Posted by PuJa on February 26, 2012
Jusuf An
http://www.kompasiana.com/jusuf_an
Begitulah, sejak itu kau memanggilnya Nitse. Sebelum kau mengunjungi kamarnya, kau pernah menyangka jika ia seorang yang malas, sebab kau jarang melihatnya di ruang kuliah dan jika pun ia ada, kau sering melihatnya tertidur di dalam kelas. Tetapi kau buru-buru menyadari kekeliruan atas sangkaanmu setelah masuk kamarnya siang itu. Kau menebak Nitse rajin membaca, jarang tidur malam dan mencuci pakaian. Tetapi Nitse tak setuju kalau dibilang rajin membaca, sedang untuk begadang dan malas mencuci pakaian ia tak membantah. Kau juga mengatakan, kalau Nitse senang minum minuman keras, tetapi tak senang perempuan. Nitse hanya tertawa mendengarnya.
Kau menganggap Nitse tak jauh berbeda dengan kawan-kawan di sanggar teater. Ia pandai melukis dan bermain gitar yang bagus. Suatu ketika, ia pernah berkata-dan kau kontan menyetujuinya-bahwa cara terbaik melawan penderitaan hidup adalah dengan menciptakan keindahan. Di lain waktu, setelah kau mengisahkan perihal Zulaikha padanya (kau tak mengatakan jika Zulaikha adalah salah seorang santri ayahmu), Nitse menanggapinya dengan, “Jika kau terus mengingat masa lampau, kau tidak akan kreatif. Tetapi jika kau tak pernah mengenang sejarah hidupmu maka kau tidak normal dan akibatnya kau susah mengatur dirimu sendiri.”
Mulanya kau tak pernah kau tahu jika hampir saban malam Nitse mengamen di jalan Solo. Sebab Nitse sendiri tak pernah mengatakan tentang hal itu padamu. Kau memang sering curiga ketika datang ke kamar Nitse malam-malam dan selalu tak menemukannya ada di kamar. Kamarnya tak pernah terkunci, sehingga kau akan masuk dan menunggunya sembari membuka-buka buku dan merokok. Merasa bosan menunggu, kau sering pergi pulang dengan membiarkan buku-buku yang baru kau baca berserakan. Atau kadang-kadang, kau menunggunya hingga larut malam, hingga Nitse pulang dengan menenteng gitarnya-lebih sering kau tertidur sebelum Nitse pulang. Ditanya dari mana pergi, Nitse sering tak terang menjawabnya. Tapi kemudian, kau tahu sendiri, kalau Nitse hidup dari penghasilan ngamen malam hari. Dan ternyata kau juga menyenangi pekerjaan itu.
Dua hari setelah Nitse mengajakmu ngamen untuk pertama kali itu, kau kembali mendatangi Nitse dan mengajaknya ngamen lagi. “Lebih bagus kalau kita ngamen sendiri-sendiri,” ujar Nitse menyambut ajakanmu. Kau paham. Sebab jika ngamen berdua maka hasilnya akan dibagi dua sehingga tidak memuaskan. Merasa tertantang, kau kemudian benar-benar memberanikan diri membawa gitarmu memasuki tenda demi tenda makan di sepanjang jalan Solo. Mengenakan sandal jepit, kaus oblong yang sengaja kau balik, kalung rantai dan topi, kau mengayuh kaki, bernyanyi; mengumpulkan koin demi koin.
Rezeki memang ghoib, gumammu suatu hari, setelah menyadari penghasilanmu yang tak tentu. Kadang, dalam satu warung tak seorang pun memberi uang, tetapi kadang satu lagu yang kau nyanyikan dapat mendatangkan uang-uang kertas atau berbatang-batang rokok. Kau benar-benar mensyukurinya dan menganggap uang yang kau dapat sepenuhnya halal, apalagi lagu-lagu yang kau nyanyikan bukanlah lagu-lagu cinta, melainkan lagu-lagu bertema sosial dan kadang di sela-selanya kau menyelipi membaca puisi.
Kau menjadi jarang menulis semenjak menggeluti pekerjaan itu (kau ingin menolak jika dikatakan malas menulis karena telah mengetahui cara mudah mendapatkan, meski sebenarnya dalam hati kecilmu kau mengakuinya). Meski jarang menulis, kau masih senang duduk berlama-lama di atas kloset dan sering bertanya-tanya, apa yang terjadi jika orangtuamu tahu pekerjaan baruku. Di waktu lain, kau juga merenungkan kalimat-kalimat yang Nitse katakan padamu yang diam-diam telah membuatmu gelisah. Buku-buku di kamar Nitse yang kau baca tak kau sadari telah mengganggu pikiranmu. Tetapi kau tetap menjalankan shalat lima waktu, meski kadangkala kau melupakannya dan seringkali berpikiran bahwa Allah pasti memaklumi dan memaafkan kealpaanmu setelah kau teringat apa yang dikatakan Abu Nuwas bahwa sebesar-besarnya sesuatu, masih lebih kecil dibandingkan dengan ampunan Allah yang paling kecil.
