Pages

Wednesday, 9 May 2012

Copet


Copet
Posted by PuJa on May 8, 2012
Horacio Castellanos Moya *
Koran Tempo, 22 April 2012

AKU mulai sering mengun jungi Café Imperial sejak aku pindah ke apartemen temanku Hernando Salcido, sebuah apartemen yang luas berperabot lengkap di Jalan Jesús y María yang akan menjadi milikku selama sebulan penuh karena temanku, istrinya, dan anak perempuannya sedang menikmati liburan musim panas di rumah pantai keluarga mereka di Fuengirola.
Aku mulai mengunjungi Café Imperial pada siang yang sama saat aku memindahkan barang-barangku ke apartemen Hernando dengan harapan bisa memiliki tempat yang leluasa dan cukup layak untuk tidur dengan Rita Mena yang penuh gairah. Ia kekasih yang demi tubuhnya aku rela pergi dari San Salvador ke Madrid lima belas hari lebih awal—kami tak bisa menikmati hak yang diberikan Tuhan kepada kami untuk bercinta dengan suasana penginapanku yang kumuh atau di samping wanita Venezuela teman seapartemen Rita dekat Entrevías yang selalu ingin tahu sehingga membuat kekasihku itu malu.
Aku mulai kerap mengunjungi Café Imperial beberapa jam setelah Rita Mena dan aku mulai tinggal di kediaman temanku Hernando tempat kami bercinta di atas sofa dan kursi di apartemen yang menyenangkan itu. Dan dari balkon lantai empat, dengan tenaga lemas tapi penasaran seperti kanak-kanak, kami memandangi atap rumah-rumah tetangga di kawasan Lavapiés, merasa lega karena teman baikku Hernando telah memasang AC yang membuat kami bisa leluasa bermandi keringat selama sebulan sampai musim panas usai.
Namun, karena Rita Mena datang ke Madrid demi studinya—ia pindah ke kota ini untuk mengambil master dalam ilmu jurnalistik—maka aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan saat dia pergi ke kampusnya. Aku mengamati lingkungan sekitar, menjelajahi bar-bar tua, serta mengunjungi pasar yang dipenuhi pedagang pakaian dan kafe terbuka yang bertebaran di dekat pintu masuk stasiun kereta bawah tanah Tirso de Molina.
Merasa gugup oleh tatapan liar wanita-wanita cantik berpakaian minim ditingkahi hawa panas menyengat, aku mendapati diriku berada di Café Imperial, sebuah tempat yang pernah kukunjungi tapi lalu segera kutinggalkan setelah melihat harga-harga minumannya. Kini aku memasukinya hanya karena aku membutuhkan pendingin ruangan dan bir dingin yang menyegarkan. Tempat ini padat oleh turis. Tak lama setelah aku duduk dengan sebotol bir di tangan, mataku langsung tertuju pada seorang pelayan wanita yang tiba-tiba, tanpa diduga, menjadi sasaran gairahku—sejujurnya, itu bermula saat aku melihat gadis ini ternyata mengenakan rok mini berbahan denim yang memamerkan sepasang kaki padat tapi indah, serasi dengan bokongnya yang berbentuk sempurna.
Kutenggak birku dalam satu tegukan sementara aku mengamati dengan teliti lengan putihnya yang sebagian tertutupi rambut cokelatnya yang tergerai. Gadis ini mendekatiku, membalas tatapanku dengan mata hijaunya, dan godaannya membuatku harus memesan sebotol bir lagi.
“Namanya Marina,” kata bartender.
Aku pindah ke kursi yang berada di sebelah tempat ia mengambil minuman sebelum mengantarnya ke meja-meja pelanggan.
Namanya Marina, berasal dari Córdoba, umurnya dua puluh lima, dan di sini dia sedang belajar drama. Dia suka lakon Tennessee Williams dan Arthur Miller walaupun dia belum pernah ke Amerika, ujarnya kepadaku pada perjumpaan pertama kami saat aku menghabiskan bir dan memanfaatkan kesempatan saat dia melintas ke bar—nampannya penuh gelas dan cangkir kotor—untuk melemparkan pertanyaan yang selalu dia jawab sambil berjalan, bekerja, dan mengerling genit seolah-olah dia tahu kegugupan yang menderaku dan tak dapat kusembunyikan hingga tiba saat aku harus pergi karena Rita Mena akan segera tiba di apartemen teman baikku Hernando.
