Pages

Saturday, 31 March 2012

Sepatu dan Politik Identitas


Sepatu dan Politik Identitas
Posted by PuJa on March 31, 2012
Bandung Mawardi
http://epaper.tempo.co/

Politik modern memang bisa “ditamsilkan” dengan sepatu. Kisah sepatu ala Dahlan Iskan itu merepresentasikan adab politik kebersahajaan. Kisah sepatu ala Julia Gillard adalah efek protes politik.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menenteng sepasang sepatukets. Peristiwa itu terjadi setelah mengikuti rapat kabinet di Kemayoran (19 Januari 2012). Menteri itu tampak lelah. Dahlan Iskan mengucap,“Capek aku pakai sepatu.“
Kalimat itu diucapkan dengan wajah semringah tapi mengandung identitas dan adab politik seorang pejabat di mata publik. Sepatu justru dipilih oleh Dahlan Iskan untuk mengungkapkan kebersahajaan dalam melakoni politik.
Sepatu juga mengisahkan protes politik dan ketakutan. Kita bisa menengok ke Australia. Julia Gillard selaku Perdana Menteri Australia kehilangan satu sepatu saat berlari demi menyelamatkan diri dari kepungan para demonstran di Canberra (26 Januari 2012). Para demonstran itu mengumandangkan hakhak suku Aborigin. Julia Gillard lekas berlari bersama para pengawal, tapi sepatu sebelah kanannya terlepas. Sepatu itu ditemukan seorang demonstran sebagai simbol “kemenangan“atas aksi protes politik.
Politik modern memang bisa “ditamsilkan“dengan sepatu. Kisah sepatu ala Dahlan Iskan itu merepresentasikan adab politik kebersahajaan. Kisah sepatu ala Julia Gillard adalah efek protes politik. Dua kisah ini bisa digenapi dengan kisah sepatu ala Gus Dur. Sosok humoris ini saat Orde Baru kerap membuat ulah kontroversial. Gus Dur cuma mau mengenakan sepatu jika sedang meladeni Soeharto selaku Presiden RI.
Gus Dur tampak mau mengenakan sepatu sebagai laku etik-politik saat Muktamar Nahdlatul Ulama pada 1984 dan 1989. Gus Dur tak betah memakai sepatu. Memori sepatu ala Gus Dur itu adalah sajian identitas: santri di hadapan negara. Santri identik dengan sandal jepit dan negara tampil dengan sepatu.
Identitas Sejarah identitas kita bergerak melalui sepatu. Pilihan bentuk, ukuran, dan warna sepatu memberi asupan atas permainan identitas mengacu pada orientasi kepribumian, Barat, atau keislaman. Sepatu mengandung serpihan-serpihan ideologis, menerakan biografi kaum pribumi meladeni modernisasi, dan merepresentasikan ikhtiar kenecisan dalam pergelaran politik-kultural.
Berita-berita di koran, novel, drama, dan iklan merekam penghadiran sepatu dalam arus pembaratan. Sepatu menjelma imajinasi kemodernan, jagat semiotik untuk diskursus politik-kultural, memicu curiga atas tendensi-tendensi agama dan etnis. Sejarah kultural, geliat identitas, satire politik, dan kekisruhan ideologis mengalir dalam sepatu. Kisah sepatu mengantarkan kita untuk meriwayatkan transformasi sosial-politikkultural pada masa kolonialisme, mengingatkan kita pada kegenitan mengkonstruksi identitas sebagai kaum terjajah.
Dokumentasi kisah sepatu bisa disimak dalam petikan tulisan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak (Nomor 1, Tahun 1914). Satire sepatu tampil sebagai aksentuasi ulah kepribumian me nafsirkan identitas diri di hadapan kuasa kolonialisme: “Ada seorang regent poenja penjakit nratap (hart-klopping?), sebab melihat seorang bangsanja (Djawa) memakai sepatoe jang berboenji: kijet-kijet.“Pengenaan sepatu oleh seorang Jawa dan efek bunyi itu menimbulkan kesan penolakan oleh aparat dalam arogansi kolonialistik.
Kontras peradaban ditampilkan dengan asumsi bahwa pribumi tak pantas menampilkan diri ala Eropa. Sepatu adalah simbol khas bangsa penjajah. Jadi kaum pribumi di negeri terperintah tabu atau haram saat mengidentifikasi, meniru, dan mendandani diri ala si tuan penjajah. Pengenalan sepatu di Hindia Belanda mengandung maksud agen pemberi identitas-superioritas, simbol modernitas, dan legitimasi kultural-rasialistik. Kondisi ini menyulut dilema saat pemerintah kolonial mengagendakan modernisasi bagi pribumi melalui pendidikan dan praksis sosial-kultural.
Sepatu pun dijadikan menu untuk pembentukan etik-politis dengan saluran elite keraton, kaum elite terpelajar, pengusaha, dan pegawai pribumi di jajaran pemerintahan kolonial. Sepatu mengejawantahkan kolonialisme dan modernitas, menggerakkan prosedurprosedur afirmasi identitas, serta mengusung diskursus politis dan kapitalis.
Henk Schulte Nordholt (2005) memberi tamsil puitis: “Modernitas tidak singgah dalam sejarah Indonesia dengan bertelanjang kaki. Modernitas mengenakan sepatu.“Tamsil ini menyengat kesadaran kita akan arus sejarah resmi dalam dominasi politik dan ekonomi.
Jejak Kultur kaki telanjang bagi pribumi berlangsung sekian abad. Thomas Stamford Raffles merekam hikayat ketelanjangan kaki itu dalam gambar dan foto di History of Java (1817). Pengenalan sepatu di Jawa pada abad XIX dan XX menimbulkan instabilitas identitas-kultural. Sejarah telanjang kaki mengalami godaan, pemaknaan rentan berubah, dan adonan identitas berlangsung melalui negasi-afirmasi. Hikayat sepatu mengubah persepsi atas Barat, mengoreksi kekakuan identitas, dan meleburkan diri pribumi dalam selebrasi modernitas dengan sentuhan-sentuhan lokalitas.
Telanjang kaki tidak mengandaikan inferioritas peradaban, keterbelakangan kultural, dan kesepelean etika sosial-politik. Ketelanjangan kaki orang Jawa justru mengentalkan anutan kosmologis. Kaki telanjang representasi intimitas dengan tanah, etik-ekologis, spiritualitas, dan adab. Makna ini diintervensi oleh kuasa kolonial melalui produksi wacana modern dan praktekpraktek persuasif. Sepatu diajukan seolah untuk pemartabatan kaum elite pribumi, pengentasan dari kegelapan peradaban, dan politisasi identitas.
Sepatu meninggalkan jejak-jejak politis, identitas, kelas sosial, iman, dan gaya hidup. Kuasa hikayat sepatu ini disikapi dengan kebersahajaan ala Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran dari Yogyakarta ini malah mengembalikan diri dalam pergumulan identitas lokal melalui pakaian dan ketelanjangan kaki. Ki Ageng Suryomentaram menanggalkan model hidup elite karena pertimbangan politik, kultural, iman, dan identitas.
Pilihan menjadi petani di desa adalah kontroversi atas konstruksi identitas dalam kuasa kolonial. Ki Ageng Suryomentaram pun identik dengan kostum celana pendek hitam, selendang batik yang dikalungkan di leher, dan kaki tanpa sandal atau sepatu. Prosedur ini dilakoni dan dipahami demi mengenali lagi diri manusia. Penampilan ganjil pada masa modern itu tak berubah saat Ki Ageng Suryomentaram memenuhi undangan Sukarno ke Istana Merdeka (1957) untuk memberi wejangan-wejangan hidup. Hikayat sepatu seolah tamat dalam sosok manusia bersahaja asal Yogyakarta.
Sepatu pun mengisahkan kita dan Indonesia dalam pergumulan politik dan identitas. Sepatu melampaui urusan kaki. Kita mafhum sepatu mengalami olahan makna untuk menguak kesejarahan dan nasib manusia. Sepatu meninggalkan jejak dan menggerakkan kita ke dunia bergelimang kisah.
Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
Dijumput dari: http://17-08-1945.blogspot.com/2012/02/koran-digital-bandung-mawardi-sepatu.html

Sastra Komik dalam Tangisan Julius Caesar


Sastra Komik dalam Tangisan Julius Caesar

Sabtu, 31 Maret 2012, 06:15 WIB



REPUBLIKA.CO.ID,Dada Julius Caesar membusung penuh kebanggaan. Di depannya, membungkuk Vercingetorik, yang bersiap menyerahkan pedangnya sebagai simbol takluknya suku liar Galia. Ketika menerima pedang, berbagai senjata lain meluncur ke arahnya. Pedang, tombak dan perisai berdentaman menimpa kaki sang Caesar. Dan, keadaan pun berbalik: giliran warga Galia -- Asterix, Obelik, dan dukun Panaromik -- melonjak-lonjak tertawa kegirangan, sementara Kaisar Romawi itu menjerit-jerit tak karuan lantas menangis tersedu-sedu. Kisah petualangan Asterix itu jelas sudah melenceng. Rujukan sejarah baku dipinggirkan. Kharisma Julius Caesar dan kehebatan laskar Romawinya diporak-porandakan. Tapi, akibatnya di luar dugaan: komik konyol yang cerdas itu justru laris di pasaran.

Komik sekarang memang telah menjadi komoditi dagang yang menggiurkan. Bahkan, sudah bukan rahasia bila komik sejenis lainnya, semacam Kungfu Boy, Dora Emon, Tarzan, Star Trek, Flash Gordon, dan Batman, menduduki tempat terhormat di televisi atau film. ''Untuk Asterix yang kini sudah menginjak cetakan ke tujuh, menurut penerbit aslinya di Prancis, sudah mencatat rekor cetakan terbesar,'' kata penerjemah serial Asterix, Rahartati Bambang Haryo. Lantas di manakah posisi komik Indonesia? Pertanyaan ini memang sulit dijawab. Apalagi, dunia komik Indonesia sekarang tengah ''mati angin''. Komik dalam negeri terkubur diterpa badai komik impor Jepang, Korea, Eropa dan Amerika. Lebih dari itu, posisi komik sendiri dalam sastra Indonesia tetap saja kabur: termasuk sastra serius, populer, atau justru bukan sastra. Akibatnya, sangat masuk akal, komik masih dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Dan lebih tragis lagi, dalam benak banyak orang komik tak lebih dari sekadar ''bacaan keparat''.

''Padahal komik sendiri sebenarnya punya arti. Yaitu sebagai jembatan budaya visual dan budaya tulis,'' tegas Rahayu S. Hidayat, Ketua Kajian Komik Indonesia. Malahan, lanjut Rahayu, komik juga bisa menjadi kajian Semiotika. Komik tidak bisa hanya dipahami secara tunggal. Sebab, berkaitan dengan sistem lambang yang dipakai manusia untuk menyatakan sesuatu. Komik Asterix misalnya, walau ceritanya sangat kocak dan konyol, dengan gamblang menggambarkan idealisme orang Prancis. 

Asal usul komik sendiri sebenarnya bisa dilacak hingga ribuan tahun silam. Kebiasan menuangkan gagasan dalam bentuk gambar sudah dapat dilihat pada peninggalan berbagai ragam cerita bergambar di dinding-dinding gua kuno. Di Indonesia, gambar serupa tersebar di gua-gua yang ada di Sulawesi, Kalimantan dan Irian. Sedangkan tradisi komik modern Indonesia -- ada cerita, teks, serta gambar -- bisa dirunut mulai abad ke-18 dengan munculnya komik Mahabarata yang dibuat oleh para santri yang tinggal di Cirebon. ''Mungkin malah lebih jauh dari itu, jika kita mengacu pada relief candi-candi, cerita bergambar pada daun lontar Bali dan wayang beber,'' kata Rahayu pada Republika, pekan lalu.

Kajian khusus mengenai komik Indonesia sendiri hingga kini nyaris belum ada. Apalagi kajian dari aspek sastranya. Keadaan ini jauh berbeda dengan kenyataan di luar negeri. Di Prancis misalnya, komik malah diperlakukan sebagai sarana untuk mengantarkan masyarakat agar berkenan membaca karya sastra serius semacam Shakespeare. Pakar Semiotioka dan penggagas postmodernisme, Umberto Eco dan Roland Barthes, malah telah melakukan penelitian untuk mengungkap mitologi serta struktur yang tersembunyi di balik komik. Keadaan itu memang sedikit tertolong oleh hadirnya disertasi Marcel Boneff, Les Bandes Dessinees Indonesiennes, 1976. Dari disertasi ini dapat diketahui lima fase perjalan dunia komik di Indonesia: periode pengaruh Barat dan Cina, Kepribadian Nasional, Komik Medan, Nasionalisme ala Soekarno, serta Roman Remadja dan Komik Silat.

