Pages

Tuesday, 29 May 2012

Di Balik Gorden Jendela

Di Balik Gorden Jendela
Posted by PuJa on May 27, 2012
RR Miranda
http://www.suarakarya-online.com/

SEJAK mengenal lelaki itu Mirna selalu bangun pagi, dan matanya sembab karena susah tidur. Dadanya selalu berdetak dalam kecemasan. Entah kenapa, yang pasti ia sungguh tersiksa menanti pagi yang ditandai dengan ruap cahaya mentari. Mirna merasa perputaran waktu begitu lamban, serupa keong yang menyusuri tanggul-tanggul panjang di persawahan. Begitu lamban, sehingga membuat jantungnya selalu berdetak kencang.
Ah, kalau saja ia dapat memutar kendali waktu, tentu perasaan yang belakangan mengganggu tidak mungkin terjadi. Karena ia akan menghadirkan pagi lebih awal dari perputaran waktu yang sesungguhnya. Begitupula, ia akan memperlambat jalannya pagi menuju siang. Dengan begitu, ia selalu punya kesempatan duduk lama di beranda depan rumah. Atau, sekedar menyapu pekarangan yang sebenarnya tidak kotor. Satu lagi, ia tak akan lupa menyirami hot lady agar makin memikat di pot beranda.
Kebiasaan yang ganjil itu datang begitu saja. Bermula sejak ia mendapati sosok lelaki muda penghuni rumah di seberang. Rumah mereka hanya dipisahkan jalan kecil yang jarang dilalui oleh kendaraan. Sebab, jalan itu akan berakhir kira-kira limaratus meter saja di ujung perkampungan. Lokasi pemakaman umum di pinggir kebun jati, adalah batas akhir jalan yang memisahkan rumahnya dengan rumah yang dihuni oleh lelaki itu.
Lelaki itu mulai menghuni rumah tersebut sekitar satu bulan lalu. Dan sejak itulah awal tumbuhnya perasaan aneh yang selalu mengusik hari-hari Mirna. Waktu tidurnya menjadi terganggu karena setiap pagi ia selalu bangun kepagian, sebelum fajar meruapkan cahayanya yang lemah. Semula ia merasa agak risih juga dengan kebiasaan barunya itu. Tapi lama-lama ia terbiasa, meski semua itu selalu berakhir dengan kecewa.
Lelaki itu selalu berada di pekarangan rumah pada waktu pagi. Ketika matahari mulai beranjak siang, dia akan kembali menghilang ke balik pintu tebal yang terbuat dari pokok pohon jati, dan menutupnya rapat. Pintu itu akan selalu tertutup hingga sore hari. Hanya sesekali saja ia dapati pintu rumah itu terbuka di waktu siang. Begitulah yang ia lihat sejak kehadiran lelaki itu di rumah seberang jalan. Mirna tak pernah tahu apa yang sedang dia kerjakan di dalam sana.
Lelaki itu menyukai bunga. Dia memelihara bermacam tanaman hias di pekarangan rumahnya. Anggrek, adenium, aglaunema, hot lady, dan suflir melengkapi jenis tanaman hias koleksi miliknya. Rumah seberang jalan itu dalam waktu sekejap berubah menjadi sebuah taman bunga nan-asri, sejak dihuni oleh lelaki itu.
Setiap pagi, dia menyirami bunga-bunga yang segar dan merimbun. Mirna selalu menanti kesempatan itu. Ia berusaha mencuri pandang apa saja yang sedang dilakukan oleh lelaki itu. Tak ubahnya seperti sedang menonton film bisu, karena ia tak pernah mendengar senandung kecil disertai lengking siulan keluar dari mulutnya. Tapi, Mirna suka memperhatikannya dalam aroma kebisuan. Biasanya yang banyak menaruh perhatian kepada tanaman hias adalah para perempuan. Namun, lelaki itu rupanya juga menyukai bunga. Barangkali, dia juga memiliki perasaan lembut, serupa perasaan perempuan, pikirnya. Selembut dan seharum aroma bunga-bunga itu.
Dan memang, ia tak pernah menemukan garis bengis tampak di raut mukanya. Ia begitu yakin, meski waktu itu belum pernah menatapnya dari jarak yang lebih dekat. Ia hanya mengira-ngira saja, dan berusaha mempercayai bahwa perasaan tak mungkin berdusta! Bukankah lelaki itu tak pernah lupa melempar senyum, ketika kebetulan bertatapan mata? Ah, dadanya selalu berdesir setiap kali ditikam sorot mata lelaki itu. Mirna merasa sekujur tubuhnya bagaikan sedang ditelanjangi, ketika ketahuan sedang memperhatikan lelaki itu secara sembunyi-sembunyi. Tak ubahnya serupa kucing yang ketahuan sedang mengutil sepotong ikan asin di atas meja makan. Meskipun, lelaki itu barangkali tidak merasa dirinya sedang diperhatikan olehnya.
