Pages

Tuesday, 21 February 2012

KETIKA PENYAIR NUSANTARA BERKUMPUL DI KUDUS (1- 2)


KETIKA PENYAIR NUSANTARA BERKUMPUL DI KUDUS (1- 2)
Posted by PuJa on February 21, 2012
Muhammad Oliez
http://www.seputar-indonesia.com/

(1)
Apa jadinya,jika para penyair, seniman dan budayawan dari sejumlah daerah di Indonesia berkumpul dalam satu forum parade baca puisi.
Ya,bisa dibayangkan,selain menjadi ajang kangen-kangenan atau saling sindir menyindir, juga menjadi ruang luapan ekspresi dan ”unjuk” kepiawaian mengolah katakata yang ritmis,permainan intonasi suara yang kadang lembut namun tiba-tiba menggelegak, hingga ekspresi wajah dan acungan tangan penuh amarah para pekerja seni itu. Beragam tema mulai dari cinta,kebobrokan bangsa, korupsi yang kian merajalela, hingga spiritualitas mewarnai parade baca puisi ini.
Tak lazim.Kesan ini mau tak mau muncul saat SINDO memasuki ruang hall Hotel Gripta Kudus Minggu (1/1) malam.Sebab ruang yang identik dengan kesan formal dan mewah tersebut dijadikan ajang untuk Parade Baca Puisi dan Diskusi Sastra yang diadakan oleh Kelompok Peduli Sastra Kudus (KPSK).
Mereka yang hadir adalah para pekerja seni kelas wahid di Indonesia.Beberapa di antaranya, dalang nyentrik Sujiwo Tejo (Jakarta),penyair Sosiawan Leak (Solo),Fikar Weda (Aceh), Agus R Sarjono (Jakarta), Abda Imron (Payakumbuh, Sumatera Barat),Thomas Budi Santoso,Jumari HS dan puluhan pekerja seni baik dari Kudus, maupun daerah sekitar. Sejenak,kesan kaku tak bisa dilepaskan dari acara ini. Maklum,setting ruangan tidak seperti lazimnya pementasan teater maupun agenda kesenian lainnya.
Namun lebih mirip dengan acara seminar mahasiswa maupun lembaga swasta atau pemerintahan. Penyair perempuan Pipiek Isfayanti mengawali ”pesta kata- kata”ini dengan dua buah puisinya.Lalu disusul dengan kepiawaian penyair Farid yang membawakan dengan apik salah satu sajak hasil karya ”Si Burung Merak”WS Rendra. Disusul puisi dari Agus Sardjono yang mempertanyakan berbagai kepalsuan yang merajalela dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Ada pula puisi dari Fikar Weda yang bercerita tentang ketimpangan yang dialami warga Papua. Kepiawaian Sosiawan Leak memainkan kata dan intonasi serta gerakan tangan dan mimik wajah lewat karyanya berjudul ”Dunia Bogambola” dan ”Layang Demonstran” kian membuat suasana terasa khidmat.Dengan gaya yang ”nakal”dan komunikatif, Sosiawan dengan apik membawakan puisi yang berisi kegundahan seorang demonstran terhadap perilaku elit yang ada di Indonesia.
”Ide awal puisi ini berasal dari kawan saya yang sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan.Itu kan agak aneh,masak aktivis yang garang tiba-tiba menjadi romantis ketika bertemu dengan sesosok perempuan. Tetap saja puisi ini jadinya tentang kritik sosial,bukan cinta-cintaan.Teman saya bakan malah ditampar oleh perempuan yang akan ”ditembaknya” saat membacakan puisi ini ,”kata Leak diiringi tawa hadirin.
(2)
Diakui atau tidak,hingga kini budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia masih rendah.Belum juga mapan kedua budaya yang kerap diidentikkan dengan masyarakat negara maju, masyarakat kita sudah dijejali dengan budaya visual lewat televisi.
Imbasnya,masyarakat Indonesia tetap menjadi bangsa pembebek dan selalu ikut arus.Persoalan lain yang juga dikuliti oleh para penyair, seniman,dan budayawan saat acara Parade Baca Puisi dan Diskusi Sastra ini juga masuk ke wilayah masih bercokolnya rezim tertentu yang dinilai “mengekang” kreativitas para pegiat seni di Indonesia. Menurut penyair Abda Imron,semestinya berbagai peranti ini bisa digunakan sebagai penyemai bibit budaya baca maupun tulis di Indonesia.
Namun,masyarakat kerap menggunakannya di level permukaan saja dan tidak bisa masuk ke inti yang lebih dalam. Ia mencontohkan akun jejaring sosial facebookatau twitter.Dia berani memastikan akun-akun tersebut lebih banyak berisi foto mejeng “empunya”facebook, twitteratau blogdibanding hasil karya pemiliknya. “Istilahnya ngeksissah-sah saja.Tapi jangan berlebihan,” kata redaktur salah satu surat kabar di Jawa Barat ini. Sosiawal Leak juga mengakui hal itu.
Menurutnya, minimnya kreativitas di bidang seni budaya dan sastra juga tidak terlepas dari adanya rezim tertentu yang merasa berhak menilai sebuah karya bermutu atau tidak. Dalang nyentrik Sujiwo Tejo mengaku karya puisinya hingga kini tidak pernah ada yang dimuat di media.Meski tak dimuat,hal itu tidak menyurutkan kreativitasnya.
MUHAMMAD OLIEZ, Kudus
Dijumput dari: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/457113/
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/457301/

0 comments:

Post a Comment