Mengurai Kusut Masai Gairah Membaca
Posted by PuJa on May 13, 2012
Delvi Yandra
http://padangekspres.co.id/
”Seseorang yang tidak mau membaca tidak akan mempunyai peluang mengatasi seseorang yang tidak mampu membaca” (Mark Twain – Pengarang Amerika)
Pendidikan, kata Nelson Mandela adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Dengan kata lain, pendidikan dapat menjadi alat yang sangat berdaya sehingga mampu mengubah nasib kita yang kusut masai. Masalahnya minat baca dan lebih naasnya lagi, minat menulis kita sangat rendah.
Di kampung Ruwais, sekitar 250 kilometer sebelah barat Abu Dhabi—kawasan pemukiman buruh migran asal Indonesia yang bekerja di pabrik-pabrik ADNOC (Abu Dhabi National Oil Company)—para ibu, bapak-bapak dan remaja bagaikan mendapat oase di tengah padang pasir yang gersang, yang memberikan energi baru bagi mereka yang haus akan hasrat membaca dan menulis. Karena, Desember tahun lalu Heri Hendrayana Haris atau akrab disapa Gola Gong datang dalam rangkaian kegiatan workshop Be a Writer: Gempa Literasi dengan tema Membaca Indonesia dari Timur Tengah.
Bagi saya, bukan persoalan jarak atau seremonial peringatan Hari Buku Sedunia saja tetapi sangat penting bagi setiap orang untuk memiliki keterampilan menulis dan minat membaca, semata agar gagasan-gagasan yang disampaikan dapat tersebar dan mampu memberikan pencerahan kepada orang lain.
Gol A Gong hanya satu dari sekian orang yang peduli dengan gerakan membaca di Indonesia. Seperti halnya Yusrizal KW yang mendirikan Komunitas Padang Membaca (KPM) di Padang. Selain kegiatan diskusi buku dan wakaf buku, KPM juga bergiat membangun Taman Bacaan Masyarakat Suka Maju Sejahtera di Kotopanjang Ikuakoto, Minggu (22/4) kemarin.
Seyogyanya, minat membaca di Sumatera Barat cukup tinggi tetapi kemampuan finansial dan ketersediaan bahan bacaan yang terbatas juga menjadi kendala. Seiring dengan pelbagai usaha peningkatan minat baca tersebut, budaya konsumtif masyarakat dan teknologi informasi yang bergerak dan berkembang dengan cepat setiap hari tentu menjadi tantangan tersendiri pula—ditambah lagi dengan sepinya perpustakaan dari kunjungan, kurang berkembangnya Perpustakaan dan Arsip Daerah (terutama pasca gempa Sumatera Barat), dan jumlah toko buku dan taman bacaan yang sedikit dengan khazanah yang minim dan jumlah buku yang miskin.
Pekerja di perpustakaan tidak lebih dari ‘penjaga buku’. Buku dan dokumen-dokumen penting lainnya tidak dihargai sebagai kekayaan berharga. Padahal perpustakaan merupakan gudang ilmu, sarana penting dalam dunia pendidikan serta melahirkan sumber daya manusia bermutu. Ironisnya, ada perpustakaan kampus yang tidak pernah terlihat terbuka pintunya pada hari kerja. Agaknya studi di kampus tidak lagi memerlukan perpustakaan, kecuali hanya diktat dari dosen. Ditambah lagi kegiatan membaca berakhir bersamaan dengan datangnya seremonial wisuda sedangkan ilmu pengetahuan berkembang tiada henti. Tanpa membaca, jarak ketertinggalan pun akan semakin menganga. Keresahan sosial yang semakin kusut masai ini semestinya menjadi perhatian pelbagai pihak.
Oleh sosiolog dari l’Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l’EHESS) di Paris, Alain Touraine mengatakan bahwa situasi ini disebut ‘kekosongan’ (the emptiness). Situasi yang dinilainya lebih berbahaya dari keresahan sosial itu sendiri. Mempertahankan minat baca yang sangat rendah begini sama dengan mempertahankan kebodohan sehingga keterbelakangan menguasai masyarakat Indonesia.
