Pages

Tuesday, 27 March 2012

Tamsil Puitik Gamelan


Tamsil Puitik Gamelan
Posted by PuJa on March 27, 2012
Bandung Mawardi *
http://www.solopos.com/

Politik Indonesia sedang kisruh, sirna etika politik dan pudar sensibilitas kultural. Para politisi mirip tukang omong, saling sindir, mengecam dan mengejek. Elite membuat alibi atas dosa politik, sesama pengurus partai politik saling menebar fitnah dan hujatan, para manusia parlemen juga membuat proteksi politis agar selamat dalam sangkaan pelanggaran etika. Kondisi ini merisaukan, membuat kita alpa sejarah politik dalam bingkai selebrasi seni tradisional.
Kita bisa mengingat seruan Soetomo, tokoh nasionalis penggerak Boedi Oetomo, melalui esai mungil Kewajiban dan Gamelan. Soetomo menjadikan permainan gamelan oleh para penabuh sebagai tamsil kesanggupan bekerja saja mengolah harmoni musik, melantunkan spirit kultural dan mengikat etos kolektivitas. Kemahiran dan kepekaan kolektif membuat permainan gamelan merasuk ke nurani. Kekacauan, salah mengerti dan egoisme masing-masing penabuh gamelan bakal membuat lantunan menjadi sumbang (blero).
Semua memerlukan kesesuaian, srawung, kepekaan, ikhlas dan harmoni. Gamelan adalah tamsil puitik pada awal abad XX saat kita merayakan nasionalisme, mengikhtiari bakti demi Tanah Air. Sejak itulah arus politik lekat dengan jagat seni dan naluri kultural (Jawa).
Jejak-jejak itu punah, tergantikan oleh manajemen politik modern. Para elite, pejabat atau politisi menganggap misi politik mereka sejenis pekerjaan. Nalar ini menuntut ada gaji, penghasilan, popularitas. Pengabdian terabaikan oleh logika pragmatis, integritas surut oleh ambisi modal dan kekuasaan. Seruan Soetomo mungkin klise untuk politik mutakhir, politik dengan gelimang adu kepentingan, perebutan uang rakyat (korupsi) dan pamer kekuasaan. Tamsil gamelan digantikan oleh pundi-pundi uang, agenda pelesir, rumah atau mobil. Harmoni dalam politik sirna, komposisi hidup dengan irama kolektivitas hancur oleh egoisme politik dan ekonomi.
Ki Hadjar Dewantara dalam kitab Sari Swara (1930) malah pernah mengimplementasikan signifikansi gamelan dalam kurikulum pendidikan di Taman Siswa. Gamelan bisa membentuk karakter, jiwa Jawa dan kesadaran atas gerak zaman. Pilihan mengajarkan gamelan di sekolah saat itu sejenis ejekan untuk dominasi nalar pendidikan kolonial (Barat). Kemunculan kaum terpelajar dan elite modern hasil dari sekolah modern kerap alpa dengan akar kultural. Ki Hadjar Dewantara ingin melawan corak pendidikan koruptif atas karakter lokal, biografi kultural dan kearifan lokal.
Ajaran itu pelan-pelan hilang di sekolah-sekolah kita. Sekolah adalah ajang bisnis, menepikan agenda karakter, menghilangkan seni-seni lokal (tradisional). Kondisi ini mengandaikan tentang relasi gamelan, pendidikan (sekolah) dan politik. Kejujuran, harmoni, eling, kesantunan, kearifan memudar seiring pelupaan tamsil puitik gamelan dalam jagat pendidikan dan politik di Indonesia. Kita bisa memetik renungan Ki Hadjar Dewantara (1936): gendhing (komposisi gamelan) memiliki peran untuk membangkitkan kehidupan batin karena menuntun rasa kita terhadap rasa kewiramaan, rasa keindahan, rasa kesusilaan.
Semuan hikmah itu tergerus oleh modernisasi dan globalisasi. Gerak zaman juga turut mengubah nasib gamelan dalam kosmologi Jawa di keraton. Peran gamelan dalam ritus tradisional pada masa kerajaan lekas berubah, memanggul peran kompleks dalam turisme, lomba, hiburan, iklan komersial atau kampanye politik. Estetika, simbolisme dan makna gamelan berubah bersama perubahan situasi politik Indonesia. Orde Lama dan Orde Baru pun enteng mengabaikan signifikansi spiritual dan kultural dalam gamelan. Politisasi gamelan justru jadi pola pembentukan masyarakat pasif dan patuh.
Perubahan Ironis
Pola-pola perubahan itu memungkinkan perubahan ironis terkait dengan nasib para penabuh, resepsi gamelan di masyarakat dan selebrasi kosmologi Jawa. Politik menentukan nasib gamelan kisaran 1950-an sampai 1970-an (Waridi, Gagasan dan Kekaryaan: Tiga Empu Karawitan, 2008: 435-436). Politik adalah perang modal, adu kata dan produksi ilusi-ilusi mengenaskan. Sensibilitas seni dan kultural terkalahkan oleh doktrin-doktrin dan prosedur politik modern. Nalar dan imajinasi para elite jadi hampa oleh semaian nilai-nilai keluhuran. Masyarakat juga kehilangan ritme dan harmoni melakoni hidup dalam imperatif-imperatif politik eksploitatif.
Kita jadi ingat dengan satire politik John Pamberton dalam Subject on Jawa (1987) bahwa fungsi gamelan di masyarakat bukan untuk ”didengarkan” dan diresapi tapi untuk ”menciptakan” masyarakat pasif dan terkendali. Tafsiran ini kentara meletakkan gamelan dalam konteks kekuasaan Orde Baru. Gamelan adalah simbol politik untuk menghapuskan atau menundukkan potensi oposisi dan resistensi terhadap rezim.
Sejarah ironi itu patut jadi refleksi bagi kita untuk menggerakkan politik dalam spirit kultural dan pergumulan estetika. Ikhtiar ini menghendaki ada kesadaran adab dan keluhuran dalam lakon politik. Gamelan dalam politik adalah ”gamelan jiwa” untuk pemartabatan Indonesia. Gamelan mengandung kompleksitas nilai dan menempuhi arus sejarah panjang dalam peradaban di Indonesia.
Refleksi gamelan adalah refleksi diri kita dalam pergumulan spiritualitas, estetika, politik, sosial, ekonomi dan kultural selama sekian abad. Kuntowijoyo (1985) menilai gamelan tak sekadar urusan melodi, harmoni dan dinamik. Keharmonisan dan keteraturan dalam gamelan merupakan representasi dari perjalanan suci menuju Tuhan. Kita mengingat gamelan, kita menjalani hidup dalam taburan nilai-nilai keluhuran dan kemuliaan. Dambaan ini memang surut saat politik kita abai hikmah sejarah, abai tamsil puitik gamelan.
*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo /28/1/2012

0 comments:

Post a Comment