Pages

Tuesday, 8 May 2012

CITRA WANITA INDIA DALAM NOVEL MADU DALAM SARINGAN*


CITRA WANITA INDIA DALAM NOVEL MADU DALAM SARINGAN*
Posted by PuJa on May 4, 2012
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Mengherankan, dibandingkan dengan pengaruh kesusastraan klasik India—kisah Ramayana atau Mahabharata, misalnya—yang jejaknya dapat dengan mudah dijumpai dalam khazanah kesusastraan Indonesia, pengaruh kesusastraan kontemporer India di Indonesia, tampaknya seperti hampir tak terdengar, laksana tak berpengaruh, dan terkesan begitu asing.[1] Padahal, di samping epos Ramayana dan Mahabharata, sejak zaman Pujangga Baru khazanah kesusastraan kontemporer India, sudah coba diperkenalkan.[2]
Dalam edisi pertama majalah Pujangga Baru (No. 1, Th. 1, Juli 1933), dimuat Bhagawad—Gita terjemahan Amir Hamzah.[3] Lebih daripada itu, ketika Sutan Takdir Alisjahbana dalam sejumlah artikelnya di majalah Pujangga Baru, gencar menyuarakan seni dan sastra baru yang berorientasi ke dunia Barat dan mengapkirkan tradisi khazanah kesusastraan Melayu (pantun dan syair), Amir Hamzah dan kakak beradik Armijn dan Sanusi Pane, justru menegaskan, bahwa kesusastraan Indonesia sejak awalnya tidak terlepas dari pengaruh kesusastraan Timur, terutama India melalui filsafat Hinduisme dan Buddhisme, lalu kebudayaan Islam, China, dan Parsi.[4] Sebelumnya, Sanusi Pane menulis prosa liris berjudul “Lukisan India”[5] yang coba menjelaskan perbedaan karakteristik kesusastraan Timur, khususnya India, dan kesusastraan Barat.
India, seperti juga Indonesia, sesungguhnya merupakan negeri yang sangat kaya dengan tradisi kebudayaannya. Dalam sastra lisan, negeri berpenduduk hampir semiliar itu, pada abad ke-3 telah melahirkan Pancatantra karya seorang Brahmana India, yang kemudian menjadi sumber cerita-cerita binatang (fabel). Karya Valmiki, Ramayana dan Vyasa, Mahabharata, juga merupakan mahakarya yang berasal dari sana.
Dengan heterogenitas etnik, kepercayaan, dan bahasa, sejarah kesusastraan India bergulir melewati dua jalur besar tradisi penulisan. Sebagian ditulis dalam bahasa Inggris,[6] dan sebagian lagi ditulis dalam bahasa daerah. Ramohan Ray dianggap sebagai perintis tradisi penulisan dalam bahasa Inggris. Ia menegaskan pentingnya rakyat India memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah Inggris, agar bangsa India mendapat tempat yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain.[7] Gerakan yang dilakukan Ramohan Ray lalu mengalirkan pengaruhnya pada generasi berikutnya. Muncullah sejumlah nama penting, di antaranya, Bal Gangadhar Tilak, Romesh Chunder Dutt, Mulk Raj Anand, dan R.K. Narayan.[8] Dalam kesusastraan India, khususnya prosa, konon, karya pengarang India dalam bahasa Inggris sebenarnya muncul pertama kali tahun 1902 dengan terbitnya The Lake of Palms karya Romesh Chunder Dutt. Menyusul kemudian Mulk Raj Anand melalui karya-karyanya, antara lain, Untouchable (1935), The Coolie (1936), dan Two Leaves and a Bud (1937).[9]
Sastrawan India yang berangkat dari tradisi penulisan dalam bahasa daerah, niscaya luar biasa banyaknya. Yang terkenal ditu¬lis dalam bahasa Bengali, Assam, Urdu, Punjabi, Gujarat, Marathi, Tamil, Hindi, dan entah bahasa apabila yang di India terdapat lebih dari 1600-an bahasa dan dialek.[10] Betapapun dunia Barat lebih mengenal kesusastraan India lewat tradisi penulisan dalam bahasa Inggris, penghargaan Nobel kesusastraan justru diberikan pada penulis dari tradisi bahasa daerah.[11] Dialah Rabindranath Tagore yang karya-karyanya ditulis dalam bahasa Bengali, dan diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Inggris.[12]
Selain Tagore, penulis Bengali lain yang karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah Saratchandra Chatterji dan Bibhutibhushan Banerji. Berbeda dengan Tagore yang romantik, dengan memadukan elan India kuno dan semangat Barat modern serta Chatterji yang realis dengan ketajaman kritik sosialnya, Banerji, selain realis, terkesan sangat bersahaja dengan religiusitas yang mendalam dan terselubung. Justru itu, ia berhasil menampilkan sebuah dunia yang sarat kebersahajaan dan kesederhanaan yang naif. Mahakarya Bibhutibhushan Banerji, Pater Pancali, seolah-olah membawa kita ke dalam panorama seperti itu.[13] Gambaran kesederhaan dan realisme yang begitu kuat juga diperlihatkan dalam Aparajito, novel Banerji sebagai kelanjutan Pater Pancali. Novel itu menggambarkan sebuah potret terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat India yang disampaikan lewat kisah perjalanan kehidupan tokoh Apu yang berliku-liku dan penuh duka lara.
