Pages

Tuesday, 7 February 2012

Download Koleksi Novel Pramoedya Ananta Toer

BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Hoakiau di Indonesia
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang .
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Multikulturalis
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berikut beberpa koleksi Novel Pramoedya Ananta Toer:
Arok Dedes

SINOPSIS

Arok Dedes menceritakan sejarah perlawanan dan pemberontakan Ken Arok terhadap pemerintahan akuwu Tumampel, Tunggul Ametung.
Dalam buku ini, Pram secara jelas mengungkap kondisi sosial politik pada masa itu. Novel ini mencoba memberikan suatu perspektif baru terhadap sejarah dengan menggambarkan Ken Arok bukan hanya seorang berandalan pemberontak ,seperti yang banyak dikatakan buku pelajaran sejarah, tetapi disini diceritakan bahwa Ken Arok adalah seorang pemimpin rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan yang menindas.
Novel ini juga menggambarkan kondisi pemberontakan yang terjadi di dalam suatu negara atau kerajaan yang sarat dengan intrik politik.


Download





Manggir (Naskah Drama)





SINOPSIS

Ketika Majapahit runtuh (1527), Jawa menjadi daerah yang tidak bertuan dan tidak mengenal satu kekuasaan tunggal. Pada saat yang bersamaan pula, Wali Sanga mulai menyebarkan Islam melalui pesisir Utara dan Portugis telah datang ke Sunda Kelapa.

Kekuasaan tak berpusat tersebar praktis di seluruh Jawa, menyebabkan keadaan kacau balau. Perang yang terus menerus untuk merebut kekuasaan tunggal membuat Pulau Jawa bermandikan darah. Sehingga yang muncul di Jawa adalah daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan sistem demokrasi desa, dengan penguasanya yang bergelar Ki Ageng. Adalah Ki Ageng Pamanahan menguasai Mataram dan mendirikan Kota Gede pada 1577. Kemudian Panembahan Senapati, anak Ki Ageng Pamanahan naik menjadi Raja Mataram.

Saat bersamaan muncul pula sebuah daerah Perdikan Mangir dengan pemimpinnya yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya. Seperti layaknya daerah-daerah lain di Jawa, pertempuran perebutan kekuasaan pun tidak terelakkan, demikian pula antara Mangir dan Mataram. Hal ini sangat dimungkinkan karena letak Perdikan Mangir dan Mataram yang sangat berdekatan, sekitar ± 30 km. Maka persaingan antara dua kekuasaan tersebut menjadi tidak terelakkan lagi, terlebih dengan usaha penggenapan janji Ki Ageng Pamanahan kepada Joko Tingkir (Sultan Hadi Wijaya) untuk menguasai sepenuhnya Mataram.

Pada akhirnya Mangir kalah setelah Ki Ageng Mangir mati di tangan Panembahan Senapati sewaktu menghadap bersama Sekar Pembayun dalam sebuah perkawinan rekayasa yang dibuat oleh Mataram dalam rangka menghancurkan kekuasaan Mangir dan daerah-daerah lain yang turut membantu Mangir, dan pada 1581 Ki Ageng Pamanahan berhasil menguasai Mataram (dan sekitarnya).


