Pages

Sunday, 26 February 2012

PRAMOEDYA ANANTA TOER: DARI HISTORI KE AHISTORI

PRAMOEDYA ANANTA TOER: DARI HISTORI KE AHISTORI
Posted by PuJa on February 24, 2012
Iwan Gunadi *
http://komunitassastra.wordpress.com/
Suatu malam. Di sebuah toko buku besar di Jakarta. Lelaki berpostur tinggi besar dan berkulit agak legam itu berdiri di depan etalase yang memajang buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Kemeja putih berlengan panjang dan pantalon melekat di tubuhnya. Jas hitam melapisi kemeja. Meski tanpa dasi, penampilannya mengesankannya sebagai seorang eksekutif muda. Tangannya menenteng kantong plastik transparan bercap nama toko buku itu. Belasan buku makro-ekonomi, manajemen, dan perbankan ada di kantong plastik itu. Setelah membuka secara selintas lembar-lembar halaman buku Jalan Pos tulisan Pram, dia segera memasukkan buku tersebut ke kantong plastik yang ditentengnya. Besoknya, kepada beberapa rekan bisnisnya dan juga bawahannya di kantor, dia menceritakan penemuannya di buku itu: ternyata, Pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Wilem Daendels selama 1808-1811 hanya melebarkan jalan dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa dan Panarukan di ujung timurnya. Jalan yang kemudian sering disebut sebagai Jalan Raya Pos Daendels tersebut tak pernah dibikin pemerintahannya dari awal.
Bagi orang awam, apa yang ditulis Pram itu tentu suatu “penemuan”. Meski banyak buku sejarah tak mengabarkan perihal tersebut, para peminat sejarah tentu akan mengatakan bahwa kabar itu bukan sesuatu yang baru. Cuma, yang mengusik, kenapa hal itu kemudian lebih memublik bukan dari tulisan sejarawan, melainkan tulisan sastrawan, meski Jalan Pos memang bukan karya fiksi, melainkan esai sejarah?
Kenyataan tersebut tak lepas dari lekatnya Pram selama ini dengan sejarah. Di matanya, sejarah begitu penting untuk perkembangan manusia. Ketika seniman diidentikkan dengan sosok yang hidup di menara gading dan diminta untuk turun ke bawah (turba), sebagaimana ditulisnya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: Catatan-catatan dari P. Buru (1995), Pram menekankan bahwa turba tersebut bukanlah turun secara fisik, melainkan turun ke sejarah, ke dasar. Tak lama setelah buku itu terbit, awal April 1995, ketika saya mengunjunginya di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta Timur, dia pun berkali-kali menegaskan pentingnya sejarah. Pandangan tersebut, menurut Andries Teew dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997), tak dapat dilepaskan dari pengaruh teori Maxim Gorki, sastrawan Rusia yang dikaguminya, yang pernah menyatakan “The people must know their history (setiap orang harus tahu tentang sejarahnya).”
Dengan keyakinan akan pentingnya sejarah itulah, Pram menulis beberapa risalah sejarah. Sumbangan pentingnya adalah Panggil Aku Kartini Saja (dua jilid, 1962). Dalam buku tersebut, Kartini digambarkan terutama bukan sebagai gadis priyayi, melainkan sebagai gadis yang mengidentifikasikan diri sebagai rakyat biasa dan memperjuangkan kepentingannya. Tak kalah pentingnya adalah sejumlah karangan tentang Raden Mas Tirto Adhisoerjo, yang ditengarainya sebagai pelopor jurnalistik Indonesia. Karangan-karangan itulah yang kemudian mewujud menjadi Sang Pemula (1985). Sejumlah karangan tentang Multatuli, yang dinilainya sebagai pelopor sastra Indonesia, juga ditulisnya.
Pram juga tak lupa merekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Rekonstruksi dengan tajuk “Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia (suatu tinjauan sosial)” tersebut disajikannya pada sebuah seminar sastra di Universitas Indonesia, 26 Januari 1963. Rekonstruksi sejarah sastra Indonesia juga dilakukannya dalam pelbagai tulisan yang dimuat di “Lentera”, rubrik kebudayaan koran Bintang Timur, selama 1962-1965 dan majalah Star Weekly pada dasawarsa sebelumnya. Parameter utama sejarah sastra di mata Pram adalah sejauh mana karya-karya sastra membayangkan penderitaan rakyat dan perjuangan menentang penindasan imperialisme dan kolonialisme. Dengan rekonstruksi itu, Pram membuka kemungkinan munculnya sejarah sastra yang berbeda dengan memberikan kesempatan kepada karya-karya sastra yang sebelumnya tak mendapat tempat dalam sejarah sastra Indonesia. Misalnya, dia menyebut “sastra asimilatif”, sastra yang sering disebut sastra Melayu rendah atau roman picisan, sebagai sastra tulen yang memelopori sastra Balai Pustaka dan ditulis dalam “bahasa pra-Indonesia”. Pada titik pemberian alternatif itulah, Pram berjasa. “Namun, kefanatikannya serta nadanya yang agresif-polemis membawanya ke kesepihakan dan kemutlakan yang sering menghilangkan proporsi realitas dan keobjektifan dari uraiannya,” tulis Teeuw.
