Membaca Tembang Tolak Bala (Beberapa Catatan Sekilas)
Posted by PuJa on May 4, 2012
Raudal Tanjung Banua
Membaca novel Hans Gagas, Tembang Tolak Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) kita mendapatkan gambaran yang kaya tentang reog Ponorogo, tidak sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan di “belakang panggung”—dan ini jauh lebih menantang.
Warok, sebagai pelaku utama reog, digambarkan sosok dan laku hidupnya secara terbuka. Ia menjalani kehidupan yang tidak biasa terutama berhubungan dengan ritual-ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling membedakannya dengan yang lain—karena berhubungan langsung dengan lingkungan sosial—ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaku yang diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak dikenal sebagai Wengker, itu, pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan gemblak sebagai kata kunci berikutnya dalam khazanah seni reog Ponorogo, di mana warok akan memelihara seorang anak laki-laki (gemblak) sebagai “kawan intim”.
Demikianlah cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini. Lewat tokoh Aku (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan per-gemblak-an. Itu tak lain karena Hargo merupakan seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh warok yang paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun sang Eyang sebenarnya juga punya perempuan sendiri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo punya orang tua juga yang bahkan masih kerabat Tejowulan. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak memiliki kultur sendiri yang “sah” karena semua berlangsung “sepengetahuan” ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Hargo: Seorang dandan atau wakil dari pelamar (warok) beserta rombongannya menaiki dokar. Dokar itu taklah berlenggang tangan, di dalamnya terusung segala jenis bawaan: berslop-slop roko, gula tebu, berkarung-karung beras, abon-abon pisang raja dan sirih-kinang. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau, sebagai mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.” (hal. 56).
Sementara Hargo merasa “beruntung” karena tidak melalui prosesi itu,”…aku digemblak secara alami oleh “orang tuaku” sendiri.” Tentu saja “bayaran” yang diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan “kesaktian” warok yang biasanya diwarisi kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni beladiri dan menabuh menjadi pelajaran setiap malam seperti didapatkan Hargo. Ia mendapatkan cerita tentang sejarah Wengker, Majapahit, Demak, SI, PKI atau Madiun. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi “pinangan” itu kadang berjalan tidak dalam keadaan “normal”: jika orang tua menolak lamaran warok akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri: cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.
Ancangan yang Meyakinkan
Namun sebelum masuk ke dunia yang sukar dinilai secara hitam-putih itu, penulis terlebih dahulu membuat ancangan yang meyakinkan, setidaknya pada rinci dan detail. Dan ia masuk lewat silsilah dan rumah. Silsilah dan rumah menjadi pembuka dalam novel ini yang membuat pembaca memiliki pijakan untuk masuk ke bagian yang lain, serta mendapat garansi bahwa cerita akan berjalan dengan cukup padat meskipun bahasanya sederhana. Maka pada halaman awal “Bab Satu: Adi Kembar” kita diperkenalkan satu persatu kepada anggota keluarga si anak, meskipun perkenalan itu tidak adil-merata, sebab ada yang diperkenalkan dengan cukup panjang ada juga yang sekedarnya. Kakak, ayah, ibu, nenek dan sahabat (Mei, Narko) diperkenalkan melalui satu atau dua paragraf. Ada yang panjang ada yang selintas, tapi itu tidak masalah sebab pada bab-bab berikutnya di antara mereka ini muncul kembali sebagai tokoh yang ikut mewarnai jalan cerita.
Tapi anehnya, perkenalannya paling sedikit dan kemunculannya pada bab berikut juga tak signifikan justru adalah orang-orang terdekat si anak. Ibu misalnya, memang meminta perkenalan satu paragraf cukup panjang, tapi kehadirannya kemudian tak terlalu “fungsional”. Begitu pula kakak-kakak si aku, bahkan nama dan jumlahnya pun tidak disebutkan, kecuali sedikit saja: …kakak-kakakku, uhh…mereka terlalu memikirkan diri sendiri. Kadang aku melihat bara persaingan di antara mereka. Ini bertolak belakang ketika ia memperkenalkan Mei Ling, sahabat masa kecil yang kemudian hidup di ingatannya. Paling penting lagi adalah perkenalan terhadap adi-kembarnya yang sudah meninggal sejak awal cerita, tapi selalu mewarnai cerita.
Di sini tampak, si aku cenderung menelisik dan menyimpan “sesuatu yang tak ada”, ketimbang merapat pada sosok yang wujudnya lebih dekat dan jelas. Ini tampaknya bukan tanpa rencana. Menurut saya, ini sebuah ancangan yang tak kalah penting untuk menciptakan dunia batin Hargo. Yakni, dunia batin yang berpaut pada dunia “tak kasat mata” sehingga ketika ia masuk ke kehidupan ganjil Eyang Tejo, ada alasan yang “masuk akal” untuk mengembara ke dalam cerita “antah-barantah” dan tak mungkin dijangkau oleh pikiran biasa.