Di Jepang, ada cerita menarik tentang sekolah yang dituliskan oleh Tetsuko Kuroyanagi ke dalam sebuah buku berjudul “Totto-chan – Gadis Cilik di Jendela” (1981). Totto-chan adalah seorang gadis cilik yang hidup di masa sebelum Horishima dan Nagasaki dibombardir—memiliki rasa ingin tahun yang besar. Mama mendaftarkan Totto-chan ke Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang memberikan kebebasan kepada para murid untuk mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar dan ada yang ingin belajar bahasa terlebih dahulu—sekaligus membaca peristiwa yang ada di sekitarnya.
Kini, teman-teman Totto-chan yang pernah belajar satu gerbong dengannya, seperti Akira Takahashi yang sukses menjadi manajer personalia di perusahaan elektronik besar dekat Danau Hamana di Jepang Tengah, Miyo Kaneko yang berhasil menjadi pengajar musik di sekolah dasar yang menjadi bagian dari Departemen Pendidikan Kolese Musik Kunitachi, juga Taiji Yamanouchi yang menjadi salah satu ahli fisika di Jepang. Kini, dia bekerja di Fermi National Accelerator Laboratory di Illinois—laboratorium terbesar di dunia dan menjadi asisten direktur di sana.
Secara umum, memang minat baca di Indonesia rendah. Hal ini ditunjukkan oleh kajian UNESCO yang mengatakan bahwa pembaca koran di Indonesia hanya berjumlah 1persen, persentase terendah di Asia Timur dan ASEAN. Kajian UNESCO itu juga memberitahukan bahwa dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Jelas bahwa membaca dan belajar belum dirasakan sebagai sebuah keperluan niscaya, seniscaya orang makan. Pekerjaan membaca seolah-olah berakhir setelah sekolah selesai. selanjutnya taraf pengetahuan umum menjadi rendah. Semuanya berlangsung secara naluriah (instingtif). Rasionalitas tidak berkembang. Keadaan semacam ini memberikan lahan subur luas bagi segala rekayasa, primordialisme dan budaya instan.
Sementara itu, distribusi buku fiksi dan nonfiksi di Indonesia tidak merata karena sekitar 70 persen buku terserap di Pulau Jawa dan Bali. Tingginya biaya distribusi buku ke luar Pulau Jawa menjadi salah satu sebab timpangnya penyebaran buku—petunjuk dari timpangnya dunia pendidikan kita. Sisa buku yang 30 persen inilah yang didistribusi ke pulau-pulau lain, termasuk ke Sumbar.
Dalam pada itu, gerakan membaca dinilai perlu untuk dilakukan demi menggoyahkan bangunan kebodohan yang menjulang di Indonesia, apalagi di Sumatera Barat. Tentunya, kedisiplinan menjadi modal penting bagi masyarakat pembaca yang berkelindan dengan kesibukan sehari-hari sehingga dengan budaya literasi khususnya di Sumatera Barat berkembang dan melesat menjadi lebih bermutu terutama dalam peningkatan pendidikan.
Jepang dan kampung Ruwais hanyalah sampel, berbeda dengan kondisi kita di Indonesia. Akan lebih efektif jika ada perubahan dalam sistem ajar-mengajar di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dan merangsang anak-anak sejak usia satu-dua tahun gemar membaca. Dengan budaya literasi akan dapat meningkatkan mutu diri, baik sebagai individu ataupun secara kolektif.
Barangkali dari contoh yang jauh itu, kita memiliki semangat untuk bersama-sama mencerdaskan bangsa—atau setidaknya seseorang yang dekat dengan kita. Mulai dari merangsangnya dengan bacaan yang menyenangkan, atau menciptakan suasana sekolah yang dapat meningkatkan gairah dan minat membacanya.
Senin kemarinni, serentak di 33 Provinsi, penggiat literasi di seluruh Indonesia mencanangkan penyulutan sumbu ‘Gempa Literasi’. Seperti yang dikatakan Mark Twain, pengarang Amerika itu, bahwa kita masih memiliki peluang untuk mengatasi orang-orang yang tidak mau dan tidak mampu membaca.
0 comments:
Post a Comment