Pluralisme, Persuasi, Ndeso
Posted by PuJa on March 22, 2012
Intelektuil “Ndeso“ Emha Ainun Nadjib
Riyadhus Shalihin
http://www.kompasiana.com/Riyadh
Emha, Sosok Islam Berbudaya
Emha adalah salah seorang pribadi yang cukup unik juga eksentrik, dapat kita ketahui dengan baik dalam perilakunya di seputar wilayah keagamaan maupun dalam wilayah kesenimanannya, Emha adalah salah satu tokoh yang mempunyai separuh mata pendakwah dan separuh mata seniman, sehingga beliau selalu saja mempunyai gagasan baru juga menarik dalam menghasilkan berbagai celotehan islami yang segar, unik dan tidak terasa dogmatis.
Terkadang obrolan yang dia lontarkan pun membuat kita mesti mengernyitkan kening lebih dalam, sejenak kita terpaksa mesti menimang dan menimbang – nimbang dari apa yang di ucapkannya, baru kemudian kita dapat memahami betul apa yang sebenarnya ingin dia utarakan.
Emha merupakan seorang santri jebolan Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, meskipun secara resmi dia sendiri tidak sempat menuntaskan pendidikannya, sebab pada tahun ke 3 pembelajarannya dia nekad mengajak seluruh santri yang mukim di sana untuk bersama – sama melakukan demonstrasi menurunkan rezim Soeharto, walhasil beliau pun didepak oleh Pondok Pesantren Modern terbesar se – Jawa Timur tersebut.
kini Emha telah menjadi salah seorang ajengan ternama, Emha adalah sosok cendekiawan muslim dari jawa tengah yang barang tentu telah khatam, faham dan juga fasih dengan berbagai kajian Ushul Fiqh, kaidah Bulughal Marram, Nahwu Sharaf serta bermacam subtil keislaman yang rumit lainnya, namun Emha adalah seorang sosok yang selalu gelisah, dia tidak hanya melulu bergulung dengan dunia keagamaan semata, berbagai Kolom, Artikel dan kumpulan essai kebudayaan hasil buah pemikirannya tersebar luas di berbagai media lokal maupun nasional, Beliau pun produktif dalam melahirkan karya – karya Puisi, sebagai murid dari Penyair Sufi kenamaan Umbu Landu Paranggi, Emha tekun melahirkan beberapa karya antologi puisi, di antaranya adalah :
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
102 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair Amaul Husna (1994)
Beliau pun dikenal luas akrab dengan dunia kesenian, Emha aktif menggeluti ranah kesenian Drama/Seni Peran/Teater sebagai salah satu media dakwahnya di masyarakat.
Bersama Halim HD sebagai networker Teater Indonesia, Emha kerap mementaskan pertunjukan Teater yang menggabungkan ranah Estetika barat yang dipadu padankan bersama keintiman religiusitas Islam namun tetap saja akan terasa hadir sebuah nuansa “ Nyeleneh “ yang khas dari seorang Emha, beliau pun tak jarang dalam beberapa karya nya menampilkan corak corak sosial masyarakat yang terpinggirkan, beberapa karya Teater yang pernah di pentaskan oleh alumnus Teater Dinasti dan Teater Salahudin Pondok Pesantren Gontor, di antaranya adalah :
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan seorang kyai).
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern).
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun)
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Perahu Retak (1992, tentang Indonesia masa Orde Baru)
Sidang Para Setan
Pak Kanjeng
Duta Dari Masa Depan.
Ceramah Sang Penyair “ Lebih Baik Anda Menjadi Kafir “
Seniman yang pernah mengikuti lokakarya Seni Teater di Filipina (1980), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) ini pun acapkali memberikan wejangan dan ceramah kebudayaan di berbagai kesempatan, saya pun tertarik untuk memberikan sedikit ulasan mengenai “ majelis nyeleneh “ nya ini, saya sendiri telah mendengar berkali – kali dan hafal betul karakteristik wejangan – wejangan Emha, terutama saya mempelajarinya dengan intens pada saat ketika saya menempuh pendidikan di Pondok Pesantren, dan mulai “ Ngeyel “ menyentuh dunia kesenian yang merambah menjadi hobi tulis menulis, saya akan kupas sedikit beberapa petikan ceramah yang coba beliau kemukakan
Pada suatu sore di saat Emha sedang berada di pekarangan padepokan nya, bersantai sembari menyeduh Kopi panas hitam nan legit , salah seorang dari sohib karib Emha terlihat datang dengan wajah yang kusut masam, tanpa basa – basi dia menyatakan keprihatinannya, dia mengeluh akan keadaan Indoneisa pada saat ini, bahwasanya di Indonesia seringkali terjadi banjir, di sana – sini bencana bagai air bah yang siap menenggelamkan manusia kapanpun juga, bom berhamburan menghancurkan berbagai macam tempat peribadatan, Kobaran api sungguh merajalela diberbagai tempat, lalu akhirnya dia pun bertanya.
