoh dalam pertunjukan apalagi mengutuhkan adegan. Kostum tiap aktor dikonsep modern dan begitu ekspresif. Hal tersebut untuk menciptakan ciri khas tiap aktor sehingga aktor dapat berdiri kukuh sebagai pribadi yang kuat, ekspresif, dan beraneka ragam dalam pertunjukan.
Namun segala “kemodernan” itu, teater ini tetap mempertahankan ciri khas Rendra—yang mungkin juga digunakan pada pementasan tahun 1973—yaitu sebuah teater yang pampletis, kolosal, dan menggunakan bahasa (dialog) sebagai kekuatan utama selain aktor. Penyuntingan naskah untuk dipadatkan atau lebih didinamisasi melalui simbol-simbol tertentu—yang mungkin akan berimplikasi pada durasi pertunjukan—agaknya tidak dilakukan oleh sutradara. Namun, agaknya Ken Zuraida memilih ini untuk mengutuhkan dan mempertahankan ciri khas Rendra dan  untuk menghindari makna-makna aritivisial, klise, terlebih obscurity dalam pementasannya.
Musik menjadi cara sutradara untuk meminimalisasi resiko-resiko kejumudan penonton yang sangat mungkin terjadi. Melalui tangan S. Lawe Samagaha, musik dalam lakon ini bergitu impresif dan kaya, memperkokoh lakon ini sebagai teater kolosal. Sedikitnya sebelas lagu mengiringi lakon ini dalam usaha memperkuat suasana dan peristiwa. Sentuhan-sentuhan etnik mewarnai ilustrasi musik dalam lakon ini dan cukup berhasil menggambarkan suasana dan peristiwa.
Banyak media yang menilai bahwa Totenk Mahdasi tidak cukup kuat sebagai aktor. Ia yang berperan sebagai tokoh utama Jose Karosta seperti menjadi “Rendra baru” dalam pementasan ini. Agaknya hal tersebut berlebihan, namun itulah yang terjadi. Hal tersebut wajar apabila menganggap bahwa Jose Karosta merupakan perpanjangan pikiran-pikiran Rendra dalam lakon ini. Hal ini menyebabkan keterjebakan aktor dalam menentukan karakteristik atau ciri khas. Akhirnya, aktor sulit untuk keluar menjadi pribadi yang lain, bebas dari Jose Karosta sebagai perpanjangan pikiran dan bahasa tubuh Rendra.
Persoalan ini merupakan fenomena umum yang disebut lifelikeness atau kesepertihidupan dalam karya sastra. Penonton selalu memiliki acuan atau referensi terhadap seorang tokoh yang kuat. Misalnya, tokoh Anwar dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja yang selalu dikaitkan dengan Chairil Anwar atau tokoh Kartini dalam novel yang sama yang selalu dikaitkan dengan R.A. Katini. Namun, persoalannya sejauh mana aktor berupaya untuk keluar dari patron-patron itu, itulah yang paling penting (Nurgiyantoro, 2008).
Kebudayaan menjadi antitesis dari revolusi, itu mungkin saja. Mungkin-tidak mungkin teater ini menjadi pelecut perubahan seperti yang terjadi pada novel Sir Walter Scott dan novel Harriet Beecher Stowe yang berjudul Uncle Tom’s Cabinyang menyebabkan perang sipil anti perbudakan(Miller, 2002). Namun yang paling mungkin dan penting ialah menjadikan reportoar ini sebagai teater yang kaya makna dan inspiratif bagi perjuangan massa. Teringat ungkapan seorang penyair asal Inggris bahwa ketika negara tidak dipimpin oleh seorang tiran maka opini publiklah yang menjadi pemimpin. Dan teater ini telah menjadi bagian opini publik itu.
Apresiasi setinggi-tingginya pantas diberikan kepada Ken Zuraida Project yang telah mementaskan naskah masterpiece Rendra ini. Pertunjukan ini menjadi pencerah di tengah kondisi sosial masyarakat yang semakin kompleks dengan persoalan-persoalan politik, ekonomi, konflik agraria, serangan budaya konsumerisme dan hedonisme, serta bertumbuhnyateater yang cenderung kurang mencerahkan seperti teater musikal yang mahal itu.[]

salah satu adegan pertunjukan teater "Mastodon dan Burung Kondor" (foto Taufik Darwis)

Langgeng Prima Anggradinata–dilahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Kelompok teater Black Rose Theatredan Arena Studi Apresiasi Sastra ASAS. Bekerja sebagai wartawan foto di salah satu media online. Puisi, cerpen, dan artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Radar Banten, Jurnal Bogor, Radar Tasikmalaya, Harian Global Medan, Jurnal Raja Kadal, Bulletin Literat, Bulletin Hysteria, dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media on-line (Anaksastra.blogspot.com, situseni.com, dan kompas.com).

0 comments:

Post a Comment