Kemampuan Pram menulis risalah-risalah sejarah pada tahun-tahun tersebut bertolak dari kegigihannya mengumpulkan pelbagai data aneka warna yang sering sukar didapat, yang terutama dilakukan sejak 1956. Dia menulis berdasarkan riset mendalam, yang terutama mengacu pada majalah dan surat kabar yang terbit pada abad ke-19 dan ke-20. Pemicu awal kegigihan tersebut tentu pengalaman hidupnya sendiri dan kesadarannya akan pandangan Gorki tadi bahwa The people must know their history. Kegigihan itu kemudian juga tak lepas dari keseriusannya melakoni tugasnya sebagai dosen di Universitas Res Publika serta aktivitasnya di Akademi Bahasa & Sastra Multatuli yang ikut didirikannya pada 1963. Di sisi lain, posisinya sebagai redaktur “Lentera” sejak 16 Maret 1962 bersama S. Rukiah memberinya kebebasan dan kekuasaan yang sebelumnya tak pernah digenggamnya. Bahkan, meski tak memiliki pengalaman ilmiah, sambil bekerja, Pram mengualifikasikan diri sebagai sejarawan profesional. Sayangnya, menurut Teeuw, risalah-risalah sejarahnya sering diwarnai konsepsi ideologis, sehingga gambaran proses atau peristiwa historis yang dikembangkannya berat sebelah atau bahkan keliru.
Keyakinannya tentang pentingnya sejarah serta kegigihannya mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan dan kemudian mengolahnya itu pula yang sebelum dan sesudahnya mengantarkan Pram pada penulisan karya-karya fiksinya. Wajar jika sejumlah karya fiksinya mengacu pada sejarah.
Awalnya sejarah dipahami dalam konteks pengalaman hidup Pram. Pengalaman hidupnya bermula dari Blora. Pram lahir di Blora, 6 Februari 1925, sebagai anak sulung pasangan Mastoer dan Oemi Saidah atau Siti Kadarijah. Ayahnya berasal dari kalangan keluarga yang dekat dengan agama (baca: agama Islam). Ibunya anak penghulu Rembang. Keduanya anak orang terdidik.
Mastoer seorang guru sekaligus aktivitis politik di Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Dia pemberani sekaligus orang yang tabah memperjuangkan cita-citanya dalam dunia pendidikan dan gerakan nasional dengan melawan tekanan dan tuntutan penjajah. Dia juga ditengarai sebagai orang yang sangat aktif di kebudayaan. Kenyataan itulah yang membuat Pram mengaguminya dan kemudian mempengaruhi karakternya. Tapi, di sisi lain, Pram membencinya sebagai orangtua yang keras, sewenang-wenang, dan otoriter. Apalagi ketika Pram merasa bersalah akibat tiga kali tak naik kelas. Kebencian Pram makin menjadi ketika masa jaya ayahnya berlalu dan dia sering mengabaikan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Keterpurukannya dialihkan dengan sering keluar rumah dan berjudi dengan teman-temannya. Tapi, yang membuat Pram menyimpan dendam yang luar biasa adalah pengkhiatan ayahnya terhadap cita-citanya sendiri ketika dia menerima kembali tawaran menjadi guru Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan penghinaan ayahnya yang mengesankan dirinya bukan anak ayahnya ketika Pram lulus sekolah dasar.
Oemi Saidah sendiri orang yang lembut dan lemah. Dia sering sakit-sakitan. Ketika ayahnya tak lagi bertanggung jawab terhadap keluarga, ibunyalah yang megambil alih semua tanggung jawab. Dia juga penuh cinta dan perhatian terhadap anak-anaknya, terutama Pram, si sulung, yang menderita karena konflik dengan ayahnya. Tak heran jika Pram sangat mengagumi ibunya. Pram menengarainya sebagai “wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus. Di kemudian hari, ternyata, ia menjadi ukuran bagiku dalam menilai setiap wanita yang kukenal”.