Kalau sudah begitu, dengan sedikit kikuk Mirna akan balas tersenyum pula. Lalu buru-buru mengayunkan sapu lidi ke atas rerumputan di ujung kakinya. Melibas butir-butir embun bening yang masih setia menempel di rerumputan. Sebenarnya, hanya ada beberapa helai daun pohon mangga milik tetangga saja yang jatuh ke halaman.
Tidak memerlukan waktu lama untuk membersihkannya. Bahkan, kadang-kadang ia berharap tamparan angin pada setiap malam akan merontokkan daun-daun pohon itu lebih banyak lagi, agar ia memiliki kesempatan lebih lama ketika membersihkannya. Ketika halaman itu sudah terlihat bersih, Mirna akan bergegas masuk ke rumahnya, ia merasa malu apabila diketahui oleh lelaki itu dalam keadaan bengong tanpa melakukan sesuatu.
Tapi dari balik gorden jendela ia kembali mengamati gerak lelaki di rumah seberang. Dari sana ia tak lagi takut ditikam tatapan mata lelaki itu. Lelaki itu tidak mungkin melihat bayang dirinya yang terlindung di balik gelap kaca jendela. Inilah tempat paling aman saat sedang menguntit aktivitas lelaki yang baru saja menempati rumah itu. Namun, setelah lelaki itu kembali ke balik pintu rumahnya, maka ia pun kecewa. Bagaikan seorang anak kecil yang baru saja kehilangan mainannya yang sungguh mengasyikkan. Meski besok pagi ia akan mendapatinya kembali saat melakukan rutinitas serupa.
* * *
LELAKI itu bernama Thomas. Mirna mengenalnya dalam sebuah perkenalan ringkas yang tak diduga-duga, apalagi direncanakan, pada suatu pagi-meski sudah lama ia menanti kesempatan seperti itu-. Awalnya, Mirna masih sangsi dengan kemunculan lelaki itu, yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Apakah hanya bayang-bayang pikirannya? Tapi itu nyata adanya, dan ini adalah kesempatan untuk pertama kali ia melihat Thomas dari jarak lebih dekat. Dadanya berdesir aneh, entah kenapa!
“Kau yang tinggal di rumah seberang?”
Lelaki itu menjawab dengan anggukan. Mirna memperhatikannya dengan penasaran. Kenapa lelaki itu mendatanginya. Apakah dia dapat mendengar ramai bisik-bisik di hatinya, yang selalu berharap bisa bercakap-cakap barang sebentar dengannya? Wajah Mirna serentak memerah, ia merasa malu jika saja lelaki itu dapat mendengar semua bisik-bisik itu. Jangan-jangan dia juga mendengar, ah, Mirna tak mampu melanjutkan lamunannya sendiri. Semakin membuatnya merasa dipermalukan saja.
“Thomas!” kata lelaki itu. “Mirna!” balasnya. “Gunting saya patah, boleh pinjam gunting bungamu?” Raut mukanya keruh. Begitu berharganya sebatang bunga baginya. Sehingga, gunting bunga yang patah saja membuatnya seperti baru saja tertimpa sebuah musibah. Tapi, tentu saja Mirna tak perlu merasa keberatan meminjamkan gunting bunga miliknya kepada lelaki itu. Bahkan dengan amat senang hati ia akan meminjaminya.
“Saya bawa dulu.” Lelaki itu bergegas ke rumahnya sambil menenteng gunting bunga. Keruh di wajahnya sedikit memudar. Begitulah awal perkenalan Mirna dengan Thomas. Perkenalan sederhana yang serba singkat pula.
Mirna masih menatap tubuh di balik dedaunan bunga itu dari beranda rumahnya. Bukankah lebih aman duduk di beranda sambil pura-pura membaca koran pagi? Dan itu lebih bermartabat daripada mengintip di balik kaca gelap. Ia seperti menemukan kedamaian di sana sambil menatap lelaki itu bergelut dengan tanaman bunganya. *** TIGA hari lalu Thomas datang menemuinya. Apakah dia mau pinjam gunting lagi, atau ada keperluan lain? Pikiran Mirna berkecamuk saat melihat Thomas melintas di jalan yang memisahkan rumah mereka. Di kedua tangan dia memangku sebuah pot bunga yang warna kemerahan. Cantik sekali, apalagi ketika tersepuh sinar matahari pagi yang membuat warna daunnya tambah memikat. “Hot lady ini sengaja kubeli untukmu.”
