Perkawanan, Kawabata, dan Novel Terjemahan
Posted by PuJa on March 25, 2012
Zakky Zulhazmi
http://www.kompasiana.com/zakkyzulhazmi
Di penghujung 2010 yang lalu, pada akhirnya, saya berhasil menamatkan satu novel terjemahan: Keindahan dan Kesedihan (Beauty and Sadness/Utshukushisa To Kanashimi To) karya Yasunari Kawabata. Novel terbitan Jalasutra dengan cover yang menurut saya eksotik ini saya khatamkan kurang dari seminggu. Atas novel ini saya punya cerita tersendiri bagiamana cara memperolehnya. Tapi sebelumnya izinkan saya bercerita bagiamana pandangan saya teradap novel terjemahan.
Saya termasuk orang yang gampang tersulut alias terprovokasi omongan orang. Misalnya, ketika teman-teman saya di Komunitas Ketik dan Paseduluran Callisto bilang jika novel-novel Fahd Djibran wajib baca saya langsung berambisi untuk mendapatkan dan melahapnya. Begitu juga ketika ada saran untuk membaca novel-novel Tere Liye. Dan yang terbaru saya berhasil dipengaruhi seorang dosen untuk menonton semua film yang dibintangi Tom Hank. Untunglah provokasi itu positif, sehingga saya sebenarnya diuntungkan dengan provokasi macam itu.
Nah, dua kawan yang saya, yakni Bandung Mawardi (Solo) dan Sungging Raga (Jogja) juga pernah memprovokasi saya secara halus. Bandung Mawardi yang esais kenamaan itu menyarankan saya membaca novel-novel Tariq Ali, terutama yang berjudul Under The Pomegranate Tree, dan novel Putri Cina karya Sindhunata. Saya berhasil mendapatkan buku Putri Cina di toko buku favorit saya: Gerak-Gerik (toko buku kecil di Jalan Pesanggrahan, jalan tersibuk di Ciputat terletak tepat di samping kampus UIN Jakarta). Adapun untuk novel Tariq Ali saya baru bisa mendapatkan Seorang Sultan di Palermo dan Sang Perempuan Batu. Selain itu Bandung Mawardi juga menyarankan saya untuk membaca novel-novel Orhan Pamuk. Bahkan Bandung Mawardi melabeli karya-karya Orhan Pamuk sebagai sihir sastra abad 21. Dengan semangat tinggi saya menuju Toko Buku Gerak Gerik, lantaran saya pernah melihat novel Orhan Pamuk di sana. Lebih-lebih Zuhairi Misrawi ikut membakar saya dalam sebuah acara bedah buku dengan mengatakan bahwa buku-buku terbitan Serambi itu berkualitas, kalau saya membeli buku saya lihat penerbitnya dulu, kalau Serambi langsung saya beli, baik terjemahan atau bukan. Kebetulan novel-novel Orhan Pamuk ini diterbitkan Serambi. Lalu saya beli: The White Castel, The New Life dan Istanbul.
Namun, saya belum bisa membaca sampai habis novel-novel yang disarankan Bandung Mawardi itu. Ada sesuatu yang membuat saya kehilangan kenikmatan membaca. Baru satu bab saya sudah tidak bersemangat. Saya lantas berpikir, mungkinkah karena novel Orhan Pamuk dan Tariq Ali itu hadir kepada saya sebagai terjemahan, sehingga bahasa yang digunakan penerjemah tidak ‘indah’ sehingga tak mampu menyihir saya, tidak seperti ketika membaca novel-novel Indonesia. Atau mungkin karena itu novel yang ditulis oleh ‘orang luar’ sehingga secara antropologis dan sosiologis kurang ada kedekatan, makanya terasa ‘berat’. Saya masih belum tahu, masih menerka-nerka jawabannya.
Sampai akhirnya saya berkenalan dengan Sungging Raga, dikenalkan oleh Han Gagas (bersama Bandung Mawardi ia aktif di Komunitas Pawon Sastra, Solo). Han Gagas yang pertama kali saya temui di Ponorogo ketika lebaran 2010 kemarin bercerita bahwa ia sedang menggagas bengkel sastra bersama Sungging Raga dan Gendut Pujiyanto. Komunitas kecilnya itu mengadakan pertemuan rutin untuk membedah atau membengkeli cerpen anggota serta diskusi kepenulisan. Sebelumnya Han Gagas juga sempat bikin acara bedah kumpulan cerpen pertama Sungging Raga: Ketenangan Merentang Kenangan. Sungging Raga saya tahu ‘kecanduan’ kereta dan terhisap pusaran kenangan. Sehingga dua hal itu kerap kali ditemui dalam cerpen-cerpennya. Kunjungi saja surgakata.woedpress.com jika mau melalap cerpennya.
