Pages

Tuesday, 27 March 2012

Politik Sastra: Sastra Sebagai Barang Biasa


Politik Sastra: Sastra Sebagai Barang Biasa
Posted by PuJa on March 25, 2012
Muhammad Taufiqurrohman *
http://bahas.multiply.com/

Sastra adalah sebuah produk kebudayaan ‘biasa’. Ia adalah makhluk biasa-biasa saja yang lahir dalam sebuah rentang peradaban umat manusia. Sebagaimana produk-produk kebudayaan yang lain —sebut saja politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya— ia datang ke dunia dengan segala karakteristik, kodrat, keperluan, kepentingan, kelemahan juga kekurangan yang dibawanya. Juga saya pikir, sebagai barang ia tak ubahnya tempe penyet, busway, batu-nya ponari, dan laptop.
Ia sepenuhnya biasa-biasa saja yang bisa disukai, bisa juga dibenci. Ia dalam berbagai bentuknya—puisi, cerpen, teater, film— hanyalah sebuah benda dengan segala sifat-sifat yang melingkupinya. Juga sebagai benda, pasti ia tak berwajah tunggal. Ia bisa berwujud realisme, surealisme, kontekstual, pedalaman, pesantren, religi, populer, kuno, kontemporer, dan lain-lain.
Saya menemukan nada yang sama tentang sastra dengan pendapat Emha Ainun Nadjib. Meskipun pendapat Cak Nun (panggilan akrab Emha) hanya berbicara tentang puisi, tetapi saya kira pendapat tersebut mewakili pendapatnya tentang sastra secara keseluruhan. Dalam sebuah tulisannya, Cak Nun—demikian ia kerap disapa—menyatakan seperti ini;
‘Puisi itu barang bikinan manusia. Barang mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan ia mungkin saja dianggap sebagai kebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan mungkin sakral, religius, penuh cinta-kasih, dan terlalu romantis untuk diabaikan. Ia demikian pentingnya, tapi mungkin juga hanya agak penting, atau tak penting sama sekali. Tetapi pasti, seperti juga barang-barang mainan lain, ia hanyalah diadakan. Jadi sebenarnya ia tak ada. Kenyataan ruang dan waktu akan mengungkapkan bahwa ia sesungguhnya memang tidak ada. Yang ada hanyalah puisi yang tak bisa dibikin menjadi sebuah wujud, yang tak bisa diucapkan dan ditulis. Dengan kata lain ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan itu bukanlah puisi yang sesungguhnya. Melainkan dongeng saja. Analoginya juga segala perbincangan tentangnya hanyalah dongeng tentang dongeng belaka. Dan dongeng itu semu’.
Saya tidak tahu persis apakah Cak Nun membaca karya-karya posmodernisme atau tidak. Namun, saya pikir apa yang dikatakannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Derrida tentang Dekonstruksi, oleh Lyotard tentang the decline of grand narrative, oleh Foucoult tentang relasi kuasa (power relation) yang menjadikan segala hal adalah biasa-biasa saja. Simak saja Lyotard yang mengungkapakan akan keretakan pemisahan antara narasi besar dan narasi kecil. Tidak penting lagi apakah sesuatu berasal dari narasi besar atau narasi kecil. Segala sesuatu dalam pandangan postmodern menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang adi luhung, juga tidak ada yang luhur atau tidak luhur.