/2/
Kamala Markandaya,[14] di antara nama-nama Santha Rama Rau, Manohar Malgonkar, Khuswant Singh, dan Raja Rao, bahkan sampai ke generasi berikutnya, seperti Arundhati Roy, termasuk sastrawan India dari tradisi penulisan dalam bahasa Inggris.[15] Maka sejumlah karyanya ditulis dalam bahasa Inggris yang kemudian mendapat sambutan luas tidak di negerinya sendiri, melainkan di dunia Barat.[16]
Mengenai novel Nectar in a Sieve (1954) yang diterjemahkan Mokhtar Ahmad dalam bahasa Malaysia,[17] para kritikus menyebutnya sebagai salah satu novel terbaik dalam kesusastraan India kontemporer. Setahun setelah penerbitannya, American Library Association menempatkan novel ini sebagai buku terkemuka yang terbit tahun 1955. Novel yang menjadi best—seller di berbagai negara ini telah diterjemahkan ke dalam sedikitnya 18 bahasa.
Sebagian besar kritikus menyebutkan novel ini sebagai representasi terjadinya perubahan dalam masyarakat India ketika industri Barat masuk ke pedesaan-pedesaan di India. Dikatakan Uma Paramewaran: ”Markandaya’s strength as a novelist comes from her sensitive creation of individual characters and situations which are simultaneously representative of a larger collective; her prose style is mellifluous and controlled.” Her most famous work, Nectar in a Sieve, exemplifies this statement.[18]
Di bagian lain dikatakan pula, bahwa novel ini seperti sebuah gambaran terjadinya masalah diaspora ketika tanah kelahiran tidak menjanjikan apa-apa. Oleh karena itu, novel ini juga dianggap sebagai sebuah isyarat atau peringatan bahwa masalah kemiskinan dapat menciptakan diaspora dalam mencari penghidupan yang lebih baik.
/3/
Novel Madu dalam Saringan menceritakan kisah perjalanan seorang perempuan India yang sumarah, tetapi penuh energi. Ia terkesan menjalani kehidupan seperti aliran sungai: mengalir begitu saja hingga sampai muara. Cerita dikisahkan melalui Rukmani –tokoh utama novel itu—putri bungsu seorang mantan kepala desa. Dengan memakai bentuk penceritaan orang pertama (aku: Rukmani) dan pola alur cerita kilas balik menjadikan pusat cerita tetap berada pada tokoh itu.
Ada beberapa tokoh perempuan dalam novel itu, dan semua tokoh itu masing-masing seperti mewakili karakteristik sosok perempuan yang selalu berada di bawah bayang-bayang kekuasaan lelaki. Tokoh ibu Rukmani, misalnya, meskipun tidak banyak dikisahkan, kenangan Rukmani tetap mencitrakan sosok perempuan lugu, penuh cinta kasih, dan sekaligus merepresentasikan kondisi perempuan India dalam kehidupan sosial. Ketika Rukmani belajar baca—tulis, misalnya, ibunya malah menganggap kegiatan itu sebagai perbuatan sia-sia. Perhatikan kutipan berikut ini:
“Apa gunanya anak gadis belajar itu semua,” kata ibuku menentang. “Kau tidak ada masa untuk menggunakan itu semua apabila kau sudah bersuami dan mempunyai anak yang ramai untuk dijaga. Aku sendiri tak tahu membaca atau menulis walaupun sepatah. Tetapi aku tak kurang apa-apa; rumahku bersih, anak-anakku cukup makan dan cukup pakai,” tambah ibuku lagi. (hlm. 18)
Begitulah, pendidikan bagi kaum perempuan ketika itu dianggap hal yang tidak ada gunanya. Lebih daripada itu, posisi perempuan ketika hendak menikah, berhadapan dengan masalah lain lagi, yaitu mendapatkan laki-laki, siapa pun dia, tanpa punya daya tawar apa-apa. Bahkan, orang tua si perempuan harus pula menyiapkan sejumlah uang dan perhiasan sebagai biaya yang harus ditanggung untuk mendapatkan laki-laki tersebut. Maka, ketika ayah Rukmani masih menjabat kepala desa, ketiga kakaknya menikah dengan lelaki yang sederajat dan pesta pernikahannya diselenggarakan dengan meriah. Yang terjadi pada Rukmani justru sebaliknya, karena sang ayah selain sudah tidak lagi menjadi kepada desa, juga sudah tidak punya biaya untuk mendapatkan laki-laki kaya dan sederajat. Rukmani akhirnya pasrah saja menikah dengan lelaki yang derajatnya lebih rendah, seorang petani penyewa yang serba miskin.
