Sajak-Sajak Mutia Sukma
Posted by PuJa on February 10, 2012
http://www.lampungpost.com/
Samarang
bagi The Photograf
sebelum kotamu benar-benar tak cukup jadi mangkuk
menampung luapan laut dan
kotoran kota
aku ingin menjejaki bekas tapak kakimu
dan mencari di mana bingkai bingkai fotomu
dulu kau gantung
“1, 2, 3, senyum, senyum”
serumu dari belakang kamera
tapi di sini,
di samarang tempo doeloe
aku tak bisa tersenyum
sebab aroma mayat yang menguap
dari tanjung mas
membuatku merasakan kau mati
padahal tak benar-benar mati
Juli 2010
Perjanjian
1.
bila nanti benar-benar aku
tumbuh jadi dewasa
dan mengerti arti mencintaimu
aku ingin kita menikah dengan
sederhana saja
cukup mama-papaku, ayah-ibumu
kamu melingkar cincin pada
jari tanganku
sebentuk pengikatkah?
2.
bila benar kamu jadi papa
anakku
ajarkan dia salat dan membaca buku
sewajarnya, sewajarnya saja
sebab waktu masih panjang
dan biarkan dia jadi buah matang pohon bukan karbitan
3.
bila benar kamu jadi tua
bersamaku
pastikan, kamu benar-benar tua karena usia
Selokan Mataram, Suatu Pagi
terpejam aku di tepi-tepi mimpimu
yang dingin
air yang hitam, penggilingan padi,
lapak-lapak kecil dan rumah-rumah
orang kaya
barang kali,
ketika tak sepagi ini
tak seperti ini rasanya,
meski kota
desa juga suasana yang kurasa
aku dan kamu
menjadi sepasang pecinta yang
mudah kagum
pada matahari yang terpantul di air
jembatan kayu tua yang lapuk
juga tangga yang menurun ke sungai,
atau menurun ke hatimu?
barangkali,
belum lengkap kita menikmati suasana
sebab pagi begitu cepat
sebab dirimu tampak begitu singkat.
Perubahan
segalanya yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti bunga-bunga palsu itu
yang memutih dan lilinnya
mengelupas
di jalan raya
orang pemegang surat kemudi
mematuhi aturan lalu lintas
berhenti pada tempatnya
dan parkir di arena yang disediakan
tapi kota hanya boleh ditinggali orang
yang mau tak peduli dengan apa pun
marka jalan dibangun untuk dibiarkan
mengelupas lalu berkarat
segala yang terlihat indah
akan berubah di dunia ini
seperti cinta yang mulamula makin tak ada
museum-museum didirikan untuk
dipuja saat tua
tapi puisi kenangan dicipta
menjelma sayap burung
yang terbang dan entah bersarang di mana
Mutia Sukma, lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Kuliah semester akhir di Jurusan Sastra Indonesia UNY. Mendirikan kelompok belajar dan perpustakaan bagi anak bernama Kelompok Belajar Rejowinangun, Yogyakarta. /15 January 2012
0 comments:
Post a Comment