Dilema Literasi dalam Baca Puisi
Posted by PuJa on May 13, 2012
Musyafak
http://www.seputar-indonesia.com/
Baca puisi menjadi ikhtiar menghadirkan puisi ke haribaan publik dengan jalan pelisanan.Pelbagai event kesusasteraan atau kesenian kerap memberi ruang dan peluang bagi perayaan baca puisi, di samping festivalfestival baca puisi yang di gelar institusi-institusi kebudayaan.
Dinamika baca puisi kini pun mengalami rupa-rupa bentuk seperti deklamasi, musikalisasi puisi, penembangan puisi (poetry singing),atau pembacaan puisi (poetry reading). Sebagian kalangan menggelar baca puisi sebagai kerja apresiasi sastra.Kalangan lain menerima baca puisi sebagai bentuk seni otonom atau pentas tersendiri. Baca puisi menghadirkan suatu estetika kebunyian yang dipadu unsur teatrikal yang tidak teraba secara nyata dalam teks puisi.
Laju bahasa dalam teks puisi dimutasikan menjadi objek bunyi konkret yang sarat imbangan intonasi, aksentuasi, ritme, irama, jeda, ornamen musikal, unsur teatrikal, dan sebagainya. Peristiwa baca puisi menghadirkan keserentakan teks puisi dengan gerak tubuh yang menandakan keseluruhan penghayatan si pembaca atas karya yang dibacakannya.Dami N Toda, Apakah Sastra? (2005: 97-98), menyebut baca puisi sebagai seni pentas puisi.
Lapis-lapis puisi yang ditubuhkan penyair di dalam jaringan diksi (teks) puisi harus ditemukan dan dinyawakan oleh aktor atau pembaca puisi.Kerja ini meniatkan agar lapis-lapis nilai puitik itu menjadi “makhluk” hidup audiovisual yang dapat dicerapkan dengan jernih dan rancak bersehayat dengan penonton atau pendengar.
Budaya Akar
Baca puisi ditengarai sebagai budaya akar pentas sastra Nusantara yang berkembang secara oral.Keberhasilan WS Rendra, pada dekade awal 1970-an, mengangkat keajekan seni deklamasi puisi menjadi pementasan yang sangat memperhitungkan unsur acting,set panggung,dan lighting, mengabarkan kebangkitan tradisi akar sastra Nusantara yang berciri pada pelakonan.
Yakni tradisi sastra yang bukan membaca teks (untuk) seorang diri, melainkan melisankannya di hadapan publik penonton atau pendengar. Kebangkitan pelisanan-pementasan puisi pada dekade 1970- an juga dapat ditilik dari geliat pembacaan puisi oleh para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, dan Linus Suryadi AG yang mendekatkan teks puisi kepada khalayak secara oral— yang ditubuhkan bersama elemen musikal dan teatrikal (Toda,2005: 93-95).
Daya pikat baca puisi menjadi alternatif strategis dalam rangka “memasarkan”puisi (lebih luasnya sastra) kepada publik. Sastra,yang dalam debatan klasik diklaim kurang membumi di masyarakat, melalui baca puisi coba didekatkan seintim mungkin dengan masyarakat agar menjadi bagian hidup— selain memenuhi kebutuhan kesenian,tak jarang puisi diangankan mampu menginspirasi proses transformasi atau perubahan sosial.
Pembacaan puisi di ruang-ruang publik atau sanggar-sanggar kesenian bisa dikatakan sebagai “gerakan” pemanggungan-pelisanan yang berjalan mengiringi gairah penerbitanbukusastra( puisi,kumpulan cerpen,roman,novel),dan menyemarakkan pelbagai perhelatan kesusasteraan. Launching atau bedah buku sastra,misalnya,kerap menyertakan agenda pembacaan atau musikalisasi puisi.Komunitaskomunitas yang bertumbuh kembangdipelbagaidaerahpun semakin meningkatkan intensitas baca puisi.
Dilema Keberaksaraan
Sapardi Djoko Damono dalam esainya,“Kelisanan dalam Keberaksaraan: Kasus Puisi Indonesia Mutakhir”, memandang kecenderungan pembacaan puisi sebagai bukti masyarakat ingin kembali ke kultur kelisanan atau bahkan menyiratkan bahwa kita belum pernah sepenuhnya masuk ke dalam tradisi keberaksaraan.
Sekaligus menimbulkan kecurigaan, proses kreatif penyair di Indonesia masih belum beranjak jauh dari tradisi lisan. Esai tersebut mengingatkan, pelisanan rawan menyeret puisi ke lingkaran konvensi yang lazim, menjebak puisi pada keumuman. Khalayak pendengar pelisanan puisi adalah orang yang hidup dalam tradisi urban dan industri.Masyarakat macam itu,menyitir penyair Inggris W B Yeats, digambarkan sebagai masyarakat “tanpa kenangan keindahan dan kehalusan emosional”.
Menghadapinya,penyair tidak merasa perlu menawarkan kualitas artistik yang kompleks seperti lazim dipautkan dalam puisi. Justru penyair mengatur idenya sejalan dengan harapan pendengarnya.
MUSYAFAK, Pengkaji Budaya dan Sastra di Open Mind Community, Semarang /01 January 2012
0 comments:
Post a Comment