Pengalaman selama masa kanak-kakak itulah yang kemudian membayangi sejumlah karya sastranya. Lima cerita dalam Tjerita dari Blora (1952), misalnya, mengentas tokoh bocah sebagai protagonisnya. Kedekatan Pram dengan ibunya dan ketakhadiran ayahnya dalam relasi keluarga Pram pada suatu waktu tertentu hadir sejajar dalam “Yang Sudah Hilang” di buku kumpulan cerita pendek (cerpen) itu. Prototipe tokoh ibu dan ayah dalam cerpen tersebut pun sebangun dengan tokoh ibu dan ayah Pram yang real dalam kehidupan sehari-hari. Makin seringnya tokoh ayah tak pulang atau terlambat pulang karena berjudi muncul dalam cerpen “Kemudian Lahirlah Dia”. Cerpen “Inem”, “Yang Menyewakan Diri”, dan “Sunat” menggambarkan konfrontasi pikiran anak-anak dan orang dewasa atau orangtuanya yang tak saling memahami. Tokoh anak-anak dan orangtua dalam kelima cerpen itu mengesankan relasi secara real dalam kehidupan sehari-hari antara Pram dan orangtuanya.
Pengalaman Pram selama masa penjajahan Jepang pada 1942-1945, misalnya, memang tak pernah langsung dijadikan menu utama karya sastranya. Tapi, pengalaman pada periode tersebut melatari berbagai ceritanya. Misalnya, perjuangan bawah tanah gerilyawan Pembela Tanah Air (Peta) melawan penjajah menjadi garis utama plot novel Perburuan (1950) dan penderitaan masyarakat Jawa digambarkan dalam “Dia Jang Menjerah” dalam Tjerita dari Blora. Pengalaman Pram bergelut dalam revolusi juga membayang dalam cerpen “Dendam”, “Blora”, dan “Jalan Kurantil No. 28” dalam kumpulan cerpen Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi (1950); “Lemari Antik”, “Kemana??”, dan “Kemelut” dalam kumpulan cerpen Pertjikan Revolusi (1950); roman Keluarga Gerilja, Kisah keluarga manusia dalam tiga hari dan tiga malam (1950); roman pendek Bukan Pasarmalam (1951); serta roman Ditepi Kali Bekasi (1951). “Blora”, “Dia Jang Menyerah”, dan Bukan Pasarmalam juga menggambarkan penghayatan Pram terhadap kehidupan keluarga di Blora, yang tak lepas dari kehidupan keluarganya sendiri.
Selain dalam roman Keluarga Gerilja, keakraban Pram dengan dunia penjara juga muncul dalam beberapa cerita lain. Cerpen “Gado-Gado”, “Masa”, “Orang Baru” dan Kawanku Sel-sel” dalam kumpulan cerpen Pertjikan Revolusi membayangkan pengalaman penahanan Pram. Begitu juga dalam roman dua jilid Mereka Jang Dilumpuhkan (1951), yang merupakan pencitraan penjara berdasarkan pengalaman konkret Pram.
Selain melesakkan penderitaan fisik dan ketertekanan batin, penjara membayangkan akan datangnya masa kebebasan atau kemerdekaan yang menyenangkan, baik bagi Pram maupun tokoh-tokohnya. Bayangan itulah yang kemudian digarap dalam tiga roman pendek Gulat di Djakarta (1953), Korupsi (1953), dan Midah – Simanis Bergigi Emas (1954); “Kapal gersang” (1953); “Tentang emansipasi buaya” (1954); “Kalil, Siopas Kantor (1954); serta “Jongos + babu, sejarah keluarga yang sangat panjang”, “Ikan-ikan yang terdampar”, “Berita dari Kebayoran”, “Rumah”, “Nyonya dokterhewan Suharko”, “Tanpa kemudian”, “Makhluk di belakang rumah”, “Maman dan dunianya”, “Kecapi”, dan “Biangkeladi” dalam buku antologi Tjerita dari Djakarta, sekumpulan karikatur keadaan dan manusianya (1957).
Namun, bayangan itu tak menjadi kenyataan, malah muncul menjadi kekecewaan. Wajarlah kalau tokoh-tokoh yang hadir dalam cerita-cerita tersebut merupakan para korban. Memang, mereka tak lagi menjadi korban penindasan bangsa kulit putih sang penjajah, melainkan bangsa sendiri yang berkulit sawo matang. Sekurangnya, mereka menjadi korban mental budak yang bersemayam di dada mereka atau korban sistem sosial-ekonomi yang diskriminatif dan tak manusiawi. Meski jejak kehidupan real Pram tak dapat ditelusuri secara tegas pada kebanyakan cerita itu, keberpihakan Pram terhadap rakyat jelata dan tertindas tetap terasa jelas pada cerita-cerita itu. Keberpihakan tersebut sekaligus menunjukkan ideologi Pram dalam menulis.
