Pages

Sunday, 1 April 2012

Adipati Karna Disisihkan Lantaran Perbedaan


Adipati Karna Disisihkan Lantaran Perbedaan
Posted by PuJa on April 1, 2012
Abdurrahman Hakim *
http://www.lampungpost.com/

Teater Satu mementaskan Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Mohamad. Adipati Karna yang disisihkan lantaran perbedaan kasta, warna darah, dan asal usulnya yang tak jelas.
HARI ke-16 perang Baratayuda di padang Kurusetra. Kedua seteru kembali bertemu dalam pertempuran hidup dan mati. Anak panah dan tombak beterbangan di udara. Mayat-mayat prajurit bergelimpangan.
Sebuah anak panah Arjuna melesat memburu sasarannya. Adipati Karna (diperankan Budi Laksana) tak dapat menghindarinya. Karna tahu ia akan kalah. Maka ia pun berkata dengan lantang di tengah medan pertempuran.
“Arjuna, aku tak bisa mengingat mantera itu. Mantera yang dapat menyelamatkan hidupku. Bramastra tak ada di tanganku. Maka, laksanakanlah tugasmu karena itulah jalan dharma bagimu,” ujar Karna menyongsong kematiannya sendiri.
Arjuna (diperankan Gandi) berdiri sigap dengan pedang terhunus. Ia melangkah mendekat, bersiap melakukan satu tebasan mematikan. “Maafkan aku Karna,” ucapnya dingin disertai satu kali ayunan pedang. Tubuh Karna terhempas ke tanah.
Sejurus kemudian, dalam deraian air mata, permaisuri Kunti (Ruth Marini) memeluk putra tertuanya yang tengah meregang nyawa itu. “Putraku, jika engkau mati maka tak ada lagi yang dapat mengisi kekosongan hatiku, namun kau telah pasrah,” ucapnya lirih.
Karna menatap paras ibunya lekat-lekat. Tangannya perlahan berupaya menggapai wajah sang ibu. “Aku pun sungguh ingin mencintaimu, Ibu,” ucapnya. Namun, gerak perlahan itu terhenti tiba-tiba. Alunan musik nan pilu kemudian mengambil peran mengharukan suasana pemanggungan.
Kemudian dari sisi kiri atas panggung, muncul sosok lelaki tua mengenakan jubah brahmana. Dialah Parasurama (Hendri Rosfelt), guru yang mengutuk muridnya sendiri-Karna. “itulah akhir hidup murid pendusta itu. Jika kulengkapi mantra itu, sejarah mungkin akan berbeda,” ujarnya.
Demikianlah akhir dari lakon Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Mohammad yang dipentaskan Teater Satu sejak 20 hingga 23 Maret lalu di Taman Budaya Lampung (TBL). Kalau boleh dibilang, inilah kisah lain dari Kisah Lain Kurusetra.
Sutradara Iswadi Pratama berhasil mengadaptasi naskah yang mulanya terdiri dari empat monolog para tokohnya Radha, Resi Parasurama, Kunhti, dan Surtikanti, menjadi sebuah cerita utuh yang terbagi dalam 13 pengadegan para tokoh.
Momen-momen penting seperti halnya ketika Karna dinobatkan sebagai kesatria oleh Suyodana (Lutfan), bertemunya Karna dan Kunthi, serta gugurnya Karna di tengah tengah perang Baratayuda ditampilkan dengan pengadeganan yang utuh oleh sang sutradara.
Meskipun demikian, penonton tetap bisa menikmati keampuhan para aktor utama membawakan monolog. Hendri Rosfelt ketika memerankan Resi Parasurama pada adegan flashback mampu membantu kita menangkap citra para resi ketika itu dalam keluwesanya berolah peran.
Karna kembali ke padepokan menemui guru yang ia cintai. Namun, pengangkatannya sebagai kesatria memicu amarah sang guru yang menghakiminya sebagai pendusta. Sehingga terlontarlah kutuk yang menentukan itu. “Kau tak akan mampu merapal mantera yang dapat menyelamatkanmu dari kehidupanmu,” serapah sangguru. Sumpah telah terucap. Karna pun undur diri.
