Komentator Senja
Posted by PuJa on March 15, 2012
Gerson Poyk
http://www.suarakarya-online.com/
Di saat kakek pensiun, aku beruntung sudah diterima menjadi mahasiswa tanpa ujian masuk. Aku langsung diterima karena nilai ujian akhir SMA-ku bagus. Semuanya sembllan, kecual i matematik yang berhenti pada angka delapan. Kakek memberiku hadiah sebuah laptop yang setiap hari aku bawa ke kampus.
Kakek punya laptop sendiri dan sebuah movie camera yang ditenteng setiap hari ke mana-mana sehingga orang menyebutnya WSM (Wartawan Senja Membara). Setiiap hari ia keluar rumah, naik sepeda menuju kolong jembatan dan bantaran-bantaran kali yang penuh dengan lapak-lapak dan gubuk-gubuk kumuh. Aku jadi heran dan kuatir, jangan-jangan ia akan membangun gubuk di bantaran sungai lalu tinggal disana iseng sendiri. Tampaknya begitu pensiun kakek tidak menunjukkan gejala post power syndrome, tetapi dengan menenteng kamera hampir setiap hari ia terlibat dengan kegiatan mendokumentasikan gubuk-gubuk reyot, bukit sampah dan orang berebut plastik, besi tua, kertas bekas dan sebagainya dan tidak lupa jalanraya yang macet total padat merayap, serta orang-orang yang padat melengket di atap kereta listrik.
Suatu hari ia membawa pulang hasil karyanya berupa gambar mobil mewah seharga tujuh milyar rupiah. Ulangi: tujuh mlyar rupiah milik anggoa DRP kita. Di kamarnya ia memutar video itu sambil marah-marah sendiri, ngoceh member komentar sendiri,memaki-maki sediri sambil meludah ke abu rukok di meja. Oya, kakek pemakan sirih-pinang berat. Sebelum pensiun orang sekantor jadi heran, pemakan sirih berat tetapi kertas-kertas di mejanya tetap bersih. Rahasianya adalah semua yang dikunyahnya ditelan. Barangkali ini yang membuat tulangnya kuat sebab sirih dan pinang dicampur dengan kapur sirih. Ya, barangkali kapur sirih itu yang membuat tulang kakek kuat.
Fisiknya masih kuat walaupun usianya sudah 70 tahun. Ia masih naik sepeda. Yang aku kuatirkan, ia suka naik sepeda malam-malam. Pukul 12 suatu malam ia naik sepeda dari rumah kami di bagian paling selatan kota menuju pusat kota. Karena mampir di warung kopi pinggir jalan dan ngobrol ngalor-ngidul dengan pemilik warung, maka ketika sampai di pusat kota, hari sudah siang. Macetnya luar biasa. Pulang ke rumah, aku tanya. “Kakek, mana sepedanya?”
“Oh karena macet, Kakek titipkan di rumah orang. Orangnya baik sekali, malah Kakek diberi uang. Pulang kuliah, mampir ke rumah itu, ambil sepedanya lalu sewa pikap membawa kembali sepeda itu, ya!” kata Kakek lalu menyerahkan selembar kertas. “Bawa ini ke rumah orang baik itu.Ya,” jawabku.
Ketika aku baca, “Yaaaa, orang baik apa nih! Ini rumah gadai,pantas kakek dapat uang!” kataku keras.
Pada suatu hari kakek makan sate dua porsi. Satu porsi biasanya dua puluh tusuk. Keika makan sate begitu banyak ia ngoceh, “Makanan utama orang Barat itu daging sehingga anaknya jadi sedikit. Makanan orang Indonesia itu, beras. Oleh karena itu, anaknya banyak. Lihat saja tikus sawah. Tiap hari makan beras sehingga anaknya banyak. Banyak sekali!.”
Habis makan daging begitu banyak, kami sekeluarga ngeri, takut kakek kena setrok. Tapi kakek tenang-tenang saja. Akan tetapi beberapa hari kemudian kakek diserang asam urat pegel linu di lutut dan beberapa persendian. Dia jalan pakai tongkat. Kalau duduk dan mau bangun agak sulit.
