Pages

Tuesday, 21 February 2012

Zhong Qiu Dalam Sastra


Zhong Qiu Dalam Sastra
Posted by PuJa on February 21, 2012
Zhou Fuyuan
___Media Inti Suara Baru Edisi No.8/Th.1-12-00

Hari Raya Tiong Chiu (Zhong Qiu Jie) atau Festival Pertengahan Musim Gugur selalu berkaitan erat dengan kehadiran bulan purnama. Bagi masyarakat Tionghoa, bulan purnama melambangkan kesempurnaan dan sekaligus kebahagiaan. Bulan purnama begitu bulat sempurna, bulat dalam bahasa Mandarin adalah yuan, kata ini juga di pakai dalam kata mejemuk tuan yuan, secara harafiah berarti bulat berkumpul untuk mengungkapkan kondisi pertemuan keluarga, kekasih dan sahabat yang telah lama terpisahkan. Dalam tradisi aslinya, pada saat Zhong Qiu Jie seluruh keluarga diharapkan dapat berkumpul bersama, makan besar bersama dalam satu meja di bawah bulan purnama atau da tuan yuan (pertemuan akbar paripurna).
Zhong Qiu Jie dan bulan purnama merupakan tema yang sering muncul dalam sastra Tiongkok, khususnya dalam puisi klasik. Bertolak belakang dengan suasana riang yang selalu menyertai perayaan Zhong Qiu Jie (musim gugur). Puisi-puisi ini kebanyakan menghadirkan suasana murung. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada saat menulis sang penyair umumnya sedang sendiri, terpisah jauh dari keluarga. Kehadiran bulan purnama hanya menimbulkan perasaan rindu dan menambah rasa sepi.
Pada saat perjalanan hidup dan karier politiknya mengalami goncangan penyair ternama Su Dong Po (1037-1101) dari Dinasti Song. Di pembuangannya menulis sebuah syair Zhong Qiu yang sangat terkenal. Syair ini ditulisnya sehabis mabuk berat dalam perjamuan Zhong Qiu, dan ditujukan untuk adiknya yang jauh terpisah. Dalam tulisannya, dia sempat berkhayal untuk melarikan diri dari dunia nyata yang sangat mengecewakan, di sini rembulan menjadi tempat pelariannya. Rembulan juga menjadi lambang dari pasang surutnya kehidupan, dan lewat rembulanlah dia menitipkan rasa rindu pada saudara yang jauh terpisah.
Penulis Tiongkok modern Ba Jin (1904-) dalam suatu tulisannya pernah menyatakan, dia membenci bulan purnama, karena kehadirannya selalu menjadikan manusia lemah dan melankolis. Pada saat revolusi, banyak anak muda dengan gagah berani meninggalkan kampung halaman, dengan tegas memutuskan ikatan dengan keluarga feodal yang coba membelenggu mereka. Namun pada saat mengalami kesulitan hidup, kehadiran bulan purnama membuat mereka rindu kembali kepada semua yang pernah mereka miliki, dan yang telah ditinggalkan. Sebagian dari mereka menjadi patah semangat, dan memutuskan untuk kembali ke kehidupan lama yang mapan. Bagi perantau, bulan purnama selalu mengingatkan akan kampung halaman, maka tidak mengherankan kalau puisi Rindu Malam-nya penyair Li Bai (701 – 762) dari Dinasti Tang menjadi sangat terkenal di kalangan Hoa-kiau di seluruh dunia.
Puisi tentang bulan purnama juga dapat menjadi sebuah puisi cinta, penyair dinasti Tang, Zhang Jiuling (678 – 740) melukiskan kerinduan dan kesepian seorang wanita yang berpisah jauh dari kekasihnya, juga dengan latar-belakang bulan purnama.
Kadang-kadang, bulan purnama dapat menjadi teman yang setia bagi seorang yang sedang menyendiri, terutama bagi seniman yang memerlukan suasana tenang. Lihatlah penyair sekaligus pelukis Wang Wei (701-761), juga dari Dinasti Tang yang melukiskan kehadiran rembulan di tengah pertapaannya ditengah hutan yang sunyi.