Foucault bahkan menambahkan bahwa segala hal di bawah tilam peradaban umat manusia merupakan hasil sebuah konstruksi. Sebagai sebuah kontruksi, segala hal hanyalah produk sebuah konspirasi. Everything is conspired, demikian lugasnya. Segala sesuatu adalah hasil sebuah konspirasi tertentu dengan kepentingan tertentu dan oleh orang-orang tertentu. Aliran konstruksionisme ini menyangsikan pandangan bahwa si a adalah luhur dan si b adalah buruk. Sebab, dalam sebuah kehidupan yang dianggap biasa, sebuah barang dianggap bagus/luhur/buruk didasarkan atas sebuah kepentingan; baik/luhur/buruk adalah menurut apa dan siapa. Lagi-lagi saya menemukan nada yang tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cak Nun tentang sastra;
‘Persoalan pertama dalam kesusastraan ialah apakah karyamu dan karyaku bagus atau tidak. Ini berlaku untuk bagian sejarah manapun serta tempat tinggal manapun. Tanpa karya baik segala ucapan kita tidak berbicara meskipun bisa berkata-kata. Persoalan kedua ialah bagus dan tidak menurut apa atau siapa. Artinya menurut ukuran apa, dan akhirnya (hukum psikologimasyarakat) siapa yang menilai. Kemudian seberapa bijak dan demokratis sebuah iklim lingkungan mampu mengakomodasi percaturan apa dan siapa itu’
Politis
Sastra dalam pandangan konstruksionisme ini kemudian menjadi sesuatu yang politis. Ia, sesuatu yang dainggap suci oleh modernisme, ternyata tidak bisa lepas dari jeratan politik. Sebab, posmodernisme menguak ternyata di dalam sastra juga ada politik kepentingan, apa dan siapa itu. Sastra kemudian tidak bisa menyangkal dirinya untuk menerima label ‘politik sastra’. Inilah zaman kembalinya politik (the return of politics) seperti yang dinyatakan oleh Slavoj Zizek. Inilah zaman ketika sastra adalah politik dan politik adalah sastra.
Kata-kata John F. Kennedy yang termasyhur tentang sastra yang lebih suci/bersih ketimbang politik sepertinya sulit diberlakukan lagi. Kata Kennedy, “jika politik itu kotor maka sastralah yang membersihkan”. Saya tidak mengerti benar apa yang dimaksudkan Kennedy dengan sastra dalam kalimat tersebut. Mungkin yang diandaikan Kennedy adalah sastra sebagai isi/susbtansi atau sastra sebagai sastra. Dalam hal ini, semua sastra adalah panggilan atau jeritan hati nurani yang sangat bersih nan suci. Atau dalam kata lain, sastra dalam pandangan Kennedy adalah sastra yang idealistik. Namun, bisakah sastra steril. Sebagai produk kebudayaan ia hidup dan berinteraksi dengan segala produk kebudayaan yang lainnya. Ia harus berkompromi dan kadang-kadang harus masuk terjebur dalam selokan tinja. Ia tidak selalu lahir di masjid atau gereja atau istana yang wangi. Sebagai benda biasa, ia bisa lahir dimana-mana yang dapat bertemu dengan apa saja dalam peradabana umat mansuia. Ia bisa bertemu politik, ekonomi, hukum. Ia bisa berjumpa dengan nurani, keserakahan, cinta, kedengkian bahkan dosa. Ia sepenuhnya biasa-baisa saja.
Jika benar anggapan kita tentang politik dalam sastra atau sastra yang tidak bisa mengelakkan politik maka determinan apakah yang paling penting dalam politik sastra tersebut. Apakah determinan itu bernama politik, ekonomi atau apakah?
Pernah kita mencatat dalam sejarah kesusastraan kita bahwa politik telah menjadi determinan penting dalam sastra. Ketika itu polemik antara Lekra dengan realisme sosialis-nya dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dengan humanisme universal-nya mewarnai dunia kesusastraan kita. Politik, kala itu dimaknai sebagai apa-apa yng berhubungan dengan penguasa dan kekuasaan—katakanlah kekuasaan presiden, partai dominan, atau kekuasaan politik dalam bentuk aparatus-aparatus negara. Secara sederhana digambarkan, Lekra mendukung kekuasaan politik Sukarno sedangkan Manikebuis (sebutan untuk pendukung Manikebu) melawannya. Namun, ketika itu memang pengertian tentang politik masih sangat terbatas pada kekuasaan yang tampak oleh mata semacam itu.
Yah, ketika itu belum lahir istilah politik sastra. Ketika itu apa yang dinamakan politik hanyalah apa yang dilakukan Lekra dan apa yng dilakukan Manikebuis tidak disebut sebagai politik. Politik tidak seperti apa yang dimengerti sekarang. Politik adalah segala hal yang tersebar dimana-mana. Segala mekanisme pemenuhan hasrat kepentingan dan akan kekuasaan tentang apa, siapa saja dan dimana saja adalah politik. Politik tidak terpusat berada pada pusat tertentu,melainkan berada dimana-mana alias terdesentralisasi. Ternyata kemudia kita tahu bahwa di dalam sastra juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam kebudayaan juga ada pertarungan kepentingan (politis), di dalam cara kita berpakaian dan apa yng kita makan juga ada kepentingan (politis), di dalam penghargaan-penghargaan (awards) baik skala lokal maupun internasional ternyata juga ada kepentingan.
