Pages

Thursday, 26 April 2012

Si Kabayan Sebagai Cerita Rakyat


Si Kabayan Sebagai Cerita Rakyat
Posted by PuJa on April 25, 2012
Jakob Sumardjo *
Pikiran Rakyat, 5 Jan 2008

JAWA Barat kaya akan tradisi kerakyatan, termasuk cerita rakyat. Meskipun tradisi istana pernah hidup di Jawa Barat, karena mengalami zaman dua kerajaan besar, yakni Galuh di daerah Ciamis dan Pajajaran di daerah Bogor, sedikit sekali ditemukan artefak-artefak budaya istana. Kerajaan-kerajaan Hinduistik di Jawa Barat lenyap bersama pendukungnya, yakni masyarakat istana. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian muncul di Jawa Barat tidak melanjutkan tradisi istana-istana sebelumnya. Kerajaan-kerajaan Islam itu adalah Banten dan Cirebon.
Banten dan Cirebon cenderung kejawa-jawaan akibat hubungan mereka dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi, apabila ditilik lebih dalam, masih akan tampak ciri-ciri kesundaan di kedua kerajaan Islam tersebut. Bagaimanapun kerajaan-kerajaan Islam tersebut masih berada di masyarakat Sunda sehingga tradisi lokal mendasari kebudayaan di kedua kerajaan tadi.
Tradisi kerakyatan masih terus hidup di bawah arus budaya-budaya istana yang silih berganti. Ini disebabkan sistem kerajaan-kerajaan di Jawa Barat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan-kerajaan Jawa berdasarkan masyarakat sawah, sedangkan kerajaan-kerajaan Sunda berdasarkan masyarakat huma. Kebudayaan istana di Jawa Barat hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat nagara. Di Jawa Barat tidak dikenal adanya negaragung dan mancanegara seperti di Jawa.
Masyarakat istana adalah masyarakat Sunda di negara itu, yakni istana dan wilayah yang benar-benar dikuasainya secara langsung. Hal ini bisa disimak dalam Babad Pakuan abad ke-18 yang ditulis dalam bentuk wawacan berbahasa Jawa. Saya telah menulis perkara ini dalam Hermeneutika Sunda. Di luar wilayah, nagara merupakan kesatuan-kesatuan kampung Sunda yang berpindah-pindah akibat hidup dari ladang padi (huma).
Sudah barang tentu pengaruh istana sampai juga di wilayah-wilayah kampung Sunda. Seperti kita saksikan bahwa teks-teks tertulis Sunda lama masih disimpan oleh penduduk perkampungan di Jawa Barat.
Selain itu carita-carita pantun yang berisi mitos-mitos istana Sunda masih tersebar di kalangan rakyat perdesaan. Hanya artefak-artefak istana sudah sulit ditemukan di kalangan rakyat, misalnya batik istana Sunda, seni ukir istana Sunda, buku-buku Hindu-Buddha, tata adat istana Sunda, dan seni gamelan, karena masyarakat istana-istana Sunda itu memang tidak berlanjut sebagai lembaga sosial.
Pemandangan semacam itu masih terlihat pula ketika di Jawa Barat berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Banten dan Cirebon. Kedua kerajaan itu juga terdiri dari wilayah negara atau negaragung saja. Wilayah mancanegara tidak dikenal. Apalagi bahasa di wilayah negara dan negaragung berbeda dengan bahasa masyarakat perdesaan Sunda.
Dengan demikian, semakin kuatlah kesan kita bahwa kebudayaan Sunda yang berkontinuitas itu hanya ada di kalangan masyarakat kampung. Berbeda dengan masyarakat Sunda di zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, yang hubungan antara istana dan rakyat amat tipis, maka di zaman penyebaran agama Islam di Jawa Barat, agen-agen perubahan ke arah Islam benar-benar keluar masuk kampung-kampung Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
Tidak mengherankan apabila di kalangan masyarakat pedesaan Sunda, kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak mengenal zaman seperti itu. Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awalnya ada di Sunda. Sunda itu Islam.
Inilah sebabnya cerita-cerita rakyat Sunda amat kuat kesan keislamannya. Meskipun dalam cerita-cerita rakyat dikenal nama-nama dewa dan batara yang kehindu-hinduan, namun tidak dalam pemahaman bahwa itu berdasarkan agama Hindu-Buddha, tetapi Sunda semata-mata, Kebudayaan Hindu-Buddha-Sunda itu hanya dikenal di kalangan intelektual moderennya. Di kalangan rakyat, zaman Hindu itu adalah Sunda.
Lenyapnya ingatan kolektif terhadap kebudayaan Hindu-Sunda, lebih mirip dengan yang terjadi di Sumatra. Di zaman kejawaan Hindu-Buddha di Sumatra dikenal kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Jambi, Melayu, dan Tulang Bawang. Akan tetapi, begitu kerajaan-kerajaan maritim itu lenyap, maka lenyap pulalah masyarakat pendukungnya dalam arti lembaga. Manusia-manusia Buddha-Sumatra tentu saja masih terus ada, tetapi kemudian bercampur lebur dalam masyarakat luar istana. Ini disebabkan kerajaan-kerajaan maritim yang besar itu tidak memerlukan ladang atau sawah untuk mendukung keberadaannya. Mereka hanya butuh pelabuhan dan tentara sewaan (pegawai tentara) yang mampu menjaga kedaulatan negara kota maritimnya.
Sedangkan hubungan mereka dengan rakyat kampung hanya terbatas pada jual-beli atau pajak berupa hasil kebun rempah-rempah dan produk hutan yang lain.
Seperti di Sunda, Islam juga tertanam kuat di kalangan rakyat Sumatra. Kenangan mereka terhadap kejayaan Jambi dan Sriwijaya tidak ada, kecuali di lingkungan golongan terpelajarnya yang mengenal penggalian sejarah sarjana-sarjana kolonial. Dewa-dewa juga dikenal di kalangan rakyat Sumatra, namun tetap harus dibaca sebagai hal yang bersifat Melayu dan bukan Hindu-Buddha.