Aku berjalan menyusuri jalan Jesús y María sambil bergumam kepada diri sendiri dan mendapati cinta sejatiku sedang membunyikan bel apartemen terus-menerus. Lalu, bergegas kami pergi ke atas dengan tas berisi pakaian yang ia bawa pindah ke sarang cinta kami. Kami pun mulai saling bercerita apa yang telah kami lakukan selama beberapa jam kami berpisah. Tentu saja aku tidak menyebutkan bahwa aku telah menghabiskan siang itu bersama Marina dari Córdoba. Aku hanya menyinggung secara umum tentang siang yang malas dan kegiatan minum-minumku lalu mulai mencari tahu apa yang Rita Mena lakukan dengan teman-temannya, terutama si lelaki Argentina bernama Lorenzo.
“Kau mulai lagi,” protesnya dengan nada yang hanya menegaskan kecurigaanku bahwa wartawan Argentina sialan itu sangat menarik bagi gadis yang demi dirinya aku telah menyeberangi Samudra Atlantik dan kepada siapa aku berharap bisa melanjutkan hubungan selama tabunganku yang sedikit masih tersisa, atau setidaknya hingga ketertarikanku kepadanya mulai pudar.
Rasa haus membuat kami malam itu melakukan ritual yang akan terus kami ulangi selama sebulan rencana kami tinggal di apartemen teman baikku Hernando. Bar El Tio Vinagre dan Móntes adalah tujuan semula saat kami keluar seraya mengamati setiap lubang di dinding sekitar apartemen. Namun, akhirnya kami terdampar di Café Imperial. Kami menuju bar melintasi keramaian, asap tebal, dan suara riuh orang bercakap-cakap. Saat itulah aku menghampiri Marina dari Córdoba yang menyapaku dengan ramah walaupun tengah sibuk, meninggalkanku dengan seulas senyum tolol di wajahku yang diprotes oleh Rita Mena.
Malam itu, saat kami terbaring dengan kaki saling menyatu, kelelahan setelah menikmati tempat tidur temanku Hernando yang berukuran besar, atas desakan Rita Mena, kuakui bahwa aku berhasrat terhadap Marina dari Córdoba. Setelah mendengar pengakuanku, Rita Mena pun akhirnya mengakui bahwa ia memang berhasrat terhadap si wartawan Argentina bernama Lorenzo kawan kuliahnya. Aku menjelaskan bahwa aku tidak berniat berselingkuh dengan Marina dan Rita Mena menimpali bahwa ia pun tidak punya rencana semacam itu dengan teman kuliahnya. “Tapi, walaupun kau lima belas tahun lebih tua dariku, aku punya hak untuk tahu seperti apa rasanya bersama orang lain,” tambahnya.
Pada siang keduaku di Café Imperial, aku berbicara lagi dengan Marina yang kini memperlakukanku seperti teman lama dan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan tentang negaraku, sebuah negeri yang tak pernah ia lihat dan tak terbayang baginya seperti apakah hutan belantara yang disebut Amerika itu. Dia juga bertanya apakah “gadis cantik”—begitulah dia menyebutnya—yang datang bersamaku malam sebelumnya adalah kekasihku dan apakah dia juga berasal dari Amerika. Pada saat itulah aku mengetahui bahwa Marina ternyata tinggal—kebetulan sekali!—di plaza Tirso de Molina, hanya selisih dua lorong dari apartemen teman baikku Hernando.
Dan pada malam kedua itu, saat aku dan Rita Mena memasuki Café Imperial, Marina dari Córdoba sedang mempersiapkan minuman di belakang konter. Untuk menyambut kami, ia membawakan kami dua gelas bir. Dengan genit wanita menggoda itu tersenyum tidak hanya ke padaku, tapi juga kepada Rita Mena, yang sedikit lebih banyak bicara daripada biasanya. Kemudian, kulihat mereka terlibat pembicaraan yang tidak bisa kuikuti. Terlintas di benakku bahwa ada ketertarikan tertentu di antara mereka yang membuat anganku jadi kacau. Dugaanku itu dibenarkan Rita Mena saat kami dengan mabuk menyeberangi plaza yang menghadap apartemen Marina dari Córdoba.