Yah, dimana-mana ternyata ada kepentingan politik. Hampir selalu ada yang mau menguasai (baik dalam bentuk dominasi atau hegemoni) dalam setiap ruang kehidupan yang bernama apa saja. Memakai pemaknaan politik seperti sekarang ini maka apa yang dilakukan Manikebuis sebenarnya juga adalah politik, yaitu politik sastra atau politik kebudayaan pada umumnya. Bahwa soal menjawab pertanyaan untuk apa atau kepentingan (politis) yang paling hakiki dalam kehidupan ini merupakan ususan pribadi kita masing-masing. Saya tidak mempunyai ilmu dan kompetensi untuk menjawab untuk apakah sesungguhnya hidup ini bagi anda? Juga untuk menjawab bahwa jika ternyata everything is conspired, lalu siapakah yang meng-conspire langit, air mata, getaran-getaran dalam hati, dan juga siapakah yang mengkonspirasikan segala conspirator (designer, constructer, atau apa saja lah namanya) terhandal dalam segala bidang politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya?
Bahwa jawaban tentang siapakah the ultimate conspirator of conspirators diantara kita bisa sangat berbeda, itu adalah kewajaran. Tetapi setidaknya hal ini menumbuhkan kesadaran di antara kita bahwa segala produk kebudayaan dalam tatanan peradaban umat manusia—dari hukum, ekonomi, politik, sastra, pakaian, bahasa, dsb— sesungguhnya adalah hasil sebuah konspirasi kepentingan tertentu, orang tertentu, dengan kata lain politik tertentu. Sekali lagi, bahwa untuk apa kepentingan politik itu? Itu adalah soal kita masing-masing tapi pada saat yang sama juga menjadi soal kita bersama. Saya pribadi sejujurnya juga masih bersoal dalam hal itu.
Titik Tekan
Persolannya kemudian adalah soal titik tekan nada dalam pengucapan (artikulasi). Dan yang paling sulit untuk dijawab adalah soal titik tekan apakah yang paling penting dan paling benar dalam sastra khusunya, dan kehidupan ini pada umumnya. Sebut saja beberapa istilah berikut ini; politisasi sastra dan sastranisasi politk. Apakah titik tekan dalam kata-kata tersebut sama. Menurut penulis, titik tekan dalam kedua frasa tersebut jelas sangat berbeda.
Determinan penting dalam ‘politisasi sastra’ adalah politik—dalam pengertian tradisonal. Sedangkan titik tekan sastranisasi politik—dalam pengertian tradisonal– adalah sastra. Pada soal apakah dan dengan alasan apakah kita memilih yang pertama ketimbang yang kedua atau sebaliknya adalah sepenuhnya soal selera dan latar belakang masing-masing pengucap. Pada titik inilah kita bisa menjelaskan polemik yang terjadi antara lekra dan manikebu. Lekra lebih berselera kepada politik sedangkan Manikebuis lebih berselera kapada sastra. Jika persoalannya adalah murni selera, bisakah selera dipaksakan? Mungkinkah latar belakang setiap manusia disamakan?
Titik tekan ini merupakan jantung persoalan polemik kesusastraan kita. Ada dua orientasi besar dalam bentuk blok sastra Indonesia, yaitu blok sastra otonom dan blok sastra terlibat (bertendens). Yang pertama percaya bahwa sastra mempunyai dunianya tersendiri yang terpisah dan lepas dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Sedangkan yang kedua percaya bahwa sastra, sebagaimana produk sebuah sejarah kehidupan, harus terlibat dalam pergolakan kehidupan. Emha Ainun Nadjib dengan sangat baik melukiskan perkembangan ini;
‘Pertama, sastrawan yang pendekatannya terhadap kesusastraan bersifat intelektual, spesialistis dalam arti ia mengaitkan dirinya dengan sastra sebagai suatu forma ekspresi yang otonom, yang berbeda dengan disiplin lainnya…. Kedua, ialah sastrawan yang meletakkan sastra tidak sebagai titik tolak, melainkan lebih sebagai salah satu pilihan ekspresinya saja. Bingkai atau perspektif kegiatannya bukan perspektif kesusastraan belaka, melainkan perspektif kehidupan yang menyeluruh’.