Di atas semuanya adalah di dunia sastra klasik, bagaimana dengan dunia modern? Di sini ada sebuah puisi modern yang ditulis penyair Taiwan Yu Guang Zhong , masih tentang bulan purnama, hanya bulan sebelumnya, pada saat Zhongyuan jie (pertengahan bulan ke tujuh imlek), yang merupakan hari sembahyang kepada arwah para leluhur yang sudah meninggal. Meskipun makna perayaannya berbeda, sejauh menyangkut bulan purnama, ternyata perasaan yang terkandung masih sama. Kita dapat membandingkan puisi ini dengan puisi Rindu Malam-nya Li Bai dan menemukan banyak kemiripan, meski dengan bahasa keseharian (bai hua), namun kesejahteraan makna dan suasana cukup jelas terlihat. Boleh dikatakan puisi ini adalah versi modern dari Rindu Malam.
Syair Medio Musim Gugur
Su Dong Po
Kapankah ada bulan purnama ?
angkat anggur coba bertanya pada langit biru.
Tak juga tahu istana di langit,
tahun berapakah kini.
Ku ingin pulang menumpang angin,
namun takut loteng menikam gedung pualam,
di ketinggian dingin tak tertahankan.
Menari merangkai bayangan tajam,
Tiada tempat yang seperti bumi !
Mengitari paviliun merah,
menuruni jendela kerawang,
menyinari yang terjaga semalaman.
Seharusnya tak ada dendam,
mengapa selalu membulat saat berpisah?
Manusia ada suka duka jumpa dan berpisah,
Rembulan ada gelap terang, bulat
dan tercoak
(syair Zhongqiu ini pernah dinyanyikan dalam versi
Pop Mandarin oleh penyanyi terkenal Theresa Deng Lijun
Dengan judul Dan Yuan Ren Chang Jiu)
Memandang Rembulan Merindukan Yang Jauh
Zhang Jiuling
Di atas laut lahir bulan purnama,
Di ujung dunia berbagi saat yang sama.
Kekasih kesal pada malam panjang,
Semalaman bangkit rindu kenangan.
Padamkan lilin sayang purnamanya sinar,
Kenakan mantel terasa basahnya embun.
Tak dapat digenggam untuk dipersembahkan,
Kembali tidur untuk mimpi bertemu
Wisma dalam Bambu
Wang Wei
Duduk sendiri di rumpun bambu sunyi,
Gitar dipetik diiringi lolongan panjang;
Di kedalaman hutan tak ada yang tahu,
Bulan purnama datang memberi terang.
Rindu Malam
Li Bai
Sinar rembulan depan pembaringan
Dikira salju yang terhampar di tanah
Tengadah memandang bulan purnama
Tertunduk terkenang kampung halaman
Rembulan Medio Bulan Ketujuh
Yu Guang Zhong
Sinar rembulan yang keperakan memenuhi ranjangku
masa kecilkah yang mengutusnya untuk mencariku ?
untuk barang apakah yang sempat tertinggal ?
bagaimanapun aku tak dapat mengingatnya kembali
hanya nampak dalam sorot mata yang mencurigakan, sepotong lengan
milikikkukah, tenggelam di dasar air
sepotong fosil yang masih harus menunggu kematian
Cahaya yang jernih begitu berharga, apalagi lelap tertidur
bukankah akan menyia-nyiakan dewi rembulan, dosa pada yang indah?
Tiba-tiba aku membalik badan menghadap ke arah luar
Dan langsung bertubrukan muka dengan bulan purnama
oh, yang hilang bersembunyi tak sempat lagi menghindar
Seketika aa berapakah yang pecah tertubruk ?
Yang lebih mengejutkan adalah sinar rembulan
yang menerima dan melewatiku, tak meninggalkan bayangan
Di luar aku mendengar masa kecil memanggilku
bayangan pohon bergoyang, aku membuka jendela menanggapi
dan seketika angin bertiup mengapit aku pergi
melayang-layang menuju sepotong cermin bulan setan itu
sepanjang jalan terus berhembus.
Dijumput dari: http://konfusiani.blogspot.com/2011/09/zhong-qiu-dalam-sastra.html

0 comments:

Post a Comment