.
MALAM selanjutnya, saat tubuh Rita Mena bersentuhan dengan tubuhku, aku bertanya apakah ia ingin melakukannya bertiga dengan Marina dari Córdoba untuk selingan bagi rutin kami. Dia bilang bahwa dia lebih ingin melakukannya bertiga dengan si lelaki Argentina, sebuah jawaban yang bagiku tak masuk akal. Lalu kujelaskan kepadanya, dia dan Marina sudah saling kenal dan saling suka, sedangkan aku tidak punya sedikit pun rasa suka kepada lelaki Argentina itu. “Tak apa, kalian tidak harus bercinta. Hanya denganku,“ ujar Rita Mena sebelum ia mendesah saat meraih puncak asmara.
Esok paginya, saat kami memasuki Café Tirso de Molina untuk sarapan, kebetulan kami mendapati Marina sendirian di meja. Sepertinya ia baru saja bangun tidur, pakaiannya kurang bagus, dan ia tengah serius membaca koran. Aku berjalan ke arahnya, ia menatapku dan berkata, “Senang melihat kalian.” Namun, sesungguhnya kamilah yang merasa senang, terutama aku, karena takdirku memberiku pertanda baik. Kami lalu mengobrol sambil minum kopi. Bertentangan dengan penolakannya semalam, Rita Mena membujuk Marina untuk pergi bersama kami malam itu sebab Marina libur. Kami sepakat untuk bertemu di Bar Montes pada pukul sembilan malam.
Kenyataan bahwa Rita Mena telah mengambil inisiatif mengajak Marina pergi berkencan dengan kami menggangguku seharian. Pikiranku bahwa motifnya berteman dengan gadis yang ingin kutiduri tidak sejelas motifku membuatku bertanya-tanya apakah ini strateginya untuk merusak rencanaku. Hal itu kukatakan kepadanya saat aku berjalan ke Bar Montes pada pukul sembilan malam dengan pakaian rapi dan gairah menegang. Kuperingatkan Rita Mena dengan tegas bahwa dia tidak usah berpikir bahwa jika kami berhasil berkencan bertiga dengan Marina dari Córdoba malam itu, aku akan mau melakukan hal yang sama dengan temannya, si lelaki Argentina.
Malam itu sangat menyenangkan. Kami mampir untuk minum di setiap bar di sepanjang jalan Argumosa. Rita Mena dan aku menceritakan kisah kami dari daerah tropis yang menarik bagi wanita awam seperti Marina dari Córdoba, sementara ia menceritakan kisah cintanya dengan pelayan bar yang kini membuatnya patah hati. Namun, tiba-tiba Marina dari Córdoba dan Rita Mena telah memasuki dunia mereka sendiri yang penuh kerumitan dan simpati. Aku tak mampu ikut serta di dalamnya. Aku jelas tidak dapat terlibat dalam keintiman penuh istilah khusus dan perjalanan rahasia ke wilayah batin para wanita.
Saat kami hendak beranjak menuju Café Imperial, mereka memintaku untuk pergi dahulu—sampai ketemu, Sayangku!—mereka akan mampir dulu ke apartemen Marina dari Córdoba untuk melakukan urusan perempuan, kata mereka dengan kekompakan dan rasa percaya diri yang tak dapat kubantah.
Aku tiba di Café Imperial dan menenggak birku sendirian. Setelah beberapa waktu, aku sadar pastilah mereka tidak akan muncul malam ini. Rupanya Rita Mena yang cabul telah mengerjaiku dengan cerdik dan mencopet Marina dari Córdoba dariku.
Aku tidak punya pilihan lain selain pulang dengan kekalahan ke apartemen teman baikku Hernando, tetap dengan ilusi bahwa saat fajar tiba mungkin gadis-gadis itu akan membunyikan bel dan bergabung denganku di ranjang. Sementara itu, di atas ranjang besar ini kini aku tak bisa tidur.
*) Horacio Castellanos Moya adalah penulis El Salvador yang kini tinggal di Pittsburgh, Amerika Serikat. Cerita pendek di atas diterjemahkan oleh Anton Kurnia dan Tarie Kertodikromo dari terjemahan Inggris Samantha Schnee.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/05/03/copet/

0 comments:

Post a Comment