Aku dikahwinkan ketika umurku baru meningkat dua belas tahun. Aku tahu, ramai sanak-saudaraku merungut kerana kononnya aku dikahwinkan dengan orang yang darjatnya lebih rendah daripada darjat aku. (hlm. 5—6)
Meskipun begitu, kekuatan kasih sayang Nathan, suaminya, memberi semangat hidup dan optimisme. Oleh karena itu, ketika Rukmani mendapati kenyataan, bahwa suaminya sangat miskin, tinggal di sebuah gubuk yang belum selesai dibangun, tanpa perabot rumah tangga, ia masih dapat berharap, bahwa segala kemiskinan kelak akan berakhir. Tetapi, semangat hidup dan optimisme itu akhirnya tumbang juga ketika kelaparan dan penderitaan menggilasnya. Kemiskinan dan kebodohan adalah sumber malapetaka. Kemiskinan membawa manusia berada pada garis tipis antara kematian dan kebertahanan hidup. Dan kebodohan menggiringnya pada penderitaan, keteraniayaan, dan ketertindasan. Betapapun besarnya cinta manusia pada alam, tanah leluhur, dan bumi yang memberi kehidupan, ia akan tetap tergusur dan hancur tak bersisa, ketika kemiskinan dan kebodohan, ketika kelaparan dan penderitaan, tidak dapat dikalahkan. Kemiskinan akan membawa kebuluran dan kebodohan akan membawa ketertindasan.[19]
Itulah yang terjadi pada keluarga Rukmani dan Nathan. Suami-istri itu dengan segala daya dan sepenuh hati gigih berusaha mempertahankan hidup keluarganya. Meskipun ia berusaha untuk kembali ke tanah yang telah memberi kehidupan bagi keluarganya, Nathan akhirnya mati di tempat asing, bukan di tanah pertanian atau di tanah leluhur yang dicintainya. Rukmani, istrinya, tak dapat menolak kuasa Tuhan dan mengikhlaskan suami tercinta, mati diterjang penyakit. Kemiskinan tidak banyak memberi pilihan untuk tetap bertahan hidup.
Madu dalam Saringan adalah kisah orang-orang yang hidup dalam lingkaran kemiskinan dan terkungkung dalam alam pikiran yang diselimuti kebodohan. Sebuah kisah kehidupan dunia petani yang mengharukan, tetapi juga memberi penyadaran kepada kita sebagai pembaca untuk memusuhi kemiskinan dan kebodohan. Nasib yang dialami Nathan dan keluarganya adalah potret kegelapan, betapa kemiskinan menyeret manusia pada kebodohan, dan kebodohan adalah pintu masuk penderitaan lahir—batin. Itulah yang terjadi pada keluarga Nathan.
Meskipun demikian, di balik penderitaan panjang keluarga Nathan, ada semangat pantang menyerah dan optimisme yang lahir dari kecintaan pada tanah dan bumi yang memberi kehidupan. Nathan dengan kesederhanaan, kejujuran, kebertanggungjawabannya pada keluarga, dan kecintaan pada bumi dan tanah pertaniannya adalah manusia berjiwa besar, tegar seperti batu karang, dan tak tergoda oleh apa pun yang tidak sesuai dengan hati nurani kemanusiaannya. Dengan optimisme, ia selalu berpikir positif dan memandang masa depan dengan penuh semangat. Selalu ada harapan yang tumbuh dalam menjalani kehidupan bagaimanapun pahitnya, meskipun penderitaan terus menderanya.
Harapan dan kecemasan. Dua tenaga kembar yang menarik kami, mula-mula ke satu arah, kemudian ke satu arah yang lain. Tenaga yang manakah yang lebih kuat tidak sesiapa pun yang dapat menduganya. Kami tidak pernah membicarakan tenaga yang kedua itu tetapi ia sentiasa ada bersama kami. Kecemasan sentiasa menjadi teman. Kebuluran akan menggugat petani andainya dia tidak berusaha. Putus asa akan menguasai petani sekiranya dia tidak beringat serta berwaspada. Ya kebimbanganlah yang paling bersimaharejalela: kebimbangan terhadap masa depan yang gelap, kebimbangan terhadap dahsyatnya kebuluran dan kebimbangan terhadap maut yang tidak menentu datangnya. (hlm. 123—124).
Dengan kesadaran itu, Nathan dan Rukmani membangun keluarganya dengan semangat dan optimisme. Hanya dengan cara itulah, mereka dapat melangkah ke masa depan dengan harapan. Maka, dalam kondisi apa pun, ia tetap bertahan dengan sikap itu sampai ajal menjemputnya. Nathan seperti mengajari kita tentang kebersahajaan, konsistensi, kejujuran, optimisme, berpikir positif, dan tekad mewujudkan harapan. Perhatikan kutipan berikut yang menggambarkan optimisme Nathan ketika kelaparan hampir merenggut segala kekuatan tenaganya.
“Apabila sampai masanya,” kata Nathan dengan pandangan mata yang penuh harapan, “daya dan kekuatan kita akan kembali semula, usahlah kaurisaukan tentang itu.”
….
“Kaulihat sajalah nanti,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita akan kembali kuat dan bertenaga. Cuma dengan melihat buah padi kita yang berisi itu pun sudah cukup untuk mengembalikan semangat dan kekuatan kita.”
Memang benar semangat kami telah pulih semula… (hlm. 146)
Rukmani, istri Nathan adalah belahan hati sang suami. Meskipun sempat tergelincir –seperti juga suaminya—Rukmani total mengabdi pada suami, pada keluarga. Segala sepak terjangnya demi suami dan keluarga. Tak ada yang lebih penting dari apa pun. Anak-anak yang dilahirkannya adalah belahan hati yang lain. Ia semampu dan sekuatnya mempertaruhkan apa pun untuk mereka. Harus ditunjukkan tanggung jawabnya sebagai ibu, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keluarga. Ketika Irrawaddy, anak perempuannya menginjak dewasa, telah dipersiapkan segala sesuatu dan dicarikan lelaki terbaik untuk putri sulungnya itu. Setelah lima tahun berkeluarga, menantunya menyerahkan kembali putrinya, karena dianggap mandul. Rukmani merasa, suami anaknya belum cukup sabar menunggu keturunan. Tetapi, apa pun yang terjadi, Rukmani tetap mencintai anaknya.
