Tafsir Feminis Alquran-Hadis
Posted by PuJa on February 26, 2012
Iwan Nurdaya-Djafar
http://www.lampungpost.com/
DALAM kajian Alquran, munculnya penafsiran feminis merupakan kecenderungan baru. Kehadiran tafsir feminis sangat dilatarbelakangi ketakpuasan para mufasir-feminis atas penafsiran yang bersemangat patriarkhi. Hal ini dinilai kurang berhasil menjadikan Alquran sebagai “kitab petunjuk bagi umat manusia” (hudan li al-nas), khususnya pada konteks yang telah mengalami perubahan sosial.
Di samping tafsir Alquran yang bersemangat patriarki, pada level hadis, Fatima Mernissi menemukan apa yang disebutnya “hadis-hadis misoginis” yang merendahkan derajat dan membenci perempuan, yang berseberangan dengan Alquran. Diduga keras hadis-hadis misonigis itu adalah hadis-hadis palsu (mawdhu) mengingat pada pertengahan abad kedua Hijriah (dari 25 H—250 H) dunia Islam diguyur dengan banyak hadis palsu. Pemalsuan hadis terus berlanjut 50 tahun kemudian hingga selesai masa kodifikasi.
Menurut Jamal al Banna, hadis palsu pada masa itu mencapai jutaan hadis sesuai dengan apa yang dihafal para ulama hadis, seperti Imam Ahmad bin Hambal. Termasuk ke dalam matan (isi) hadis palsu adalah isu-isu perempuan, di samping isu siksa kubur, hari penghitungan, surga, neraka, khilafah, dan siksa sampai datangnya Al Mahdi, yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti umat seraya memalingkan umat dari urusan dunia ke urusan akhirat.
Lebih jauh, al Banna mengatakan fiqih perempuan bertentangan dengan kedudukan perempuan pada zaman Rasulullah. Oleh sebab itu, masalah fikih yang perlu mendapatkan perhatian adalah fiqih yang berkaitan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, hal yang berkaitan dengan perempuan sering dipandang sebelah mata dan tidak bernuansa keadilan. Dalam tema feminisme, kita tidak banyak mempunyai pandangan fikih yang mampu menyoroti dan menyikapi feminisme.
Tafsir Ulang
Namun, dalam masyarakat yang menghargai (dan oleh karenanya menuntut) kesetaraan gender, penafsiran literal-tekstual-skriptualistik atas Alquran tampak menjadi sesuatu yang “asing.” Perbedaan posisi lelaki dan perempuan, ketaksamaan dalam status persaksian, dan hal-ihwal serupa yang dikemukakan dalam Alquran memunculkan persoalan mendasar. Muncul pertanyaan, apakah Islam memang secara ontologis membedakan lelaki dan perempuan? Apakah Alquran tak bisa ditafsirkan-ulang mengingat perubahan sosial dalam kehidupan umat manusia?
Senarai pertanyaan inilah yang di antaranya mendorong para mufasir-feminis untuk melakukan kajian dan penafsiran ulang atas ayat-ayat Alquran yang bertalian langsung atau tidak dengan relasi lelaki dan perempuan. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah yang bertalian dengan posisi perempuan (seperti penciptaan perempuan, pemberian balasan di akhirat, kewarisan, kesaksian, poligami, nikah siri, nikkah mutah, pencatatan perkawinan, dll), yang terkait dengan ketokohan perempuan (seperti cerita tentang Hawa, istri Nabi Nuh, Luth, Ibrahim, Ratu Bilqis, Zulaikha, ibu Musa, dan Maryam dll) serta yang terkait dengan hak-hak perempuan, seperti perceraian, nusyuz, dan merawat anak.
Pengaruh feminisme mengambil bagian penting dalam penafsiran ayat-ayat tersebut. Sehingga penafsirannya pun disebut “tafsir feminis”, dan orang yang menafsirkan disebut “mufasir-feminis.”
Unsur feminis tampak pada analisis gender yang mereka gunakan. Analisis tersebut menyatakan secara genderial lelaki dan perempuan adalah makhluk yang sama-setara, kecuali secara seksual (jenis kelamin) memang berbeda.
Istilah “mufasir-feminis” dipakai untuk menegaskan mereka bukan hanya mufasir melainkan sekaligus feminis, sehingga hasil-hasil penafsiran mereka pun bisa disebut dengan istilah “tafsir feminis.” Tafsir feminis dimaksudkan untuk membela keadilan dan kesetaraan gender yang, bagi para feminis, merupakan ajaran normatif dari Alquran.
Ayat Tertentu
Berbeda dengan penafsiran pada masa silam yang menafsirkan Alquran secara keseluruhan dengan menggunakan model tahlili, para mufasir-feminis tidak menafsir-ulang semua ayat Alquran. Hanya ayat-ayat tertentu, khususnya yang terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, di antaranya ayat-ayat yang secara harfiah memperlihatkan superioritas laki-laki atas perempuan, seperti penciptaan perempuan, kesaksian perempuan, warisan, kepemimpinan, ketokohan perempuan, dll. Kemudian ayat-ayat yang terkait dengan “dunia” perempuan, seperti haydh (menstruasi), hijab, dsb.
Begitupun di dalam memahami Alquran tidak cukup mengandalkan ilmu-ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan ushul fiqh. Namun, perlu juga perangkat keilmuan modern, semisal sosiologi, antropologi, psikologi dsb. Inilah yang coba diusahakan para mufasir-feminis. Mufasir perempuan, sejatinya merupakan suatu fenomena yang relatif baru, meskipun sebelumnya sudah dirintis Bintus Syati. Mereka adalah Riffat Hassan, Amina Wadud-Muhsin, Leila Ahmed, Haideh Moghissi, Siti Musdah Mulya, Fatima Mernissi, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Maria Ulfah Anshor, Zaitunah Subhan. Selain itu, tafsir feminis disampaikan pula oleh para feminis lelaki, seperti Jamal al-Banna, Asghar Ali Engineer, Nasaruddin Umar, Syafiq Hasyim, Jalaluddin Rahmat, Mansour Faqih, K.H. Husein Muhammad, Masdar Farid Mas’udi, dan Komaruddin Hidayat.
Ide Moral
Munculnya tafsir feminis beserta mufasir-feminis di atas kiranya dapat mengakhiri tafsir maskulin yang bias gender, sehingga kita tidak hidup dalam pasungan mononilai, monocara pandang, monokultur, dan monotafsir. Sejarah panjang agama yang sejatinya sejarah kaum lelaki dalam pengertian yang luas sudah saatnya memasuki masa senjakala. Bukan zamannya lagi lelaki atau perempuan membangun kekuasaan agama atas jenis kelamin lain. Karena keberadaan agama bukan untuk satu jenis kelamin, melainkan untuk semua yang memerlukan ide moral dari agama.
Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan /24 February 2012
0 comments:
Post a Comment