Pages

Tuesday, 27 March 2012

“Litani Menjadi” Memburaikan Apresiasi Taman Metamorfosa


“Litani Menjadi” Memburaikan Apresiasi Taman Metamorfosa
Posted by PuJa on March 27, 2012
M Hari Atmoko
http://antarajateng.com/

Sejam beranjak lebih sedikit, namun bulan purnama bertepatan malam puncak Tri Suci Waisak 2011, seakan belum bergeser dari tempatnya terlihat di langit panggung alam, pinggiran alur Kali Pabelan Mati, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur.
Nurnya menerobos sela-sela tepian daun berbagai pepohonan, ketika sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung (KLG) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggelar pementasan bertajuk “Taman Meditasi Metamorfosa”, persis dua jam, menjelang tengah malam itu.
Ribuan umat Buddha bersama para biksu Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia tatkala itu, menjelang pungkasan perayaan Waisak mereka di Candi Agung Borobudur.
Perayaan meriah itu antara lain ditandai prosesi dari Candi Mendut melalui Candi Pawon, dan berakhir di Candi Borobudur, meditasi detik-detik Waisak, pembacaan doa, parita, dan sutra, penyalaan lilin, pradaksina mengelilingi bangunan Buddha terbesar di dunia itu, serta pelepasan seribu lampion ke atas langit Borobudur.
Penyair Borobudur, Dorothea Rosa Herliany, beranjak dari kursi kuno tempat duduknya, berjalan mendekati mikrofon di panggung alam Studio Mendut itu, dan menunggu petinggi KLG, Sutanto Mendut, selesai merangkai kata-kata pembuka daulatnya kepada Rosa untuk mengapresiasi pentas “Taman Meditasi Metamorfosa”.
Para tokoh KLG lainnya terus melantunkan gerak performa meditasi dengan iringan kolaborasi kontemporer antara lain timpukan gender oleh Antok dari bawah patung batu Monumen Lima Gunung, tiupan seruling oleh Sujono di bawah lukisan Sang Buddha yang terpanjang di dinding salah satu ruang pamer studio, aduan dua batu kecil menimbulkan suara berritme dari tangan Ismanto, dan suara aneka satwa dari mulut Taufik.
Mereka yang memainkan gerak performa “Taman Meditasi Metamorfosa” dengan beragam properti figur masing-masing itu seperti Ismanto dan Sekar memerankan induk dan anak kupu-kupu, Kipli membalut tubuhnya dengan plastik membentuk kepompong, Nugroho dengan bantal terikat di kepala untuk menggambarkan kepompong.
Selain itu, Wenti mengenakan pakaian wayang orang sebagai Dewi Sinta namun bertopeng panji, Waskito seorang bangsawan dengan baju safari dan belangkon, Ki Ipang dengan balutan kain hitam sebagai pertapa, dan Sitras berkain putih sebagai pertapa tidur.
Panggung alam Studio Mendut tampak terasa teduh dan hening ditandai dengan penempatan kepala Sang Buddha di tengahnya, tatanan batu-batu kecil membentuk kupu-kupu besar, nyala puluhan lilin di dekat koleksi seperti patung, relief, dan lukisan, taburan bunga mawar di berbagai tempat, dan balutan kain serba hitam di setiap dinding studio.
Sang penata properti “Taman Meditasi Metamorfosa” yang juga penjaga malam studio itu Djoko Widiantono mengenakan “iket”, berjalan hilir mudik secara tenang menuju setiap saklar listrik untuk menentukan secara tepat waktu setiap lampu penyorot pementasan di berbagai tempat, dalam kondisi mati dan hidup secara bervariasi.
Suasana Studio Mendut hening, tanpa suara dari mulut ataupun tepukan penonton yang dalam jumlah terbatas itu. Pementasan tersebut memang dikemas hanya ditonton secara takzim oleh sejumlah orang.
Mereka antara lain perupa kondang Rahmaiani, pelukis Dedy Paw dan Andreas Darmanto, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang, Mbilung Saraswita, pegiat Padepokan Budiaji Sawangan, Agung Nugroho, dan anggota Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Andretopo.
Sepertinya penonton yang mendapat informasi hal ikhwal tentang pementasan tak lazim melalui jejaring sosial tersebut larut dalam suasana meditasi gerak hening yang disuguhkan seniman KLG selama dua jam itu. Lima gunung yang mengelilingi Magelang adalah Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh.
Mereka memainkan performa gerak menguasai setiap sudut dan tangga panggung terbuka itu, mengikuti setiap irama musik kolaborasi gender, “keyboard”, seruling, suara satwa, gemericik air Kali Pabelan Mati yang tak pernah terputus.
Gerak performa mereka juga mengakrabi lantunan tembang barat “What A Wonderfull World” oleh Mami Kato dengan irama jazz standar dari “keyboard” yang dimainkan sang suami Sutanto Mendut.
