Tahun Penyadaran Seni Budaya
Posted by PuJa on April 25, 2012
Rizka Halida
Media Indonesia, 8 Jan 2008
PERNAH dengar ungkapan, ‘Kita tak tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangan dia’? Itulah yang kini kita, orang Indonesia, alami dalam bidang seni budaya. Kekayaan seni budaya warisan nenek moyang yang selama ini kita anggap sebagai sebuah keniscayaan tiba-tiba terancam hilang. Sesuatu yang tadinya terlupakan, kini kembali muncul dalam ingatan dan coba dipertahankan.
Tahun 2007 yang baru lewat bisa dikatakan sebagai tahun ’penyadaran seni budaya’. Betapa tidak, pada 2007 ada tiga produk seni budaya kita yang terancam hilang dan bahkan ada yang benar-benar hilang, raib dari tanah asalnya. Ketiganya adalah lagu Rasa Sayange asal Maluku, reog ponorogo, dan lima arca dari abad IX Masehi.
Berebut klaim
Lagu Rasa Sayange ramai diberitakan di media massa setelah pemerintah Malaysia menjadikannya sebagai promosi pariwisata Malaysia. Pemerintah negeri jiran itu bahkan diberitakan mematenkan lagu tersebut. Padahal, masyarakat Indonesia selama ini mengenal Rasa Sayange sebagai lagu asal Maluku.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Hakam Naja meminta pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap Malaysia atas klaim produk Indonesia. Di sisi lain, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia Datok Seri Doktor Rais Yatim, seperti dikutip kantor berita Malaysia Bernama menyatakan Indonesia tak akan bisa membuktikan pencipta Rasa Sayange.
Polemik itu mendorong sejumlah pihak untuk mengumpulkan bukti kepemilikan Indonesia atas lagu Rasa Sayange. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengumumkan pihaknya menemukan bukti yang menunjukkan lagu Rasa Sayange milik Indonesia. “Ada lagu Rasa Sayange dalam piringan hitam yang direkam oleh Lokananta tersebut pada 1958, kemudian dibagi pada 15 Agustus 1962 sebanyak 100 keping bertepatan saat pelaksanaan pesta olahraga Asian Games di Jakarta oleh Presiden Soekarno,” kata Menbudpar sebagaimana dilansir Antara (11/10/07). Presiden Soekarno memberikan piringan hitam tersebut sebagai cendera mata kepada pimpinan kontingen tiap negara peserta Asian Games. Lagu Rasa Sayange menjadi salah satu dari delapan lagu yang ada di piringan hitam itu. Piringan hitam tersebut masih terdokumentasi dengan baik di perusahaan rekaman milik negara, Lokananta Solo.
Masih menurut Menbudpar, pihaknya dibantu musisi Indonesia sedang mencari bukti lain mengenai lagu Rasa Sayange melalui satu Yayasan dari Jepang, Minoru Endo Music Foundation (MEMF), yang pada 1997 mengompilasi lagu pop dan lagu rakyat yang populer dari negara-negara di Asia. Setelah mengompilasi, Yayasan Minoru membukukan 2.000 lagu dalam buku Evergreen Song 2.000 dan menyebarluaskan buku itu. Tapi karena ada pembatasan, tidak semua ditulis, hanya ada 19 lagu Indonesia yang ditulis partiturnya dan ada 50 lagu yang terdaftar di buku itu. Lagu Rasa Sayange tidak terdapat dalam 50 lagu itu. Akan tetapi, Menbudpar masih mencari informasi apakah dari 2.000 lagu yang dikompilasi Yayasan Minoru terdapat lagu Rasa Sayange.
Selain lagu Rasa Sayange, produk seni budaya Indonesia yang juga mengalami polemik serupa adalah reog ponorogo. Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia menampilkan gambar reog malaysia yang memiliki banyak kemiripan dengan reog ponorogo. Padahal, masyarakat Ponorogo selama ini mengenal reog sebagai kesenian asli Ponorogo. Reog ponorogo juga telah tercatat sebagai hak cipta milik Kabupaten Ponorogo dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Akibat tindakan pemerintah Malaysia itu, sekitar 2.000 warga masyarakat, tokoh, dan artis reog ponorogo berunjuk rasa di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jakarta Selatan (Antara, 29/11/07). Protes juga disampaikan para perajin kesenian reog di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, yang mengancam tidak mengirim dadak merak reog ke Malaysia jika pemerintah Malaysia terbukti mengklaim reog ponorogo sebagai kesenian asli Malaysia. Selama ini, selain memenuhi permintaan beberapa daerah di dalam negeri, perajin reog ponorogo juga mengirim ke luar negeri, seperti Malaysia dan Suriname.
Kedua kasus tersebut sempat membuat kisruh hubungan Indonesia dengan Malaysia. Survei Litbang Media Group pada 1 November 2007 tentang persepsi masyarakat Indonesia terhadap Malaysia menemukan hampir separuh responden (48%) memersepsi Malaysia sebagai ancaman. Di sisi lain, yang memersepsi Malaysia sebagai sahabat lebih sedikit, 34%. Sisanya, 18%, masih gamang untuk menentukan apakah Malaysia dapat dianggap sebagai ancaman atau sahabat.