Aku sering dipanggil untuk menolong kakek berdiri. Kakek tak mau kalah. Ia berpuasa makan daging dan segala sayuran yang ada purin-nya. Kemudian ia masak bubur dan mengupas bawang putih beberapa siung lalu mencampurnya dengan beras dan sedikit garam. Selama satu minggu kakek makan bubur bawang putih, sampai pegal linunya hilang. Ia berobat dengan cara ‘mutih’ yaitu makan bubur putih bercampur bawang putih sambil berolah raga dan bekerja membersihkan halaman dari rumput-rumput liar, menebang bambu di halaman, sehingga berkeringat dan ditambah dengan banyak minum air kelapa muda, sehingga banyak buang air kecil.
Dengan demikian semua purin dalam tubuh yang menyebabkan persendiannya linu jadi sembuh total. Ia melompat-lompa gembira. Pengobatan diri sendiri ini, ternyata bagi kakek unuk mempersiapkan diri nonton pertandingan bola di stadion.
Pagi-pagi ia sudah berangka naik sepeda ke stasiun, menitipkan sepedanya di sana lalu naik kereta listrik, berhenti di stasiun dekat stadion dan berjalan kaki. Kakek berhasil nonton bersama ribuan bahkan juatan orang di stadion raksasa. Ia tidak lupa membawa movie camera-nya untuk membuat film dokumentasi.
Kakekku ini nakal. Pulang dari nonton bola ia traktir makan aku, kemudian memberiku uang yang cukup banyak.
“Kakek merampok bank?” tanyaku bergurau.
“Bukan. Kakek menipu setan judi.” Jawabnya, bergurau pula.
“Bagaimana tuh?”
“Kakek duduk dekat seorang lelaki, anak buahnya setan judi. Kekek merayunya sehingga ia mau berjudi dengan kakek. Kami pasang uang sau juta. Akhirnya kakek menang. Bawa pulang uang dua juta ditambah dengan uang yang ada di dompet. Biasanya setiap orang yang ingin berjudi dikasi menang oleh setan judi di langkah pertama. Karena menang orang iu main lagi, supaya menang lagi tapi setan judi membuat dia kalah terus menerus. Kakek tidak bodoh. Setelah menang di langkah pertama kakek berhenti berjudi. Setan judi gondooook!”
Habis nonon bola kakek sibuk di rumah dengan kegiatan barunya. Gudang di belakang rumah dibersihkan. Temboknya dicat putih, kakek membeli papan dan sibuk membuat bangku bangku panjang.
“Untuk apa Kek semua bangku itu?”
“Untuk membuat gedung bioskop mini.”
Aku heran, “Bioskop mini?” tanyaku.
“Ya,” kata kakek.
Kakek asyik terus membuat gedung bioskop mini di gudang kami. Setelah selesai, kakek membeli beberapa perlengkaan eleronik yang membuat gambar dari kamera kakek tersemprot ke dinding gudang.Luar biasa. Kami jadi mempunyai sebuah gedung bioskop mini. Kakek menyuruh aku mencari penonon.
“Kita mempunyai gedung dan sanggar teater mini, sekarang. Kakek akan mementaskan karya teater kakek.”
“Di mana aktor dan aktrisnya, Kek?” tanyaku.
“Cuma dua orang.”
“Siapa-siapa?”
“Kakek sendiri dan ini kamera.”
“Ah, aneh. Teaer macam apa tuh?”
“Pernah nonon teater absurdnya Ionesco?” tanya kakek.
“Oya, aku pernah nonton The Chairs.”
“Ionesco berbicara ngalor ngidul dengan kursi-kursi sedangkan Kakek memberi komenar tentang video yang disemprotkan ke t embok, misalnya tentang orang yang hidup di bawah jembatan, sa mbil menyorot anggoa DPR yang naik sedan mewah berharga tujuh milyar, tentang juaan orang menonton bola di stadion raksasa. Kakek duduk sendiri menghadap gambar di tembok sambil ngoceh. Tidak seperi Ionesco kakek member kommenar. Video kakek ber judul Komentator Senja karena memang kakek sudah di usia senja, tapi senjanya Kakek adalah Senja Yang Membara! Ionesco berhenti di tebing curam tegak lurus, ngoceh sendiri, tidak berani memanjat. Kakekmu ini atlet panjat tebing yang tangguh membara, sehingga bisa sampai ke tujuan.”
“Waaaau!” suaraku agak keras.
Aku jadi kreatif. Aku membuat undangan untuk teman mahasiswaku, berbunyi: Hai teman-teman. Mau nonton teater mini berjudul ‘Senja Yang membara?’ dimainkan oleh seorang atlet tua pemanjat tebing. Datanglah ke gudangku. Kita nonton, sudah itu berdiskusi tentang apa yang kita sudah tonton. Ada teh, ada kopi, ada jagung rebus dari kebun, ada ubi goreng, ada tempe dan nasi uduk.
