Pages

Monday, 2 April 2012

Perempuan yang Suka Menghitung Uangnya


Perempuan yang Suka Menghitung Uangnya
Posted by PuJa on April 2, 2012
Aba Mardjani
http://www.suarakarya-online.com/

Setiap kali selesai salat magrib, perempuan di usia menjelang senja itu duduk pada sebuah kursi dengan sebuah meja kecil di salah satu sudut masjid itu dengan kertas-kertas berisi daftar piutang di tangannya. Sebagian lainnya berserakan di atas meja.
Banyak sekali nama dalam daftarnya. Berlembar-lembar. Di belakang nama itu tertulis angka-angka disusul dengan nol berderet-deret. Sembari terus menatap lembar-lembar kertas itu, ia selalu menguarkan senyum sendirian, memperlihatkan gigi-giginya yang tersisa satu dua. Setelah orang-orang menyelesaikan salat isya, ia menyusun daftar itu dengan rapi, melipatnya dengan lipatan persegi empat. Lalu, diam-diam, sebelum pulang, perempuan itu menyusupkan lipatan-lipatan kertas itu di bawah sajadah-sajadah masjid.
Kurang lebih sejak dua tahun lalu perempuan itu menghabiskan sebahagian hari-harinya di masjid terbesar di dusun Cibaresah itu. Pagi hari, diiringi kicau aneka burung dan rekah matahari, dia datang membawa segembolan barang-barang kebutuhannya, termasuk peralatan salat: sebuah mukena lusuh dan sarung putih penuh jamur. Meletakkannya di gudang dan kemudian menyapu dan mengepel lantai masjid.
Pada hari-hari tertentu dia juga mencuci piring-piring dan gelas-gelas kotor bekas pengajian, menyapu dengan kain pel basah pada lantai-lantai di teras masjid. Setelah itu, tidur-tiduran berbantal tangan yang kian dijejali keriput. Dia hanya terbangun manakala mendengar suara sepeda motor dihidupkan, mengejar pengendaranya, seraya menadahkan tangan meminta uang parkir. Seribu demi seribu rupiah dikumpulkannya setiap hari, menyelipkan pada lipatan kain di pinggangnya. Dan dengan uang itulah dia menghidupkan dirinya tiap hari.
Orang-orang Cibaresah memanggilnya Kinah. Entah siapa nama lengkapnya. Tak ada juga berusaha mencari tahu. Yang pasti, orang-orang Cibaresah sebenarnya merasa terganggu dengan keberadaan Kinah di masjid itu. Namun, tak ada satu pun yang berani melarangnya kini setelah Rebo dan Samawi kena labraknya. Kinah tak pernah merasa takut terhadap siapa pun.
Kinah pernah berkecak pinggang di hadapan Rebo. Sama seperti tatkala dia menghadapi Samawi yang mengusirnya dari masjid itu sekali waktu. Wajahnya tepat berada di depan wajah Rebo, lengkap dengan dengus napasnya yang memaksa Rebo menahan napasnya sendiri. Kalau tidak, dia akan memuntahkan seisi perutnya.
“Lu…lu…mau ama?” Kinah bertanya dengan suara melengking dan serak serupa hewan berkaki empat dan bermoncong kejepit pagar rumah. “Ngak moleh…ngak moleh…ama ini mesji lu ha?”
Rebo jadi jengah sendiri dan buru-buru ngacir. Serbasalah meladeni perempuan nekat seperti Kinah. Itu juga yang dilakukan Samawi. Sembari membawa serapahnya sendiri, “dasar perempuan gokil…sedeng….”
Gusrin, satu-satunya anak Kinah juga cuma bisa tertawa getir mendengar pengakuan Rebo dan Samawi.
“Saya sudah menyediakan kamar untuk ibu di rumah, tapi dia cuma menempatinya malam hari. Saya sudah melarang ibu jadi tukang bersih-bersih masjid, karena kata orang masjid justru jadi tambah kotor, tapi ibu malah memarahi saya. Kalau Mas Rebo, Mas Samawi, atau siapa saja bisa melarang. Saya sudah menyerah, pasrah, nggak bisa apa-apa lagi,” kata Gusrin.