Download


Gadis Pantai




SINOPSIS

Buku ini menceritakan nasib seorang wanita yang lahir di sebuah kampung nelayan di pantai utara Jawa, dekat kota Rembang.
Pada umur 14 tahun dia dinikahkan dengan seorang pembesar asal Bima. Pembesar itu Bendoro, tidak menghadiri upacara pernikahan sendiri, hanya diwakili sebilah keris. Gadis itu tidak mau pindah ke rumah mewah di kota itu, tapi terus diantarkan orang tuanya yang berpikir Gadis Pantai akan hidup berbahagia dan nyaman di sana. Di rumah Bendoro tersebut ada seorang pembantu tua yang mengajarkan kepada Gadis Pantai segalanya yang harus dia tahu dan lakukan untuk memelihara kenangan suaminya. Gadis pantai yang namanya diganti jadi Mas Nganten, dan pembantu tua itu saling menyukai. Selain dia tidak ada orang pun di rumah itu yang peduli pada Mas Nganten yang merasa sangat sendirian. Suaminya mengunjungi dia jarang saja. Sesudah pembantu mengkritik anak-anak yang ada di rumah, dia diusir walaupun sudah bekerja di rumah itu bertahun-tahun. Pembantu berikutnya ternyata sangat sombong dan jahat dan Mas Nganten merasa terancam.
Akhirnya dia sadar bahwa pernikahan dia hanya percobaan saja dan bahwa suaminya akan menikah lagi dengan wanita segolongan. Gadis pantai mendapat ijin untuk mengunjungi orang tuanya di kampung. Disitu dia mengalami perubahan perilaku orang kampung terhadap dirinya. Dia dianggap Bendoro, priyayi bukan orang kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan buat Gadis Pantai. Waktu dia sudah tinggal di kota selama tiga tahun, dia melahirkan bayi perempuan. Beberapa saat kemudian dia diusir dari rumah Bendoro. Bayinya tertingal disana. Begini berakhir kisah si Gadis Pantai.
Kisah berlangsung pada awal abad ke-20 dan menggambarkan hal-hal masyarakat pada saat itu. Memang masih ada perbedaan antara golongan-golongan sekarang juga, tetapi pada waktu itu orang biasa tidak punya hak apapun dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Pramoedya Ananta Toer melukiskan keadaan dan suasana baik kota baik kampung dengan tajam. Penjelasan sifat dan pikiran-pikiran tokoh dan lingkungannya membuat pembaca sempat mengenal mereka seolah-olah dalam kenyataan.
Bahasanya deskriptif, namun buku ini tidak sulit untuk dibaca karena ada banyak dialog dan ceritanya menggairahkan. Saya sudah membaca beberapa karya Pramoedya Ananta Toer, tapi Gadis Pantai adalah yang paling enak dan menarik, menurut pendapat saya.


Perburuan


SINOPSIS

Ini novel Pramoedya yang pertama. Kemunculan Perburuan dalam arena persuratan Melayu (bermaksud : Indonesia dan Malaysia) satu kejutan menurut A Samad Said, Sasterawan Negara Malaysia. Pak Samad menyamakan fenomena ini sama seperti munculnya Atheis (Achjadiat), Merahnya Merah (Iwan Simatupang), dan kemudiannya Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman El-Syirazy). Cuma saya menyahlis kan Ayat-ayat Cinta untuk memberi laluan kepada Tetralogi Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

Perburuan ialah kisah seorang anak muda, Hardo, yang diburu tentera Jepun kerana terlibat dengan pemberontakan.

Perburuan dibangunkan di atas empat babak yang mewakli empat plot. Novel ini pendek, hanya sedikit lebih panjang dari Bukan Pasar Malam. Namun, saya teruja dengan daya dan gaya Pram mengungkapkan perasaan diburu dan semangat untuk berjuang melalui watak Hardo.
‘Plot novel ini menggabungkan bermacam pertentangan : cinta dan benci, setia dan belot, gembira dan sedih’.

Membaca novel ini terasa seperti ditipu pada babak pertama. Hardo yang diajak pulang, enggan walau dipujuk berkali-kali. Ternyata pujukan itu hanya satu muslihat untuk menangkapnya.

Sama seperti Amilah dalam Keluarga Gerilya yang memahari anak daranya kerana tidak pandai menjaga harta (pakaian) sehingga hilang. Dihujung cerita barulah pembaca faham, bukan pakaian itu hilang, sebaliknya telah dilelong oleh Amilah yang sudah nyanyuk.

Sekali lagi kredit buat Pram, yang ternyata bukan sahaja berjaya mengangkat tema yang besar (manusia dan kebebasan), bahkan seni bercerita Pram juga sangat halus dan tinggi.



Download format untuk membuka file DJVU
Drag file yang akan dibuka

0 comments:

Post a Comment