Perhatikan pernyataan suami Irrawaddy ketika ia menyerahkan istrinya kepada Rukmani.
“Mak,” katanya, “tak usahlah Mak bersusah-payah kerana kedatangan saya ini bukan kedatangan biasa, oleh sebab itu biar saya berterus terang sahaja. Ira mandul, saya datang untuk menyerahkan dia kembali kepada Mak.”
“Kau kahwin dengan Ira belum berapa lama, aku dulu pun macam dia juga, lambat mengandung,” kataku menasihatinya.
“Saya telah menunggu lima tahun,” jawabnya, “seorang anak pun belum dilahirkannya lagi. Jadi, tidak ada jaminan yang dia boleh mengandung pada masa depan. Saya mahu banyak anak lelaki.” (hlm. 77).
Ketika masalah itu disampaikan kepada Nathan, suaminya, ternyata dia bukan membela Ira, anaknya, melainan memberi pembenaran pada tindakan menantunya itu.
“Aku tak salahkan dia,” kata Nathan. “Apa-apa yang dilakukannya itu betul, lelaki mana yang boleh tahan tanpa anak. Jika nak dikira dia seorang yang penyabar juga.”
“Belum cukup penyabar,” kataku. “Tidak sesabar dirimu!” tambahku lagi. (hlm. 77).
Begitulah perkawinan semata-mata bertujuan untuk melahirkan keturunan, dan keturunan yang utama dan diharapkan adalah anak laki-laki. Oleh karena itu, ketika Rukmani melahirkan anak pertama, Irrawaddy, Nathan sesungguhnya tidak begitu berbahagia. Apalagi ternyata selama tujuh tahun, Rukmani tidak juga melahirkan. Selama tujuh tahun itu pula, Rukmani dianggap sebagai perempuan yang tidak ada gunanya, karena tidak dapat melahirkan anak laki-laki. Jadi, yang dihadapi Ira, jauh lebih dahsyat. Klaim sepihak dari suaminya, bahwa Ira mandul, tidak hanya menghancurkan masa depannya –karena tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menjadi suaminya, tetapi juga menempatkan Ira sebagai manusia yang tidak ada gunanya hidup di dunia ini.[20]
“Tetapi apa pula kata orang lain, apa pula kata jiran-jiran kita … orang akan menuduh saya seorang perempuan yang tidak berguna. Seorang perempuan yang tidak mampu melahirkan seorang anak pun,” kata anakku merintih pilu. (hlm. 78).
Meskipun begitu, Rukmani coba meyakinkan bahwa kesalahan sesungguhnya tidak sepenuhnya harus ditimpakan kepada Ira.
“Kau tak perlu bimbang sekarang. Kami ibu bapa kau sendiri, takkanlah kami akan menyalahkan kau. Apa-apa yang telah berlaku bukan salah kau sendiri,” kataku memujuk Ira. (hlm. 78).
Rukmani memang kemudian tetap bertindak sebagai ibu yang harus melindungi anaknya. Jadi, dengan semangat sebagai seorang ibu, Rukmani berusaha meyakinkan Ira, bahwa semua itu bukanlah semata-mata kesalahan dirinya. Sangat mungkin suami Ira yang mandul, atau boleh jadi juga belum saatnya Ira melahirkan. Maka, ketika Rukmani berkesempatan jumpa dengan Kenny, dokter kulit putih yang pernah mengobatinya, sehingga ia dapat melahirkan anak-anaknya lagi, Rukmani meminta pertolongan dokter itu untuk Ira. Dengan keyakinan Ira akan melahirkan, ia pun datang ke rumah menantunya.
Aku pergi seorang diri ke rumah menantuku.
“Terimalah dia kembali,” kataku kepadanya. “Sekarang dia sudah tidak cela-celanya lagi. Dia akan melahirkan banyak anak untukmu kelak.”
Dengan suara yang sedih dia berkata, “Kalau boleh saya hendak menerimanya kembali. Dia seorang isteri yang baik dan penyabar, tetapi saya sudah terlalu lama menunggu dan sekarang saya sudah pun beristeri lain.” (hlm. 95).
Begitulah, Ira, Rukmani, atau perempuan mana pun, hanya akan dianggap berarti bagi kehidupan ini ketika dia bisa melahirkan anak. Selebihnya, dia akan menjadi bahan olok-olok, caci-maki, dan ditempatkan sebagai makhluk yang tidak ada gunanya. Oleh karena itu, meskipun Ira masih berusia muda dengan wajah yang cantik, kaum lelaki tetap saja tidak akan bersedia menikahinya, tanbahan lagi tanpa uang antaran yang cukup. Dengan begitu, Ira yang janda muda itu, harus menerima stigma sebagai perempuan tidak berguna, karena tidak dapat melahirkan anak.[21]
Meskipun demikian, Rukmani tetap menempatkan Ira sebagai anaknya yang harus mendapat perlindungan seorang ibu. Jadilah sosok Rukmani tampil sebagai pelindung keluarga. Perhatikan kutipan berikut yang memperlihatkan, perhatian Rukmani kepada anak-anaknya.
Jika tidak ada apa-apa kerja di sawah, Nathan akan menemani aku ke pasar, dan setiap kali kami ke pasar, kami akan langsung ke kilang kulit itu untuk melihat anak-anak kami bekerja. Pada waktu tengah hari mereka pasti keluar untuk makan dan ketika itu kami akan bersama dengan mereka selama beberapa minit, berbual dan menemani mereka menjamu selera. (hlm. 100).