Malam itu, mula-mula kakek memperlihatkan karya dokumenternya mengenai jutaan orang yang sedang nonton bola di stadion. Karena Kakek duduk di sebuah kursi, bersandar membelakangi kami, maka botaknya kelihatan. Lalu di depan botak itu muncullah di tembok ribuan atau jutaan orang memenuhi stadion.
Kakek mulai ngoceh, bermonolog! “Tuan-tuan dan Puan-puan. Lihatlah begitu banyak manusia yang menonton. Semuanya membawa perut dan dubur. Rrrrrrt! Maaf, semuanya harus makan tiga kali dalam sehari dan minum air beberapa liter. Coba bayangkan, berapa ton beras yang dimakan penonton ribuan itu? Mereka tidak menanam. Mereka makan nasi hasil keringat petani.” Ada sebagian penonton itu mahasiswa dan sarjana, tentu. Saya ingat, seorang mahasasiwa, selama kuliah lima tahun untuk jadi sarjana memerlukan biaya dari petani sebanyak se ratus lima puluh tahun kerja petani.
Belum lagi tinja pada ribuan penonton. Kalau seorang penonton pada pagi hari u,uk dia akan mengeluarkan tinja sebanyak setengah kilogram. Hitung saja berapa ton pupuk yang bisa terkumpul dari jutaan penonton itu. Mao Tse Tung berkata bahwa setiap ekor babi adalah sebuah pabrik pupuk mini. Akan tetapi dia lupa bahwa setiap manusia adalah sebuah pabrik pupuk mini pula. Kenapa hanya orang Cina di Indonesia saja yang tukang mencari tinja manusia?
Encim-encim tua lagi. Sayur sawi mereka hijau-hijau subur ketika dijual di pinggir jalan, dijaga oleh amaoy-amoy berbaju sutera. Gol! Hore, Amserdam menang! Oh lihat itu noni-noni Belanda cantik yang pipi dan dahinya ditempeli bendera merah putih biru sedang melompat-lompat girang karena Kesebelasan Belanda mempermalukan kesebelasan Indonesia.
Tapi setiap melihat perempuan, walaupun cantik sekali, walaupun mereka gembira tapi aku terganggu. Terganggu dan terganggu sekali. Apalagi kalau aku melihat perempuan Indonesia. Soalnya setiap perempuan, begitu kawin mereka berubah jadi bom. Mereka lalu bunting. Orang bunting adalah bom penduduk. Jalan ke pasar mereka tampak tidak normal karena mereka mambawa-bawa anak manusia di perutnya. Sontoloyo betul.
Lagi sekali, setiap perempuan adalah bom. Bom penduduk. Sontoloyo betul! Masa di bola dunia ini perempuanlah yang jadi masalah dengan sesaknya penduduk dunia. Sudah ada tujuh milyar manusia. Sebentar lagi akan datang sembilan milyar. Padahal dunia ini makin ruwet dengan adanya pemanasan global sehingga musim terganggu,banjir di mana-mana, kemaruau di negara yang terletak di padang pasir, sehingga kekurangan makanan akan terjadi.
Ya, di bumi manusia akan kekurangan air dan makanan, kelaparan dan kematian massal akan terjadi. Di dunia ini soal manusia mati malah merupakan soal yang positif, beruntung, karena menjadi pupuk. Lihat saja di taman paklawan. Akar kamboja menembus tanah dan menembus tubuh beberapa pahlawan sekali gus. Siapa yang melihat?
Bodoh amat. Lebih baik mati daripada hidup di bumi. Mungkin Tuhan pun repot mengurus miliyaran manusia yang baik dan yang suci yang masuk sorga seperti kerepotan mengurus manusia yang bersesakan di penjara. Sungguh repot tentunya. Namun aku berdoa supaya sorga tidak sesesak penjara-penjara di Indonesia, supaya tidak terjadi sodomi dan lalulintas narkoba. Sekian. Tamat.
Gudang jadi terang kembali. Diskusi kami jadi ramai. Ada teman mahasiswi yang marah karena perempuan disebut bom. Bom penduduk. Ada yang mengatakan kakek jorok karena berurusan dengan tinja.***
10 Maret 2012
0 comments:
Post a Comment