Kenyataan tersebut tampaknya tak dapat dilepaskan dari buah perkenalan Pram dengan Profesor Wertheim, sosiolog Belanda yang berhaluan progresif-kiri, pada simposium sastra modern Indonesia yang diselenggarakan Sticusa di Amsterdam, Belanda, Juli 1953. Tahun-tahun berikutnya, dunia pergaulannya makin meluas. Tahun 1954, misalnya, dia berkenalan dengan A.S. Dharta, penulis marxis yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sejak didirikan pada 1950. Dua tahun berikutnya, 1956, wakil kedutaan Cina mengunjungi, lalu mengundangnya untuk menghadiri peringatan hari wafat kedua puluh Lu Hsun, pengarang revolusi Cina, di negeri dengan faham komunis itu. Perjalanan ke Cina itulah yang membuat orang mulai menuduhnya memihak komunis atau bahkan telah menjadi komunis. Masa-masa berikutnya, Pram memang mulai aktif di dunia politik. Akhirnya, tak lama setelah kunjungannya ke berbagai tempat di Uni Soviet dan Cina, Kongres Nasional Lekra yang digelar di Solo antara 22 dan 28 Januari 1959 memilihnya sebagai anggota pimpinan pleno. Sejak itulah, Pram tak terlepaskan lagi dari organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu. Sejak itu pula, tulisan-tulisan Pram, terutama nonfiksi, makin menyiratkan pemikirannya yang sehaluan dengan ideologi politik Lekra yang realisme sosialis. Realiasme sosialis mengakarkan kreativitas pada kenyataan dan Pram mendasarkan kenyataan pada sejarah yang berpihak kepada rakyat kecil. Karya fiksi Pram yang menyuratkan ideologi itu sendiri sangat sedikit.
Ideologi politik Lekra memang secara eksplisit belum terdapat pada roman pendek Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958). Meski begitu, penerapan slogan yang kemudian dipaksakan di kalangan Lekra pada seniman sebagai “turba” atau bercampur dengan rakyat muncul dalam roman tersebut. Prinsip ideologi turba sendiri baru dirumuskan secara eksplisit oleh Lekra pada tahun berikutnya, 1959. Karena itu, Teeuw mengelompokkannya sebagai karya sastra ideologi Pram. Walau tak pernah menjadi anggota PKI, manifestasi paling jelas tentang keterlibatan Pram dalam politik komunis di Indonesia terlihat dalam “Paman Martil” yang dimuat dalam kumpulan cerpen Jang tak terpadamkan (1965) yang diterbitkan untuk menyambut ulang tahun ke-45 PKI. Dengan kualitas artistik yang jauh lebih baik ketimbang cerpen tersebut, Teeuw juga memasukkan roman Gadis Pantai (1987) sebagai karya sastra ideologi. Tapi, keduanya membuktikan gigihnya Pram menggali bahan-bahan sejarah sebagai sumber inspirasi penulisan karya sastra sekaligus membuktikan pandangan Gorki di atas tentang pentingnya sejarah bagi manusia.
Tentu, karya sastra Pram paling monumental yang berbasis pada bahan-bahan sejarah adalah tetralogi Karya Buru, yang terdiri atas Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Dengan motif yang sama, kita juga dapat menyebut roman Pram paling panjang, yakni Arus Balik (1995). Napas ideologis realisme sosialis Pram juga terasa dalam karya-karya tersebut.
Napas ideologis yang kemudian ditengarai sebagai komunisme itulah yang akhirnya mengantarkan Pram ditepiskan dari sejarah “resmi” kesusastraan modern Indonesia. Hal itu terjadi setelah PKI dinilai sebagai dalang Gerakan 30 September (G30S) 1965, lalu dijadikan sebagai partai politik terlarang di negeri ini. Karena Pram terlibat dalam Lekra dan Lekra merupakan organisasi kebudayaan underbouw PKI, pelarangan terhadap PKI tentu berimbas juga terhadap Pram dan para seniman yang terlibat dalam Lekra. Bahkan, tanpa melalui putusan pengadilan, Pram kemudian dibui di Pulau Buru, Maluku.