Penanya: Emha bagaimana ya agar Allah tidak Marah?
Lalu seperti biasa dengan penuh misteri dan kontroversi Emha menjawabnya.
Emha : Saya kira lebih baik, seluruh penduduk Indonesia menjadi KAFIR saja !
Bagi yang mendengarnya sesaat tentu akan merasa jengkel dan ingin rasanya mendebat ucapan Emha tersebut, namun Emha menjawab
Emha : Lebih baik anda menjadi kafir semur hidup dengan dosa yang hanya terhitung satu kali, daripada anda menjadi muslim seumur hidup namun hanya bermain – mati. Anda kira dengan membunuh ummat beragama lain, meledakkan tempat peribadatannya, anda mendapatkan tiket gratis menuju surga.
Sungguh menarik, dalam konsep analogi yang diberikan Emha sendiri mengingatkan saya akan konsep Mistikal islam / Spritualisme tasawuf seperti yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar, dan dalam ilmu kebatinan jawa kita pun mengenal suatu hakikat “ Sangkan Paraning Dumadi / Manunggaling Kawula Gusti “ ( bersatunya ruh mikro kosmos dengan makro kosmos ) dalam hal ini tidak dapat diartikan bahwa tubuh manusia dapat menjadi tuhan dan ataupun sebaliknya, namun ini adalah proses peleburan ruh manusia yang telah mencapai suatu tingkatan di mana nafsu yang membelenggu dan angkara yang meliputi hatinya telah luluh dan lenyap, sehingga hijab dirinya sebagai manusia dan tuhan telah mencapai peleburan, dia pun sejatinya kembali pada ke esa an . Tentu dalam hal ini kita mesti lelah bertahun – tahun melakukan tirakat, menyepi juga ber semadi dengan khusyu, menjauh dari keramaian manusia, bermeditasi dengan diri sendiri, dalam keutamaan Budhha kita pun dapat mengenal hakikat Mukswa ataupun Moksa, yaitu menghilang dalam ketenangan dalam keharibaan menuju ilahi.
Sederhananya dalam ilmu laku kebatinan kita harus mampu melewati 4 tingkatan utama keimanan, yaitu :
Syariat
Tirakat
Hakikat
Ma’krifat
Emha pun dengan tenang memutarbalikkan perkataan si penannya tersebut yang ingin menebak juga menerka – nerka Allah agar menjadi tidak marah, menganggap Tuhan adalah suatu wujud materialisme-realis yang bukan merupakan suatu zat rohani-metafisis, sehingga seakan – akan kemauan Allah sebagai Pencipta Manunggal dapat ditebak juga diantisipasi apa yang akan dilakukannya, memperlakukan Tuhan seperti membuat peruntungan dan pertaruhan dengan kondisi yang dapat kita ancang – ancang sebelumnya.
Apabila syekh Siti Jenar mengatakan dunia adalah kematian dan setelah kematian adalah kehidupan yang sebenar – benar nya, maka Emha memberikan anjuran wujud konsep yang lebih mudah yaitu berimanlah kepada Allah tanpa harus menimbang – nimbang apa yang akan allah berikan, apapun bentuk yang tampak di bumi ini janganlah membuat kita bertanya – tanya apalagi menyelidiki apa maksud serta tujuan Allah.
Jika Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa tidak penting memikirkan Surga dan Neraka karena Surga dan Neraka hanya berada di alam pikiran manusia, maka Emha memberikan anjuran yang lebih mudah yaitu beribadah saja tanpa terbebani dengan apakah bencana ataupun berkah yang akan Allah tunjukkan kepada kita, sebab Tuhan adalah Spirit – Metafisis yang tidak bisa di andai – andai ataupun di kira – kira , satu hal yang essensial dan jangan sampai terlupakan dari ajaran Syekh Siti Jenar maupun Emha adalah peringatan untuk tidak menggangu berbagai macam kekhusuan laku ibadat agama lain, karena sejatinya semua ummat ber agama berserah diri menuju ke esa an yang sama, hanya dalam “ Wujud “, “ Bentuk “ , dan juga ,“ nama “ yang berbeda sahaja.
_______________________24 September 2011
Riyadhus Shalihin, Lahir dan dibesarkan di Kota Bandung, pada tanggal 10 Desember 1989. Sempat kuliah di Jurusan Jurnalistik, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung. Kini Mahasiswa Seni Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Alumnus Pondok Pesantren Islamic Centre Muhammadiyah, di kaki gunung Hutan Cibodas, Bogor. Bergiat di Forum Pemahaman Nilai – Nilai Islam, STSI Bandung.
Dijumput dari: http://sosok.kompasiana.com/2011/09/24/pluralisme-persuasi-ndeso/
0 comments:
Post a Comment