Polemik antara dua orientasi besar ini akan sia-sia jika kita menanyakan tentang manakah yang benar di antara keduanya. Saya lebih memilih untuk mempertanyakan tentang kelebihbermanfaatan keduanya dalam konteks keindonesiaan. Artinya, dalam perspektif kesejarahan Indonensia bagaimanakah sebenarnya posisi sastra Indonesia. Setelah mengetahui letak posisi strategisnya, dimanakah sastra dapat memberikan kontribusi kebermanfaatan bagi Indonesia?
Privat vs Publik
Saya melihat persoalan polemik tersebut lebih sebagai kebelumjelasan kita dalam soal ruang privat vs publik. Pada agenda besar tentang polemik privat dan publik ini kita sebagai bangsa belum merumuskan benar tentang definisi atau batasan keduanya. Katakanlah begini; sastra otonom mewakili keberpihakan terhadap ruang privat sedangkan sastra terlibat lebih condong pada arah ruang publik.
Polemik dari luar yang kita adopsi secara mentah-mentah tentang art for art dan art for life merupakan bagian dari polemik tentang privat dan publik tersebut. Art for art (seni untuk seni) yang merupakan pangkal dari sastra otonom adalah wakil suara dari ruang privat, sedangkan art for life (seni untuk kehidupan) yang merupakan sumber sastra terlibat/bertendens mewakili ruang publik. Privat dan publik, otonom dan terlibat, seni dan kedidupan, apakah kita sebagai bangsa benar-benar mempunyai pola kesejarahan yang memisahkan benar-benar antara oposisi biner (binary opposition) tersebut?
Sedangkan kita tahu, konsep seni (art), tidak benar-benar kita kenal dalam khasanah kebudayaan kita. Memang mungkin ada baiknya kita melakukan sebuah rekonstruksi sejarah atas privat dan publik dalam konteks keindonesiaan kita. Sebab, konon kata orang sebuah pohon yang kokoh hampir selalu mempunyai akar yang kokoh pula. Memang kita bukan pohon tentu saja, kita adalah manusia yang tidak begitu saja ada dan yang tidak bisa memilih untuk menjadi ini atau menjadi itu. Kita adalah manusia yang bisa berusaha dan memilih untuk menjadi apa kita nantinya; menjadi sekuat pohon jati, selemah rumputan, seberguna kelapa ataukah sesederhana bonsai?
Saya kira, pada titik inilah kita perlu serius untuk menjawab tentang privat dan publik dalama masyarakat kita, khususnya dalam dunia seni budaya. Jika tidak, persoalan-persolan lain semacam kasus undang-undang pornografi, kebebasan pers, sensor film, dan lain sebagainya hanya akan menjadi sebuah kasus yang hampir selalu tergantung-gantung tak jelas soalnya.
‘Jumbuh’
‘… tidak berarti bahwa apa yang dimakud dengan ‘art’ itu tak terdapat pada wajah kebudayaan kita, melainkan forma ‘art’ sebagai suatu term intelektual, bukanlah merupakan tradisi kita. Kita sangat memiliki ‘art’ itu, tetapi dalam posisi yang ‘jumbuh’ dengan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai unur-unsur ‘lain’, umpamanya religi, adat, dan lain-lain.’
Saudara, tahukah kau betapa indahnya kata ‘jumbuh’ itu di telingaku. Jumbuh adalah kesatuan, ketunggalan, ketidakterpisahan segala aneka unsur dalam kehidupan ini. Demikian juga dalam seni, setidaknya menurut Cak Nun bahwa tidak ada tradisi pemisahan seni dari unsur-unsur lainnya. Unsur-unsur ‘lain’ itu bisa kita inventarisir lebih luas; sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, moral, dan sebagainya. Lihat saja saudara; adakah tradisi tari kita, wayang, lagu-lagu tradisonal kita, dan sebagainya yang lepas dari konteks kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan?
Jangan-jangan memang benar bahwa kita sebagai bangsa (Nusantara) memang tidak pernah mempunyai tradisi biner dalam segala hal, juga dalam soal biner privat vs publik ini. Saya teringat pernah membaca sebuah buku yang saya lupa judul dan pengarangnya yang menyatakan bahwa dalam khasanah nusantara khususnya Bali, tidak pernah ditemukan tradisi oposisi biner. Hitam dan putih tidak dianggap sebagai hubungan perlawanan/oposisi, melainkan adalah hubungan kausalitas/sebab akibat. Yang satu menyebabkan yang lain atau yang satu disebabkan oleh yang lain. Adanya putih menyebabkan adanya hitam atau adanya hitam disebabkan oleh putih.
