Pages

Friday, 3 February 2012

Komoditas Pertanian di Dalam Sastra Aceh


Komoditas Pertanian di Dalam Sastra Aceh
Posted by PuJa on February 3, 2012
Andreas Maryoto, Mahdi Muhammad
http://regional.kompas.com/

Sawah indah membentang tak jauh dari pantai. Pohon pinang tegak lurus berdiri di kebun-kebun rakyat di dataran tinggi. Tanaman tebu mudah ditemukan di rumah-rumah warga. Di dataran yang lebih tinggi, kebun kopi terlihat rata menghijau.
Pertanian begitu dekat dengan mereka. Sejak lama seniman Aceh pun terinspirasi oleh keindahan dan kehidupan di dalam masyarakat pertanian tersebut.
”Basisnya memang masyarakat agraris, sehingga masyarakat mengambil idiom-idiom pertanian. Sesuatu yang paling dekat dengan mereka. Benda-benda itu dekat dengan kehidupan mereka,” kata antropolog dari Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya.
Setidaknya semboyan atau ungkapan masyarakat Aceh di atas mewakili dunia dan alam pikiran mereka.
Dalam berbagai karya sastra Aceh, karya sastra yang berkembang di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, kita mudah menemukan berbagai komoditas pertanian, mulai dari padi, tebu, pinang, kelapa, sirih, lada, hingga kopi. Berbagai komoditas pertanian itu terdapat di dalam karya-karya sastra, mulai dari hikayat, pantun, mantra, sampai puisi dan prosa.
Mulanya, Kerajaan Aceh adalah kerajaan maritim. Mereka sangat bergantung pada impor komoditas pertanian, terutama beras. Pengelana Eropa yang sempat ke Aceh pada abad ke-17 mengatakan, sebenarnya tanah di Aceh subur, tapi penduduk tidak ada yang mau bertani. Mereka lebih menyerahkan usaha tani kepada budak.
Pada masa Iskandar Muda (1607-1636), dia melakukan invasi ke beberapa wilayah untuk mendapatkan kepastian pasokan beras sehingga stabilitas politik bisa dijaga.
Beberapa karya sastra berlatar belakang dunia maritim, seperti karya Hamzah Fansuri-sastrawan yang terkenal pada abad ke-17, yaitu Syair Perahu, serta epos Hikayat Malem Dagang, yang juga berlatar belakang maritim. Beberapa karya sastra lainnya bertema perang.
Tak jelas kapan persisnya dunia pertanian mulai menjadi perhatian seniman Aceh. Tapi, diperkirakan jauh sebelumnya sudah ada akar karya sastra yang berisi dunia pertanian di sana. Bila kemudian muncul hikayat dan karya sastra lainnya yang bermetrum Persia, maka diduga ada pertemuan antara ”cara menyajikan” dan isi sajian.
Dalam konteks itu, ada pertemuan antara metrum sastra yang mendapat pengaruh dari negeri Persia, yaitu syair dengan isi dari karya sastra yang menggambarkan dunia agraris yang dipengaruhi tradisi setempat.
Asal-usul tari Saman bisa jadi merupakan gambaran kemungkinan pertemuan dua kebudayaan. Para pengelana dari berbagai bangsa yang melalui Selat Malaka kerap singgah di beberapa pantai di Aceh. Pada malam hari, mereka melihat kelompok penduduk pribumi di pedalaman yang bernyanyi, bertepuk tangan, dan menepuk paha sambil berlutut.
Rismawati (2009), dalam tulisannya di buku Hikayatologi Aceh-mengutip salah satu sumber-menyebutkan, ada ulama Tengku Syeikh Saman pada awal abad ke-14 yang mendatangi penduduk pedalaman dan menggunakan tarian itu sebagai media untuk mengajarkan Islam. Pertemuan kebudayaan seperti ini sangat mungkin terjadi dalam karya sastra. Pertemuan-pertemuan kultur saat Aceh memperluas wilayah sangat mungkin juga memengaruhi jenis dan isi karya sastra.