Kian hari kian banyak yang kau gelisahkan, di antara yang paling membuatmu keras berpikir adalah tentang nasib. Sebagaimana sudah aku katakan, kau mulai merasa kalau orang tuamu telah mengikatkan simpul-simpul mati di kaki dan tanganmu. Kau merasa tak bisa bergerak, tak lagi punya pilihan, tak berani mengelak; kau berpikir, kelak, setelah kau menamatkan kuliah kau akan hidup di pesantren dan setelah ayahmu meninggal, kau akan menggantikan kedudukannya. Kau menyadari hal itu pada suatu pagi ketika kau tengah jongkok di atas kloset. Dan berpuluh-puluh hari berikutnya, di tempat yang sama, kau merasa menemukan jalan keluar, bahwa kau akan bisa lepas dari kekangan orang tuamu jika tak lagi meminta kiriman uang.
***
TAK ADA yang lebih menegangkan bagiku kecuali ketika menghembuskan keragu-raguan ke dalam dadamu. Apa yang aku lakukan tersebut membawaku pada dua kemungkinan. Jika aku berhasil membuatmu berpaling dari apa yang kau yakini selama ini, betapa bahagianya aku. Namun jika aku gagal maka sungguh celakalah diriku. Tentu saja aku tak sudi untuk gagal. Maka, beginilah, aku akan selalu mencampuri gerak akal dan hatimu.
Tetapi, aku lebih suka, kau lupakanlah aku saja. Anggaplah aku tak pernah ada, tak pernah ikut campur hal apapun padamu. Agar kau merasa tentram, tentu.
Bacalah lagi buku-buku yang liar dan nakal dan tak perlulah kau mendiskusikan apa yang kau baca dengan siapapun. Yakinlah, kau akan menemukan jawaban dari apa yang selama ini kau gelisahkan. Kau akan segera keluar dari jeratan pertanyaan. Dari pertanyaan yang menjerat. Ya, kau akan bebas. Akan merdeka, Rijal.
Sebenarnya tidak sepenuhnya aku telah membuatmu ragu tentang apa yang dulu kuat kau pegang. Kalau pun aku tidak menghembuskan keragu-raguan ke dadamu niscaya dengan sendirinya kau akan mengalami masa-masa seperti itu. Betapa buku-buku di kamar Nitse yang sebagian besar sudah kau baca itu telah mengguncang keimananmu. Lagi, percakapanmu dengan Nitse yang seringkali terkesan bernada humor tetapi serius itu telah merisaukan keyakinan-keyakinanmu.
Aku membayangkan: perlahan gagasan-gagasan gila di kepalamu akan aku jadikan syahwat, kemudian hasrat, dan kelak akan kau terapkan dalam kehidupan, selanjutnya menjadi kebiasaan hingga sulit kau hilangkan. Jika aku membiarkan pikiranmu berjalan sendiri tanpa aku dampingi, aku takut, kau justru akan menemukan cahaya kebenaran.
Berhari-hari kemudian kau mulai terperosok dalam lubang pesimisme. Kau mulai berani memberontak atas keadaanmu sendiri. Kau mulai berpikir kenapa harus dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki dan memiliki ayah seorang kiai. Kau juga memandang kelemahan-kelemahan yang kau miliki, tentang tulisan-tulisanmu yang ditolak media massa, dan cara membacamu yang buruk. Kau terhanyut dalam lautan kelemahan-kelemahanmu dan tak aku ijinkan kau keluar untuk memikirkan kelebihan-kelebihan yang kau miliki, yang sebenarnya jauh lebih banyak. Lingkungan sekelilingmu yang bobrok di mana banyak nilai tak lagi berfungsi dan orang-orang disibukkan dengan benda dan kesenangan diri sendiri, membuatmu semakin tak berdaya. Tetapi kau tetap keras berpikir, mencoba memecah misteri kematian dan hakikat penciptaan. Kau terus membaca, tetapi tujuan, cita-cita dan harapan hidupmu seolah justru lari menjauh. Semakin aku jauhkan.
SELESAI
Cerita ini merupakan cerpen yang panjang, pernah dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia edisi X tahun 2009.
0 comments:
Post a Comment