Suguhan musik oleh Sutanto yang merespons timpukan gender Antok dengan ditimpali dengan gerak performa kolaborasi seniman KLG itujustru terkesan makin membumikan suasana hening yang terus bertahan mereka bangun.
Sekar yang juga siswi salah satu SMP swasta di Sawangan, Kabupaten Magelang dengan mengenakan properti kupu-kupu putih besar dan memegang bunga dari tatanan kertas dengan lampu di tengahnya, sembari memainkan tarian performanya, membacakan puisi bertajuk “Butterfly”.
“Taman ini mendapat inspirasi alam dari proses ulat, kepompong, kupu-kupu, dan barangkali kupu-kupu masih bermetamorfosa menjadi kebudayaan, menjadi metamorfosa biologi, metamorfosa seni tari, dan menjadi metamorfosa bahan medis,” kata Sutanto.
Pentas “Taman Meditasi Metamorfosa” itu, katanya, menorehkan lukisan bersumber cerita nyata atas kekayaan kehidupan alam baik di laut, darat, maupun langit, entah dalam bentuk magma dan lahar Gunung Merapi atau industri kebudayaan.
Ia mengatakan, taman meditasi mungkin menjadi sekolah kebudayaan untuk semua orang secara cerdas hati belajar tentang magma Gunung Merapi yang menjadi batu andesit, menghasilkan karya agung Candi Boroudur, atau bermetamorfosa menjadi kebudayaan baru atas generasi kehidupan yang ditandai dengan luncurannya melalui terpaan banjir lahar.
Metamorfosa atas kehidupan alam yang sesungguhnya bukan hal aneh sehingga tidak perlu heboh seperti halnya persoalan ulat bulu di berbagai daerah itu, katanya, mungkin menjadi renungan meditasi atas impian revolusi untuk suatu perubahan atau menjadi inspirasi kuat atas slogan reformasi yang didengungkan para elit yang agaknya selama ini terasing dengan alam.
“Kita coba memberi makna meditasi yang luas, pentas yang luas, pendidikan dan seminar pun bermakna luas. Dengan lilin secukupnya dan bulan di atas sedang penuh bersinar. Malam ini, di “Taman Meditasi Metamorfosa”, kita mungkin berseminar, mencoba menerjemahkan terminologi dalam kata dan simbol dalam makna yang tidak fundamentalis, yang bermakna,” katanya.
Waktu bertepatan dengan puncak Waisak ditandai bulan purnama, katanya, barangkali menginspirasi semua orang untuk kelak mengelola kehidupan secara lebih bermakna.
Sebelum pentas senandungnya yang berefek hening, Rahmaiani pun nampak spontan mengujarkan refleksinya tentang temuan makna taman melalui pementasan malam bulan purnama itu.
“Malam Waisak ini, malam kita berkesempatan membangun sebuah taman dan berharap melihat sekuntum bunga yang bisa memberikan rasa indah dan harapan, yang mungkin merupakan impian kita bersama,” katanya.
Ia menyebut taman yang dipelihara dengan cinta akan tumbuh bunga, tempat rombongan kupu-kupu hinggap dan menjelma menjadi para dewa dan dewi.
Mereka, katanya, akan turun ke dasar dunia tetapi juga akan naik ke atas dunia.
“Semoga impinan kita menjadi kenyataan,” katanya.
Sekejap Rosa menemukan catatan puisi yang isinya agaknya tak jauh dari tema metamorfosa, di tampilan telepon selulernya. Ia kemudian mendekati mikrofon di bawah temaram lampu listrik beberapa watt itu.
Sutanto telah bergeser selangkah dari tempat berdiri di depan mikrofon ke kursi di belakang “keyboard” yang berproperti barongan, sedangkan gender terus berdentang lirih memainkan irama kolaborasi mengiring gerak performa tak henti seniman KLG untuk menggambarkan peristiwa metamorfosa alam.
Rosa pun membacakan dengan suara lembut syair karyanya berbentuk litani yang bertajuk “Taman Hayati Untuk Tanto”.
“Menjadi sungai, menjadi batu, menjadi air, menjadi tanah, menjadi akar, menjadi daun, menjadi riuh, menjadi lagu, menjadi ratap, menjadi rabu, menjadi liuk, menjadi tari, menjadi bayang, menjadi taman, menjadi bisik, menjadi luka, menjadi tatap, menjadi tiup, menjadi lamat, menjadi diam, menjadi gunung, menjadi waktu, menjadi liku, menjadi arah, menjadi renta, menjadi waktu, menjadi Tuhan, menjadi segala, menjadi riak, menjadi lenyap, menjadi bila, menjadi tanya, menjadi tingkap, menjadi aku. Menjadi…, menjadi…”.
Demikian puisi yang dibacanya seakan mengantar posisi bulan purnama Waisak bergeser ke barat laut hingga belasan meter, dari langit di atas panggung alam setempat ke arah langit cerah di atas Candi Borobudur, tepat pukul 00.00 WIB.
18 Mei 2011 21

0 comments:

Post a Comment