Dalam disertasinya JJCH van Waardenburg-yang berjudul De Invloed van den Landbouw op de Zeden, de Taal, en Letterkunde der Atjehers-mencatat beberapa karya sastra yang sepenuhnya bertema pertanian. Misalnya, Hikayat Asay Padé yang bersisi asal-usul tanaman padi, Hikayat Padé yang berisi petunjuk yang harus diperhatikan petani dalam hal menanam padi, dan Hikayat Ranto yang berisi kehidupan petani lada di Aceh barat.
Ada juga hikayat yang berisi soal pertanian, tapi bukan merupakan pokok cerita, yaitu Hikayat Pocut Muhamat.
Komoditas lainnya terdapat di dalam beberapa karya sastra, seperti sirih di dalam Hikayat Tujoh Ulee, kelapa dan pinang di dalam Hikayat Malem Diwa, tebu di dalam Hikayat Raja Bada dan Hikayat Pocut Muhamat, serta lada di dalam Hikayat Juhan Meusapi.
Sastra modern
Di dalam karya sastra modern seperti puisi dan prosa, komoditas pertanian juga masih muncul. Beberapa sastrawan, seperti To’et (Abdul Kadir) dan Sali Gobal, masih menyebut komoditas pertanian di dalam karya-karyanya. Keduanya meninggal tahun lalu.
”Sastrawan menyebut sejumlah komoditas pertanian dan juga dunia pertanian untuk menggambarkan keindahan, semangat gotong royong, cara-cara mensugesti perasaan, hingga teknik bertani,” kata sastrawan Aceh, LK Ara.
Ara menyebutkan, To’et kerap berbicara soal padi. Ia mengambil latar belakang sawah dan padi untuk menggambarkan keindahan sebagai penawar hati yang sedih. Ia juga mengambil gambaran romantika pemuda dan pemudi dengan memaparkan kejadian di sawah ketika seorang gadis memanen padi, sementara sang lelaki merontokkan padi dari tangkainya.
Sali Gobal menggunakan tebu untuk beberapa karya sastranya, mulai dari jenis, manfaat, hingga sifat tebu. Puisinya yang berjudul Tau (Tebu), misalnya, berbunyi demikian:
Jarak dekat terpanang/Tau mampat murentang/Kayu mupakat ulung gerbang/Ralik ni batang atur beriring. (Jarak dekat dapat dilihat/Tebu indah merentang/Jenis kayu daun terbuka/Pangkal batang teratur beiring).
Salah satu komoditas di Aceh yang sangat terkenal namun jarang muncul di dalam karya sastra Aceh adalah kopi. Komoditas ini merupakan komoditas yang didatangkan dari luar Aceh. Sangat mungkin, dulu ada jarak antara masyarakat Aceh dengan kopi sehingga mereka sulit membuat ungkapan melalui kopi. ”Sejauh pelacakan saya, komoditas kopi memang tidak ada di dalam sastra lama,” kata Ara. Fasya juga mengatakan hal serupa.
Karya-karya sastra lama tidak menampilkan kopi, kebun kopi, ataupun warung kopi. Dalam disertasi Waardenburg juga tidak disebut komoditas kopi di dalam karya sastra.
Kopi baru marak dalam sejumlah karya sastra belakangan ini. Kopi muncul dalam sastra yang berlatar belakang konflik, perdamaian, dan pascatsunami di Aceh (Desember 2004). Kebun kopi digunakan untuk mengungkapkan keindahan, namun kebun kopi juga digunakan untuk setting tempat ketika terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan aparat keamanan (TNI).
Dunia pertanian dan komoditas pertanian meski masih muncul di dalam karya sastra namun makin jarang. Dunia memang sudah berubah. Dalam konteks pertanian, pertanian yang semula sangat tergantung dari tangan manusia langsung, sekarang mulai beralih ke mesin. Perubahan ini juga menghilangkan rasa di kalangan masyarakat. Mesin akan berbicara efisiensi, dan dari situ maka muncul rezim uang yang berkuasa.
Dunia pertanian yang dulu penuh romantika dan kegembiraan kini mungkin makin banyak menimbun rasa sedih, karena hasil pertanian makin dihargai murah sehingga malah memiskinkan warga. Involusi pertanian terus terjadi. Kalaulah kopi masih disebut-sebut karena komoditas ini masih memberi senyum bagi warga, karena secara ekonomi masih menguntungkan.
14 Januari 2011

0 comments:

Post a Comment