Pages

Friday, 16 March 2012

Menjadikan Jelas “Kelamin” Sastrawan Pemula


Menjadikan Jelas “Kelamin” Sastrawan Pemula
Posted by PuJa on March 15, 2012
YS Rat
http://www.analisadaily.com/

DIDUKUNG Medan sebagai ibukotanya, yang penduduknya multi etnis, Sumatera Utara (Sumut) sejatinya merupakan ladang kreativitas bagi banyak hal. Sastra, tak terkecuali tentunya. Dalam bidang ini, merujuklekatkan pada pengalaman menggelutinya sejak tahun 1980-an, Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan.
Pada dekade itu hingga menjelang akhir 1990-an, mereka -sebut sajalah para sastrawan pemula- dihadapkan sebuah kenyataan yang menyikapinya tak cukup sekadar bermodalkan semangat mencipta. Hasrat mencipta mereka yang menggebu, harus dilengkapi kegigihan berupaya menghasilkan ciptaan yang tak cuma memenuhi kriteria sebagai karya sastra pada segi bentuk.
Minimnya jumlah media massa cetak di Sumut ketika itu -dalam hal ini surat kabar- memunculkan dampak terbatasnya wadah penyalur karya para sastrawan, termasuk karya para sastrawan pemula. Karenanya, pada masa itu berlaku persaingan ketat dalam segi kualitas, sebelum akhirnya sebuah karya sastra terbit di surat kabar. Hal yang sama juga berlaku terhadap karya para sastrawan pemula.
Menariknya, ada semacam kesadaran di kalangan para sastrawan pemula pada masa itu, untuk tak langsung mengirim karya awalnya ke rubrik khusus budaya/seni. Karena selain rubrik khusus budaya/seni, di antara surat kabar juga menyediakan rubrik remaja, ke rubrik itulah biasanya mereka mengirim karya awalnya.
Tak cuma menarik, sekaligus memicu semangat berkaya di kalangan para sastrawan pemula, pada beberapa surat kabar sangat mungkin ada kerja sama antara redaktur rubrik budaya/seni dengan redaktur rubrik remaja atau bisa jadi redaktur kedua rubrik itu orang yang sama. Kemungkinan ini dilihat dari adanya beberapa karya para sastrawan pemula yang dikirim ke rubrik remaja ternyata muncul di rubrik budaya/seni. Sastrawan pemula yang memperoleh kesempatan demikian, biasanya terpicu semangat dan percaya dirinya untuk berikutnya sengaja mengirim karya-karyanya ke rubrik budaya/seni.
Semakin Berjibun
Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan tetap berlangsung, hingga kini. Bahkan, bisa dibilang jumlahnya semakin berjibun, mewarnai media massa cetak yang jumlahnya juga tambah membludak.
Tak bisa dipungkiri, kedua hal saling mendukung itu buah dari “tsunami” reformasi yang puncaknya 21 Mei 1998 ditandai lengsernya Soeharto dari tampuk kepresidenan setelah lebih 30 tahun seolah tak mau ditinggalkannya.
Jika di dunia politik selepas reformasi diwarnai terbukanya peluang bagi siapa pun untuk ambil bagian di dalamnya, kondisi semacam ini juga terjadi dalam dunia sastra. Peluang untuk memajang karya di media massa cetak -utamanya surat kabar- semakin terbuka dan sangat nyata memicu hadirnya sastrawan-sastrawan pemula dengan beragam karyanya.
Maklum saja, sebab pasca reformasi pertumbuhan surat kabar baik harian maupun mingguan teramat melejit. Di Sumut saja, dari di antaranya Harian Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Sinar Indonesia Baru, Medan Pos, Garuda, Mercu Suar, Sinar Pembangunan, Mingguan Taruna Baru, Dobrak, Bintang Sport Film, Demi Masa dan Persada, plus Majalah Dunia Wanita, sesudah reformasi jumlahnya pernah mencapai 50-an.
Tentu ada iklim berbeda mewarnai munculnya para sastrawan pemula di Sumut antara dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an dengan masa awal pasca reformasi. Dalam hal jumlah, sastrawan pemula yang muncul di masa awal pasca reformasi, bahkan hingga kini, sangat jauh melebihi dekade sebelumnya.