Ancangan ini pula yang memungkinkan pengarangnya leluasa menerapkan konsep “realisme magis” dengan segala plus-minusnya. Konsep ini lebih terjelaskan lagi ketika di pengantar Hans mengatakan bahwa “ulang-alik peristiwa dan waktu di novel ini bergaya ala Tambo-nya Gus tf Sakai.” (hal. xi). Dan memang, dalam prakteknya, pola Tambo sangat terasa dalam Tembang Tolak Bala.
Ancangan berikutnya adalah soal rumah. Penulis, lewat Hargo, dengan detail dan menarik menggambarkan bagian-bagian arstitektur rumah Jawa bukan hanya dari sisi yang tampak (benda-benda dan properti) melainkan juga secara filosofis. Halaman, regol, ruang tengah, dapur, ruang belakang dan halaman belakang diuraikan sedemikian rupa. Tidak ketinggalan rumah-rumah lain yang berdiri terpisah seperti rumah pringgitan: (yang) berbentuk limasan tanpa dinding (….) berisi gamelan dan perlengkapan reog. Biasa dipakai untuk tetabuhan dan latihan reog.” Rumah belakang (…) masing-masing ada tiga kamar berderet ke belakang (…) sedangkan ruang tengah untuk sanggar pamujaan, tempat bersembahyang, semadi.”(hal. 9).
Ancangan yang Kurang Meyakinkan
Akan tetapi, ancangan yang dibangun dengan sabar dan penuh intensitas itu, kurang mendapat rujukan yang sepadan dengan “Tembang Tolak Bala” yang hendak diusung sebagai maindset cerita. Apa dan bagaimana tembang tolak bala itu kurang terjelaskan, kecuali sebuah cerita ringkas yang seolah tidak penting. Dimulai ketika Ki Ageng Kutu berseteru dengan sahabatnya Ki Ageng Mirah (soal tawaran memeluk Islam). Ki Ageng Kutu mula-mula menuju Gunung Wilis, semadi. Namun sesuara kemudian memerintahkannya berpindah ke Gunung Lawu agar menemui Sunan Lawu. Di puncak Gunung Lawu-lah ia mendengar nyanyian dari arah bayangan yang sempat membuat luruh hati Ki Ageng. “Nyanyian itu seperti syair tembang yang melenakan. Tembang yang jauh di hari depan dikenal dengan nama Tembang Tolak Bala.” (hal. 20).
Hanya itu, hanya sampai di situ. Selanjutnya apa korelasi tembang ini dengan cerita berikutnya dan bagaimana ia “bekerja”, tidak menyelusup ke bagian teks yang lain; tidak seperti bayangan adi-kembar atau Mei-Ling. Padahal, sebagai syair, sebagai suara-suara, kemungkinan teks ini untuk menyelusup secara “magis” justru lebih potensial, namun tidak dieksplorasi lebih lanjut. Bahkan ketika pecah huru-hara politik 65, tembang ini tidak “bekerja” sedikit pun, termasuk ketika Eyang Tejo dijemput musuh bebuyutannya, Wirolodaya, yang leluasa menudingnya sebagai “pengayom orang-orang PKI, maka harus dilenyapkan”. Tembang ini juga tak berfungsi ketika Mei Ling diusir dan rumahnya dibakar. Meskipun ada Bab Enam yang membahas khusus Tembang Tolak Bala, namun juga tak memberi fungsi berarti kecuali salinan baris-barisnya (hal. 102-103), tapi bagaimana ia beroperasi di dalam laku cerita tetap saja tak terjelaskan. Satu-satunya moment tembang itu berfungsi ialah ketika Hargo hendak diperkosa oleh gurunya sendiri, Martodirejo. Dalam keadaan kepepet, Hargo menembangkan syair itu dan aneh bin ajaib sang guru seketika lunglai dan berteriak,”Maafkan aku Ki Ageng, ampuni aku Ki Ageng…” (hal. 140).
Ternyata pula, Guru Martodirejo ini tak lain anak Wirolodaya, musuh bebuyutan Eyang Tejo. Leluhur mereka, Hanggodermo dan Wulunggeni, seorang antek Belanda, dulu juga bermusuhan. Kenyataan yang kebetulan ini tentu saja tanpa ancangan yang kurang meyakinkan. Hal ini sama dengan peristiwa meninggalnya ayah Hargo yang dianggap kena teluh atau guna-guna. Namun bagaimana teluh itu “bekerja” kurang terjelaskan, setidaknya berbeda saat Hargo dengan intens menceritakan hal-hal “magis” lainnya.