Periode Barat dan pengaruh Cina (1931-1954), menurut Boneff, ditengarai terbitnya komik Flash Gorfon, Put On, dan Flippie Flink, yang dimuat majalah De Orient, Sin Po, serta Java Bode. Setelah perang dunai II usai, muncullah komik Si Tolol, Oh Koen, Kisah Jendral Kaisar T'ai Tsung, dan Sie Djin Koei. Pada masa yang sama, komik khas Indonesia -- Mentjari Puteri Hidjau, Roro Mendut, dan Pangeran Diponegoro -- mulai bermunculan. Malahan pada tahun 1954, komik mengalami perubahan drastis karena mulai diterbitkan dalam bentuk buku. Maka munculah komik laris seperti Sri Asih dan Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih, dan Sri Rimba. Berikutnya adalah masa komik Medan (1954-1960) yang ditandai terbitnya komik-komik berlatar belakang epos Mahabarata dan Ramayana, legenda, sejarah kerajaan serta dagelan. Tema ini beralih pada masa 1960-1963. Komikus Taguan Hardjo, Djas dan Zam Nuldyn hadir dengan komik petualangan, seperti Telandjang Udjungkarang, Mati Kau Tamaksa, Musang Berjanggut, Kisah Kapten Jani, dan Dewi Krakatau.

Setelah masa Medan surut, muncullah komik nasionalisme ala Soekarno (1963-1966). Komik dengan tema kepahlawanan, seperti pemberontakan Trunojoya, pembebasan Irian Barat dan kisah di sekitar revolusi fisik 1945 membanjiri pasaran. Semangat anti neo-kolonialisme -- Hantjurlah Kubu Nekolim, Udin Pelor, Melati di Sarang Pemberontak -- juga menjadi temanya. Usai pemberontakan PKI, muncul komik Bandjir Darah di Kabut Pagi karya Jas S. Putera dan Rusnaizur. Kajian Boneff diakhiri masa komik bertema roman remaja dan komik silat (1966-1974). Cerita drama kehidupan remaja karya Budijanto, Zaldy, dan Jan Mintaraga, seperti Rambut Sasak, Impian Kemarin, dan Rhapsody Dalam Sendu, menggebrak pasar. Puncaknya, hadir serial silat Si Buta dari Gua Hantu (Ganes Th), Lebak (Djair), dan Djampang (A. Tatang). 

Setelah 1974 komik lokal menunjukan grafik terus menurun, karena tersaingi komik impor dari Amerika, Eropa, Jepang serta Hongkong. Pada pertengahan dekade 90-an, mahasiswa ITB yang tinggal di komplek Cigadung, memang hadir dengan konsep cerita barunya --Kapten Bandung, Pahlawan Pembela Kebetulan. Namun, ini toh belum mampu mengangkat nasib dan citra komik Indonesia, termasuk belum mampu meneroboskannya sebagai karya ''sastra-bergambar'' yang mampu menarik minat para pengamat atau kritisi sastra. Para komikus kita agaknya masih harus ''menangis'' layaknya ''tangis'' Julius Caesar ketika ditertawakan warga Galia dalam komik Asterix. 

Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Reporter: m subarkah



Bermula dari Tuhan Maha Romantis


Bermula dari Tuhan Maha Romantis
Posted by PuJa on March 30, 2012
Syaifuddin Gani
http://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com/

Ya Tuhan yang Maha Romantis,
jadikanlah
aku puisinya
dan
dia puisiku
Terimakasih banyak
(2011)
Keromantisan dan Hasrat Seksual
Sajak di atas mendapat tanggapan yang cukup kritis dari Patta Nasrah, salah seorang pembahas sajak-sajak Deasy Tirayoh yang terhimpun di dalam buku puisi 9 Pengakuan, Seuntai Kidung Mahila, dieditori Shinta Febriany, dan diterbitkan Mahila Press, Januari 2012.  Menurut Patta Nasrah, penyebutan “Tuhan yang Maha Romantis” seakan-akan sebuah penegasan bahwa Tuhan itu memiliki hasrat seksual, karena romantis itu sendiri adalah sebuah perwujudan akan adanya hasrat seksual.
Demikianlah pandangan Patta Nasrah, ketika membahas sajak-sajak Deasy pada kegiatan diskusi puisi bertajuk Pengakuan Deasy Tirayoh yang diselenggarakan Komunitas Settung berkerja sama dengan Kloter-B (Kelompok Teras Budaya) di Taman Budaya Sultra, Kamis, 22 Maret 2012. Lanjutnya, Tuhan itu tidak berkelamin, tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Adanya 99 Asmaul Husna, yang menegaskan sifat-sifat Tuhan, tidak satu pun menyatakan Maha Romantis di dalamnya.  Menurutnya, sebagai penyair Deasy Tirayoh berani sekali berpandangan absurd serta menyiratkan adanya keangkuhan teologis.
Patta Nasrah kemudian mengutip salah satu lagi larik “kuampuni diriku/sebelum mengubur dirimu” adalah wujud keangkuhan teologis. Padahal, yang seharusnya mengampuni adalah Tuhan yang Maha Pengampun. Sehingga larik yang sesuai adalah “kumaafkan diriku” sebagai sikap momosisikan diri sebagai sang hamba. Akan tetapi, pendapat berbeda disampaikan Achmad Zain dan Galih Al Qandari, bahwa penyebutan “Tuhan yang Maha Romantis” adalah wujud ekspresi si penyair dengan Tuhannya, dalam media bahasa yang dianggapnya paling sesuai saat ia memetik momen puitik yang “spiritual” itu. Bahkan, Stone, sapaan karib Achmad Zain, menganggap sajak itu akan terasa lebih “sempurna” jika larik terakhir yaitu “Terima kasih banyak” dihilangkan saja. Atau jika tetap harus dipertahankan, sekalian ditambah dengan kata sapaan “nah” menjadi “Terima kasih banyak nah” sebagai wujud kedekatan atau ketiadaan jarak antara si aku lirik dengan Tuhannya.
Diskusi ini tambah menarik karena diawali pembacaan sajak-sajak Deasy oleh tiga Mahila (perempuan) yang juga penulis puisi Kendari: Sulprina Rahmin Putri, Kiki Reskyana Ilyas, dan Wa Ode Nur Iman.
Pembahasan tekstual, sebagaimana yang dikatakan salah seorang pendiri Sanggar Merah Putih di Makassar tersebut, bahwa ada benang merah “keremajaan” di dalam sajak-sajak Deasy Tirayoh, karena tema-tema masa muda banyak menghiasi sajak-sajaknya. Sajak “Nisan Itu Bernama November” adalah ikon keremajaan tematik yang bernada romantik. Inilah kutipan sajak tersebut:
Kuampuni diriku melalui puisi
Semua wajah
pada siang malam saat mengenalimu
Seperti ini
Telah kuampuni diriku
Jadi waktu
jadi bayangan
Riwayat yang memuara
ke laut
ke kuntum bunga
ke halaman buku
ke keabadian surga
Haruskah kecewa?
Demikianlah
November akan berganti
seperti es lalu cair kembali
Kuampuni diriku
sebelum menguburmu
Masa Muda dan Keangkuhan Teologis
Dari segi tekstual, sajak di atas menegasikan persoalan masa silam ‘kawin muda’ antara si aku lirik dan “sang kekasih”. Lanjut Patta, romantisme seperti ini banyak terdapat di dalam sajak Deasy Tirayoh sebagai sumber inspirasi penciptaan sajak-sajaknya. Bahkan sajak yang dikutip paling awal di atas, yang menyebut “Tuhan yang Maha Romantis” adalah bentuk permohonan kepada Tuhan agar sang aku lirik dan kekasihnya menjadi “aku puisinya/dan dia puisiku”. Sebuah permohonan romantis demi keromantisan hubungan kedua pasangan kekasih itu.
Ketika mengawali pembicaraannya, Patta Nasrah menegaskan bahwa ia selalu tergoda untuk mengetahui perjuangan ideologis sang penyair. Perjuangan ideologis seperti apa, yang sadar atau tidak sadar, termaktub di dalam sajak-sajak penyair. Dari pertanyaan awal hingga proses pembacaan itulah, Patta Nasrah kemudian menemukan adanya semacam keangkuhan teologis/idelogis di dalam sajak-sajak tersebut yang merupakan representasi penyairnya. Selain itu, Pattah Nasrah juga melihat adanya benih-benih eksistensialisme dan sekularisme di dalamnya. Hanya sayang, saat itu, sang pemateri tidak sempat mengutip larik-larik sajak yang mengindikasikan adanya benih-benih yang dimaksud. Dari penemuan ideologis itu, Pattah Nasrah menegaskan bahwa sebagai penyair Deasy Tirayoh tergolong sosok yang berani di dalam menuangkan ide-idenya, meskipun masih menyiratkan adanya ketidakstabilan emosi di dalamnya. Bahkan, atas pembacaan kritisnya itu, Patta Nasrah juga “berani” menyimpulkan bahwa sebagai penyair, Deasy Tirayoh “tidak terlalu” beragama.
Akan tetapi, pandangan seperti ini terasa tidak “adil” jika klaim keberagamaan seseorang hanya berdasar pada teks puisinya. Apalagi “hanya” ada sepuluh teks puisi dan cuma  tiga puisi yang berbicara soal Tuhan. Padahal, religiusitas seseorang lahir dari perpaduan teks-teks kehidupannya yang tak terhingga. Pandangan Patta Nasrah sebagai pembaca dan pembahas sajak-sajak Deasy tersebut, mengingatkan kita pada analisis teks-teks puisi Chairil Anwar oleh Arief Budiman dengan menggunakan pembacaan eksistensialisme yang terhimpun di dalam buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (Penerbit Wacana Bangsa, 2007).
Di sisi lain, hasil pembacaan dengan pendekatan tekstual, membawa Patta Nasrah pada suatu penemuan bahwa sebagai penyair, Deasy Tirayoh telah berhasil menemukan dan memanfaatkan bahasa semaksimal mungkin sebagai sarana pengungkapan ide-idenya. Deasy mampu mengoptimalkan keterbatasan sekaligus kemampuan kata untuk hadir menjadi metafora yang kuat. Larik “Jemarimu kau simpan pada jantungku yang berdebar hingga pagi pecah” menujukkan kekuatan kata itu. Kata “pecah” adalah pengoptimalan kata dasar untuk hadir bersama kata yang lain, membentuk bangunan larik yang utuh dan kuat. Menurut Patta, seandainya kata “pecah” diawali imbuhan “me” sehingga “memecah” maka ia akan terasa lemah. Lanjut Patta, “pagi pecah” adalah bahasa laki-laki. Istilah “bahasa laki-laki” ini sebetulnya masih harus mendapat pendapat penjelasan lebih lanjut. Karena apakah “pagi memecah” misalnya adalah bahasa perempuan? Bahasa yang dianggap tidak kuat atau lemah?
Ruangan di Rumah Seni Kloter-B, tempat pelaksanaan diskusi ini terasa pengap, karena disesaki sekitar empat puluh orang peserta dari berbagai komunitas sastra dan teater, serta mahasiswa. Tidak terasa dua jumbo kopi, plus satu jumbo teh yang disiapkan panitia, hampir habis. Matahari semakin tenggelam saja. Warna kirmizinya menembus kisi-kisi jendela. Deasy Tirayoh menebar senyum romantis ke seluruh peserta,juga pada pemateri. Ia selalu ceria ditemani anak semata wayangnya, Edelweis.
Patta Nasrah telah melakukan kajian tekstual dan ideologis dengan baik di dalam menganalisis sajak-sajak Deasy.
Antara “Sinkretisme” Hanna Fransiska & Dorothea Rosa Herliany
Pembicara yang lain, Ilham Q. Moehiddin memiliki pendapat yang lain lagi mengenai sajak-sajak Deasy Tirayoh. Menurutnya, daya ungkap Deasy mengapungkan makna puisinya, menjadi luar biasa. Membaca sajak-sajak Deasy, lanjutnya, seolah-olah kita membaca “sinkretisme” antara Hanna Fransisca dan Dorothea Rosa Herliany dalam pengertian yang sederhana. Kemiripan dengan Hanna, kata spesialis penelisik sastra ini, Deasy lihai di dalam mengoptimalkan keseharian dan lingkungan terdekatnya menjadi sebuah sajak. Sajak “Kangen, Balada Hati, Catatan di Tepi Bulan, Layang-layang, dan Di Teras dengan Bunga-bunga” adalah sederet sajak yang lahir dari lingkungan keseharian penyair. Menurutnya, kelebihan Hanna Fransisca, penyair yang telah melahirkan buku puisi Konde Penyair Han, adalah kemampuannya menangkap momen-monen keseharian menjadi sebuah sajak, misalnya tentang pepaya, memasak di dapur, puisi kacang hijau, pohon jambu, dan sebagainya.
Sedangkan kemiripannya dengan Dorothea adalah daya ungkap Deasy yang liar serta kepiawaiannya mengakhiri sajaknya dengan baik. Sajak “Secangkir Purnama” adalah salah satu sajak  Deasy yang seperti itu, lanjutnya. Inilah kutipannya:
Senja beranjak buram menuju malam
Ruang bergerak hitam di minus retina
Kau: serupa halaman bertumbuh
bijibiji kopi
dan rimbun janji menganakpinak
Tungkai lupa harus menempuh berapa
setelah jarak sebait tanggal
Perayu,
malam di mana sama sajalah
tetapi
saat kehilangan rasa
tanpa kau sadari
purnama kelam mengapung
di cangkirmu
Akan tetapi, lanjut Ilham, karena terlalu terobsesi dengan ungkapan yang liar, sebagian sajak Deasy menjadi gelap, seperti larik berikut ini, “Tungkai lupa harus menempuh berapa/setelah jarak sebait tanggal”. Pertanyaan yang kemudian diajukan Ilham adalah, apa makna dari larik “tungkai lupa harus menempuh berapa”? Bukankah ada kesan terjadinya kegelapan bahasa dan metafora? Meskipun demikian, Ilham tetap memuji kerja kepenyairan Deasy yang mencoba mengoptimalkan penggunaan diksi yang maksimal di dalam sajaknya. Katanya, “Jarang kita temukan diksi yang ditautkan dengan diksi yang lain ut membentuk daya ungkap”!
Enjambemen yang “Lain”
Salah satu hal yang sangat menarik perhatian Ilham yang juga salah seorang pendiri Komunitas Settung ini adalah penggunaan enjambemen yang sangat khas dan unik di dalam sajak Deasy. Sajak “Di Teras dengan Bunga-bunga” adalah sajak yang enjambemennya “lain”. Inilah sajak tersebut secara utuh:
Seperti apa wajahmu sekarang,
Nay?
Masihkah matamu tanpa
Jiwa?
Kapan pulang?
Kita timbun lagi bijibiji
dengan cangkul kaca
Ke mana
Sobekan rok merahmu kau bawa?
Benangnya masih menggelayut di bunhbunga
Nay,
datanglah sesekali
kita tidur siang lagi
Aku tunggu di teras
2010
Ilham kemudian melahirkan pertanyaan, “Kenapa “Nay,” harus ke larik berikut, sementara ada “koma” di belakangnya?  Mengapa kata “Jiwa” pada larik ke empat mesti turun ke bawah, tidak menjadi bagian dari larik ke tiga? Mengapa larik “Ke mana” tidak bersambung saja menjadi satu larik dengan “Sobekan rok merahmu kau bawa”? Untuk jawaban ini, Ilham berjanji akan membuat tulisan tersendiri mengenai enjambemen sajak-sajak Deasy.
Suara Salawat dari masjid yang tidak jauh dari Taman Budaya Sultra mulai terdengar samar ketika sesi tanya-jawab saya buka, selaku moderator. Achmad Zain, penanya pertama mengatakan bahwa selain suka puisi Deasy, ia juga sangat suka status-status Deasy di akun facebook. Katanya, kesederhanaan bahasa adalah salah satu kekuatan sajak Deasy, sebagaimana kesederhanaan bahasanya di facebook. Baginya, Deasy ibarat sebuah pohon yang telah berbuah dan kita telah menikmati buahnya. Seorang penyair tidak boleh terjerembab pada hutan diksi sehingga sajaknya menjadi susah dipahami. Lanjutnya, sajak “Catatan di Tepi Bulan” adalah sajak yang menyadarkan bahwa kita masih memiliki Tuhan.  Galih Al Qandari, penanya lain berpendpat bahwa Deasy Tirayoh akan bermazhab teologi apa, itu wajar dan sepenunnya menjadi bagian dari kebebasannya.
Abdul Razak Abadi yang memiliki nama maya Adhy Rical mengatakan bahwa jujur saya tidak tahu kalau Deasy Tirayoh sebagai penulis puisi. Saya hanya kenal sebagai penulis cerpen saja. Ia sering meng-tag cerpen-cerpennya kepada saya.  Adhy juga mengeritik sampul buku yang dinilainya tidak “konsisten”. Judulnya 9 Pengakuan tetapi gambar “sel telur” berjumlah sebelas.
Ilham, sambil mengutip sebuah firman, bahwa  Tuhan itu tergantung persangkaan umatnya. Bila aku buruk di matanya, buruklah aku. Jika aku baik di matanya, baiklah aku. Pengutipan ayat Alquran ini adalah “jawaban” Ilham atas kemultiinterpretasian sajak “Tuhan yang Maha Romantis” itu. Hal yang kurang lebih sama dikatakan Pattah bahwa sajak yang bagus adalah yang multiinterpretasi. Pendapatnya yang mengatakan bahwa sajak itu seakan-akan mengandaikan bahwa Tuhan itu punya hasrat seksual karena keromantisan itu bagian dari hasrat seksual, dan bahwa larik “kuampuni diriku” adalah wujud keangkuhan teologis, sementara Achmad Zain dan Galih mengatakan bahwa itu adalah wujud/kebebasan ekspresi sang penyair, kesemuanya menegaskan bahwa sajak itu multiinterpretasi dan “berhasil”.
Kembali ke soal sajak Deasy, Pattah mengatakan bahwa ia suka absurditas dan eksistensialisme asal penulisnya konsisten akan hal itu. Saya jengkel karena penulisnya tidak konsisten, katanya sambil tertawa. Selain itu, kepasrahan Deasy pada kodrat sebagai perempuan, Pattah juga tidak setuju. Apakah memang Deasy pasrah pada yang kodrati? Apa yang kodrati pada perempuan?
Senja Hampir Usai dan Deasy yang Pemalu
Senja hampir usai. Pasukan malam mulai berdatangan.
Saya harus segera memanggil Deasy Tirayoh ke depan untuk menyampaikan proses kreatif, ihwal penerbitan buku 9 Pengakuan, dan menjawab tanggapan kedua pemateri. Inilah sesi yang ditunggu-tunggu. Inilah jawaban Deasy yang saya berupaya tidak menambahkurangi.
Terima kasih atas kehadiran para peserta, kata Deasy. Terima kasih kepada Komunitas Settung dan Kloter-B, yang menyelenggarakan diskusi ini. Terima kasih kepada kedua pemateri yang sangat menyenangkan.
Saya duduk di tengah-tengah pemateri, dan kata pertama yang saya ucapkan adalah “Wow”!
Seharusnya saya duduk bersama ke delapan kawan saya. Tetapi ke delapan kawan saya bermukim di kota yang berbeda jadi tidak mungkin berada di ruangan ini. Lagi pula, diskusi ini menitikberatkan pada sajak-sajak saya saja. Tidak ada kata “kebetulan” saya masuk dalam antologi 9 Pengakuan. Ini adalah berkah facebook.
Saya tidak pernah bergabung dengan komunitas apa pun di Kendari, bahkan dosen-dosen saya keget ketika tahu saya menulis puisi.
Saya menulis di sebuah ruangan, kontemplasi, lahirlah beberapa karya.
Saya adalah seorang yang sesungguhnya pemalu. Bahkan jarak terjauh yang saya lalui adalah ketika keluarga pindah ke Kendari dan  ke Makassar untuk bedah dan lounching buku ini.
Teman-teman facebooker di Makassar melirik saya dan terlibat dengan proyek ini.
Kemudian saya terima sebagai momen untuk keluar dari kamar. Saya kirim karya yang saya simpan dari kamar rahasia di sebuah di folder yang saya  kunci.
Puisi adalah hal terdekat dan misteri paling jauh.
Puisi ini (maksudnya buku 9 Pengakuan) lahir karena kami bukan kebetulan perempuan tapi karena ingin menunjukkan aktualisasi di khazanah sastra Indonesia.
Harusnya memang saya banyak belajar.
Bapak saya calon pendeta mengawini ibu saya yang Islam. Kemudian bapak saya menjadi mualaf.
Apakah pengakuan Deasy tersebut dimaksudkan untuk menjawab klaim Patta Nasrah soal keberagamaan Deasy? Demikianlah serentetan pengakuan sekaligus pembelaan Deasy Tirayoh atas sajaknya dan atas pembahasan pemateri.
Sayang sekali, Magrib akan segera tiba, jadi sesi pertanyaan dari forum untuk Deasy sebagai penulisnya, saya tiadakan. Masih banyak peserta yang ingin bertanya. Sebaliknya, kedua pemateri dapat bertanya langsung kepada Deasy, tetapi juga harus ditiadakan, demi menyongsong panggilan Tuhan, menunaikan ibadah Salat Magrib.
Patta Nasrah dan Ilham Q. Moehiddin telah menggunakan haknya sebagai pembaca untuk menilai dan mengkritisi sajak-sajak Deasy. Tentunya, hasil pembacaan itu dilakukan oleh dua orang yang berperan sebagai pemateri diskusi saat itu. Artinya, masih akan banyak hasil pembacaan yang bisa saja berbeda yang dilakukan oleh pembaca-pembaca yang lain.
Tradisi kesusastraan yang sehat dan bernas hanya akan lahir dari proses kritisisme seperti ini. Ada karya, ada kritik, ada diskusi, ada dialektika.
Bagi saya, ada sajak Deasy yang sangat menantang untuk didiskusikan, yang terlewati pada diskusi ini. Saya tidak tahu, apakah kedua pemateri merasa tidak “tertarik” atas sajak itu atau sengaja melewatinya. Sajak itu menggukan kata “pintu” sebagai kata kunci utama yang di setiap bait, bisa saja memiliki makna yang berbeda-beda, atau makna yang sama sekali sama. Dengan kata lain, “pintu” yang dimaksudkan adalah sama. Sebagai moderator atau seorang pembaca, sajak ini mengandung “kontroversi” mengenai para penjaga pintu itu.
Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip sajak Deasy Tirayoh yang saya maksudkan di atas:
Dongeng: Di Pintu Ibu
Pada zaman dahulu kala, pintu itu dijaga oleh raksasa. Matanya nyalang. Giginya panjang. Rambutnya berantakan
Pada zaman pascadahulu kala. Pintu itu dijaga nabi berjanggut panjang. Matanya penuh sabda. Bibirnya bergelantung mantramantra
Pada zaman setelah itu. Pintu itu tak lagi berpenjaga. Lama
Nak,
Di zaman sekarang, pintu kamu jaga baikbaik. Kelak kamu akan mengerti, rahim itu lebih suci dari air zamzam dan Sungai Gangga
Kampus Unhalu, 2007
Sebagai moderator, tentunya salah satu kewajiban saya adalah merangkum keseluruhan ide, pertanyaan, dan jawaban di dalam diskusi ini. Inilah semacam rangkuman saya atas pemikiran yang terserak dan saya coba mengumpulsatukan. Saya menutup tulisan ini, sambil mengutip sajak Chairil Anwar, Rumahku dari unggun-timbun sajak? Kaca jernih dari luar segala nampak!
                                                            Puri Tawang Alun 2,  26-27 Maret  2012
Dijumput dari: http://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com/2012/03/29/bermula-dari-tuhan-maha-romantis/