Kinah juga selalu getir menyenyumi perjalanan nasibnya. Setiap malam sembari menghitung uang miliknya dalam lembar-lembar kertas di tangannya dan yang berserakan di atas meja. Juga uang-uang kertas dalam bentuk sobekan-sobekan kertas koran yang disimpannya dengan rapi di bawah sajadah-sajadah masjid dan pada dompet di kamarnya.
Gusrin, satu-satunya anaknya, dulu adalah anak yang baik. Memiliki seorang istri dan dua anak. Taat ibadah. Taat pada orang tua. Sepeninggal suaminya, Kinah membiarkan Gusrin menjual rumah miliknya, rumah yang dibelinya dari uang-uang yang dikumpulkannya dari keuntungan uang yang dipinjamkannya kepada para tetangganya. Kinah juga menyerahkan segala perhiasan miliknya kepada Gusrin untuk dijual dan uangnya disimpan pada sebuah bank. Hasil penjualan rumah dan perhiasan itu sebagian dibelikan sebuah rumah lebih kecil, tempat mereka tinggal bersama.
Perubahan terjadi ketika Gusrin mengenal Dyah, wanita muda butuh kehangatan karena suaminya meninggal dunia setelah menderita kanker pada punggungnya. Dyah yang agresif melunglaikan segala hal baik pada diri Gusrin. Serta-merta dia menceraikan istrinya karena perempuan itu tak bisa membiarkan Gusrin kerap tak pulang karena menginap di rumah Dyah. Gusrin tak peduli pada dua anaknya yang dibawa istrinya. Serta-merta pula Gusrin menjual rumah tempat mereka berteduh, lalu membawa ibunya tinggal di rumah Dyah.
“Uangnya kubelikan tanah di Parung, sisanya kutabung untuk hari tua kita, Mak,” kata Gusrin kepada ibunya. Kinah cuma bisa diam sambil melirik sebilah golok tanpa sarung di atas meja. Permukaannya nampak berkilau kena sinar lampu. Dyah duduk tenang di sebelahnya. Dengan senyum tertahan.
“Nggak usah khawatir, Mak,” katanya menimpali ucapan Gusrin, sembari mengulum senyum. “Uangnya nggak dibuat foya-foya kok, Mak. Aman. Mak ‘kan sudah mendapat satu kamar. Cukup ‘kan?”
Kinah tak hendak mengeluarkan kata sepatah pun. Juga ketika dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Gusrin dan Dyah terengah memasuki rumah dengan plastik-plastik belanjaan. Hampir setiap hari. “Habis ngangkat arisan, Mak,” kata Dyah tanpa ditanya.
Di rumah Dyah, Kinah memang mendapatkan sebuah kamar kecil. Tersedia sebuah kasur lusuh peninggalan almarhum suami Dyah. Kata Dyah, sayang-sayang dibuang, ketika dia meletakkan kasur itu dalam kamar. Kinah mengunci mulutnya rapat-rapat. Pada malam hari dia menggulung kasur itu, memojokkannya, dan merebahkan tubuhnya yang kian renta beralaskan tikar pandan. Dia bersumpah takkan menggunakan kasur peninggalan orang yang sudah tutup mata. Apalagi mati karena sakit kanker sekaligus sakit hati karena istrinya selingkuh dengan anaknya, sesuatu yang belakangan diketahui Kinah dari mulut ke mulut bahwa Dyah dan Gusrin sudah berhubungan sejak suami Dyah jatuh sakit.
* * *
Sejak pagi hari, di Minggu itu, kerja bakti digelar di masjid setelah sepekan lalu kepengurusan baru dibentuk. Debu-debu yang lama melekat pada kaca-kaca dibersihkan. Laba-laba kecil yang membuat sarang di setiap sudut dinding masjid dibersihkan.
Di kamar kecilnya, Kinah masih merasakan kepalanya pusing ketika dia membuka matanya siang itu. Karena itu ia enggan cepat-cepat ke masjid seperti kebiasaannya. Begitu matanya terbuka, dia bangkit dan menyambar sebuah tas lusuh di sudut kamarnya. Dikeluarkannya juga sebuah dompet persegi panjang dari dalamnya. Dari dalam dompet itu dia mengeluarkan uang-uangnya dalam bentuk sobekan kertas koran. Mulutnya berkomat-kamit menghitung jumlahnya. Sesekali dia tersenyum sendirian. Diingat-ingatnya wajah-wajah orang yang berutang kepadanya. Orang-orang yang satu per satu kabur, atau mengancam membunuhnya, atau mati membawa utangnya. Puluhan juta uangnya tak tertagih setelah suaminya meninggal dan Gusrin belum cukup besar untuk menjadi pembelanya. Tak satu pun saudaranya sudi membelanya.