Karya-karya Pram pun dilarang beredar tak lama setelah peristiwa G30S meletus. Pada 30 November 1965, belasan buku Pram termasuk di antara 70 judul buku karya para penulis Lekra yang dilarang beredar oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Kabinet Dwikora I. Pada daftar 70 judul buku itu terdapat pula karya para penulis lain. Misalnya, Sobron Aidit, Joebaar Ajoeb, Klara Akustia (A.S. Dharta atau Jogaswara), S. Anantaguna, Hr. Bandaharo, Hadi Sumodanukusumo, Rijono Pratikno, F.L. Risakotta, Zubir A.A., S. Rukiah, Bakri Siregar, Sugiarti Siswadi, Utuy Tatang Sontani, dan Agam Wispi. Bahkan, enam tahun sebelumnya, buku Pram yang lain, Hoa Kiau di Indonesia, juga dilarang Penguasa Perang Tertinggi Republik Indonesia pada 1959.
Tetralogi Karya Buru juga dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung tak lama setelah terbit. Yang terakhir dilarang dari tetralogi tersebut adalah Rumah Kaca pada 8 Juni 1988. Lima puluh enam hari berikutnya, 3 Agustus 1988, hal yang sama berlaku untuk novel Gadis Pantai. Kejaksaan Agung juga melarang peredaran buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu pada 19 April 1995. Kalau ditotal, menurut buku susunan Jaringan Kerja Budaya, Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia (1999), dari 194 buku yang dilarang beredar oleh pemerintah selama 1965-1998, 18 di antaranya adalah karya sastra. Dari 18 buku itu, 16 di antaranya karya asli Pram; 1 karya H. Mukti suntingaan Pram, Siti Mariah; dan 1 karya Salman Rushdie, The Satanic Verses. Kalau dijumlahkan seluruhnya, baik karya asli maupun suntingan, entah fiksi ataupun nonfiksi, ada 22 buku Pram yang dilarang. “Bahwa karya-karya (saya) dilarang beredar di Tanah Air saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya, tidak jadi soal,” tulis Pram dalam pidato penyerahan penghargaan Ramon Magsaysay Award yang diterimanya secara in absentia pada 31 Agustus 1995 karena dia dilarang bepergian ke luar negeri oleh rezim Soeharto.
Secara sosiopolitis, pelarangan tersebut tentu merugikan Pram dan bangsa Indonesia yang tak ingin hak menilai karya-karya Pram diambil alih negara. Tapi, di sisi lain, pelarangan itu juga menguntungkan Pram. Dia dijadikan salah satu ikon penting masih kuatnya praktik penindasan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia meraup simpati yang meluber dari dunia, terutama dari pihak-pihak yang menobatkan diri sebagai pejuang HAM di mancanegara. Karya-karyanya pun beredar luas setelah diterjemahkan ke dalam puluhah bahasa di dunia.
Kenyataan seperti itulah plus dukungan keberpihakan dan pencapaian artistik karya-karyanya yang mengantarkan Pram pada penganugerahan sejumlah penghargaan dari lembaga internasional. PEN dari berbagai negara menyematkan penghargaan kepadanya. Misalnya, pada 7 April 1988, PEN America Center memberitahu Pram bahwa dirinya terpilih sebagai salah seorang penerima Freedom to Write Award. Bahkan, PEN Internasional sejak 1985 mencatat hari kelahirannya, 6 Februari, sebagai “Hari Pramoedya”. Pada 19 Juli 1995, Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay menetapkannya sebagai orang kesepuluh Indonesia yang pantas menerima Ramon Magsaysay Award. Pada tahun yang sama, dia juga dianugerahi Wertheim Award dari Belanda. Pram pun berkali-kali dinominasikan untuk meraih Nobel di bidang kesusastraan, termasuk pada tahun ketika dia mangkat untuk selamanya pada Minggu pagi, 30 April 2006. Presidential Medals of Honor for Pablo Neruda Centennial disematkan Pemerintah Cile pada 2004. Terakhir, 1 Mei 2006, The New York Times mengapresiasinya sebagai sastrawan yang paling banyak berkorban untuk mendidik bangsanya.
Di negerinya sendiri, Pram nyaris tak pernah dihargai, apalagi oleh pemerintah. Hanya ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia (RI), penghargaan itu sempat muncul. Sekitar akhir Oktober 1999, Pram diundang ke Wisma Negara, Jakarta, beberapa hari setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden keempat RI. Gus Dur ingin mendiskusikan konsep “Indonesia sebagai negara maritim” yang sering dilontarkan Pram. Di luar itu, Pram tetap tak “dianggap”.