Diam sebagai Puncak Perlawanan


Diam sebagai Puncak Perlawanan
Posted by PuJa on March 31, 2012
Tjahjono Widarmanto
http://www.suarakarya-online.com/

“Kita telah melawan,
Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya”
Perempuan itu bernama Nyai Ontosoroh ia telah melakukan perlawanan hampir sepanjang hidupnya. Perlawanan melawan nasib dantakdirnya. Dengan penuh kesadaran mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai kemungkinan. Saat nasib mengantarkannya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda ia hanya pasrah menerima takdirnya.
Namun, dibalik sikap pasrahnya, berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungakan dengan politik etis tuannya, ia mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar. Perlawanan yang dilakukan adalah perlawanan yang diam-diam, tidak hiruk pikuk, namun dilakukannya sepanjang hidupnya. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok yang baru, dari sekedar perempuan dusun biasa menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segala citra busuk seorang Nyai.
Perlawanan yang dilakukannya bukanlah perlawanan yang frontal, namun sebuah perlawanan yang mengalir bersama sebuah penerimaan pada takdir. Pasrah tak sekedar diam dan menangisi nasib, namun dalam pasrah muncul sebuah perlawanan yang diam .
Diamnya Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa yang memunculkan perlawanan dibalik sikap pasrah, barangkali bisa dipahami saat kita melihat sosok Gendhari (Gendari) dalam cerita pewayangan. Ketika ia diperdaya oleh Bhisma untuk diperistri seorang Deatarata yang buta, seorang yang lemah, seorang yang ringkih dibawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu. Gandhari tak bisa menolak takdir itu. Dan tak bisa menggugat suratan tangannya. Gandhari dalam pasrahnya menanggung kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Ia memutuskan untuk selamanya menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati agar tak melihat apa-apa.
Namun, sejak itu, Gandhari bersama adiknya, Sengkuni, dengan cerdiknya disusunnya sebuah skenario baru, muslihat yang halus, yang kelak akan melahirkan episode-episode sedih bagi anak-anak Pandu serta membentangkan kematian Bhisma dalam sebuah pertempuran maha dahsyat. Dalam diri manusia Jawa memang selalu muncul kontradiksi-kontradiksi, dalam diri manusia Jawa selalu muncul kontras dan tumpang tindih.
Di balik diam ada perlawanan, di balik kelembutan muncul kekejian. Sebuah serat bernama Centhini menggambarkan ketumpangtindihan itu. Di dalam Centhini bisa dilihat betapa manusia Jawa itu penuh kontras, tumpang tindih antara raga dan roh, antara yang sensual dan spiritual, antara lembut dan tajam, antara yang alim dan alami, antara Jawa dan Islam.
Pada Centhini melalui pengembaraan Amongraga dari Giri, kita bisa melihat deskripsi ajaran sufistik, deskripsi cara ibadah, deskripsi makanan, hinga deskripsi seks yang gila. Kontras yang paling mencolok ada pada pupuh 362, bait-bait saat Amongraga bersama istrinya, Tembang Raras, berada di biliknya yang tertutup. Ada adegan para santri yang menyanyi dan menari seakan-akan memberikan latar musik pada adegan ranjang Amongraga dan Tembang Raras.
Dan, di bilik itu tak ada yang erotik. Hari itu, sama seperti 39 malam lainnya kedua suami istri itu tak bersenggama sama sekali. Pria alim itu hanya nembang mewejang istrinya. Namun diluar ada Jayengraga, lelaki tampan yang merasakan desakan libido yang dahsyat.Dalam situasi ereksi luar biasa ia gagal meniduri isteri dan selirnya yang sedang datang bulan, dan akhirnya melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda penggiringnya. Ia orgasme dan subuh tiba, adegan homoseksual itu berpindah, Jayengraga mandi. Mengambil wudhu, dan shalat bersama santri lainnya.
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Centhini menampakkan penggambaran situasi kejiwaan yang kontras dan tumpang tidih pada manusia jawa. Persis kita jumpai pada Nyai Ontosoroh dan Gendhari yang memunculkan sebuah kontras yaitu : diam dan sebuah perlawanan. Sebuah pasrah dan sebuah dendam! ***
______________31 Maret 2012
Tjahjono Widarmanto Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Alumnus IKIP Negeri Surabaya (sekarang UNESA). Pendidikan Pascasarjananya diselesaikan tahun 2006. Tulisan-tulisannya burapa essai budaya, sosial, pendidikan, dan puisi dimuat diperbagai media antara lain Kompas, Republika, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat,Pikiran Rakyat ,Harian SINDO, Bernas, Suara Pembaruan, Harian Sindo, Bahana (Brunai), Perisa (Malaysia) dan Horizon.