Puncak dari semua ini adalah ketika tanpa tedeng aling-aling, Tragedi 65 masuk ke dalam cerita. Memang, sebelumnya sudah diceritakan bahwa kelompok reog dan waroknya banyak yang berafiliasi atau sekedar bersimpati pada partai politik tertentu. Maka terkotak-kotaklah grup reog ke dalam Cakra NU, BRP PKI dan BREN PNI. Peristiwa Madiun 1948 juga dihadirkan ketika sejumlah “pemberontak” melarikan diri ke Ponorogo dan minta perlindungan Eyang Tejo (hal yang membuat Hargo berkenalan dengan Juni, anak seorang pelarian yang ditampung Eyang). Akan tetapi, kita tidak menduga bahwa “cerita tentang warok” dengan serta-merta diputus ketika Eyang Tejo dijemput massa. Tragedi 65 masuk ke dalam struktur cerita tanpa ancangan berarti. Hanya dimulai dengan cerita soal ritual bersih desa, yang seperti biasanya selalu menarik untuk diikuti sebab detail dan informatif.
“(….) ritual bersih desa diadakan setiap tahun, menjelang 1 Syuro. Pasangannya adalah sesajen yang nanti dipacak di pohon beringin tua di dekat jembatan. Sesajen berisi ayam ingkung, nasi tumpeng, jajan pasar, kembang tujuh rupa, dupa dan kopi pahit beserta rokok sebatang. Ritual ini bermaksud agar Eyang Mbaureksa melindungi penduduk dari malapetaka, baik disebabkan oleh manusia, wabah penyakit, maupun makhluk halus.
Tapi malapetaka adalah malapetaka. Musibah dan bencana tak bisa ditolak bahkan oleh kekuatan Eyang Mbaureksa. Apalagi malapetaka yang disebabkan oleh kekejaman manusia.” (hal. 88).
Demikianlah, seperti banyak informasi ritual lainnya, kita menduga ini juga hanya sekedar informasi memperkaya cerita, tetapi ternyata menjadi sesuatu yang menentukan. Kata malapetaka dijadikan kunci untuk menggambarkan malapetaka yang lebih besar yakni Tragedi 65, sampai “menghilangnya” tokoh sekaliber Eyang Tejo. Terasa sangat tiba-tiba. Hubungan kita seolah diputus dengan dunia warok, sama seperti “nestapa” Hargo sendiri yang diputus dengan dunia masa kecilnya, dengan Mei, dan adi-kembarnya!
Padahal, prosesi mencari “susuk kekebalan” bisa berpotensi menceritakan Tragedi 65 dengan cara tidak biasa, tidak seperti narasi sejarah resmi. Ini pula yang terjadi pada narasi diskriminasi etnis Cina. Banyak pernyataan yang klise dan agak berbau slogan, seperti banyak didapatkan pada Bab Tujuh “Episode Cinta Mei”. Narasi klise tentang hubungan homoseksual kemudian juga didapatkan dari surat-menyurat Hargo dengan Mei Ling, di mana rujukan Al-Kitab tentang Sodom dan Gomorah dicuplik secara utuh dalam sepucuk surat Mei Ling.
Waktu dan Kehadiran
Menghilangnya Eyang Tejo sekaligus menandai melindapnya dunia warok dalam Tembang Tolak Bala secara keseluruhan. Saya merasakan ada bangunan yang runtuh, bangunan yang sedari awal sudah dibangun susah-payah. Alih-alih penulis malah masuk ke cerita “remaja masa kini”, yakni ketika masa-masa bersekolah Hargo dan saat ia berkenalan dengan Juli, perempuan yang tanpa ancangan berarti juga hadir tiba-tiba.
Upaya perpindahan dari fokus utama ini (baca: warok dan dunianya) menurut saya didorong oleh hasrat Hans untuk merengkuh terlalu banyak peristiwa. Berbagai peristiwa dalam ranah sejarah maupun legenda, baik yang menjadi isu daerah maupun nasional, diakomodasi dengan lapang dada. Akibatnya, dunia cerita tidak lagi berkisar antara Wilis dan Lawu, namun melebar sampai ke semua tempat dan alamat. Untuk itu semua, novel ini tentu saja masih terlalu “mungil” sehingga muatannya berdesak-desakkan. Saya membayangkan, dengan mempertahankan intensitas bab-bab pembuka, niscaya “enclave” budaya di antara dua gunung ini akan memberi warna yang kaya pada lokalitas sastra Indonesia, suatu lokalitas yang selama ini berkisar pada budaya lokal yang mainstream.