Begitulah, di balik kesetiaan dan kesumarahannya menerima segala kemiskinan itu, Rukmani tampil menunjukkan energi dan tanggung jawabnya untuk terus memberi kekuatan pada suami dan anak-anaknya untuk berusaha lepas dari kemiskinan.
Kesadaran sebagai istri seorang petani yang jujur dan miskin, membentuk kepribadiannya pantang berkeluh-kesah. Segala harapan harus ditumbuhkan. Ia berusaha tidak kenal putus asa, tak mau menyerah, meskipun hati kecilnya mengatakan lain. Segala urusan rumah tangga diatur secara cermat dan hemat. Ia harus menyisihkan hasil jerih-payahnya untuk hari depan. Rukmani tampil sebagai sosok istri yang dapat melengkapi segala kekurangan suami. “Tempat seorang isteri mestilah di sisi suaminya,” (hlm. 168), begitulah sikap dan pandangan Rukmani. Maka, ia tampil sebagai pelengkap, pendorong, bahkan juga pembela utama sang suami. Rukmani bagai wanita besi, belahan hati suami, benteng bagi keluarga, pelindung bagi anak-anaknya.
Alam berkehendak lain. Tuhan menentukan garis kehidupan yang tak dapat dipahaminya. Kemarau panjang menghancurkan segalanya. Hidup dibayangi kelaparan, menggelinding mendekati kematian. Ketika kedua anaknya berencana hijrah ke kota, Rukmani tak kuasa menahannya. Alam telah mengalahkan perjuangannya. Kelaparan memaksanya menerima kenyataan. Rukmani dan suaminya, harus melakukan kompromi untuk mempertahankan hidup.
Madu dalam Saringan seperti mewartakan pentingnya arti perjuangan bertahan hidup. Mempertahankan hidup sepanjang hayat adalah tugas dan kewajiban manusia. Dengan cara itu, manusia dapat memaknai keberadaannya. Maka, ketika Tuhan berkehendak lain, ketika alam tak bersahabat dan enggan memancarkan kesejahteraannya, manusia tetap harus bertahan hidup. Di situlah, hidup menjadi sangat berharga dan mahal.
Tetapi, karakter manusia tidaklah seragam. Nathan dan Rukmani adalah dua manusia yang menyadari tanggung jawabnya dalam kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Meskipun mereka miskin, mereka tetap menjaga keharmonisan: tidak mau melukai orang lain. Sikap itu berbeda dengan tokoh Kunthi yang penuh dengki dan iri hati. Untuk mempertahankan hidup, Kunthi memeras Nathan yang pernah berselingkuh dengannya. Ia juga memeras Rukmani. Kunthi adalah sosok manusia yang culas dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan hidup. Maka, keluh-kesah, putus asa, dan selalu muncul menyertai kedengkian hatinya.
Tokoh Biswas adalah sisi lain dari tipe manusia yang senang melihat orang lain menderita. Hubungan dengan orang lain selalu diukur berdasarkan untung rugi. Ia mau menolong jika menguntungkan. Di samping itu, ia selalu memanfaatkan penderitaan orang lain untuk kepentingan pribadinya. Hal yang hampir sama juga diperlihatkan tokoh Sivaji. Ia hadir sebagai tokoh yang mewakili sosok manusia yang tidak mempunyai tenggang rasa. Nilai kemanusiaannya sebatas untuk kepentingan dirinya sendiri, meskipun orang lain harus menjadi korban. Sivaji adalah tuan tanah yang tak punya rasa belas kasihan. Demikianlah, Kunthi, Biswas, dan Sivaji adalah tokoh yang mewakili gambaran manusia yang mempertahankan hidup tanpa idealisme. Manusia yang cenderung egois, mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan bahwa tindakannya itu merugikan orang lain.
Sementara itu, ada pula tokoh lain yang menyadari arti persahabatan. Nenek tua yang menjodohkan Ira adalah gambaran manusia yang berusaha menolong orang lain dengan sebaik-baiknya. Hal yang juga diperlihatkan tokoh Kenny, dokter—orang asing yang coba membantu masyarakat. Sedangkan tokoh Puli, anak angkat Rukmani adalah sosok manusia yang meskipun menderita, masih mempunyai rasa solidaritas. Meskipun masih sangat muda, kekerasan dan penderitaan hidup di kota, tidak menghilangkan rasa kesetiakawanannya. Begitulah, tokoh Nenek tua, Kenny, dan Puli mewakili gambaran manusia yang peduli pada nasib orang lain dan menyadari pentingnya arti persahabatan.
/4/
Demikianlah, novel Madu dalam Saringan menampilkan tokoh-tokoh dengan berbagai macam karakter, sikap dan tabiatnya. Novel ini ibarat sebuah potret tentang bermacam-macam perilaku manusia dalam usahanya mempertahankan hidup. Satu hal yang menjadikan kehidupan mereka berada pada garis tipis antara kematian dan memperpanjang penderitaan adalah kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan membawa kelaparan—kebuluran dan hidup sekadar memperpanjang penderitaan. Kebodohan menjadikan mereka tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketertindasan.