Thursday, 29 March 2012

Lama tak Terdengar, Andrea Hirata Go Internasional

Lama tak Terdengar, Andrea Hirata Go Internasional

Kamis, 29 Maret 2012, 14:38 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Setelah lama tidak terdengar kabar, novelis Andrea Hirata diketahui telah melakukan penandatanganan perjanjian penerbitan novel "The Rainbow Troops" yaitu edisi internasional dari Laskar Pelangi dengan penerbit terkemuka asal Amerika Serikat Farrar, Strauss and Giroux (FSG).

"Penandatanganannya sendiri dilakukan pada 12 Maret lalu di New York, yang diwakili Direktur Publikasi Jobathan Galassi," ujar Andrea Hirata di Jakarta, Kamis (29/3).

FSG adalah penerbit ternama yang berdiri sejak tahun 1946, dan merupakan penerbit yang paling banyak menerbitkan karya para pemenang Nobel Sastra.

Dengan adanya kerja sama tersebut, lanjut dia, impiannya agar bukunya bisa diterbitkan oleh penerbitkan terkemuka di Amerika tercapai.

"Mudah-mudahan penandatangan perjanjian penerbitan ini membuka pintu gerbang dimulainya karya-karya sastra dari Indonesia untuk 'go international'," tambah dia.

Sebanyak 21 pemenang Nobel Sastra yang karyanya diterbitkan FSG antara lain TS Eliot, Pablo Neruda, Nadine Gordimer, Seamus Heaney, dan Mario Vargas Llosa yang mendapat Nobel Sastra 2010.

Dengan kata lain, terbitnya novel ini adalah untuk pertama kalinya karya novelis Indonesia diterbitkan oleh penerbit terkemuka Amerika Serikat. "Saya merupakan satu-satunya orang Indonesia yang bisa menembus penerbit itu," tukas dia tanpa bermaksud menyombongkan diri.

Selain diterbitkan dalam edisi Bahasa Inggris, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tersebut juga menarik perhatian perusahaan milik bintang film Hollywood Brad Pitt, Plan B Entertainment.

Laskar Pelangi ini menjadi salah satu novel terlaris di Tanah Air. Novel ini kemudian difilmkan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana dan menjadi film terlaris sepanjang sejarah Indonesia dengan jumlah 4,6 juta penonton.

Redaktur: Hafidz Muftisany
Sumber: Antara

Info: http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/12/03/29/m1myjm-lama-tak-terdengar-andrea-hirata-go-internasional

Wednesday, 28 March 2012

Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia


Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia
Posted by PuJa on March 28, 2012
Zulfikar Akbar
http://www.kompasiana.com/soefi

Jika pagi ini berkesempatan untuk membuka koran lama, maksud saya tidak terlalu lama juga, sekitar jelang pertengahan tahun lalu, 2011. Kompas yang terbit pada tanggal 21 Mei ketika itu menurunkan berita kecil di sisi salah satu pojok. Judul berita itu adalah: Sastra Indonesia Tidak Dikenal.
Menariknya, bidikan soal kondisi sastra Indonesia yang diisyaratkan dari judul begitu rupa, mencuat dari peluncuran sebuah buku bertitel: Modern Library of Indonesia, yang dibarengi dengan sebuah diskusi Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia.
Pada ketika itu (19/5-2011), hadirlah beberapa figur yang disebut-sebut oleh sekian pegiat sastra sebagai sosok-sosok yang sudah malang melintang di jagad sastra nusantara, atau setidaknya pernah bersentuhan lama dengannya. Taruhlah misal Putu Wijaya, Mira Lesmana, dan Dewi Lestari.
Putu, di sana mengatakan, karya sastra Indonesia berbahasa Inggris penting untuk menunjukkan eksistensi. Menurutnya lagi, menghubungkan dengan kemungkinan laku tidaknya karya tersebut di luar, “itu tak perlu dipersoalkan.”
Menarik karena Putu sangat realistis mengisyaratkan kemungkinan nasib karya anak negerinya jika harus dilempar ke pasar lebih luas yang menjangkau benua lainnya. Meski saya tidak bermaksud menuding bahwa Putu pada saat itu ingin menunjukkan skeptisisme atas posisi buah tangan pegiat sastra negeri ini disandingkan dengan orang-orang luar sana. Bahkan, ia juga mendorong pemerintah untuk mendukung upaya peng-inggris-an karya sastra dari Indonesia—yang lahir dan mengangkat berbagai lekuk liku tubuh Indonesia, lepas dari masih elok atau tidaknya.
“Tidak bisa lagi pakai diplomasi gaya lama,” tegas Putu,”Pemerintah harus menyadari ini dan mendorong penerjemahan semua karya sastra.”
Menyimak ulang kalimat itu, saya tercenung, benarkah semua karya sastra? Apakah tidak perlu dispesifikkan karya sastra dengan standar seperti apa? Toh, sampai hari ini saja, mereka yang gaek di sastra pun masih kelimpungan jika harus dihadapkan pada soal standar. Atau, jangan-jangan tidak perlu ada standar-standaran? Tapi jika ini jadi pilihan, apakah tidak justru membawa aroma borok ke luar negeri? Bukankah jika ingin memberi—jika ‘ekspor’ karya sastra adalah pemberian—maka idealnya pemberian itu adalah yang terbaik?
Atau, boleh jadi juga, itu terpaksa dilontarkan Putu disebabkan rasa kalap. Sebab, pada ketika itu, ia juga bercerita tentang pengalamannya saat mengikuti festival sastra di Horisonte, Berlin, Jerman, pada tahun 1985. Katanya, dalam kunjungan tersebut ia tercekat saat seorang penyair Amerika Serikat menyatakan kaget dan baru tahu di Indonesia ternyata ada sastrawan.
“Ia kira kita hanya punya seni pertunjukan,” cerita Putu Wijaya mengisyaratkan perasaan miris.
Sedikit saya menaruh heran, kenapa Putu tidak mengijinkan diri saja untuk berburuk sangka kalau penyair dari negeri yang konon super power itu mungkin bukan sosok yang rajin membaca?
Di moment yang serupa pula—pada peluncuran Modern Library of Indonesia— John McGlynn yang juga merupakan Chairman Yayasan Lontar sekaligus penyunting seri Modern Library, menyebutkan bahwa pembaca asing tak hanya bisa mengikuti perkembangan sastra Indonesia, tetapi juga menghayati kekuatan politik sosial pembentuk Indonesia.
Keniscayaan itu–yang disebut McGlynn—tak bisa ditampik, tapi saya jadi terbetik tanya, sastra harus mengabdi pada siapa?
Baik, taruhlah kita menerima tawaran Putu, atau dukungan tersirat dari McGlynn, untuk bisa ‘menendang’ bola sastra yang awalnya hanya bergulir dari kampung ke kampung—andai boleh menafikan penyebutan kota—kemudian harus melesat ke luar lapangan awal. Saya kira soal eksistensi bukan suatu hal yang terlalu penting. Apalagi, pegiat sastra saya kira bukanlah mereka yang terlalu memberhalakan soal dipandang eksis ataukah tidak. Sebab, tanpa mengutip teori siapa-siapa, sastra itu memang bukan barang yang harus demikian rupa dijajakan; memberi laba, membuat kaya.
Hanya saja, bagaimana menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah kita sendiri yang sampai hari ini belum selesai; soal seberapa dikenal sastra Indonesia oleh anak bangsa sendiri, seberapa berpengaruh karya sastra yang ada di tengah kalangan masyarakat sendiri. Dan semua itu sampai sekarang belum ada jawaban yang tegas.
Entah harus percaya atau tidak, hari ini sastra di Indonesia, oleh sebagian kalangan masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Karena tidak memberi jawaban laiknya kajian-kajian akademisi dan cendekiawan di berbagai kampus-kampus ternama, sebagai buah dari kerelaan mereka merontokkan rambut sendiri menjawab persoalan bangsa.
Ideal untuk disahuti, jika itu sudah lebih berkuku dan sudah benar-benar mencengkeram kuat di tanah-tanah negeri ini, atau kelak harus menerima cibiran. Saya tidak tahu, apakah mereka di luar sana juga suka mencibir ataukah tidak. Tapi soal membawa “semua” karya sastra yang lahir di negeri memang seyogianya harus dikaji ulang.
Alasan yang bisa saya sebutkan tidak terlalu jauh dari; realitas bahwa ada masih banyak sekat-sekat yang diindahkan sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam sekian banyak karya sastra. Entah sekat dengan alasan agama, suku, gender, dan sebagainya. Mengumbar hal itu ke luar, hanya membuat sastra menjadi pembarter untuk sebuah stempel bertulis: picik!
Ah, akhirnya, saya sendiri berharap tidak ada yang akan indahkan pesimisme saya ini.
__________07 February 2012
*) Pegiat media, copy writer, content writer. Tertarik pada masalah-masalah sosial, sastra, juga budaya masyarakat nusantara. Selain juga berminat pada Sufistik dan Zen.
Dijumput dari: http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/07/sastra-indonesia-soal-sastra-yang-belum-dikenal-dunia/

Tuesday, 27 March 2012

Catatan Buku: Palagan Hamka dan Lentera “Pram”


Catatan Buku: Palagan Hamka dan Lentera “Pram”
Posted by PuJa on March 27, 2012
Rama Prabu
http://oase.kompas.com/