Perlahan Kinah bangkit. Menyambar buntalan yang biasanya dia bawa ke masjid. Ketika dia membuka pintu kamarnya, dia melihat Gusrin dan Dyah duduk mesra di sebuah sofa. Kinah keluar membawa dengus dan lenguhnya. Berkali-kali dia meminta anaknya menikah saja dengan Dyah, tapi Dyah selalu marah dengan mata menyala. “Apa lu kira menikah nggak pake duit?” Dyah selalu bertanya. “Sini duitnya, saat ini juga kami panggil penghulu!”
Kinah berjalan membawa tubuh lunglainya ke masjid. Ia menemukan begitu banyak orang di sana tengah kerja bakti. Lalu, matanya menangkap api yang tengah membakar potongan-potongan kertas. Buru-buru dia meletakkan barang bawaannya dan berlari tertatih memasuki masjid. Sajadah-sajadah sudah diangkat. Tiga orang tengah mengepel lantainya. Yang lain terus menyapu, membuang debu-debu yang lama dibiarkan menumpuk. Kinah tak lagi menemukan potongan-potongan kertas yang diam-diam disimpannya di bawah sajadah-sajadah masjid.
“Mana? Mana? Itu…yang di mawah sajadah? Itu…munya uah…munya uah….” Kinah menghampiri salah seorang pekerja bakti dengan suara di hidungnya. Melengking memenuhi seluruh ruang di sekitar masjid.
Sueb, laki-laki yang ditanya itu terlongong. Tak sepenuhnya mengerti apa maksudnya. Rebo mendekat. “Itu munya uah…munya uah….manaaa?” Kinah bertanya menghadap Rebo sembari memberi isyarat tentang potongan-potongan kertas yang disimpannya di bawah sajadah.
“Kau tahu maksudnya?” Sueb menoleh kepada Rebo.
“Dibakar!” Rebo menjawab pertanyaan Kinah. “Itu di luar! Memangnya itu apa?”
“Nuit….nuit….nuit uah nuit uah….” Kinah berlari keluar masjid dan menemukan kertas-kertas yang sudah berubah menjadi arang putih, serpih-serpihnya beterbangan kian kemari karena embus angin.
“Ngapa dimakar….ngapa dimakar…..?” Kinah bertanya. Entah kepada siapa. Para pekerja bakti berhenti. Saling pandang.
Mata Kinah kemudian menangkap sebuah golok yang sebelumnya digunakan untuk merancapi dahan-dahan pohon bunga di pagar masjid. Dengan sigap dia menyambar benda itu dan menghampiri Sueb.
“Nganti nuit uah…nganti nuit uah….” katanya dengan tangan kanan menghunus golok dan tangan kiri menadahkan tangan.
Sueb gelagapan. “Bukan aku yang membakar itu,” katanya terbata. “Bukan aku, tapi…”
“Uah ngak penuli….ngak penuli…mokoknya nganti…ngantiiiii!!” suara Kinah melengking.
Sueb buru-buru mengeluarkan dompetnya. Mengambil beberapa lembar uang dari dalamnya. Secepat kilat Kinah menyambar dompet dari tangan Sueb, mengeluarkan seluruh isinya, dan mengambil uang-uang yang tersisa di dalamnya. Setelah menguras isi dompet Sueb, Kinah menghampiri Rebo, Badrun, Sarbani, Jaliro, dan akhirnya ia berdiri di hadapan Haji Ishak, ketua baru masjid.
“Mana nomet lu? Mana nomet lu?” ia meminta dompet laki-laki itu.
Haji Ishak mengeluarkan dompetnya, menyerahkannya kepada Kinah. Beberapa saat kemudian, dia tertawa melengking mendapati dompet sang ketua masjid yang kosong tanpa uang.
“Kenua miskin…kenua miskin…” katanya seraya berlalu meninggalkan wajah-wajah yang terlongong. Sebelum tubuhnya hilang di balik kelokan, orang-orang masih melihat Kinah mengangkat tangannya sembari mengibas-ngibaskan uang yang baru saja didapatnya dari para pekerja bakti itu. ***
/24 Maret 2012

0 comments:

Post a Comment