Yang penting dimiliki manusia adalah semangat dan optimisme untuk terus berjuang mempertahankan kehidupan, tanpa harus merugikan pihak lain. Dengan cara itulah, manusia dapat menunjukkan kebermaknaannya dalam kehidupan sosial. Itulah makna manusia dalam kehidupan di dunia. Meski gagal mempertahankan hidup, seperti yang diperlihatkan tokoh Nathan, ia tetap bermakna bagi orang lain. Demikian juga tindakan-tindakan yang diperlihatkan Rukmani. Meskipun dalam beberapa hal ia melakukan kompromi, ia berhasil menempatkan dirinya bermakna bagi kehidupan keluarga dan kehidupan orang lain.
/5/
Apa yang dapat ditarik dari novel Madu dalam Saringan karya Kamala Markandaya ini? Jika kita mencermati novel Indonesia karya pengarang perempuan Indonesia, maka yang segera tampak adalah gambaran dua dunia yang bertolak belakang. Novel-novel Indonesia karya pengarang perempuan itu—atas nama perjuangan kaum wanita— pada hakikatnya tidak jauh beranjak dari persoalan dirinya sendiri; sebuah potret perempuan terpelajar yang merasa mendapat perlakuan tidak adil dari kaum lelaki. Maka kecenderungan mengangkat persoalan seksualitas dengan mendedahkan tubuhnya sendiri, menjadi tampak dominan.[22]
Novel Markandaya ini menegaskan, bahwa perjuangan perempuan, di balik posisinya sebagai pelindung dan pemberi semangat pada keluarga, suami, dan anak-anaknya, ada perjuangan lain yang jauh lebih penting dan mendasar, yaitu melawan kebodohan dan kemiskinan, sebagaimana yang dilakukan Olan dalam Bumi yang Subur (Pearl S Buck), Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol (Nawal el-Saadawi), atau Teweraut dalam Namaku Teweraut (Ani Sekarningsih). Itulah tugas pengarang (perempuan) untuk coba mengangkat persoalan yang lebih substansial dalam kehidupan manusia, yaitu melakukan perlawanan pada kemiskinan dan kebodohan.
Jika mencermati begitu populernya novel Bumi yang Subur dan Perempuan di Titik Nol di kalangan pembaca Indonesia, maka sudah saatnya pula novel-novel India, lebih khusus lagi yang ditulis pengarang perempuan India, seperti novel-novel Kamala Markandaya, Shashi Despande,[23] Anita Desai,[24] atau Arundhati Roy[25] diperkenalkan kepada khalayak pembaca Indonesia. Bagaimanapun juga, novel-novel itu menyuarakan semangat perempuan yang coba membongkar persoalan yang paling mendasar yang dihadapi kaum perempuan. Maka, perlu dilakukan perlawanan terhadap kebodohan dan kemiskinan, stigmatisasi kultural, dan legitimasi agama yang kerap menyudutkan kaum perempuan. Melalui novel—atau karya sastra lainnya—perlawanan itu lebih memungkinkan dapat mengungkapkan aspek psikologis yang dirasakan kaum perempuan.
Kiranya demikian!
*Seminar Internasional “Cultural Exchange between India and Southeast Asian World” kerja sama Universitas Udayana, Bali dan Global Association of Indo-Asean Studies dan Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea, Universitas Udayana, Bali, 8 Februari 2012.
[1] Sebuah antologi cerpen India dengan penyunting Madhusudan Prasad berjudul Contemporary Indian—English Stories (New Delhi: Sterling Publisher Ltd., 1988) diterbitkan dalam terjemahan bahasa Indonesia (penerjemah Sori Sregar), berjudul Sentuhlah Aku (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, xxii + 183 hlm). Buku ini memuat 15 cerpen India karya Mulk Raj Anand, R.K. Narayan, Raja Rao, Khushwnu Singh, Romen Basu, Ruskin Bond, Anita Desai, Manoj Das, Jai Nimbkar, Arun Joshi, Nergis Dalal, Keki N. Daruwalla, Murli Das Melwani, Sunita Jain, dan Madhusudan Prasad. Antologi ini penting artinya bagi pembaca Indonesia untuk mengenal lebih dekat tentang cerpen India sebagai “potret” problem sosial-budaya masyarakat India. Dari antologi itu juga, kita dapat mengetahui style dan kecenderungan tema-tema yang diangkat penulis India yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan sastrawan mana pun. Tetapi jelas di sini, tradisi sastra dalam penulisan Inggris sudah mempunyai sejarahnya sendiri dalam perjalanan kesusastraan India kontemporer. Dikatakan Prasad dalam Prakata buku itu, “Kini, cerita pendek India yang ditulis dalam bahasa Inggris berhasil sebagai kesenian yang kokoh dan berkembang cepat dengan penuh percaya diri dan kebanggaan… Dengan rasa percaya diri itulah bahasa Inggris dikuasai. Tak pelak lagi, bahasa Inggris sebenarnya bukan bahasa yang terlalu asing bagi kami dan kami tidak lagi sungkan untuk menggunakan bahasa itu sebagai medium ekspresi kreatif kami (hlm. xi—xii). Yang juga penting diketahui dari antologi cerpen itu adalah kuatnya kecenderungan humanistis. Dalam hal ini, ajaran-ajaran Mahatma Gandhi yang memadukan keprihatinan sosial dengan etika tradisional sangat besar pengaruhnya dalam kesusastraan India (hlm xvii).