PECAHNYA peperangan Bintang Timur-“Lentera”/Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu panglimanya di medio 1962-1964 dengan HAMKA itu memercikan darah polemik baru berlabel Plagiasi pada karya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Dan ketika membaca buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat karya Muhidin M Dahlan (2011) kembali kita diingatkan bahwa prilaku tidak terpuji itu ternyata di Indonesia sudah dimulai jauh-jauh hari. Dan akhir-akhir ini banyak kasus Plagiat baik soal Cerpen sampai pada Karya Ilmiah di beberapa Universitas yang dilakukan oleh mereka yang ingin disebut penulis dan peneliti itu tidak terlepas dari lemahnya negara memberi batasan dan ukuran serta takaran dalam mendefinisi mana saduran, mencontek atau mencontoh hingga plagiat dalam beragam ukuran.
Seorang pemerhati sastra Indonesia A. Teeuw pernah menulis “bahwa di Indonesia dari dahulu masalah keorisinilan dalam penciptaan sastra belum ada; perbedaan antara pencipta, penyadur, penerjemah, penjiplak adalah perbedaan yang modern; menulis seringkali adalah menulis kembali dengan varian-varian yang terserah pada pengarang, dan yang penilaiannya terserah pada pendengar atau pembaca. Demikian pula naskah seringkali bersifat anonim, atau seandainya ada nama penulis tidak jelas apakah dia penulis “asli” atau “penyadur” atau pula “penyalin” pertanyaan semacam itu dianggap kurang relevan. Perkara ini sangat sensitif bahkan cenderung banyak yang akhirnya dianggap “kampanye hitam” untuk membunuh karir seseorang.
Tapi untuk soal Hamka, saya sependapat dengan buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (AMHP) bahwa buku “ini menjadi semacam pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan diantara mere di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-gererasi”.
Dan yang paling penting dari buku ini adalah, Muhidin (Gus Muh) kembali mengingatkan pada khayalak bahwa pernah ada polemik/palagan dalam istilahnya yang harus diketahui oleh generasi sekarang. Buku yang layak dan harus menjadi bacaan wajib para penggiat sastra ini salah satunya telah menggiring saya pribadi sebagai kolektor untuk kembali “gerilya” mencari semua buku-buku tentang Hamka dan buku yang Hamka tulis, ini salah satu dampak ikutan yang baik terlebih karena kepentingan Sidang Buku Indonesia Buku. Dan setelah membaca Magdalena (Terjemahan A.s. Alatas dan M. Junus Amir Hamzah) dari karya Majdulin Al-Manfaluthi dimana beliau terjemahkan dari Karya Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleus, kemudian membaca naskah yang menjadi polemik Tenggelamnya Kapak van der Wijk –Hamka serta setelah mengengok detail-detail yang coba dibuktikan dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (Gus Muh) saya berkesimpulan bahwa karya Hamka ini memang terlalu naif dan terlalu tidak jujur jika Hamka tidak mengakui bahwa bukunya memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dari urat lehernya karya terjemahan Manfaluthi. Untuk tidak merendahkan beliau yang diakui sebagai seorang agamawan dan pengarang dengan karya yang banyak, saya lebih setuju buku Tenggelamnya Kapal van der Wijk itu dikategorikan sebagai saduran.
Hamka telah mengakui dalam pendaluan untuk cetakan keempat bahwa “di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” Tenggelamnya Kapan Van der Wijk ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat”. Sepertinya “ilham dan kata sentimen” inilah yang hendak dijadikan pembela karangannya, walau dengan tulisannya (maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah diubah-ubah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka) Hamka seperti sedang menampar muka sendiri dari pada kata “bercermin air”.
Walau H.B Jassin menjadi salah satu pembela Hamka dengan mengatakan “pada Hamka ada pengaruh al-Manfaluthi. Ada garis-garis tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapannya sendir demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka terlalu gegabah untuk menuduh Hamka Plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen”. Tapi dari tulian ini saya meyakini Jassin tak sepenuh hati membela dan mempelajari polemik yang terjadi, karena Jassin juga bukan orang yang memakai kacamata kuda dalam menilai walau dia bilangbahwa Hamka adalah gurunya, yang sangat di hormati. Dia sudah baca semua bukunya, ikuti dan menyimpan semua tulisannya dalam majalah dan surat kabar. Tapi dalam hal kesusastraan mengenai fungsi pengarang, kebebasan mencipta, dan fungsi karya sastra, antara Jassin dan Hamka ada beberapa perbedaan pendapat.
Satu kasus, kerasnya Jassin dalam membela perkara “Langit Makin Mendung” (Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, H.B. Jassin, 1983) menilai bahwa Hamka mengatakan melihat cerita itu seolah-olah suatu laporan sejarah dan pelajaran agama, yang karena dan berbeda atau bertentangan dengan kenyataannya dan kaidah agama, ditolaknya. Hal ini bisa Jassin mengerti, karena beliau adalah orang yang telah memilih karier sebagai ahli agama dan mubalig. Ia tidak bisa lain dari keyakinannya dan kalau ia hendak menikmati suatu hasil karya, haruslah yang konform dengan keyakinannya. Ini adalah hak beliau. akan tetapi tak dapat dibantah bahwa imajinasi manusia bebas, sekalipunn ia mempunyai suatu keyakinan. Dan kebebasan imajinasi inilah yang hendak dikekang oleh Hamka pada ajaran-ajaran agama. Jassin tidak berpendirian demikian. Sebagai manusia beragama, punya keyakinan. Tapi juga mengakui adanya imajinasi yang bebas.
Jassin pun mengatakan bahwa “Inilah bahayanya kalau pikiran kita sudah terarah dengan mutlak dalam menghadapi suatu karya. Kita kita hanya mencari apa yang cocok dengan kita dan tidak coba mengerti kemungkinan-kemungkinan lain dari dari apa yang kita kehendaki. Dengan demikian dunia ini tetap sempit saja. Inilah caranya orang mengganggap hasil sastra sebagai dogma. Sebagai ulama, Hamka katanya metasa tersinggung oleh cerita “Langit Makin Mendung” dan menganggap dosa si pengarang begitu besar, sehingga sepantasnya ia dibunuh; halal darahnya menurut Islam, katanya. Hamka membantah hasil imajinasi pengatang dengan mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis, seolah-olah pengarang adalah seorang ulama yang telah memberikan fatwa-fatwa agama yang keliru dan akan menyesatkan umat.
Jassin mengerangkan, bahwa pengarang bukanlah ulama, tapi orang awam dalam hal agama, namun dengan imajinasinya yang awam mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalau seorang penghuni planet Senen sampai pada imajinasi Tuhan dengan caranya sendiri, saya menaruh hormat. Bagi Hamka seorang pengarang haruslah menggambar manusia dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan keyakinannya.
Hamka memestikan tokoh-tokohnya menganut pikiran-pikiran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang cocok dengan Hamka sebagai orang yang taat beragama. Maka akan didapatlah tokoh-tokoh yang stereotip, gagasan-gagasan yang stereotip, peristiwa-peristiwa yang stereotip, jalan pikiran yang stereotip, jalan cerita yang stereotip. Tokoh-tokohnya bukan tokoh-tokoh merdeka, tapi tokoh-tokoh yang telah terbelenggu oleh pikiran-pikiran pengarang atau pembaca yang menginginkan mereka demikian. Hamka hendak membelenggu imajinasi kepada akidah, meskipun dia tahu bahwa imajinasi sifatnya bebas. Imajinasi tidak terikat pada akidah, seperti mimpi tidak terikat kepada hukum lazim dalam kenyataan.
Dan buku AMHP menghimpunnya dengan cukup baik untuk soal bukti-bukti pragiat ini dari berbagai macam sudut pandang dan cara menakar, kegundahan Ki. Harkono Kamajaya (Pemimpin Umum UP. Indonesia) yang salah satu petinggi Majelis Luhur Tamansiswa yang menerbitkan cetakan ketiga (1985) buku Magdalena yang mengatakan bahwa “polemik itu niscaya tidak akan mencapai penyelesaian, sebab orang tidak dapat membenarkan atau membantah tuduhan plagiat tersebut sebelum membaca buku Majdulin” dan buku AMHP melengkapi pembenaran ini.
Seharusnya Hamka pun melakukan hal yang sama seperti Manfaluthi ‘tawadhu” dalam berkarya, walau kata Teeuw “Teks adalah milik bersama, bebas untuk dimanipulasi, dicocokkan, diciptakan kembali, sesuai dengan keperluan dan kemampuan para penyusun yang menganggap dari pencipta (seringkali juga sekaligus menjadi penyanyi dan penggelarnya), dan dengan minat pendengar dan penonton. Tapi kosep teks sebagai milik pencipta pertamanya, yang harus dihormati dan diabadikan dalam bentuk aslinya, pada umumnya tidak diketahui di Indonesia.
Manfaluthi mengatakan “saya menjaga jiwa aslinya sepenuh-penuhnya dan mengikat diri saya sekeras-kerasnya. Saya tidak menyimpang kecuali dalam membuang beberapa kalimat yang tidak penting, menambah beberapa kalimat yang terpaksa saya tambahkan karena kaharusan terjemahan, pengolahan, penyesuaian tujuan dan maksud-maksud tanpa mengurangi nilai aslinya atau keluar dari lingkungannya”. Jadi saya kembali berharap kedepan tak ada lagi karya sastra yang kembar identik seperti yang terjadi pada karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk-Hamka dengan Majdulin/terjemahan Manfaluthi dari [Sous les Tilleus karya alphonse Karr] karena itu selain merendahkan proses penciptaan pada akhirnya juga menghinakan diri didepan sidang pembaca buku di seluruh dunia.
Rama Prabu, Direktur Dewantara Institute
20 Maret 2012
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/03/catatan-buku-palagan-hamka-dan-lentera.html

Membaca “Kata” Malik Mahmud


Membaca “Kata” Malik Mahmud
Posted by PuJa on March 27, 2012
Mariska Lubis
http://oase.kompas.com/