Lagi, tidak ada bodoh vs pintar, melainkan bodoh menyebabkan pintar atau pintar disebabkan oleh bodoh. Apa artinya, jika benar ternyata bahwa memang kita tidak mempunyai tradisi pemisahan antara ‘privat vs publik’ maka apa yang kita polemikkan selama ini di tv-tv, Koran, jurnal dan seminar tentang batasan antara ‘privat vs publik’ khususnya dalam seni misalnya pornografi, film, lukisan, dll akan tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan. Sebab, kita memandang persolan dengan sebuah kacamata yang tidak cocok untuk situasi kita. Kita menggunakan kacamata biner, sedangkan (mungkin) kita tak mengenal biner. Apa boleh buat?
Multidisipliner
Sastra, dengan segala keterbatasannya, lalu tidak bisa menafikan dirinya dengan yang ‘lain’ alias sastra multidisipliner. Sebab, bahkan sejak sebelum dilahirkan memang mungkin begitulah sifat segala benda biasa di dunia ini. Dengan kesadaran multidisipliner tersebut, sastra akan lebih mempunyai bentangan alternatif-alternatif bentuk maupun isinya yang lebih beragam dan —ini yang lebih penting— lebih tak terduga. Sastra bisa bergumul dengan politik (dalam pengertian tradisional), bisa menghadapi hukum, bergaul dengan ekonomi, persoalan-persoalan ketidakadilan, korupsi, selera makan, kapitalisme-neo liberalisme, hobi, percintaan, dan segala hal. Sastra akan menjadi lebih tak terduga. Dan oleh karenanya, mungkin lebih menggairahkan.
Dikarenakan perbenturannya dengan disiplin-disiplin lain tersebut, sastra juga akan menemukan berbagai macam bentuknya yang lebih kontekstual. Sebab, konteks setiap disiplin ilmu/kajian/bidang sangatlah mempunyai kebenarannya sendiri sesuai dengan konteks (here and now) masyarakatnya sendiri. Misalnya, disiplin politik dalam konteks masyarakat jawa dan batak sangat berbeda. Oleh karenanya, sastra yang bergumul dengan persoalan politik di Jawa dan Batak dapat menemukan bentuknya yang sangat berbeda. Juga, misalnya soal ketidakadilan dalam konteks masyarakat desa dan kota yang berbeda. Maka sastra yang menghadapi bentuk ketidakadilan yang berbeda itu juga melahirkan bentuk karya sastra yang berbeda. Kita bisa menginventarisir perbedaan konteks dalam masyarakat kita yang dapat melahirkan kemungkinan lahir-lahirnya bentuk-bentuk alternatif sastra yang lebih tak terduga. Inilah kira-kira dampak multidisiplin dalam kalangan praktisi sastra (penulis, sastrawan, aktor, dsb).
Di kalangan peminat, kritikus maupun pecinta sastra, dengan kesadaran multidispiliner ini diharapkan akan lebih dewasa dalam membaca dan menilai bahkan menghakimi sebuah karya satra. Sebab, sastra tidak dipandang dengan hanya sebuah kacamata kuda melainkan dengan sebuah pandangan yang menyeluruh dari seluruh aspek kehidupan ini.
Saya kira ini dulu dari saya. Semua kutipan Emha saya ambil dari buku lamanya ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’ cetakan Pustaka Pelajar tahun 1995. Tentu anda tahu polemik sastra yang saya nyatakan dalam tulisan ini merupakan sebuah polemik usang. Tetapi barangkali sedikit membantu untuk meraba-raba apakah ada determinan baru dalam polemik kesusastraan kita? Mungkin, tidak melulu politik-ideologis lagi seperti dulu. Siapa tahu?
*) Penulis adalah mahasiswa S2 Cultural Studies Universitas Indonesia
Tulisan ini juga dimuat di http://komunitasembunpagi.com/
Dijumput dari: http://bahas.multiply.com/journal/item/64?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

0 comments:

Post a Comment