Bahkan, ketika Pram ditahbiskan sebagai penerima Ramon Magsaysay Award pada 1995 itu, sejumlah seniman Indonesia—terutama dari kalangan tua—tak rela dengan penahbisan tersebut. Polemik yang panjang dan emosional mengiringi penetapan tersebut. Bahkan, Mochtar Lubis mengembalikan hadiah serupa yang pernah diterimanya pada 1958 sebagai wujud protes pemberian penghargaan terhadap Pram itu.
Pelarangan dan penghargaan—termasuk polemiknya—itulah yang kemudian mencuatkan kepenasaran tak sedikit orang untuk mengetahui karya-karya Pram. Tapi, kondisi politik selama rezim Orde Baru berkuasa tak memungkinkan rasa penasaran itu menemukan muaranya. Karya-karya Pram tak mungkin ditemukan dan dibaca di tempat-tempat “resmi”. Selama Soeharto berkuasa, pada Agustus 1980, karya Pram memang kembali diterbitkan untuk pertama kali, yakni buku pertama dari tetralogi Karya Buru, Bumi Manusia. Tapi, buku tersebut—dan buku kedua tetralogi itu yang terbit kemudian, yakni Anak Semua Bangsa—dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada Mei 1981. Justru, pelarangan tersebut yang kemudian menguntungkan penerbitnya, yakni Harta Mitra, Jakarta. Orang-orang yang penasaran berusaha mendapatkannya. Tak heran jika selama empat bulan sejak penerbitan pertama, Bumi Manusia sudah naik empat kali cetak. Kenyataan tersebut nyaris tak pernah terjadi pada buku yang sering disebut sebagai “karya sastra serius” sebelum penerbitan novel Saman karya Ayu Utami pada April 1998.
Toh, masyarakat umumnya tetap tak mudah memperolehnya. Maklum, sebelum dan sesudah pelarangan, Bumi Manusia dijual dengan cara yang “tak lazim”. Walau saya tak ingat persis berapa harganya, buku tersebut dijual dengan harga yang tergolong mahal untuk ukuran harga sebuah buku pada saat itu. Kesulitan yang sama juga terjadi pada pencarian tiga buku lain dari tetralogi Karya Buru serta beberapa karya lain yang terbit pada 1980-an, yakni Tempo Doeloe, Antologi Sastra Pra-Indonesia; Gadis Pantai; dan Sang Pemula. Meski memiliki koleksi karya-karya Pram, ketika beberapa kali mencoba meminjam untuk dibaca di tempat pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pun tak pernah memberi saya kesempatan untuk menikmatinya. Saya tentu memakluminya. Di bursa buku bekas di Senen, Jakarta Pusat, saya menemukan satu dua judul dari tetralogi Karya Buru pada rentang waktu tersebut, tapi saya tak mungkin memilikinya. Sebagai mahasiswa, saya tak mungkin membeli satu buku bekas itu seharga paling murah Rp100.000. Pengetahuan para pedagang di Senen bahwa buku tersebut dilarang beredar membuat harganya didongkrak jauh ke atas. Tapi, untungnya, saya punya tempat lain yang memungkinkan saya memiliki buku-buku Pram dengan harga sangat murah, yakni beberapa penjual buku bekas di emperen Olimo, Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Dari tempat itulah, pada awal awal Januari 1992, untuk pertama kalinya, saya memiliki buku Pram, yakni Bumi Manusia, dengan harga Rp2.500.
Ketika Perburuan diterbitkan kembali oleh Hasta Mitra pada 17 Agustus 1994 serta Cerita dari Blora dan Keluarga Gerilya diterbitkan pada tahun dan oleh penerbit yang sama, saya menemukan gelagat bahwa penerbitan novel tersebut mulai “lebih memublik”. Meski buku tersebut tak ada di toko-toko buku yang mudah diakses publik umum, toko buku di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta—sekarang Universitas Negeri Jakarta (UNJ)—memajang keduanya secara bebas. Begitu juga ketika Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterbitkan Lentera, Jakarta, pada hari ulang tahun ke-70 Pram, yakni 6 Februari 1995 dan Mereka yang Dilumpuhkan diterbitkan Hasta Mitra pada tahun yang sama. Seingat saya, baru pada roman panjang Arus Balik yang terbit pada tahun itu juga, publik umum dapat mengaksesnya secara luas di pelbagai toko buku. Setelah itulah, terutama sejak Soeharto lengser dari tahta kepresidenannya pada Mei 1998, banyak karya Pram yang lain diterbitkan kembali, meski pelarangan peredaran karya-karyanya tak pernah dicabut pemerintah hingga ajal menjemputnya. Respons publik pun seperti dam yang jebol dihempas air bah. Tapi, konon, keluarga Pram kurang menikmati keuntungan ekonomis dari pelbagai penerbitan ulang itu. Kenyataan tersebutlah yang lantas melatari keluarga Pram untuk menerbitkan sendiri karya-karya Pram.