“Semua pihak dan seluruh elemen masyarakat Aceh dapat memahami dengan jelas semangat MoU Helsinki dan eksistensi serta jiwa UU Pemerintahan Aceh sebagai langkah penting dalam mengakhiri permusuhan dan menciptakan perdamaian Aceh. Dengan memahami kedudukan, eksistensi, serta semangat tersebut maka tidak akan ada lagi bias tafsir dan bias implementasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan titik tolak pembangunan Aceh ke arah lebih maju, lebih demokratis, dan lebih bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.” – Tgk Malik Mahmud Al-Haytar yang disampaikan pada Seminar Konstruksi Perdamaian Aceh dan diselenggarakan oleh Aceh Sepakat di Medan, 17 Maret 2012.
Kalimat-kalimat di atas sangat menarik perhatian saya, terutama karena yang menyampaikannya adalah seorang Malik Mahmud yang sangat terhormat dan dihormati. Menjadi keprihatinan yang mendalam karena dari kalimat pertama di atas, maka jelas sekali beliau pun memiliki kekhawatiran atas pemahaman dari MoU Helsinsky. Sedangkan dari kalimat yang kedua, bagi saya menjadi pernyataan penting bahwa memang masyarakat Aceh belum memahami kedudukan dan eksistensinya sendiri.
Sebagai seorang tokoh yang saya anggap “sangat Aceh” dan tentunya sangat mengerti tentang Aceh tentunya tidak akan pernah sembarangan bicara. Selain itu, sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting di dalam diplomasi perdamaian, sudah tidak perlu lagi disangsikan kemampuannya di dalam berpikir dan berbicara. Oleh karena itulah, saya sangat menghargai pernyataan beliau di atas. Ini menjadi sebuah bukti kuat bagi saya bahwa beliau memiliki jiwa yang besar untuk mengakui kekurangan rakyatnya sendiri. Di sisi lain, juga saya salut karena jiwa besar inilah yang dapat menjadi pendorong dan penggerak perbaikan segala kekurangan yang ada demi terwujudnya cita-cita dan keinginan bersama.
Mengapa saya sangat menghargainya?! Tidak mudah untuk menemukan seseorang yang berani mengatakan apa yang sebenarnya, apalagi kekurangannya. Tidak mudah juga mendapatkan seseorang yang mampu berbahasa dengan kualitas yang baik untuk mengatakannya dengan cara yang elegan dan berkelas. Lebih banyak yang mengaku-aku hebat dan melakukan cara-cara yang sangat tidak etis dan tidak sopan untuk mendapatkan pengakuan.
Saya tidak melebih-lebihkan hal ini. Sudah berulang kali saya menulis tentang kualitas daya baca dan bahasa yang masih sangat rendah di Indonesia, termasuk di Aceh. Jika kualitas daya baca dan bahasa masyarakat tinggi, maka tidak akan ditemukan kendala untuk dapat memahami MoU Helsinsky itu dengan baik dan benar sesuai dengan teks dan konsteksnya. Kebanyakan masyarakat Indonesia hanya mampu membaca teks dan tidak mengerti serta paham atas konteks tulisan yang dimaksud, sehingga menimbulkan banyak masalah atas persepsi yang ditimbulkan.
Saya juga sudah sering menulis bagaimana keprihatinan saya terhadap jati diri masyarakat Aceh yang saya anggap sudah sirna dan hampir hilang. Bila seseorang sudah mengenal dirinya dengan baik dan memiliki jati diri yang kuat, maka orang tersebut akan tahu persis apa dan siapa dirinya. Segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan akan sesuai dengan posisi (kedudukan), waktu, dan tempatnya. Tidak lagi berkutat soal pengejaran eksistensi yang berlebihan, karena sudah tahu juga bagaimana eksistensi diri yang sebenarnya dan seutuhnya.
Aceh adalah sebuah wilayah yang menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dan kuat baik secara regional, nasional, maupun internasional. Jika tidak demikian, tidak mungkin Aceh menjadi pusat perhatian dan terus dipantau setiap gerak gerik dan langkahnya. Siapa yang tidak ingin menguasai Aceh?! Siapapun yang dapat menguasai Aceh, sama artinya dengan menguasai perekonomian Indonesia dan memiliki pengaruh besar di dalam dunia perekonomian Internasional. Oleh karena itu, pastilah selalu diperebutkan.
Begitu juga dalam hal agama. Aceh menjadi panutan sekaligus “bintang fajar” bagi masyarakat Indonesia di dalam hal agama Islam. Aceh yang mendapat julukan kehormatan “Serambi Mekah”, bukanlah diperoleh sembarangan. Tentunya ada banyak hal yang hebat dan luar biasa sehingga membuat Aceh demikian. Sehingga bukanlah sesuatu yang aneh bila apa yang terjadi dan dilakukan di Aceh dalam hal yang berhubungan dengan agama, akan dikaitkan atau berhubungan dengan wilayah lain baik di Indonesia maupun Internasional. Termasuk di dalamnya adalah politisasi agama dan agama yang dipolitisir.
“Di Aceh, setelah Belanda berhasil menaklukkan Aceh (tahun1902) melalui peperangan panjang dan melelahkan, serdadu Belanda masih menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh pejuang Aceh.Perang Aceh telah melambungkan nama-nama para pahlawan –yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia– seperti Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar dan lain-lain. Kehadiran Belanda di Aceh selalu terusik dengan politik anti penjajah dari kalangan masyarakat Aceh dengan memberi stigma “kaphe” atau kafir kepada Belanda.
Dari stigma inilah kemudian tersemai di setiap sanubari orang Aceh bahwa memerangi Belanda adalah sebuah ibadah bernama Perang Sabil, sehingga siapa pun yang meninggal melawan Belanda mendapat pahala syahid. Maka cukup banyak para syuhada Aceh yang rela tewas di ujung bedil serdadu Belanda karena mereka memang secara ikhlas maju ke medan pertempuran sebagai bagian dari ibadah. Dalam semangat itulah kemudian muncul kesimpulan kolektif bahwa siapa pun yang membantu penjajah adalah kafir dan halal untuk diperangi.”
Alangkah indahnya bila Aceh menyadari hal ini. Banyak sekali yang dapat dilakukan dan terwujud bila semua sama-sama mau belajar untuk mengerti dan paham akan hal ini. Kualitas daya baca dan bahasa adalah sebuah ukuran “real” yang menunjukkan kualitas “didikan” seseorang. Mereka yang bersekolah tinggi dan memiliki sederet gelar, memiliki jabatan tinggi, dan setumpuk harta, bahkan yang mengaku rajin membaca dan menulis pun belum tentu memiliki kualitas daya baca dan bahasa yang tinggi. Bila benar berkualitas, maka tidak sulit untuk dapat mengerti dan memahami MoU Helsinsky dan demikian juga di dalam penerapannya.
Saya dapat membayangkan bagaimana Aceh di masa depan nanti bila masyarakatnya sadar penuh akan apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tidak lagi perlu labil ataupun harus “terjajah” karena sudah mampu menjadi pribadi yang kuat dan memiliki jiwa yang merdeka. Kemenangan Aceh adalah karena kemampuannya di dalam berpikir dan menerapkan strategi dan tentunya ini semua berawal dari tahu benar apa dan siapa dirinya. Penempatan posisi yang sesuai dengan waktu dan tempatnya akan dapat mengubah segala sesuatu yang buruk sekarang ini menjadi lebih baik lagi.
Selain itu juga, jika Aceh sudah menemukan kembali dirinya maka tidak akan mudah dipengaruhi oleh yang lain. Tidak perlu juga membutuhkan simbolik dalam bentuk materi dan fisik hanya untuk pengakuan dan pengukuhan, apalagi sekarang ini konteks situasi dan kondisi sudah berubah. Aceh seharusnya dapat menjadi tolak ukur dan acuan nasional dan internasional di dalam berbagai bidang, terutama yang menyangkut masalah perekonomian, perdagangan, dan Islam.
“Untuk menindaklanjuti MoU Helsinki Pemerintah telah mengeluarkan sebuah undang undang yang disebut dengan UU nomor 11 tahun 2006 dan lebih populer dengan istilah UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh). Undang undang ini pada intinya ialah mengakhiri konflik dan memberi hak-hak khusus bagi Aceh. Dalam salah satu konsideran menimbang disebutkan: “…… serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada dasarnya UU ini memberi ruang bagi Aceh untuk memajukan berbagai sektor kehidupan di antaranya bidang agama, budaya, demokrasi, pertanian, kelautan, pertambangan, pendidikan, ekonomi untuk kemaslahatan masyarakat Aceh yang berkeadilan, sejahtera dan amanah. Secara tegas dapat kita katakan bahwa UU ini telah memberi hak kepada Aceh di bidang pemerintahan dengan otonomi seluas-luas, hak politik dengan pendirian partai lokal, pengelolaan kekayaan alam, pembagian hasil bumi antara Aceh dengan Indonesia, mempertahankan nilai-nilai dan lembaga lokal, serta terbentuknya lembaga baru yang bernama Wali Naggroe.”
Aceh sendiri sudah Islam, sehingga tidak perlu lagi harus berlebihan di dalam memperkukuh eksitensi ke-Islamannya. Semua tari-tarian, lagu, hadih madja, ilmu pengetahuan, dan bahkan cara berpikir serta tulisan Hasan Tiro dan pidato Malik Mahmud sekarang ini pun sudah sangat Islami. Silahkan membandingkan pola konstruksinya dengan pola konstruksi tulisan di dalam Al-Quran terutama Surat Al Fatihah. Amat sangat persis sekali pola konstruksinya. Saya memang bukan ahli kitab ataupun ahli agama, namun saya sangat memperhatikan pola konstruksi dan alur dari sebuah tulisan termasuk yang ada di dalam kitab suci. Bagi saya, itulah pola konstruksi yang paling hebat dan sudah sepatutnya saya pelajari dan terapkan.
Sementara apa yang “nampak” dikenakan dan ditampilkan di dalam budaya Aceh merupakan perpaduan dari berbagai unsur budaya yang membentuk Aceh, yaitu Arab Cina, Eropa, dan Hindia. Inilah yang menjadi keunikan dari Aceh dan merupakan jati diri Aceh yang sebenarnya, yang juga telah membuat Aceh hebat sehingga mampu melakukan penetrasi yang sangat luas ke berbagai wilayah nasional maupun Internasional. Islam Aceh bukan pada soal fisik dan materi tetapi pada jiwa dan pemikirannya. Eksistensinya sudah jelas dan tak perlu takut dan tidak yakin lagi.
Membaca akhir kalimat pidato Malik Mahmud, saya pun menjadi terharu. Inlah kata-kata penting yang patut dibaca, dipahami, dimengerti secara teks dan konteksnya bila memang Aceh dan cinta pada Aceh: “Marilah secara tulus dan ikhlas sama-sama kita memperkuat kestabilan perdamaian Aceh serta membangun semangat saling menghormati dalam menangani persoalan-persolan penghambat kesangsungan tersebut dengan arif dan bijaksana. Kepada Allah kita berlindung, dan kepada Allah pula kita berserah diri.”
20 Maret 2012
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/03/membaca-kata-malik-mahmud.html

“Musim Bermula”, Kesejatian Perempuan



“Musim Bermula”, Kesejatian Perempuan
Posted by PuJa on March 27, 2012
Hang Kafrawi
Riau Pos, 18 Maret 2012

PEREMPUAN; maka yang akan terbayang oleh lelaki tentang kelembutan, kecantikan, keharuman, pokoknya mengarah kepada kegairahan nafsu. Lelaki dibawa ke angan-angan yang dapat mengikat perempuan dalam benaknya; lekat tak terpisahkan. Di bentangan waktu lelaki, perempuan menjadi objek yang selalu hadir menyemburkan semangat lelaki untuk menguasainya. Sosok perempuan sumber cahaya yang tak pernah lelah menerangi dan lelaki senantiasa ingin memiliki jelaga cahaya itu dengan apapun caranya.
Keinginan yang mengebu-ngebu bagi lelaki, menyebabkan perempuan dipandang tidak memiliki kekuatan, sehingga lelaki berdiri tegak sebagai superior mendominasi perempuan. Pandangan lelaki lebih kuat dibandingkan perempuan mengakibatkan kaum hawa terus menerus menjadi objek penderitaan. Kaum lelaki berada di atas angin ingin menguasai perempuan, sementara perempuan seakan patah semangat untuk menunjukkan mereka juga memiliki kekuatan.
Untuk itulah perlu mematahkan pandangan lelaki lebih perkasa dibandingkan perempuan. Citra yang terbangun selama ini, lelaki lebih dibandingkan dengan perempuan, secara psikologis membangkitkan keinginan lelaki lebih besar lagi untuk menguasai perempuan. Maka lelaki pun melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan, terjadilah pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, bahkan perempuan dieksploitasi untuk kepentingan perempuan.
Mengatasi masalah perempuan makhluk lemah dibandingkan lelaki, membuka mata para pejuang perempuan melakukan gerakan menyetaraan perempuan sama dengan lelaki. Bermunculanlah pendapat tentang sebab perempuan ditindas oleh lelaki. Sistem patriarki meletakkan perempuan sebagai kelompok lain, sehingga lelaki dengan kekuasaannya menindas perempuan. Kelompok Feminis Marxis menganggap kapitalisme-lah penyebab utama dari ketertindasan perempuan; dominasi lelaki terhadap perempuan sama seperti dominasi modal terhadap buruh. Sementara Feminis Liberal memandang penindasan perempuan oleh lelaki disebabkan prasangka lelaki terhadap perempuan yang terlembaga dalam hukum partikular masyarakat yang menganggap perempuan itu lemah.
Gerakan perempuan sama dengan lelaki terus berlangsung. Dalam karya sastra, perbedaan gender ini menjadi inspirasi yang tidak pernah kering. Banyak penulis perempuan mengekspresikan kegundahan ataupun keinginan mereka dalam karya sastra. Mereka (penulis perempuan) terus ‘meledakkan’ pikiran bahwa perempuan sama dengan lelaki. Semangat perempuan ingin ‘terbang’ bersama lelaki semakin gencar ‘diproduksi’ dalam karya sastra. Herlela Ningsih, salah seorang penyair perempuan Riau, yang terus mengibarkan kesamaan gender di Tanah Melayu ini melalui karya-karya sastra, terutama puisi.
Salah satu puisi Herlela Ningsih yang mengibarkan kebesaran perempuan berjudul ‘’Musim Bermula’’. Puisi ini telah dibukukan dalam Kumpulan Puisi Penyair Perempuan se-Sumatera dengan judul yang sama, Musim Bermula. Buku yang memuat 18 penyair perempuan asal Sumatera ini, diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru (HPSBP) pada tahun 2001.
Dalam puisi ‘’Musim Bermula’’, Herlela Ningsih memperlihatkan bahwa perempuan merupakan makhluk Tuhan yang memiliki ketabahan dan tidak mudah putus asa berjuang. Mereka (perempuan) terus menancapkan keinginan di bentangan keadaan. Perjuangan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, tidak pernah pudar, selalu ada harapan.
Setelah musim berganti
musim bermula kami bentangkan
jadi kanvas musim ke musim
Bait pertama puisi ‘’Musim Bermula’’ ini, memperkokoh keinginan memposisikan perempuan sebagai makhluk yang optimis, berharap dan terus berharap dengan keikhlasan. Perempuan juga tidak pernah takut berhadapan dengan masalah apapun, karena perempuan yakin, kerelaan menjadi senjata dalam menyelesaikan masalah. Kerelaan menjadi modal dasar untuk membangun kesejatian. Pada baris pertama puisi ini, kata musim mewakili keadaan yang sudah selesai dilalui, namun harapan masih belum tuntas. Maka pada baris kedua, recupan harapan terus mekar. Waktu kini menjadi jalan untuk mewujudkan keinginan yang belum tuntas itu. Dengan membentang harapan pada hari ini, secara tidak langsung akan menghasilkan keyakinan untuk masa akan datang.
Ketabahan menjadi kata kunci untuk membongkar kekuatan perempuan. Mereka (perempuan) mampu tetap bertahan menghadapi segala macam cobaan hidup dan ketabahan inilah yang membentuk citra perempuan itu kelihatan lemah. Padahal bertahan dengan ketabahan merupakan strategi mengungkai masalah sampai masalah tersebut benar-benar terselesaikan. Sederhana memang, namun untuk tetap bertahan dalam ketabahan itu diperlukan energi ekstra.
Kanvas sederhana namun sarat warna
Ketika menemui kesia-siaan
Semakin bersemangat untuk mencari
lalu rinai hujan mengalir membasahi kalbu
puisi pun merimbun di telaga kasih
kelopaknya memekarkan cinta dan kesetiaan
memecah kefanaan misteri di lubuk nurani
mengabadikan cinta dalam mahkota paling mawar
menggugurkan kabut asap di genangan bathin
aduhai
di musim bermula
kusiram benih hati yang melayu
di bakar kemarau
tersenyum kembang abadi
yang tak akan layu musim ke musim
kejora di matamu
membeningkan musim bermula
‘Apa adanya’ yang datang dari keikhlasan merupakan jalan menuju ketabahan. Jalan ini membuka alternatif untuk terus berbuat, sehingga segala macam persoalan menjadi terang. Pandangan makhluk lemah yang selama ini melekat pada sosok perempuan, terpatahkan. Perempuan tidak kenal kata menyerah, walaupun berhadapan dengan kebuntuan, mereka tetap berjuang mencari dan terus mencari untuk menemukan hakikat perjuangan, yaitu; menyelesaikan masalah dengan kesetiaan.
Mengedepankan perasaan bukanlah sesuatu kelemahan. Sensitivitas yang datang dari mata batin akan merecupkan cahaya dalam mengarungi segala macam ketidakjelasan hidup ini. Perasaan membentuk hipotesis yang harus diselesaikan dengan tindakan. Inilah gaya elegan perempuan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tetap mengedepankan nilai keutuhan cinta, kesetiaan dalam mengambil sikap, walaupun duka mendera mereka.
Menjunjung cinta dan kesetiaan merupakan kelebihan perempuan. Kelembutan menjadi senjata untuk tetap bertahan. Kata puisi yang terdapat dalam baris kedua bait ketiga, mewakili perasaan perempuan yang terpendam dan pada akhirnya membuahkan rimbunan kasih. Kasih sayang menjadi perekat untuk tetap bertahan. Setelah rasa cinta cinta memunculkan kesejatian, segala kegelisahan perempuan mengembang keikhlasan. Perbuatan yang berdasarkan keikhlasan inilah yang dilihat sebagai kelemahan, padahal keikhlasan merupakan pondasi untuk membangun penyelesaian yang lebih arif.
Puisi Herlela Ningsih ini juga terasa aneh. Metafora yang digunakan terlalu dipaksakan, sehingga memunculkan kesan keliaran. Disaat membicarakan ‘keperkasaan’ perempuan secara universal, Herlela menarik permasalahan perempuan ke wilayah sempit mengenai perempuan Melayu. Seharusnya Herlela tidak memaksa ‘kehendaknya’, biarlah perempuan hadir di dalam puisinya secara umum tidak terpilah-pilah. Bukankah semua perempuan di dunia ini, menganggap dirinya tertindas oleh hegemoni lelaki?
Herlela sudah mencoba. Tidak banyak perempuan menyuarakan perlawanan melalui karya sastra. Di Riau, penulis perempuan masa kini dapat dihitung dengan jari. Herlela telah mengumpulkan kegelisahan itu dengan kumpulan puisi Musim Bermula.***
Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan dosen AKMR
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/03/musim-bermula-kesejatian-perempuan.html