Suatu saat saya bertanya kepada Sungging Raga, siapa penulis yang menginspirasinya? Penulis low profile yang mengaku belum genap dua tahun masuk dunia sastra ini menyebut dua nama, Yasunari Kawabata dan Sapardi Djoko Damono. Rasa penasaran saya tersulut. Siapa itu Yasunari Kawabata? Berceritalah Sungging Raga tentang siapa dan apa karya Yasunari Kawabata itu. Saya juga bercerita jika saya punya ‘pengalaman buruk’ dengan novel terjemahan. Akan tetapi, ia meyakinkan jika membaca Kawabata tidak mengecewakan. Terjemahannya bagus.
Nah, lagi-lagi saya terprovokasi. Saya bernafsu untuk membaca novel-novel Kawabata. Maka dimulailah perburuan itu. Pertama-tama saya diberi tahu Sungging Raga kalau di Togamas Jogja, novel Kawabata masih tersedia: Snow Country (Gagasmedia) dan Beauty and Sadness (Jalasutra). Harganya didiskon pula. Saya buru-buru SMS Anggit, teman saya dari UGM yang juga aktif di Komunitas Ketik, memintanya untuk ‘mengamankan’ dua novel Kawabata itu. Nanti ketika liburan saya akan main ke Jogja dan mengganti uangnya. Tapi ternyata dia belum punya waktu ke Togamas, kegiatan kampusnya berjubel. Dan sayangnya lagi, ketika teman dari Komunitas Ketik yang lain, Tiara, menyambangi Togamas Jogja ia sudah tidak mendapati buku itu. Padahal ia juga sudah terprovokasi, kepingin baca novel Kawabata.
Sebelum pertandingan Indonesia lawan Thailand leg pertama saya dari siang hingga sore berputar-putar di Pasar Buku Murah Blok M Square bersama Romzul (LIPIA, Komunitas Ketik) dan Syafaah. Berharap mendapat buku bagus dan miring harganya. Saya dapat buku Jantung Lebah Ratu (kumsi Nirwan Dewanto) dan Klop (kumcer Putu Wijaya). Dua buku itu saya beli dengan harga Rp 30.000. Sekitar pukul 17.00 saya hendak keluar dari Blok M Square menuju Senayan, menyaksikan pertandingan pertandingan Indonesia vs Thailand. Sebelum meninggalkan Blok M Square saya tertarik dengan satu kios buku yang dijaga seorang ibu. Seperti ada kekuatan aneh yang menuntun saya ke kios buku itu. Saya melihat rak-rak buku dari kayu yang ditata berputar mengitari kios, lekat di tembok, menyisakan ruang yang tak terlalu luas di tengah.
Di kios itu saya seperti menemu surga kecil. Girang sekali rasanya melihat novel-novel klasik masih bisa dijumpai di sana seperti: Burung-Burung Manyar, Para Priyayi, Tetralogi Pulau Buru Pram yang menurut penjualnya adalah cetakan pertama terbitan Hasta Mitra (harganya Rp 1.500.000!), ada juga Tertralogi Pram yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, harganya Rp 300.000. Tanpa sengaja, tanpa diduga, mata saya bersitatap dengan novel bertuliskan YASUNARI KAWABATA warna putih (tampaknya desainer menggunakan font Arial Black untuk tulisan nama penulis ini). Adapun judul buku lebih kecil dan agak tersamar berwarna oranye. Itulah novel Beauty and Sadness yang saya idam-idamkan selama ini. Akhirnya saya mendapatkannya. Tertulis di buku itu harga Rp 35.000. Saya menawarnya. Kata penjual, 30.000 sudah tidak bisa kurang. Saya tawar lagi 25.000. Ibu penjual tidak mengizinkan. Lantas saya (pura-pura) pergi seolah ingin mencari di tempat lain. Sekitar lima langkah saya meninggalkan kios itu, ibu penjual segera mengejar saya. Ia melepas novel itu dengan harga 25.000 (adegan ini sebenarnya cara klasik dalam tawar menawar barang di pasar). Saya puas sekali waktu itu. Seperti mendapat harta karun.
Cerita berlanjut. Ketika berkunjung ke Gramedia Bintaro dengan Syafaah saya melihat novel Snow Country di rak buku yang didominasi novel terbitan Gagasmedia. Harganya 30.000. Saya gembira mendapati novel itu di sana. Tapi tidak segembira saat berburu di Blok M Square. Saya sedang merencanakan untuk membeli langsung novel itu di kantor Gagasmedia di Ciganjur, sekalian saya mau membeli novel A Cat In My Eyes dan Curhat Setan karya Fahd Djibran.
Baiklah, di sini saya ceritakan sedikit siapa Kawabata. Profil Kawabata ini saya ambil dari novel Beauty and Sadness.