Sejak rezim Orde Baru bertahta, kenyataan-kenyataan itu laksana rangkaian ironisme yang entah kapan akan berujung. Contoh lain ironisme dapat ditengok melalui dunia pendidikan. Para siswa dan mahasiswa di Malaysia mengakrabi karya-karya Pram sejak bertahun-tahun lalu. Begitu juga para mahasiswa di Australia, Amerika Serikat, Belanda, Korea Selatan, dan beberapa negara lain, yang mengarahkan studi mereka ke negeri ini. Tapi, para siswa dan mahasiswa di sini sendiri selama Orde Baru hingga kini tak pernah diberi kesempatan secara legal untuk mengakrabinya. Dalam buku antologi Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi susunan H.B. Jassin yang diterbitkan pada era Orde Lama, mereka masih mungkin menikmati dua cerita pendeknya, yakni “Kemana??” dan “Kemelut”. Tapi, ketika diterbitkan kembali pada masa Orde Baru, mereka tak mungkin lagi menikmati keduanya lantaran telah disensor. Begitu juga ketika beberapa buku Pram terbit ulang pada 1994-1995, para siswa dan mahasiswa Indonesia tak mudah mendapatkan buku-buku itu karena peredarannya sangat terbatas pada waktu itu.
Jangankan karya-karyanya, selama rezim Orde Baru, informasi tentang dirinya dan tentang karya-karyanya saja sulit diperoleh. Paling-paling mereka menemukannya pada sedikit buku berikut ini. Satu, Sastra Baru Indonesia I karangan A. Teeuw yang diterbitkan Nusa Indah, Ende, pada 1980. Dua, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer suntingan Adhy Asmara yang diterbitkan Nur Cahaya, Yogyakarta, pada 1981. Tiga, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern suntingan Pamusuk Eneste yang diterbitkan Gramedia, Jakarta, pada 1981. Empat, Pengantar Novel Indonesia susunan Jakob Sumardjo yang diterbitkan Karya Unipress, Jakarta, pada 1983. Dari keempatnya, pada masanya, buku kedua yang memuat pelbagai pandangan dan berita tentang Bumi Manusia tergolong tak mudah ditemukan.
Dalam buku-buku ajar bahasa dan sastra Indonesia, selama rezim Orde Baru, informasi tentang Pram dan karya-karyanya lebih sukar lagi ditemukan. Hampir semua buku ajar menggelapkannya. Nama Rivai Apin, S. Rukiah, Dodong Djiwapradja, M.S. Ashar, dan Buyung Saleh, misalnya, boleh disebut, tapi nama Pram haram hukumnya buat disebut. Padahal, sebagaimana Pram dan Rivai Apin, mereka pun terli¬bat dalam Lekra, sekurangnya menurut buku Prahara Budaya (1995) suntingan Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto—buku ini hadir seperti untuk mencoba mengimbangi terbit ulangnya beberapa buku Pram. Tapi, nasib Pram dan Rivai tak sebagus mereka. Padahal, kontribusi Pram bagi perkembangan kesusastraan modern Indonesia, khususnya prosa, lebih penting.
Dalam buku ajar SMA karangan Suparni dan karangan Suryadi Permana, yang disusun berdasarkan Kurikulum 1984, nama Pram dan Rivai memang disebut-sebut. Tapi, penyebutan itu sebatas berkaitan dengan secuil data biografis dan judul karya. Karya mereka sendiri tak pernah dikutip sedikit pun. Buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk SMA Kelas I Program Inti karangan Suryadi Permana yang disusun berdasarkan Kurikulum 1984, misalnya, memang menyinggung Pram dan karyanya, tapi dengan uraian yang sangat terbatas dan dengan data tak akurat. Di sana hanya disebut “Pramudya Ananta Toer, dengan karyanya: Percikan Revolusi (novel), Keluarga Gerilya (novel), Blora (novel), Tikus dan Manusia (terjemahan)”. Padahal, Percikan Revolusi bukanlah novel, melainkan buku kumpulan sepuluh cerita pendek. Selebihnya, apala¬gi dalam buku ajar Kurikulum 1994, nama Pram sirna. Ketika buku-buku ajar bahasa dan sastra Indonesia mengacu pada Kurikulum 2004 serta buku-buku Pram dan buku-buku tentang karya Pram dan Pram sendiri makin mudah diperoleh, situasinya tak banyak berubah. Semua fakta tersebut menunjukkan bahwa standar ganda pun tak hanya berlaku di dunia politik. Ini juga tentu suatu ironi.