Romantisme Kolonial dalam Sastra


Romantisme Kolonial dalam Sastra
Posted by PuJa on March 27, 2012
Bayu Agustari Adha
Riau Pos, 25 Mar 2012

PENGALAMAN menjajah dan terjajah meninggalkan kenangan tersendiri. Demikian juga yang dialami Belanda dan Indonesia. Sejarah kedua bangsa ini memiliki hubungan emosional tersendiri karena waktu 350 tahun tentunya menyisakan cerita yang tak sedikit. Bahkan sampai saat inipun romantisme keduanya belum juga hilang, sampai-sampai Belanda seperti tak rela atau belum mengakui Indonesia sebagai negara lain. Cerita-cerita ini tak hanya dibingkai oleh tuturan atau dokumen sejarah, namun juga banyak terukir di karya sastra.
Beberapa dekade terakhir memang muncul karya sastra post kolonial yang umumnya disuguhkan para penulis dari dunia ketiga. Ada yang coba kembali menghadirkan rekonstruksi dan bahkan dekonstruksi peristiwa untuk menghadirkan perspektif berbeda. Di Indonesia juga banyak cerita yang kembali memaparkan sejarah berkaitan dengan Belanda. Namun kebanyakan karya itu hadir dari perspektif Indonesia. Sedang dari perspektif seorang Belanda tercatat ada beberapa. Satu di antaranya adalah Hella S Haasse. Dalam karya pertamanya berbentuk roman tahun 1948, dia menyuguhkan suatu romantisme atau kerinduan akan kenangan indah masa lalu terhadap pengalaman Belanda di Indonesia dengan judul Oeroeg.
Dalam cerita roman ini sendiri terdapat beberapa representasi antara Belanda dan Indonesia atau pribumi. Itu meliputi hal-hal yang bersifat fisik, kepribadian, mindset atau pola pikir, nilai-nilai yang dianut dan cara pandang. Disini juga terlihat kegamangan dan kegagapan, serta perubahan dalam memaknai identitas masing-masing sehingga banyak melibatkan konflik batin. Terutama pada tokoh ‘’Aku’’ yang Belanda dan Oeroeg sebagai pribumi. Dalam hal fisik, dijelaskan bagaimana adanya perbedaan yang mendasar antara Belanda dan pribumi. Saat berumur enam tahun, si Aku yang Belanda memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Oeroeg pribumi. Namun perspektif yang dihadirkan dalam roman ini malah mengungkapkan sebenarnya Belanda iri pada pribumi. Ini terlihat dari pernyataan ketika si Aku memaparkan kebenciannya pada tubuhnya yang memiliki bintik-bintik, tidak seperti pribumi yang walaupun hitam tapi mulus dan kulitnya memerah ketika terkena sinar matahari. Dalam ketangkasan tubuh pun dia memuji pribumi yang bergerak lincah saat bermain.
Dalam hal kepribadian, sang Belanda ini juga memberi pandangan lain, namun tetap saja ada pandangan tradisi Barat yang mengukuhkannya sebagai kaum civilized atau berperadaban dibanding Timur. Si Aku memuji sifat periang dan ramah yang ada pada pribumi seperti ibu si Oeroeg. Perempuan ini tak menyimpan rasa benci walau itu adalah orang asing dan selalu bisa menerima orang lain. Sedang Oeroeg sendiri, selain memiliki ketangkasan sebagai bocah, juga memiliki kepribadian tersendiri. Bila tertawa tak terlalu terbahak-bahak dan mulut terbuka seperti Belanda. Ekspresi Oeroeg juga lebih terlihat tenang. Itu terlihat saat menangkap ikan dimana Oeroeg hanya memperlihatkan senyum keberhasilan. Di lain sisi, ekspresi si Aku terlihat berlebihan dengan bersorak-sorak. Ini mengindikasikan bagaimana seorang Eropa yang ekspresif dan seorang pribumi yang pasif.
Satu lagi nilai sebagai Eropa yang diperlihatkan adalah semangat kemanusiaan sebagai kaum beradab. Ini terlihat dari keheranan si Belanda terhadap Oeroeg yang senang beradu binatang. Nilai ini dikukuhkan ketika dia berkata: ‘’Oeroeg tidak kejam.’’ Ia hanya tidak memiliki perasaan orang Barat yang sering ingin menolong dan menghargai binatang. Oeroeg juga tak suka membaca, dia baca buku kalau hanya ada gambar. Beda dengan si Aku yang gemar membaca, yang tentunya lambang intelektualitas. Dari sini terlihat ada niat untuk menguatkan bahwa derajat peradaban pribumi masih di bawah Eropa. Namun di sini si Aku sendiri masih bisa memaklumi karena memang dia rela melakukan adaptasi. Beda dengan Eropa lainnya yang egois memaksakan nilai-nilainya. Begitulah si Aku yang coba menghadirkan perspektifnya bahwa sesunguhnya Barat juga mengagumi hal-hal yang dimiliki Timur disamping juga mempertahankan beberapa nilai Barat yang ‘’berperadaban’’.
Ada seorang tokoh di roman ini bernama Gerrard Stokman. Dia salah seorang pegawai di perkebunan di Kebon Jati, Pariangan dimana ayah si Aku jadi petugas administrasi. Gerrard memiliki semangat frontier seperti halnya orang Eropa. Dia menyukai petualangan dan alam liar. Dia rela bergaul dengan pribumi tanpa merendahkan sedikitpun. Disini terlihat dia memiliki prinsip persamaan, tak ada perbedaan antara Barat dan Timur. Itu juga terlihat ketika dia bicara dengan si Aku mengenai hirarki Belanda dan pribumi. Berikut kutipan percakapan mereka: ‘’Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?’’ Kukeluarkan unek-unekku.
‘’Apakah dia berbeda?’’
‘’Tidak! Gila itu,’’ kata Gerrard tenang tanpa melepaskan cangklong dari bibir. ‘’Siapa yang bilang begitu?’’
‘’Macan kumbang berbeda dari monyet,’’ kata Gerrard. ‘’Tapi apakah yang satu lebih rendah dari yang lain? Bagimu ini pertanyaan bodoh dan kau benar. Pertanyaan ini juga sama bodohnya bila menyangkut manusia. Perbedaan itu biasa. Setiap orang berbeda. Aku juga berbeda darimu. Tapi lebih tinggi atau lebih rendah karena kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu, itu omong kosong. Oeroeg kawanmu kan? Kalau memang ia kawanmu, bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?’’
Beda dengan si Aku dan Gerrard, ayahnya sendiri adalah sosok konvensional yang masih mempertahankan superioritas Belanda atas pribumi. Pola pikirnya menyampaikan keunggulan Barat yang harus terus ditancapkan atas kerendahan pribumi. Ini terlihat bagaimana penekanannya pada si Aku untuk tak bermain dengan Oeroeg. ‘’Anak ini tidak pantas berada di kampung. Tidak bagus untuknya. Bahasa Belandanya tidak santun sama sekali. Kau dengar tidak? Dia akan jadi anak kampung. Mengapa kau tidak melarangnya?’’ Begitulah petikan perkataannya pada istrinya. Terlihat jelas bagaimana arogansi seorang Belanda yang tak ingin menyamakan diri dengan anak kampung pribumi. Terdapat kecemasan akan pudarnya identitas Belanda yang lebih tinggi daripada Indonesia. Apalagi dengan ucapannya seperti ini: ‘’Oeroeg kan anak inlander.’’ Label inlander seakan-akan seperti sesuatu yang rendah karena memang saat itu inlander merupakan golongan keempat setelah Belanda, Indo dan Cina. Tak hanya pada masa kanak-kanak, saat sekolah pun ayah si Aku tetap mengupayakan agar anaknya menjaga identitas Eropa. Beberapa ungkapan mengenai hal itu seperti: ‘’Kau tidak berkembang dengan cara begini, nanti kau mirip pribumi. Itu yang kucemaskan.’’ Dan ‘’Kau pasti mengerti nak. Kau orang Eropa.’’
Dalam hal nilai-nilai yang dianut pun, ayah si Aku sangat tak berkompromi. Ini terlihat pada perbedaan dimana dia tak mempercayai mistis dan pribumi yang meyakini kekuatan gaib. Di roman ini diceritakan suatu telaga gunung di Pariangan yang dihuni nenek gombel, vampir berwujud wanita tua yang mengintai anak-anak yang telah mati. Suatu hari beberapa orang Belanda datang dan minta untuk bermain di telaga gunung dan ditemani beberapa pribumi termasuk ayah Oeroeg, Deppoh. Karena hanya seorang mandor, Deppoh mengikuti saja kehendak para Belanda walau dalam pikirannya ini tindakan berbahaya. Dalam perjalanan, keacuhan Belanda mengenai hal mistis ini sangat nyata terlihat. Mereka tertawa terbahak-bahak tanpa menjaga sikap. Saat sampai di telaga pun, mereka tetap riang menjadi-jadi. Dengan menggunakan rakit ke tengah telaga, para Belanda terus bersuka ria, berenang dan berkejar-kejaran. Deppoh sempat mengingatkan, tapi tetap diacuhkan sampai akhirnya si Aku terjatuh ke telaga dan Deppoh coba mencari. Malangnya Deppoh tak muncul-muncul sedang si Aku selamat. Untuk menebus rasa bersalah, ayah si Aku memberi kesempatan untuk Oeroeg sekolah di HIS bersama si Aku di Sukabumi dengan seorang pengasuh bernama Lida. Dengan perasaan keberatan akhirnya sang ayah harus merelakan anaknya yang Belanda melanjutkan kebersamaan dengan Oeroeg yang pribumi.
Selama bersekolah, mereka makin akrab dan selalu melakukan sesuatu bersama-sama. Di sini memang terlihat bagaimana tak semua orang Belanda gengsi bergabung dengan pribumi. Bahkan si Aku dan Lida pun mengagumi Oeroeg yang memiliki catatan bagus di sekolah. Lida mampu bersifat toleran dengan menyarankan Oeroeg melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tokoh Lida mewakili karakter Eropa yang suka memberi apresiasi terhadap kehebatan seseorang walaupun sebenarnya itu dipengaruhi oleh latar belakangnya yang keibuan tapi belum menikah. Di satu sisi juga terlihat bahwa dia mengagumi sesuatu yang bersifat eksotis yang diidentikkan dengan Timur walaupun dia tak menyadari.
Selanjutnya si Aku melanjutkan sekolah ke HBS Batavia dan Oeroeg di MULO yang sama-sama berlokasi di Batavia. Walau beda sekolah mereka sering bersama. Si Aku tak tertarik untuk berteman sesama Belanda, ia lebih memilih berkunjung ke tempat Oeroeg. Selama bersekolah, dalam perspektif si Aku, ada perubahan pada diri Oeroeg. Kini Oeroeg telah memakai polo shirt dan sepatu linen, tak lagi memakai kopiah. Bahkan dengan mendecak Oeroeg berkata: ‘’Aku bukan muslim.’’ Gaya bicara pun sudah seperti Indo dan mulai merokok, hanya berbicara bahasa Belanda serta selalu bergaya dengan rambut tebal disisir rapi. Disini terlihat suatu metamorfosa identitas pada pribumi yang mengecap pendidikan. Seakan-akan Oeroeg ingin menghapus segala identitasnya sebagai pribumi. Si Aku merasakan suatu yang lain dan tak menyukai Oeroeg yang sekarang. Logikanya sebagai seorang Eropa, si Aku mungkin senang bila pribumi mulai meninggalkan identitasnya. Namun tidak demikian dengan si Aku. Dia menjadi merasa kehilangan Oeroeg yang dikenalnya. Inilah satu sudut pandang yang juga harus diperhatikan dimana ada juga Belanda yang menginginkan pribumi tetap seperti adanya karena menjadi pribumi bukanlah sesuatu yang buruk.
Perubahan Oeroeg menjadi Barat membuat si Aku kurang simpatik dengannya. Si Aku merasa kasihan kepada pribumi yang coba menjadi orang lain seakan-akan malu menjadi pribumi. Lama kelamaan apa yang dilakukan Oeroeg untuk menjadi salah satu dari bagian Barat tak berhasil. Bagaimanapun dia tetaplah pribumi dan tak bisa menyamakan diri dengan anak Belanda. Karena tak berhasil, dalam diri Oeroeg pun muncul suatu anggapan pada si Aku sebagai seorang Eropa. Perbedaan yang dulunya tak berarti apa-apa kini jadi kerikil yang menjarakkan mereka akibat kegagalan Oeroeg untuk menjadi Eropa. Si Aku yang tak mempermasalahkan status ini terimbas pada konflik yang tak diperbuatnya. Dalam hal ini terlihat bahwa si Aku tulus untuk membaur dengan Oeroeg, namun karena perilaku Oeroeg, hubungan itu harus terpisah. Romantisme yang dulu tercipta antara pribumi dan Belanda menuju jurang akhir.
Karena gagal menjadi Eropa, Oeroeg mengubah haluan dengan membenci segala hal yang berbau Belanda. Dia mulai mengkritik semua yang dilakukan pemerintah Belanda. Terlebih lagi hal ini lambat laun memunculkan kebenciannya pada si Aku sebagai orang Belanda. Si Aku semakin pusing dengan Oeroeg yang sekarang sok kritis padahal dalam mengatakan sesuatu dia banyak menggunakan kata-kata orang lain. Di sini si Aku merasa kasihan melihat Oeroeg sekarang yang terkesan hanya ikut-ikutan saat gelombang nasionalisme juga berkembang. Disinilah konflik batin yang dirasakan oleh si Aku sebagai Belanda membuncah. Seakan-akan karena dia Belanda, dia dicap sebagai musuh pribumi. Oeroeg baginya adalah segalanya, tak peduli kalau dia pribumi. Dalam keputusasaannya bahkan si Aku sampai menggugat mengapa dia dilahirkan sebagai Belanda. Si Aku makin terpojok ketika berbincang pelik dengan Oeroeg dan Lida yang juga memihak Oeroeg. Benar-benar tak terbayang oleh si Aku akan menerima pembedaan yang dilakukan Oeroeg. Terlihat jelas dalam penggalan ini: ‘’Aku tak ingin meminta pada pemerintah Belanda,’’ jawabnya dingin. ‘’Aku tidak butuh bantuan kalian,’’ kataku, sementara darah naik ke kepalaku, karena kini kata-katanya tertuju padaku.
‘’Cara berpikir Lida sama dengan kami,’’ kata Oeroeg bangga. Hal yang satu menyusul yang lainnya, lalu terjadilah debat di mana si Aku harus bersikap defensif karena masalah ini terasa aneh baginya. Si Aku tahu sedikit atau tak sama sekali tentang aliran-aliran nasionalisme, sekolah-sekolah liar, tentang proses munculnya keresahan yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat pribumi. Yang ia tahu hanyalah Oeroeg sebagai bagian dari hidupnya. Tanpa sepatah katapun, si Aku mendengar hujan tuduhan dan celaan yang sekarang ditujukan Oeroeg dengan berapi-api, terhadap pemerintah, terhadap orang Belanda, terhadap orang kulit putih pada umumnya. Si Aku percaya bahwa banyak pernyataan mereka tidak berdasar, tidak adil, namun si Aku’ tak punya argumen untuk menerangkannya. Kekagetan makin bertambah ketika dia melihat Oeroeg menjadi orator dalam lingkungan baru yang terdiri atas para mahasiswa progresif dan agiator muda.
Si Aku akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya, bersekolah di Eropa. Beberapa tahun kemudian setelah Jepang menyerah, si Aku membulatkan niatnya lagi untuk kembali ke Indonesia. Dia tak peduli akan suasana dan hubungan Belanda dengan pribumi setelah kemerdekaan. Dia melamar dan bekerja di Indonesia, tak peduli dengan istilah ‘’pikiran kolonial’’ yang melekat pada Belanda yang sama sekali asing baginya. Kerinduan si Aku kembali ke Indonesia karena perasaan mengakar dan menyatu pada tanah kelahirannya. Waktu yang dijalaninya di Belanda tak berarti baginya dibanding waktu-waktu di Indonesia bersama-sama Oeroeg. Si Aku datang bertepatan dengan agresi militer Belanda. Dengan mudah dia kembali ke Pariangan untuk mengurus perbaikan-perbaikan jembatan.
Nostalgia dengan Pariangan telah didapatnya. Hanya satu lagi yang dia inginkan yakni bertemu Oeroeg. Suatu saat si Aku pergi ke telaga gunung untuk mengenang sambil berharap bertemu Oeroeg. Benar, setelah itu seorang pemuda memegang revolver datang dan dengan mudah si Aku langsung mengenali Oeroeg. Tapi Oeroeg melayangkan senjata padanya sambil berkata ‘’pergi’’ beberapa kali tanpa mau mendengarkan si Aku. Sesaat setelah itu suara patrol pasukan Belanda berbunyi dan dengan sekejap Oeroeg pun menghilang. Si Aku takkan lagi menjumpai Oeroeg. Inilah petikan terakhir perasaannya: ‘’Apakah aku sudah terlambat? Apakah aku selamanya menjadi orang asing di tanah kelahiranku, di bumi yang tak pernah ingin kutinggalkan? Waktu yang akan menjawabnya.’’ Begitulah perspektif seorang Belanda mengenai Indonesia. Tak semuanya menganggap Indonesia sebagai sesuatu yang rendah, inferior dan pasif. Banyak yang memiliki kekaguman dan perasaan menyatu sehingga melahirkan romantisme tersendiri atau kerinduan akan kenangan yang indah masa kolonial.
Bayu Agustari Adha, Lahir pada 15 Augustus 1986. Bekerja sebagai tutor bahasa Inggris di Easy Speak.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/03/romantisme-kolonial-dalam-sastra.html