Hasil survei juga menunjukkan mayoritas responden (70%) menilai hubungan Indonesia-Malaysia cenderung tidak harmonis. Sementara itu, yang menjawab ‘cenderung harmonis’ hanya kurang dari 20 persen (lihat Grafik 2).
Survei mengambil 480 responden secara random dari daftar pemilik telepon di enam kota besar Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Makassar. Responden adalah orang dewasa berusia di antara 18 dan 60 tahun. Proporsi perempuan dan laki-laki seimbang, masing-masing berjumlah 239 dan 241 orang.
Meski menimbulkan ketegangan, kedua kasus itu seakan membuka mata banyak orang Indonesia bahwa seni budaya kita harus dihargai, diingat, dan dipertahankan. Lalai dalam ketiga hal itu bisa membuat kita kehilangan warisan seni budaya yang amat berharga.
‘Penemuan’ kembali
Kasus lain yang menyadarkan kita adalah ‘penemuan’ kembali dua versi lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Roy Suryo dan Tim Air Putih. Dalam keterangannya kepada Media Indonesia (5/8/07), Roy Suryo menyatakan hasil penelusuran teknis yang dilakukannya menunjukkan ada tiga versi lagu Indonesia Raya yang semuanya diciptakan WR Soepratman. Menurut Roy, versi yang paling pertama dari lagu Indonesia Raya yang diciptakan WR Soepratman masih berjudul Indonesia dan pertama kali dimuat di harian Sin Po, edisi 27 Oktober 1928. Dalam versi itu, beberapa kata-kata dalam refreinnya berbeda dengan versi yang digunakan saat ini. Misalnya, pada refrein, kata-kata yang digunakan adalah Indones’… Indones’… moelia.. moelia…
Sementara itu, untuk yang versi kedua, lagunya sudah berjudul Indonesia Raya dan sudah dalam format 3 stanza. Pada masa kemerdekaan, naskah lagu versi itu juga pernah dimuat di Harian Asia Raya edisi 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi dibacakan Presiden Soekarno. Refrein pada versi itu sudah menjadi Indonesia Raya… merdeka… merdeka…
Di lain pihak, lagu Indonesia Raya yang kini digunakan secara resmi sebagai lagu kebangsaan, kata Roy, adalah lagu versi ketiga yang berjudul Indonesia Raya, tetapi dalam format 1 stanza. Versi itu tetap diciptakan oleh WR Soepratman, namun digubah ulang oleh Jos Cleber dan Jusuf Ronodipuro pada 1950.
Meski banyak pihak menyatakan temuan Roy ini bukan hal baru, publikasi lagu dan klip Indonesia Raya versi kedua dengan 3 stanza di televisi nasional seolah mengingatkan kembali kekayaan seni budaya kita yang nyaris terlupakan. Penayangan tersebut juga bermanfaat bagi generasi muda yang masih ‘buta sejarah’ agar lebih ‘melek sejarah’ dan menghargai seni budaya Indonesia.
Arca
Penyadaran seni budaya kembali terjadi lantaran terkuaknya kasus pencurian dan pemalsuan lima arca peninggalan abad IX Masehi yang semula tersimpan di Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah pada akhir 2007. Kelima patung kuno itu adalah arca Agustya, Durga Mahesa Sura Madini, Durga Mahesa Sura Madini II, Siwa, dan arca Mahakala. Polisi menangkap Kepala Museum Radya Pustaka, KRT Dahrmodipuro alias Mbah Hadi bersama dua pegawai museum, yaitu Jarwadi selaku juru pelihara museum dan Gatot, petugas keamanan museum. Mereka diduga bekerja sama untuk mencuri dan memalsukan benda purbakala di museum tersebut.
Terkuaknya kasus itu mendorong penyelidikan lebih lanjut. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengumumkan tidak hanya lima arca tersebut yang dicuri dan dipalsukan. Ada enam benda koleksi museum itu yang telah hilang dan dipalsukan, yaitu dua arca perunggu, sebuah kap lampu perunggu, dua buah keramik yang salah satunya berasal dari Dinasti Ming, dan sebuah tempat buah-buahan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Pakubowono X.
Hilangnya arca juga terjadi di beberapa tempat lain. Sebuah arca kuno Gajah Hindu di bangunan Candi Randu Agung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur telah raib dicuri orang. Arca Kudhu Candi Bhima di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah juga hilang dicuri. Sementara itu, tidak kurang dari 100 arca dari situs megalit, Poso, Sulawesi Tengah, dilaporkan hilang dicuri. Sebagian arca dari zaman prasejarah tersebut kini telah diperjualbelikan di Pulau Bali.
***
Berbagai kasus di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi kita, bangsa Indonesia, untuk lebih mengetahui, menyayangi, dan menjaga warisan seni budaya. Tahun 2007 menjadi tahun penyadaran seni budaya melalui terjadinya berbagai kasus tersebut. Semoga 2008 menjadi tahun kesadaran seni budaya Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/analisis-tahun-penyadaran-seni-budaya.html
0 comments:
Post a Comment