Banyak pula informasi menarik yang belum sempat dikembangkan Hans, misalnya tentang warok perempuan, munculnya reog gajah-gajahan atau cerita tentang beberapa reog yang selamat karena para tentara “Pancasilais” takut kuwalat memusnahkannya. Ini sebenarnya bisa berbaur untuk mencairkan situasi umum secara lebih khas.
Hal lain yang perlu dikemukakan ialah soal waktu yang anakronis. Peng-gemblak-an Hargo dan peristiwa yang melingkupinya berkisar pada masa lawas, setidaknya sekitar tahun 60-an. Ini dibuktikan bahwa ketika Tragedi 65 terjadi, ketika Eyang Tejo dijemput massa, Hargo menyaksikan sendiri peristiwa itu (bukan dalam bayangan), bahkan ia sendiri menjadi korban. “Braaak!! Aku aget bukan kepalang! Pintuku didobrak musuh. Dalam tempo sekejap, tepat di hadapanku telah berdiri sejajar seorang berseragam menodongkan pistolnya ke kepalaku.” (hal. 95). Pembauran narasi antara nyata dan bayangan ini memang tidak asing dalam teks “realis-magis” Hans, namun dalam konteks ini Hargo benar-benar hadir secara harfiah, bukan halusinasi sehingga perpindahan dari era-Eyang Tejo ke pasca Eyang Tejo waktunya terasa kurang tepat.
Secara matematis, jika masa menjadi gemblak usia Harjo sekitar 6-10 tahun (pada tahun 60-an), maka mulai Bab Tujuh dan seterusnya, usia Harjo mestinya sudah di atas 30 tahun. Namun yang terjadi Hargo masih SMP. Tentu saja kita bisa beralasan bahwa waktu Hargo SMP bukan terjadi pada tahun 80 atau 90-an, melainkan pasca Tragedi 65 (tahun 60-an). Tapi, cobalah resapi narasi dan suasana yang terbangun sangatlah kekinian. Hargo dan kawan-kawannya biasa belajar bersama, bahkan membuat genk GAJJAH, surat-suratan dengan Mei yang sudah memasukkan unsur kemeriahan Imlek, dst. Narasi itu bahkan terasa seperti tahun 2000-an, misalnya dengan wacana tentang pemerintah yang tak mau merehabilitasi nama korban 65.
Jadi, meski tidak menyebut angka tahun secara telak, kita sebenarnya bisa merujuk waktu dengan suasana yang dibangun. Hal yang membuat kita kemudian mau tidak mau menghubungkannya dengan beberapa istilah yang penggunaannya perlu dipertanyakan. Misalnya, suara gaib yang bergema saat Raja Bantar Angin bertempur melawan Singo Ludro,”Klonoswandono, apakah janji itu serupa tinta yang diguyur airmata?” (hal. 54).
Sebagai penutup, sekali lagi saya tertarik melihat korelasi Tembang Tolak Bala dengan Tambo. Selain temanya yang sama-sama tentang asal-usul atau legenda sebuah daerah beserta puak dan punggawanya, mereka juga dihubungkan oleh teknik plot yang maju-mundur, membaurkan masa lalu dan kekinian. Bedanya, dalam Tambo pelaku-pelaku masa lalu tetaplah sosok yang hidup dalam legenda (yang kemudian hidup dalam kepala Sutan di hari ini) sehingga waktu kehadirannya logis. Dalam Tembang Tolak Bala, pada beberapa bagian, Hargo hadir bersama tokoh-tokoh lawas itu—kecuali dalam beberapa legenda yang lebih “antah-barantah”. Akibatnya, Gus tf Sakai bisa dengan lebih leluasa mengacak sejarah dan mitologi—tanpa terperangkap off side anakronisme—sementara Hans harus membuat peristiwa “hilang ingatan” pada Hargo, tokohnya. Peristiwa pertama, Hargo mati suri selama tujuh-hari tujuh malam (hal. 26) dan peristiwa kedua, ia koma selama sebulan (hal. 98). Keduanya, baik mati suri maupun koma, malah terasa mementahkan ancangan dunia adi-kembar yang magis; pulihnya Hargo, secara teknis, juga tanpa ancangan berarti; terjaga seperti biasa, didatangi ibu, lalu “normal” seketika.
Demikian beberapa catatan sekilas yang tentu saja beresiko memiliki cacatnya sendiri. Tapi semoga bisa diperbaiki melalui forum diskusi kali ini.
Lemahdadi, Desember 2011
0 comments:
Post a Comment