Memberantas Korupsi dengan Sastra


Memberantas Korupsi dengan Sastra
Posted by PuJa on March 27, 2012
(Sebuah Upaya Meminimalisir Korupsi dengan Pendekatan Sastra)
Jumardi
Riau Pos, 25 Maret 2012

KORUPSI kian eksis menjadi ‘artis’ Indonesia. Hampir semua media cetak maupun elektronik memuat tentang ‘artis’ tersebut. Karena semakin banyak yang memberitakannya, maka ia semakin terkenal. Tidak terkecuali anak-anak pun mengetahuinya, minimal mendengar pembicaraan tentang ‘artis’ itu. Dengan semakin terkenalnya, sang ‘artis’ pun kerap menjadi topik utama pembicaraan. Apakah itu dari kalangan ‘tinggi’ maupun dari kalangan ‘rendah’. Tak terkecuali para sastrawan.
Maret 2011 lalu, misalnya, saat diadakan bedah novel 86 karya Okky Madasari, Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah mengatakan: ‘’Tidak cukup hanya hakim, jaksa, KPK dan penegak hukum lainnya yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, bila tidak ada peran dari masyarakat. Peran masyarakat melalui karya sastra ini cukup baik,’’ katanya saat jadi pembicara acara bedah novel 86 dengan tema “Melawan Korupsi Melalui Sastra” di Universitas Paramadina, Jakarta.
Sepertinya kalau kita mengambil apa yang diucapkan Febridiansyah, sastra bisa menjadi senjata memberantas korupsi. Dalam novel 86 misalnya, bagaimana si pengarang memberi sumbangsih untuk menyadarkan para koruptor dengan membongkar segala siasat buruk mereka dalam novelnya. Setidaknya, kalaupun sang koruptor tidak sadar secara langsung, minimal membuat dia kaget dan merasa tertekan karena mungkin siasat-siasat para koruptor yang disebutkan dalam novel itu adalah benar-benar siasat yang digunakannya.
Bagaimana sebenarnya peran sastra dalam meminimalisir korupsi? Di beberapa dekade sejarah, karya sastra ‘seburuk’ apapun bisa mendidik pembacanya bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra sebenarnya merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Itu bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk melawan korupsi.
Ketika sastra melawan korupsi maka akan terbayang teks-teks estetika, sebuah keindahan kata yang berperang melawan sebuah bentuk kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai pemujuk, perayu, bahkan sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi sendu, menuai perasaan terdalam, protes dan semacamnya. Di waktu yang lain, sastra bisa muncul sebagai teks-teks pencerahan yang secara tak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.
Sastra dengan berbagai latar ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20, novel Hikayat Kadiroen telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum Borjuis dan upaya menuju kesetaraan kelas. Sebuah penuntutan akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Jauh sebelumnya dari ideologi berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang para penguasa pribumi maupun kolonial yang korup. Melalui itu Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di negeri jajahannya, Nusantara. Perlahan tapi pasti ada kesadaran tersendiri yang dirasakan mereka.
Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim Orde Lama. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tak banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.
Di zaman Orde Baru muncul Ahmad Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan pada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?
Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. “Permainan” yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan jadi taruhannya dan masyarakat kecillah yang akhirnya jadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?
Setelah beberapa daftar karya sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan, mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi, mencerca koruptor dan membenci ketidakjujuran. Di berbagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama dan sebagainya yang menentang korupsi melalui estetika sastra.
Tentunya peran sastrawanlah yang sangat diperlukan melalui cara ini. Sastrawan hendaknya tak lagi terjebak perasaan pribadi, melainkan harus mulai memasukkan nilai anti ketidakjujuran dalam tiap karyanya. Sastrawan harus bersatu menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Biar semua orang setiap membaca karya sastra akan menemukan kata dan makna perlawanan terhadap korupsi.
Dengan demikian, setelah semua orang terbius oleh sastra dan mereka serentak membenci korupsi dan koruptor, maka perlahan tapi pasti korupsi kian menghilang. Setidaknya menghilangkan generasi koruptor. Ayo bersastra, lawan korupsi!
Jumardi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau. Tercatat sebagai Koordinator Kaderisasi FLP Pekanbaru dan Ketua Umum PK KAMMI Komisariat Sultan Syarif Kasim.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/03/memberantas-korupsi-dengan-sastra.html

Borobudur “Melebur Dosa Menganyam Cinta”



Borobudur “Melebur Dosa Menganyam Cinta”
Chanting
Posted by PuJa on March 27, 2012
Jodhi Yudono
http://oase.kompas.com/

Puluhan seniman sekitar Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggelar performa “Melebur Dosa Menganyam Cinta” sebagai ungkapan halal bihalal mereka dalam wujud ekspresi seni.
Mereka yang antara lain mengenakan berbagai properti seni antara lain tarian kontemporer “Jingkrak Sondang”, tarian soreng dengan musik “truntung”, pakaian adat Jawa, tabuhan “jedhor” pada Selasa malam itu berjalan kaki dari pertigaan Pasar Borobudur melewati Jalan Pramudya Wardani, Jalan Balaputra Dewa, dan berakhir di halaman Gandok Seni Budiarjo sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.
Halaman pendopo Gandok Seni Budiarjo terlihat dihias dengan properti ratusan kelongsong ketupat yang membentuk hati dalam ukuran raksasa sebagai simbol cinta kasih, sedangkan puluhan kelongsong ketupat lainnya diletakkan di sejumlah tali yang dibentangkan di atas halaman itu.
Sejumlah properti lampion aneka warga diletakkan di beberapa tempat di halaman itu sehingga suasana terkesan artistik.
Prosesi dipimpin oleh Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI), Umar Chusaeni, sedangkan seniman Merapi, Agus “Merapi” Suyitno, melakukan pentas ritual tolak balak.
Berbagai pementasan kesenian kontemporer, musik, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, orasi kultum (Kuliah Tujuh Menit), dan undian bingkisan, serta pesta kuliner itu berlangsung hingga tengah malam dengan ditonton ratusan warga setempat, penggemar seni, dan budayawan, serta para pemudik terutama mereka yang berasal dari sekitar Candi Borobudur.
Terlihat pula Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Magelang, Dian Setya Dharma.
Mereka yang menggelar pementasan itu antara lain grup Topeng Saujana pimpinan Sujono, teater Gadung Mlati pimpinan Ismanto, musik oleh grup band Paku Wojo pimpinan Dedy Paw, penyair Dorothe Rosa Herliany, dan puisi sosialteatrikal oleh Gepeng Nugroho.
Budayawan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), mengatakan, halal bihalal sebagai tradisi budaya masyarakat Indonesia saat Lebaran.
“Hanya ada di Indonesia, tidak ada di Malaysia, Iran, atau Timur Tengah,” katanya.
Ia menyebut tradisi halal bihalal sebagai kecerdasan nenek moyang bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih dijalankan masyarakat karena menjadi perekat hubungan antarmanusia saat Lebaran.
Ia menyebut agama tidak terlepas dari peranan kebudayaan setempat sehingga wujud pelaksanaan kehidupan beragama menjadi lebih manusiawi.
“Nilai-nilai kebudayaan membuat pengamalan hidup beragama lebih manusiawi,” katanya.
Umar mengatakan, halal bihalal khas seniman Borobudur itu menjadi salah satu atraksi wisata malam pada musim Lebaran.
“Kami mengemas menjadi aset wisata, mereka yang hadir menyaksikan ini juga kalangan pemudik Lebaran,” katanya.
Selain itu, katanya, kegiatan itu juga menjadi ekspresi seniman sekitar Borobudur saat merayakan Lebaran dan halal bihalal di antara mereka.
Sumber : ANT /http://oase.kompas.com/read/2010/09/15/17100423/Borobudur.Melebur.Dosa.Menganyam.Cinta