Sakadar data selintas, tercatat sedikitnya ada puluhan nama pengisi rubrik budaya/seni surat kabar, yang rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980 ke atas dan karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Di antaranya masih terus berkarya, sebagian lagi hanya beberapa kali karyanya dimuat di surat kabar.
Mereka, antara lain Miftah Fadhli (Deli Serdang, 29 Februari 1992), Muhammad Nur (Simalungun, 12 Oktober 1991), Anugrah Roby Syahputra (Binjai, 13 Maret 1988), Abdillah Putra Siregar (Pematang Siantar, 1986), Fridolin ML Tobing (Balige, 24 Januari 1987), Rama Andriawan (Madina, 28 Juli 1986), Adwan MP (Sidikalang, 22 Januari 1986), Muhammad Pical Nasution (Medan, 3 Januari 1986), Sukma (Medan, 13 November 1985), Muhammad Nurul Fadhli (Medan, 14 Juli 1985), Januari Sihotang (Samosir, 1 Januari 1984), Ilham Wahyudi (Medan, 22 November 1983), Djamal (Medan, 9 September 1982), Irwan Effendi (Medan, 21 Mei 1981), Bono Emiry (Medan, 6 Mei 1981) dan Sihar Sitompul (Medan, 6 Mei 1981). Sebenarnya Bono emiuri dan Sihar Sitompul orangnya adalah sama.
Berikutnya, Rahmadyah Kusuma Putri (Medan, 7 November 1993), Tiflatul Husna (Tanjung Balai, 12 Agustus 1992), Sakinah Annisa Mariz (Medan, 2 Mei 1991), Wika Fitriana (Sibolga, 19 Oktober 1990), Riska H Akmal (Medan, 15 Juni 1990), Fitri AB (Pagaranbira, 26 Desember 1988), Wahyu Wiji Astuti (Medan, 8 November 1988), Tis’a Muharrani (Medan, 22 Agustus 1988), Selvi Rani (Deli Serdang, 10 September 1987), Budiah Sari Siregar (Kisaran, 12 Juni 1987), Sri Rizki Handayani (Deli Serdang, 10 Juli 1986), Ester P (Batuphat, 2 Juni 1986), Nur Astifa (Petumbukan, 10 April 1986), Yusnita H (Balige, 22 Maret 1986), Intan Hs (Medan, 28 September 1981) dan Andani Fiza (Medan, 30 Mei 1980).
Melalui deretan nama itu juga, terlihat perbedaan teramat nyata dalam hal jumlah antara pria sastrawan pemula dengan wanita. Jika pada dekade 1980-an hingga menjelang akhir 1990-an -sebenarnya telah sejak lama dan bukan saja pemula- wanita sastrawan terbilang langka, taklah demikian sejak awal pasca reformasi hingga kini, terutama di kalangan sastrawan pemula. Jumlah wanita sastrawan pemula kini bukan saja banyak, bahkan berimbang dengan yang pria.
Banyaknya sastrawan pemula di Sumut berlatar pendidikan tinggi dengan bidang keilmuan bahasa dan sastra yang muncul sejak awal pasca reformasi, juga merupakan kondisi yang sangat jauh berbeda dibanding dengan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Pada dekade itu, bukannya tak ada sastrawan pemula di Sumut dari lingkungan perguruan tinggi, fakultas sastra misalnya. Selain jumlahnya tak banyak, dalam pergaulan sastrawan di luar kampus pun hanya satu-dua orang yang menampakkan diri.
Kondisi itu jelas jauh berbeda dengan sekarang. Taman Budaya Sumut di Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan yang sebelumnya dikenal sebagai tempat mangkalnya seniman non-kampus, kini sehari-hari nyaris “dikuasai” para sastrawan pemula berlatar pendidikan tinggi.
Sumut tak pernah sepi dari munculnya pemilik bakat sastrawan, tak bisa dipungkiri. Hanya saja, selain semangat berkarya, hendaknya mereka juga merasa perlu memiliki “kelamin” yang jelas. Artinya, pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya. Fokuskan pilihan pada salah satunya. Dengan begitu, berikutnya “kelamin” sebagai sastrawan akan jelas: penyair atau cerpenis!
12 Feb 2012

0 comments:

Post a Comment