Yasunari Kawabata (1899-1972) adalah peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1968. Ia merupakan salah seorang novelis Jepang paling istimewa. Kawabata terkenal karena sentuhan-sentuhan naturalisme dalam novel-novelnya yang diadaptasi dari para pengarang terkemuka Perancis. Teknik itu menghasilkan nuansa sensual yang disebut-sebut sebagai impresionisme ala Jepang.
Ia lahir di Osaka pada 1899. Sewaktu masih kanak-kanak, ia bercita-cita menjadi seorang pelukis. Minatnya pada seni lukis itu tercermin dalam karya-karya sastranya kelak. Namun, ia juga berminat pada sastra. Saat masih duduk di bangku SMU, dia berhasil menerbitkan buku pertamanya. Sejak itu ia`memutuskan untuk menjadi seorang penulis.
Kawabata yang yatim piatu sejak usia muda lulus dari Universitas Kerajaan Tokyo pada 1924. Karyanya yang berjudul Penari Izu pertama kali terbit tahun 1925. Dan dipublikasikan oleh majalah terkemuka internasional The Atlantic Monthly tahun 1955 sebagai The Izu Dancer. Buku itu melukiskan erotisme masa remaja nan apik dan sejak itu Kawabata lebih banyak menggali tema-tema percintaan secara lebih luas. Tiga di antara karya utamnya telah diterbitkan di Amerika Serikat, yakni Snow Country (1956) Thousand Cranes (1959) dan The Sound of the Mountain (1970). The Master of Go (1972) merupakan sebuah elegi simbolis yang mengisahkan kekalahan pencatur tradisional Jepang bergelar Grand Master oleh seorang penantang muda yang berpikiran maju dan terbuka.
Kawabata ditemukan tewas bunuh diri pada suatu malam di bulan April tahun 1972. Ia tidak meninggalkan pesan terakhir dan tak pernah ada penjelasan memuaskan mengenai penyebab tindakan itu.
Itulah selintas tentang Kawabata. Lalu, seperti apa novel Beauty and Sadness? Tidak tahu bagaimana, rasanya nama-nama tokoh novel seperti masih hidup di pikiran kita: Oki, Otoko, Keiko, Taichiro, Fumiko. Kawabata begitu intens dan fokus menggeluti dunia batin mereka. Kebersihan bahasa Kawabata juga membekas. Ia penulis yang pandai meninggalkan kesan. Coba simak judul-judul bab pada novel Beauty and Sadness berikut ini: Lonceng Kuil, Musim Semi yang Terlalu Dini, Pesta Bulan Purnama, Langit yang Gerimis, Taman Batu, Teratai dalam Nyala Api, Jalinan Rambut Hitam, Musim Panas yang Hilang, Danau Kelabu.
Supaya sedikit penasaran dengan novel tersebut saya kutipkan sinopsis di cover belakang:
Dibalik permukaan yang setenang kolam di sebuah kuil, Keindahan dan Kesedihan adalah sebuah ekplorasi erotis yang intens akan akibat perselingkuhan seorang lelaki yang sudah menikah dengan seorang gadis remaja. Cerita tersebut dibuka, dua puluh empat tahun setelah perselingkuhan tersebut berakhir dengan reuni sentimentildari Oki Toshio, seorang novelis sukses yang benar-benar bersembunyi di balik sastra dan kemapanan sosial, dengan kekasih gelapnya di masa lalu, Otoko, yang masih cantik dan kini menjadi seorang pelukis. Kegetiran yang tak kunjung hilang dari hubungan gelap mereka, yang telah menghantui mereka selama ini, meracuni segala yang di sekeliling mereka yang menarik masuk anak didik Otoko, Keiko, menjadi agen dari suatu drama balas dendam yang aneh.
Saya bersyukur mampu berkenalan dengan penulis-penulis besar dunia. Saya rasa, ini berkat perkawanan. Saya tak akan mengenal Tariq Ali dan Orhan Pamuk jika tidak berkawan dan diprovokasi Bandung Mawardi. Begitu juga peran Sungging Raga cukup besar dalam mengenalkan saya dengan Kawabata. Belakangan ini teman-teman Tongkrongan Sastra Senjakala ikut memrovokasi saya membaca novel Luis Sepulveda: Orang Tua yang Membaca Cerita Cinta. Untuk ini saya berterima kasih kepada Maharini dan Asep Sofyan, kawan akrab saya di Tongkrongan Sastra Senjakala.
Maka, mari berkomunitas dan bertukar bahan bacaan biar makin banyak ‘bahan bakar’ kita dalam menulis. Tabik. [AZZ]
______________23 March 2011
*) Lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik, dan Forum Studi Media Karpet Merah. Saat ini menempuh studi di UIN Jakarta.
Dijumput dari: http://media.kompasiana.com/buku/2011/03/23/perkawanan-kawabata-dan-novel-terjemahan/
0 comments:
Post a Comment