Keadaan yang berbeda terjadi di kalangan rakyat Jawa. Di lingkungan rakyat, dan lebih lebih istana, amat kuat kenangan kolektif mereka atas budaya Hindu-Buddha sebelumnya. Mereka menyebutnya sebagai agomo Buddho (agama Buddha). Hal ini disebabkan sistem kerajaan sawah mereka yang konsentris sejak awal. Hal ini pun dipermudah karena masyarakat sawah itu menetap. Kontinuitas budaya rakyat dan istana terus berlangsung, bahkan di kalangan rakyat cenderung berbudaya istana.
Tradisi budaya istana di Jawa Barat amat tipis di kalangan rakyat. Sebaliknya tradisi budaya rakyat perladangan amat kuat. Tradisi ini diwariskan secara lisan. Tradisi budaya lisan selalu auditif. Karena sifatnya auditif maka budaya ini hanya berkembang di kelompok komunitas terbatas. Dengan demikian sifat auditif mengembangkan relasi kekeluargaan (gemeinschaft), harmoni, partisipasi, menekankan kekonkretan dalam bentuknya yang sederhana. Komunikasi lisan semacam itu cenderung menyampaikan pesan-pesan komunal melalui bentuk cerita-cerita.
Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang. Usaha mengumpulkan jenis-jenis cerita rakyat tersebut masih sedikit dilakukan, apalagi peneelaahan serius atas cerita-cerita tersebut. Mitos dan legenda lokal tentu bersifat Sunda. Akan tetapi, cerita binatang sering berasal dari luar. Sedangkan cerita kehidupan rakyat sehari-hari banyak bersifat lokal, namun juga sering diadaptasi dari luar, seperti dalam cerita-cerita Si Kabayan.
Yang menarik adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering mengambil cerita-cerita luar, namun digarap dalam alam pikir masyarakat Sunda. Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera yang mirip dengan cerita-cerita kancil di Jawa, dalam tema mencuri hasil kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil ditangkap pak tani.
Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan putri pak tani yang cantik. Monyet bersedia bertukar tempat untuk menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang “mayat” monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali.
Dalam cerita yang sama, monyet itu tidak bebas. Akan tetapi, berhasil dipotong pak tani dan disate. Dalam cerita Sunda justru kedua binatang itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu kecerdasan, namun selalu saling bertemu kembali. Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda?
Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain saat begitu cerdasnya.
Nanti kalau kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.
Cerita-cerita Si Kabayan bodoh tidak begitu banyak. Kebodohan Kabayan dalam cerita-cerita semacam itu sering keterlaluan. Misalnya Kabayan tak bisa membedakan antara mayat dan manusia hidup, antara bayangan langit dan permukaan tanah di sawah.
Kebodohan Kabayan yang demikian itu ternyata simbolik rohani. Kita ini bodoh spiritual. Dalam hal ini, Si Kabayan bukan hanya jati diri Sunda, tetapi jati diri manusia itu sendiri.
Kesundaan Si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa dalam masyarakat Sunda cara hidup sehari-harinya semacam itu, seperti pergi ke sawah, ke huma, ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri, haji, salat, pohon tertentu, mandi di kali, dan lain-lain. Akan tetapi dalam alam pikiran dan sikap spiritual benar-benar untuk semua manusia, hanya kadang terselip kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, Si Kabayan memang menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan tetap universal.
Sebagai cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan Koja Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang hanya diwakili satu cerita.
Cerita Si Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja. Begitu pula Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita lebih. Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.
Sebagai cerita rakyat milik masyarakat Sunda, Si Kabayan memang istimewa, setara dengan pantun-pantun Sunda. Cerita-cerita itu amat dalam kalau ditafsirkan secara budaya. Cerita-cerita itu sama sekali bukan dongeng-dongeng seperti diperkirakan orang, namun tidak semua berkualitas demikian, sebab banyak para peniru Si Kabayan yang hanya melihat permukaan ceritanya.
Cerita-cerita yang demikian itu tidak serta merta membangkitkan adanya struktur-struktur berpikir simbolik. Sehingga banyak juga cerita-cerita Si Kabayan baru yang hanya tertarik pada segi humornya, namun tidak dilandasi oleh cara berpikir budayanya.
Mengapa istimewa?
Si Kabayan itu tokoh paradoks yang membangun cerita-cerita paradoks pula. Tokoh demikian itu jelas muncul dari pemikiran mendalam seorang (atau beberapa orang) intelektual. Bobot sastrawinya amat tinggi. Meskipun diceritakan secara lisan sehingga banyak ditambah dan dikurangi sesuai dengan perubahan masyarakatnya, inti pesannya masih amat jelas. Bahkan kita dapat merekonstruksi bentuk aslinya.
Permata itu tetap permata, meskipun berada di mulut kerbau. Dengan mudah kita dapat memilih mana Si Kabayan yang autentik dan mana Si Kabayan artifisial. Untuk menulis cerita Si Kabayan yang baru diperlukan dasar pengetahuan filsafat, bukan sekadar menulis cerita.
Cerita Si Kabayan itu memiliki dasar pandangan mistisisme dan laku mistis itu memang penuh paradoks. ***
* Jakob Sumardjo, Budayawan Sunda.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/seni-tradisi-si-kabayan-sebagai-cerita.html

0 comments:

Post a Comment