[2] Naskah pertama dalam kesusastraan Indonesia, Bebasari: Toneel dalam Tiga Pertundjukan (1955, cetakan I: 1928) karya Rustam Effendi sesungguhnya bentuk lain dari kisah Rama dan Sita. Tokoh Bujang, Bebasari, dan Rawana adalah representasi Rama, Sita, dan Rahwana. Drama ini merupakan kisah simbolik perjuangan Bangsa Indonesia (Bujang: Rama) membebaskan Tanah Air (Bebasari: Sita) dari kekuasaan penjajah (Rawana: Belanda)
[3] Amir Hamzah menerjemahkannya berdasarkan terjemahan Dr. J.W. Boissevain yang berbahasa Belanda. Dimuat berturut-turut dalam majalah Pujangga Baru No. 1, Th. I, Juli 1933 sampai No. 8, Th. 2, Februari 1934. Belakangan penerbit Hanuman Sakti, Jakarta, menerbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia karya Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada disertai teks dalam bahasa Sansekerta dan uraian penjelasannya (Bhagavad-Gita menurut Aslinya, Jakarta: Hanuman Sakti, 2000, xxx + 915 halaman (Cetakan V; Cet. 1 1985). Berdasarkan keterangan jumlah eksemplar sejak cetakan I sampai cetakan V sebanyak 17.500 eksemplar, Bhagavad-Gita menurut Aslinya ini termasuk buku yang laris.
[4] Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” No. 12, Th. II, Juni 1934.
[5] Sanusi Pane, “Lukisan India,” No. 10, Th. II, April 1934.
[6] Inggris dengan kesadaran sebagai negara besar dan Belanda yang selalu berusaha menutupi dirinya sebagai negara kecil berdampak pada politik kolonialnya. Inggris menganjurkan dan mendirikan sekolah-sekolah berbahasa Inggris, sehingga pribumi lebih leluasa belajar bahasa Inggris. Belanda kerap dibayang-bayangi terbongkarnya kenyataan bahwa dirinya sebagai negara kecil. Maka, kebijaksanaan pendidikan selalu berada di persimpangan jalan, ketika hendak menentukan bahasa pengantar, yaitu antara mengajarkan bahasa Belanda atau bahasa Melayu. Akibatnya, usaha menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dijalanan setengah hati. Tujuan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah di Nusantara semata-mata untuk mempersiapkan para pekerja dan buruh perkebunan dengan kualifikasi sekadar bisa berkomunikasi bahasa Belanda serba sedikit. Bahasa Belanda tetap saja sebagai asing yang tidak memancarkan daya tariknya sama sekali. Itulah sebabnya, dalam kesusastraan Indonesia tidak ada tradisi penulisan dalam bahasa Belanda.
[7] Sori Siregar, “Kata Pengantar” dalam Sentuhlah Aku: Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer, Penyunting: Madhusudan Prasad. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hlm. xiv.
[8] Karya R.K. Narayan yang belakangan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Ramayana, Terjemahan Nin Bakdi Soemanto, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2004, 236 halaman.
[9] Sori Siregar, “Kata Pengantar” dalam Sentuhlah Aku: Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer, Penyunting: Madhusudan Prasad. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hlm. xv.
[10] Indonesia sesungguhnya kaya dengan kesusastraan. Sebut saja misalnya, La Galigo yang berbahasa Bugis, Bujang Tan Domang yang berbahasa Melayu, atau Sabai nan Aluih yang berbahasa Minang. Tentu masih banyak khazanah sastra etnik lainnya yang tersebar di kawasan Nusantara. Sayangnya, politik kolonial Belanda tidak mudah dihilangkan begitu saja, sehingga pemerintah tidak menganggap penting khazanah sastra lisan itu.
[11] Indonesia mengalami nasib buruk ketika kesusastraan etnik (berbahasa daerah) yang menggunakan huruf Jawi, Pegon, atau huruf setempat dianggap sebagai tradisi masyarakat terbelakang, tidak berbudaya, dan tradisional oleh pemerintah kolonial Belanda. Penyeragaman huruf latin di wilayah Nusantara tiba-tiba saja menempatkan penduduk yang tidak menggunakan huruf Latin sebagai buta huruf, niraksarawan. Itulah politik bahasa yang digunakan pemerintah kolonial Belanda menciptakan stiga bagi rakyat di wilayah Nusantara sebagai masyarakat terbelakang dan tidak berbudaya. Pemerintah kolonial Inggris tidak menerapkan politik kolonialnya seperti itu. Maka, di negara-negara wilayah koloni Inggris, bahasa dan pemakaian huruf setempat bisa tetap terpelihara dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Di Malaysia, misalnya, pemberlakuan huruf Rumi (Latin), justru ditetapkan oleh sastrawan Malaysia sendiri, yaitu sastrawan Asas 50.
[12] Dibandingkan dengan sastrawan India yang lain, karya-karya Rabindranath Tagore yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain, Menanti Surat dari Raja (terjemahan Muhammad Yamin, 1927), Citra (terjemahan Anas Ma’ruf, 1943), Gintanjali (terjemahan Amal Hamzah, 1946), Sang Anak (terjemahan Asrul Sani, 1979), Sanyasi (terjemahan Toto Sudarto Bachtiar, 1979), dan Rumah untuk Mani (1979).
[13] Bibhutibhushan Banerji, PaterPancali:Tembang Sepanjang Jalan (1996) dan Aparajito (1999) terj. Koesalah Soebagio Toer.