Puncak ironismenya sendiri terjadi ketika pelarangan atas buku-buku Pram belum juga secara resmi dicabut Pemerintah Indonesia setelah kemangkatannya. Tapi, secara de facto, luasnya peredaran buku-buku Pram di pasar buku Indonesia sejak rezim Soeharto tumbang pada 1998 mengesankan karya-karyanya tak lagi dilarang. Kenyataan itu tentu peluang bagi para penulis buku ajar untuk memasukkan karya mereka sebagai materi ajar pembelajaran sastra dengan tetap mempertimbangkan kualitas dan kecocokannya dengan kebutuhan subjek ajar. Mestinya, peluang itu diambil secara berani dan tetap bijak.
Upaya menepiskan Pram dan karya-karyanya dari peta kesusastraan modern Indonesia, baik secara historis maupun didaktis, selama ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari karakter upaya pemetaan kesusastraan modern Indonesia selama ini. Sejak awal, upaya tersebut tak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuasaaan, baik kekuasaan politik maupun artistik. Pertarungan “artistik” (baca: linguistik) menyingkirkan karya sastra Cina Peranakan berbahasa Melayu Pasar dan pertarungan “politik” menepiskan karya-karya sastra yang dihasilkan para sastrawan yang terlibat dalam Lekra, termasuk Pram, misalnya. Keduanya cenderung tak diakui sebagai bagian dari sejarah resmi kesusastraan modern Indonesia dan akhirnya menjadi pihak yang terhegemoni, yang tersubordinan.
Dalam konteks itulah, Ariel Heryanto dalam “Masihkah Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir”, Prisma (Jakarta) Nomor 8, Tahun XVII, 1988, pernah memetakan karya-karya sastra yang tersubordinan itu ke dalam kategori “yang terlarang”, “yang diremehkan”, dan “yang dipisahkan”. Kesusastraan yang terlarang merupakan kesusastraan yang dibasmi atau setidaknya dimusuhi lembaga-lembaga resmi pemerintahan dan seringkali juga oleh individu atau lembaga swasta yang tunduk di bawah kekuasaan resmi masyarakat. Misalnya, karya-karya sastra Pram. Kesusastraan yang diremehkan terdiri atas berbagai karya sastra yang tak termasuk dalam khasanah kesusastraan atau studi, kritik, dan sejarah kesusastraan yang diresmikan, tapi tak secara resmi dinyatakan terlarang. Misalnya, sastra pop. Kesusastraan yang dipisahkan adalah berbagai khasanah teks yang tak dimasukkan dalam forum resmi kesusastraan Indonesia, bukan karena warna ideologinya, biografi politis penulisnya, atau bobot nilai estetisnya, melainkan karena kekakuan konsep kategoris dan teori kesusastraan resmi yang sedang mapan. Misalnya, sastra daerah. Jadilah biografi kesusastraan modern Indonesia sebagai biografi suatu hegemoni.
Saat ini, setelah demokratisasi menjadi acuan ketika orang berbicara dan berperilaku apa saja, mengotak-ngotakkan kesusastraan—dan kesenian—Indonesia dengan acuan konsep hegemoni tentu tak relevan lagi. Menyerahkan setiap buku sastra kepada keluasan tafsir dan imajinasi publik merupakan langkah yang tepat lagi bijak. Perangkat negara dengan segala derivatifnya baru bertindak setelah tafsir dan imajinasi itu berbuntut pelanggaran hukum positif. Penjara boleh dihuni setelah pelanggaran hukum positif itu memiliki kekuatan hukum yang tetap. Bukan cuma pengusaha, politisi, dan pejabat yang boleh berdalih dengan mengutip frase “kekuatan hukum yang tetap” untuk terbebas dari penjara.
Kalau penguasa atau rakyat tak setuju dengan isi suatu karya sastra, biarlah mereka membikin karya tandingan. Biarkan antarkarya sastra itu berperang, sementara masing-masing pengarang berada di luar gelanggang. Waktu akan menentukan mana karya sastra yang lebih dapat diterima. Lagi pula, perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat—misalnya, kehadiran internet—membuat diskriminasi politik terhadap ideologi tertentu merupakan kemubaziran. Jadi, biarkanlah si Bisu membisu karena ia memang ingin membisu. Bukan si Bisu membisu karena dibisukan pihak lain.
*) Iwan Gunadi, Peminat Sastra / 21 Juni 2010
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2010/06/21/pramoedya-ananta-toer-dari-histori-ke-ahistori/

0 comments:

Post a Comment