Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia
Posted by PuJa on March 28, 2012
Zulfikar Akbar
http://www.kompasiana.com/soefi
Jika pagi ini berkesempatan untuk membuka koran lama, maksud saya tidak terlalu lama juga, sekitar jelang pertengahan tahun lalu, 2011. Kompas yang terbit pada tanggal 21 Mei ketika itu menurunkan berita kecil di sisi salah satu pojok. Judul berita itu adalah: Sastra Indonesia Tidak Dikenal.
Menariknya, bidikan soal kondisi sastra Indonesia yang diisyaratkan dari judul begitu rupa, mencuat dari peluncuran sebuah buku bertitel: Modern Library of Indonesia, yang dibarengi dengan sebuah diskusi Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia.
Pada ketika itu (19/5-2011), hadirlah beberapa figur yang disebut-sebut oleh sekian pegiat sastra sebagai sosok-sosok yang sudah malang melintang di jagad sastra nusantara, atau setidaknya pernah bersentuhan lama dengannya. Taruhlah misal Putu Wijaya, Mira Lesmana, dan Dewi Lestari.
Putu, di sana mengatakan, karya sastra Indonesia berbahasa Inggris penting untuk menunjukkan eksistensi. Menurutnya lagi, menghubungkan dengan kemungkinan laku tidaknya karya tersebut di luar, “itu tak perlu dipersoalkan.”
Menarik karena Putu sangat realistis mengisyaratkan kemungkinan nasib karya anak negerinya jika harus dilempar ke pasar lebih luas yang menjangkau benua lainnya. Meski saya tidak bermaksud menuding bahwa Putu pada saat itu ingin menunjukkan skeptisisme atas posisi buah tangan pegiat sastra negeri ini disandingkan dengan orang-orang luar sana. Bahkan, ia juga mendorong pemerintah untuk mendukung upaya peng-inggris-an karya sastra dari Indonesia—yang lahir dan mengangkat berbagai lekuk liku tubuh Indonesia, lepas dari masih elok atau tidaknya.
“Tidak bisa lagi pakai diplomasi gaya lama,” tegas Putu,”Pemerintah harus menyadari ini dan mendorong penerjemahan semua karya sastra.”
Menyimak ulang kalimat itu, saya tercenung, benarkah semua karya sastra? Apakah tidak perlu dispesifikkan karya sastra dengan standar seperti apa? Toh, sampai hari ini saja, mereka yang gaek di sastra pun masih kelimpungan jika harus dihadapkan pada soal standar. Atau, jangan-jangan tidak perlu ada standar-standaran? Tapi jika ini jadi pilihan, apakah tidak justru membawa aroma borok ke luar negeri? Bukankah jika ingin memberi—jika ‘ekspor’ karya sastra adalah pemberian—maka idealnya pemberian itu adalah yang terbaik?
Atau, boleh jadi juga, itu terpaksa dilontarkan Putu disebabkan rasa kalap. Sebab, pada ketika itu, ia juga bercerita tentang pengalamannya saat mengikuti festival sastra di Horisonte, Berlin, Jerman, pada tahun 1985. Katanya, dalam kunjungan tersebut ia tercekat saat seorang penyair Amerika Serikat menyatakan kaget dan baru tahu di Indonesia ternyata ada sastrawan.
“Ia kira kita hanya punya seni pertunjukan,” cerita Putu Wijaya mengisyaratkan perasaan miris.
Sedikit saya menaruh heran, kenapa Putu tidak mengijinkan diri saja untuk berburuk sangka kalau penyair dari negeri yang konon super power itu mungkin bukan sosok yang rajin membaca?
Di moment yang serupa pula—pada peluncuran Modern Library of Indonesia— John McGlynn yang juga merupakan Chairman Yayasan Lontar sekaligus penyunting seri Modern Library, menyebutkan bahwa pembaca asing tak hanya bisa mengikuti perkembangan sastra Indonesia, tetapi juga menghayati kekuatan politik sosial pembentuk Indonesia.
Keniscayaan itu–yang disebut McGlynn—tak bisa ditampik, tapi saya jadi terbetik tanya, sastra harus mengabdi pada siapa?
Baik, taruhlah kita menerima tawaran Putu, atau dukungan tersirat dari McGlynn, untuk bisa ‘menendang’ bola sastra yang awalnya hanya bergulir dari kampung ke kampung—andai boleh menafikan penyebutan kota—kemudian harus melesat ke luar lapangan awal. Saya kira soal eksistensi bukan suatu hal yang terlalu penting. Apalagi, pegiat sastra saya kira bukanlah mereka yang terlalu memberhalakan soal dipandang eksis ataukah tidak. Sebab, tanpa mengutip teori siapa-siapa, sastra itu memang bukan barang yang harus demikian rupa dijajakan; memberi laba, membuat kaya.
Hanya saja, bagaimana menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah kita sendiri yang sampai hari ini belum selesai; soal seberapa dikenal sastra Indonesia oleh anak bangsa sendiri, seberapa berpengaruh karya sastra yang ada di tengah kalangan masyarakat sendiri. Dan semua itu sampai sekarang belum ada jawaban yang tegas.
Entah harus percaya atau tidak, hari ini sastra di Indonesia, oleh sebagian kalangan masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Karena tidak memberi jawaban laiknya kajian-kajian akademisi dan cendekiawan di berbagai kampus-kampus ternama, sebagai buah dari kerelaan mereka merontokkan rambut sendiri menjawab persoalan bangsa.
Ideal untuk disahuti, jika itu sudah lebih berkuku dan sudah benar-benar mencengkeram kuat di tanah-tanah negeri ini, atau kelak harus menerima cibiran. Saya tidak tahu, apakah mereka di luar sana juga suka mencibir ataukah tidak. Tapi soal membawa “semua” karya sastra yang lahir di negeri memang seyogianya harus dikaji ulang.
Alasan yang bisa saya sebutkan tidak terlalu jauh dari; realitas bahwa ada masih banyak sekat-sekat yang diindahkan sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam sekian banyak karya sastra. Entah sekat dengan alasan agama, suku, gender, dan sebagainya. Mengumbar hal itu ke luar, hanya membuat sastra menjadi pembarter untuk sebuah stempel bertulis: picik!
Ah, akhirnya, saya sendiri berharap tidak ada yang akan indahkan pesimisme saya ini.
__________07 February 2012
*) Pegiat media, copy writer, content writer. Tertarik pada masalah-masalah sosial, sastra, juga budaya masyarakat nusantara. Selain juga berminat pada Sufistik dan Zen.
Dijumput dari: http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/07/sastra-indonesia-soal-sastra-yang-belum-dikenal-dunia/
0 comments:
Post a Comment