Seisi gedung pertunjukan hening. Musik menjadi perangkat paling minim yang digunakan, walaupun tetap jadi unsur penting. Sementara, tata lampu menjadi pendukung utama menciptakan suasana “suram” pementasan Karna. Satu hari sebelum pertepuran yang menentukan hidupnya itu Karna berkirim surat pada ibu dan istrinya.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi. Selalu saja ada pertempuran. Raja-raja menghendakinya.” Mimik Radha sendu. Radha mengenang masa lalu. Sedari kecil, cita-cita Radheya paling besar adalah menjadi kesatria. “Menurutnya kesatria itu manusia sempurna. Lalu kita yang bukan kesatria ini makhluk apa,” ujarnya terkekeh-kekeh.
Iringan musik yang mengawang awang dalam adegan ini membantu penonton menyelami perasaan Radha yang penuh kerinduan akan putra satu satunya yang akan berperang. “Dulu para resi dan brahmana menampuknya menjadi murit. Kini Parasurama pun menampiknya. Ibu sudah pasrah Nak, akan jalan yang telah kau pilih,” ujarnya lirih.
Suratnya kepada Surtikanti kian mengukuhkan alasannya untuk berperang. Bahkan dalam suratnya Karna bahagia menyambut pertempurannya esok. Inilah jalan yang telah ia pilih. Ia tak takut akan kutuk dan ramalan para penujum. “Jangan khawatir istriku. Jika harus mati kan kujemput kematian itu,” tulis Karna.
Baginya manusia ditentukan karena ilmu dan kemampuan. Bukan karena kodrat yang disabdakan para dewa di kahyangan. Pada akhirnya di pengujung surat Karna berucap. “Seseorang ada karena tindakan, seseorang menjadi karena pilihan. Bukan karena ia selesai dirumuskan,” ucap Karna dalam surat.
Keyakinan Karna tak goyah, bahkan ketika Kunthi mengungkap asal-usulnya. Kunthi mengatakan Karna adalah putranya yang terpaksa dibuang. Jika bertempur Karna akan terbunuh atau dibunuh oleh saudara-saudaranya sendiri. Karna terguncang, tetapi pilihannya mengenai masa depan telah pasti. “Hamba bukan anak yang hilang. Hamba anak yang dihilangkan,” ujarnya sebelum pamit.
Adegan perang Bharatayuda oleh Iswadi sangat apik. Panggung minimalis dipenuhi kubik kubik, anak tangga dalam balutan warna kelabu yang mendominasi. Para serdadu dipersenjatai tombak, panah, dan pedang berupa sapu lidi yang mencirikan pementasan kontemporer. Namun, hal ini mampu menghasilkan desis suara, menghidupkan adegan perang.
Naskah garapan Goenawan Mohammad ini membuat perjalanan hidup Karna begitu mudah dicerna. Membuat penonton mengerti, Karna memilih tetap berada di pihak Kurawa karena punya alasan kuat, dan semua tergambar logis. Di luar itu, rangkaian kata yang dibuat Goenawan Mohammad ini terasa hidup, bermakna dalam, hingga akhirnya berkesan dan mampu menggetarkan.
Tema seputar persoalan jati diri, identitas dan pertentangan kelas juga cukup kuat menopang lakon yang berdurasi lebih dari dua jam tersebut. Tokoh Karna yang terampil dan mahir dalam memanah itu seolah terpaksa kalah dalam perang lantaran identitas yang ia sandang.
“Seperti halnya orang miskin di negeri ini, yang hilang kesempatan mengenyam pendidikan layak, bukan karena tak mampu secara akademik, melainkan terpaksa kalah karena faktor ekonomi,” ujar Iswadi usai pementasan.
Abdurrahman Hakim, penikmat seni /25 March 2012

0 comments:

Post a Comment