[14] Kamala Markandaya adalah nama pena Kamala Purnaiya Taylor, lahir di Mysore, Chimakurti, Bangalore, India Selatan pada tahun 1924. Ia berasal dari keluarga Brahmana. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di jurusan sejarah University of Madras di Chennai, India, ia bekerja di suratkabar mingguan di India sebelum ia kemudian pindah ke Inggris pada tahun 1948. Ia menikah dengan Bertrand Taylor dan mempunyai seorang putri, bernama Kim Oliver. Suaminya meninggal pada tahun 1986. Markandaya meninggal di Inggris pada 16 Mei 2004 (sumber lain menyebutkan Markandaya meninggal 18 Mei 2004).
[15] Belum begitu jelas, bagaimana awal mula lahirnya tradisi penulis perempuan di India. Oleh karena itu, boleh jadi nama Kamala Markandaya bagi pembaca Indonesia masih terlalu asing dan belum dikenal luas, tidak seperti Pearl S Buck, Toni Marrison, Nadine Gordimer atau Nawal el Saadawi. Tokoh-tokoh perempuan India yang sangat dikenal masyarakat Indonesia, antara lain, Indira Gadhi, Sonia Gandhi. Adapun sastrawan wanita India yang karyanya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Sarojini Naidu.
[16] Selain novel Nectar in a Sieve (1954), saya belum menemukan karya Markandaya lainnya. Meskipun begitu, sejumlah sumber menyebutkan, bahwa Markandaya telah menghasilkan 10 novel, yaitu (1) Nectar in a Sieve (1954), (2) Some Inner Fury (1955), (3) A Silence of Desire (1960), (4) Possession (1963), (5) A Handful of Rice (1966), (6) The Coffer Dams (1969), (7) The Nowhere Man (1972), (8) Two Virgins (1973), (9) The Golden Honeycomb (1977), (10) Pleasure City (Shalimar) (1982).
[17] Kamala Markandaya, Madu dalam Saringan, terj. Mokhtar Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988 (cetakan I, 1979; cetakan II, 1985), 288 halaman.
[18] Parameswaran, Uma. Kamala Markandaya. Jaipur: Rawat Publications, 2000.
[19] Perjuangan Rukmani mendorong Nathan, suaminya untuk terus bekerja keras dan bertahan hidup, mengingatkan saya pada kisah Olan dan Wang Lung dalam novel Bumi yang Subur, Pearl S Buck. Karena kemampuannya hidup hemat, Wang Lung petani penyewa dan istrinya Olan yang pandai menabung, akhirnya dapat membeli sawah sendiri, bahkan dapat memperluas sawahnya, hingga menjadi tuan tanah. Suami-istri itu akhirnya berhasil membangun sebuah dinanti Wang yang menguasai hamper separoh dataran Tionggoan.
[20] Kisah betapa malangnya perempuan yang tidak dapat melahirkan, diangkat juga oleh Jai Nimbkar dalam cerpen “Dia yang Mandul,” dalam Sentuhlah Aku: Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer, Penyunting: Madhusudan Prasad. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hlm. 101—112. Dikisahkan dalam cerpen itu, ketika diketahui membesarnya perut Radha ternyata tumor, bukan hamil, perempuan itu seketika mendapat cemoohan sebagai manusia yang tidak ada gunanya. Jadi reproduksi sebagai ukuran keberhasilan seorang wanita. Itu pun jika ia dapat melahirkan banyak anak laki-laki. Jika yang dilahirkan anak perempuan, tetap saja ia akan dianggap sebagai perempuan malang.
[21] Belakangan Ira melakukan hubungan gelap dengan Kenny, lelaki kulit putih. Ira melahirkan anak lelaki kulit putih, tanpa ayah yang jelas.
[22] Periksalah novel-novel sejak Hamidah, Selasih, Suwarsih Djojopuspito, Marianne Katoppo, Titis Basino, Nh Dini, Ayu Utami, Nukila Amal, Djenar Maesa Ayu, Ratna Indraswari Ibrahim, Dewi Sartika, Oka Rusmini, Helvy Tiana Rosa, Naning Pranoto, Dewi Lestari (Dee), Abidah el Khalieqy, Fira Basuki, Maya Wulan, Dinar Rahayu, atau Ratih Kumala. Tokoh-tokoh perempuan dalam karya mereka adalah perempuan terpelajar dan kaya, sehingga tokoh-tokohnya sama sekali tidak berhadapa dengan persoalan kemiskinan dan kebodohan. Sejauh pengamatan, hanya novel Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih yang menampilkan tokoh Teweraut, perempuan suku Asmat yang tidak hanya harus berhadapan dengan dominasi laki-laki, sehingga posisi perempuan sama sekali tidak ada harganya. Kemiskinan dan kebodohan memperkuat posisi perempuan terus-menerus berada dalam posisi yang tidaka ada harganya sama sekali.
[23]Shashi Deshpande novelis perempuan India yang memperoleh banyak penghargaan, di antaranya, Anugerah Akademi Sahitaya dan Anugerah Nanjangud Thirumalamba. Selain menulis cerita anak, ia juga menghasilkan beberapa novel terkenal, di antaranya, Matter of Time (2001), That Long Silence (1989), Dark Holds No Terrors (1980).
[24] Anita Desai salah seorang penulis perempuan India terkemuka yang juga memperoleh banyak penghargaan internasional. Sejumlah karyanya antara lain, Cry The Peacock (1963), Clear Light of Day (1980), Fasting, Feasting (1984), dan The Zigzag Way (2004).
[25]Novel Arundhati Roy yang mendapat penghargaan adalah The God of Small Things (1997).

0 comments:

Post a Comment