Masih Ampuhkah Peribahasa sebagai Nasihat?
Posted by PuJa on February 14, 2012
Mukhlis Al-Anshor
http://www.analisadaily.com/
Kita sudah tidak asing lagi dengan kata peribahasa. Dipahami atau tidak artinya dalam konteks istilah, namun dalam praktiknya peribahasa telah menjadi nasihat dalam kehidupan. Mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu atau justru meninggalkannya.
Banyak peribahasa yang dari dahulu, hingga sekarang masih sering kita gunakan. Misalnya: “Malu bertanya sesat di jalan”, “guru kencing berdiri, murid kencing belari”, “biar lambat asal selamat”, ataupun “sabar itu subur, jujur itu makmur”. Benarkah peribahasa-peribahasa itu berhasil menjadi nasihat yang dapat diikuti dalam segala konteks kehidupan atau justru ampuh bagi kalangan masyarakat tertentu?
Tentu setiap orang mempunyai jawaban berbeda, karena memang dalam praktiknya ada yang berhasil dan ada yang justru tersesat. Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” memberi makna ‘kalau kita tidak tahu lebih baik bertanya kepada orang’. Saya tidak dapat memberi jaminan bahwa semua orang di muka bumi ini akan menunjukkan tujuan (jalan/alamat) yang sebenarnya sesuai yang kita tuju. Anda mungkin mempunyai pengalaman sendiri tentang hal ini. Bisa saja tempat yang kita maksud sebenarnya arah timur, tetapi kita bisa sampai ke arah barat dikarenakan orang yang kita tanyai tadi bermaksud iseng ingin “mengerjain”. Hal ini wajar terjadi di kota-kota besar yang orang-orangnya bukan saja tidak mau tahu dengan urusan orang lain, melainkan menganggap orang lain sebagai obyek yang dapat dipermainkan.
Peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” lahir di dalam masyarakat Melayu yang masih sederhana, yang semua orangnya selalu bersedia menolong orang lain. Peribahasa ini merupakan bagian kecil dari peribahasa lainnya yang bernasib sama. “Sabar itu subur, jujur itu makmur” juga peribahasa yang dianggap bertentangan dengan realita kinerja pemerintah sekarang yang penuh dengan korupsi. Pada akhirnya menjadi “sabar itu bubar, jujur itu hancur”.
Kembali Menelaah Makna Peribahasa
Menurt KBBI (edisi IV, 2008) ada dua definisi peribahasa: 1. peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan), 2. ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.
Pada definisi kedua kita dapat menemui makna nasihat tentang peribahasa itu. Makna ini sebagai penguat bagaimana kita mengambil sikap terhadap peribahasa-peribahasa yang ingin kita lisan atau tuliskan kepada orang lain. Coba perhatikan sekali lagi kedua definisi tersebut.
Tentu ada rasa “bingung dan berpkir-pikir” karena di dalam pengertian pertama dijabarkan bahwa salah satu jenis peribahasa adalah ungkapan sedangkan dalam pengertian kedua dijabarkan, peribahasa itu ungkapan (saja). Lebih jelas keterangan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994) tertulis: ‘kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan-perbuatan atau hal yang mengenai diri orang; peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, tamsil’.
Dari masa ke masa jumlah peribahasa terus bertambah. Permasalahan yang ada baik merundung kehidupan individu, kelompok sosial masyarakat, hingga permasalahan pemerintahan mengondisikan masyarakat memaknai peribahasa sebagai bahasa perumpamaan yang indah untuk mencipta nasihat menggariskan peringatan untuk melakukan tindakan atau justru meninggalkannya.
Masih Ampuhkah?
Keampuhan peribahasa sebagai nasihat menyambangi setiap jaman yang berbeda. Bahasa peribahasa harus mampu menyesuaikan dengan konteks jaman yang dilalui. Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Bus, Bis, Bas Berbagai Masalah Bahasa Indonesia megungkapkan banyak peribahasa yang lenyap karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman, namun banyak yang terus hidup karena mengikuti perkembangan jaman.
Pengungkapan terhadap sesuatu yang sama dapat diperibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Telinga kita lebih akrab mendengar peribahasa “Seperti anak ayam yang kehilangan induk” daripada “Berseleleran bagai getah di ladang” padahal kedua peribahasa itu bermakna sama yakni ‘hidup bagai tidak punya panutan’. Keduanya juga termuat dalam Kitab Kiliran Budi susunan Paderi Shellabear pada awal abad ke-20.
Peribahasa mana yang lebih mudah dipahami dan lebih ampuh menasihati orang-orang yang sedang kebingungan dan merasa sendiri menghadapi masalah? Jawabannya tergantung pada peribahasa mana yang dianggap lebih terasa “pedas” dan “mengena” terhadap orang yang dinasihati. Pengibaratan getah yang berseleler (meleleh) di ladang dengan anak ayam yang kehilangan induknya menjadi sugesti nasihat bagi orang yang bersangkutan. Perbandingan orang dengan hewan lebih terasa “pedas” dan “mengena” daripada dengan getah pohon tentunya.
Kreativitas, penyeleksian, kombinasi kata, dan pemilihan diksi bahasa dalam peribahasa menjadi unsur-unsur terpenting dalam menjamin keampuhan peribahasa sebagai maknanya ‘nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Pola kehidupan sosial masyarakat Melayu dahulu yang berkehidupan sederhana dan tolong-menolong pastinya sangat berbeda saat kita bandingkan dengan pola kehidupan sosial masyarakat kota sekarang.
Masih ampuhkah peribahasa menasihati orang-orang kota dan orang-orang yang hidup di jaman yang cenderung dengan budayanya sendiri-sendiri? Seberapa kuat eksistensi bahasa peribahasa memengaruhi sikap perilaku orang-orang di jaman modern? Jika kita perhatikan sebenarnya sudah banyak peribahasa yang tidak cocok lagi digunakan sekarang. Sebagai contoh peribasa “biar lambat, asal selamat” dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin serba cepat, sehingga dirubah “cepat selamat.”
Peribahasa-peribahasa di jaman modern ini juga sudah terlahir dengan bahasa yang sederhahana namun berkekuatan sindiran terhadap masalah-masalah yang bermunculan. Sebut saja peribahasa “gunakan kesempatan dalam kesempitan”, “aji mumpung di tempat basah”, “kasih uang habis perkara”, “orang kecil tak boleh sakit”. Dilihat dari pemilihan bahasanya sesungguhnya masyarakat modern sudah kreatif karena tidak lagi banyak menggunakan perumpmaan atau pun perbandingan sebagai sugesti nasihat dalam peribahasanya. Karena tidak setiap orang mampu memaknai perumpamaan dan perbandingan istilah kata-kata yang diracik dalam peribahasa.
Kita dapat menarik kesimpulan yang cukup sederhana, yakni keampuhan peribahasa sebagai nasihat di jaman modern ini terletak pada seberapa kreatif masyarakat mengola susunan kata-kata peribahasa yang mudah dimengerti dan mencipta bahasa sederhana yang bermuatan sindiran yang langsung mengena pada pembacanya. Pada konsep peribahasa inilah kita dapat bereksperimen sejauh mana bahasa mampu mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang di jaman modern. Ya, tetap walau pada akhirnya para pembacalah yang merespon nasihat peribahasa itu diterima atau justru ditolaknya.
23 Okt 2011
0 comments:
Post a Comment