“Tapi, aku tidak telaten merawat tanaman, Thomas.” “Kamu pasti menyukai bunga ini.” “Harganya pasti mahal,”
“Tidak apa-apa, sebagai kenang-kenangan,” Sungguh, betapa senangnya Mirna menerima bunga pemberian Thomas itu. Dalam hati ia berjanji akan merawatnya dengan telaten dan sepenuh hati. “Mungkin ini adalah pertemuan kita yang terakhir kali. Besok sore saya sudah harus pulang ke kampung, dan kemungkinan tidak kembali lagi.” “Kenapa secepat itu?” “Ibu sakit keras, tak ada yang merawat.” Mirna terdiam dengan lidah terasa kelu. Entahlah, ia merasa sangat kehilangan jika Thomas benar-benar pergi dan tidak kembali. Perasaan aneh itu semakin membuatnya tersiksa. Padahal baru beberapa hari saja mereka saling mengenal. Tapi tak mungkin pula ia melarang Thomas untuk pergi.
“Salam saja buat ibu, semoga cepat sembuh!”
“Terimakasih!”
Begitulah, perpisahan itu terjadi seperti dalam mimpi saja. Seperti halnya dengan perkenalan mereka yang juga tak pernah diduga sebelumnya. Tapi, menyesalkah Mirna karena pernah mengenal lelaki itu? Entahlah.
* * *
Embun pagi masih menggelayuti dedaunan yang menari-nari disibak angin. Cericit burung-burung kecil di luar sana membangunkan Mirna dari tidurnya yang pulas. Mirna masih belum dapat menghilangkan kebiasaannya bangun lebih awal pada setiap pagi, meski ia tahu lelaki itu sudah pergi dan tidak kembali. Bergegas ia melangkah ke beranda depan dengan wajah kusut dan kesadaran yang belum sempurna betul. Seperti pagi yang sudah-sudah, Mirna kembali menatap lurus ke rumah di seberang jalan. Namun, tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Sepi, dan pintunya tampak tertutup rapat. Semilir angin dengan lembut menyibak rambut Mirna yang panjang sebahu, sejenak menghalangi tatapan matanya menembus kabut tipis yang membungkus rumah itu. Tapi, lagi-lagi ia merasa kecewa karena sosok Thomas yang ia harap akan muncul dari balik pintu jati tak juga melintas.
Kau sedang jatuh cinta Mirna! Sebuah bisikan menyelusup di telinganya. “Tidak mungkin! Aku tidak semudah itu mencintai orang yang baru saja kukenal.” Kau tak bisa menipu perasaanmu sendiri. Kenapa kau merasa kehilangan, jika tidak menyukainya? Mirna diam karena bisikan itu sungguh memojokkan dirinya. Kembali ia menatap lurus ke rumah di seberang jalan. Oh, tidak. Dia tak akan pernah kembali lagi.
Mirna beralih menatap hot lady yang tampak segar di pojok beranda. Dan tiba-tiba saja ia seperti melihat Thomas sedang memperhatikannya, tentu sambil melempar senyum, senyum yang tajam serupa belati. Mula-mula wajah itu hanya satu, lalu bertambah jadi dua, tiga, empat, dan semakin banyak. Di mana-mana Mirna seakan melihat wajah yang telah pergi itu. Ah, tidak mungkin! Mirna mengerjapkan mata berulang-ulang sambil menyeret langkah lebih dekat, namun secepat itu pula senyum Thomas raib dari tatap matanya. Yang tersisa hanyalah lambaian daun-daun bunga pemberian Thomas yang masih dibasahi oleh air bening sisa hujan semalam.
Masihkah kau akan membohongi dirimu sendiri, Mirna? Bisik itu kembali membuatnya bungkam. Dadanya bedesir. Pagi itu Mirna kembali menjumpai kekecewan seperti hari-hari sebelumnya, sejak lelaki itu pergi dan tidak kembali. Sebelum menutup daun pintu dan menguncinya rapat, sekali lagi ia menatap ke rumah di seberang jalan. Tak ada siapa-siapa!
* Surabaya, 10 Oktober 2011

0 comments:

Post a Comment