Pages

Friday, 11 May 2012

Merajut Kebersamaan dalam Sastra Alam Melayu


Merajut Kebersamaan dalam Sastra Alam Melayu
Posted by PuJa on May 10, 2012
SASTRA MELAYU DALAM PERADABAN MELAYU SERANTAU
Sastri Bakry
http://www.harianhaluan.com/

SAYA sungguh merasa ter­sanjung dan mendapat kehormatan diundang sebagai pemakalah pada Hari Sastra Malaysia yang ke XV. Kesempatan ini akan saya gunakan untuk menyilau sedikit tentang Temu Sastrawan Nusantara Melayu Raya 1 (TSN 1) yang baru saja digelar di Padang, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 16-18 Maret 2012 lalu. Kenapa TSN 1 itu relevan untuk dibahas pada sesi ini? Tentu, karena misi yang dikandung pada dasar­nya adalah sama, yaitu seba­gai ajang silaturahim sesama sastrawan, seniman, sejarah­wan dan budayawan.
Juga agar sastra menjadi pusat perhatian dari banyak pihak. Sekaligus tentu saja dalam rangka ikut membina dan membangun peradaban Mela­yu. Pada seminar Internasional yang diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah dan negara ada spirit untuk tetap membangun gerakan dalam kebersamaan Melayu. Apakah namanya Nusantara Melayu Raya (Dato Kemala), Pan Melayu (Yulizal Yunus), Mela­yu Serumpun (Viddy AD Daery) atau Melayu Serantau (Gapena)?
Melayu serantau seringkali kita perkatakan sebagai ung­ka­pan kebersamaan serumpun dalam perbedaan etnik lokal. Dulu, ketika saya masih kanak-kanak, orang sering memperkatakan Melayu seba­gai jati diri yang cenderung negatif yang tentu saja dikon­struksi oleh penjajah. Melayu kopi daun, Melayu yang tidak punya etos kerja yang tinggi, ceroboh dan sembrono, yang menghabiskan waktunya un­tuk bersenang-senang.
Orang Melayu sering dise­but tidak banyak yang dapat dipercaya dan rata-rata perca­ya pada tahayul. Orang Mela­yu mengabaikan pelajaran sastra, matematika dan sedi­kit yang menjadi ilmuwan. Dalam kacamata Eropa (Ero­pa centris) Melayu itu dilihat dalam perspektif negatif. Dan kita cukup lama menerima kondisi itu dengan ikut mem­banggakan orang asing yang disiplin, jujur, terus terang, berilmu dan menyukai sastra.
Pandangan itu tentu saja dalam perspektif politik hanya untuk merendahkan bangsa Melayu yang berada dalam daerah jajahan mereka. Na­mun sejalan dengan waktu, persepektif itu perlahan mulai memudar.
Para tokoh sastra, sejarah maupun budaya mulai menggeliat mencoba membe­rontak dengan pemikirannya dalam karya sastra. Dalam berbagai litelature disebutkan, para pemikir itu lebih banyak datang dari daerah Minang­kabau, sebut saja mulai dari Angkatan Balai Pustaka (Ma­rah Rusli, seperti terlukis dalam roman Siti Nurbaya, Muhammad Yamin konseptor Sumpah Pemuda Indonesia), angkatan pujangga Baru (Soe­tan Takdir Ali Syahbana Sengsara Membawa Nikmat, Abdul Moeis Salah Asuhan, Hamka Tenggelamnya Kapal Vanderwijk yang memberontak dengan budaya yang statis dan membuka diri dengan belajar dari Barat), Angkatan 45 (Chairil Anwar yang maju dengan sajak-sajaknya yang heroik, rasional dan bebas), Noer Sutan Iskandar, Taufiq Ismail, Rustam Effendi, ang­katan 66 (A.A Navis, Leon Agusta, Zaidin Bakry, Rusli Marzuki Saria, Chairul Harun, Abrar Yusra , Wisran Hadi dll).
Karya sastra yang muncul justru menunjukkan bahwa orang Melayu terutama Melayu Mi­nang dalam posisi tinggi dalam melahirkan karya sastra yang memengaruhi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negeri-negeri serantau terutama Malay­sia. Hamka dan Natsir hingga saat ini tetap menjadi rujukan.
Namun kemudian pada Angkatan 70 hingga 80-an seakan kegairahan sastra memasuki “fase kesepian” yang tidak lagi menjadi rujukan di negeri-negeri jiran terutama Malaysia. Pada Angkatan terbaru, 1990 dan 2000an, sesungguhnya sangat banyak sekali karya sastra yang terbit sehingga tak lagi menjadi rujukan dan perbincangan hebat terutama di lembar-lembar sastra media massa.
Pengarang-pengarang Me­la­yu dulu berada dalam arus utama perubahan peradaban yang modern tanpa mening­galkan ciri kemelayuan yang positif yakni kebersamaan, kekeluargaan, kesopanan dan kecintaan pada keluarga. Ini menjadi karakter orang Me­la­yu yang tentu saja memba­wa efek positif kemelayuan yang dikampanyekan lewat karya-karya sastra yang mereka tulis dan dipubli­kasikan.
Mengapa Sastra dari Minangkabau?
Sastrawan Minangkabau sejak lama sudah menjadi rujukan bagi pemerintah mau­pun sastrawan lain di Malaysia. Itu terungkap diberbagai kertas kerja dida­lam seminar, diskusi, mau­pun ditemukan dalam kutipan berbagai literature. Suatu ketika saya melakukan kunju­ngan ke sebuah kantor peme­rintah di Melaka. Mata saya terpaku dengan kein­dahan kata-kata yang me­nem­pel di dinding maupun di banner yang dikutip dari tulisan-tulisan Hamka. Saya bangga sekaligus cemburu. Kenapa di negeri saya justru sastra­wan tidak begitu dihar­gai?
Kata-katanya tidak dikutip untuk menjadi inspi­rasi dan semangat, kecuali saya te­mu­kan hanya di rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek yang tertempel rapi di din­ding maupun di banner-banner. Setiap kata yang tertulis memerlukan perenu­ngan untuk kemudian penya­daran dan keyakinan diri.
Perenungan dari karya sastrawan Minang pada dasarnya bergerak dari sis­tem budaya dan alam Mi­nang­kabau. Walaupun penya­ir atau sastrawan Minang sudah merantau kemanapun mereka pergi tetap akan bercerita tentang alam dan budaya asalnya. Setinggi-tinggi terbang bangau, kem­balinya tetap ke kubangan juga. Meski hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri, mereka tetap ingin pulang.
Para penyair/sastrawan Minang dimana pun berada ketika bersyair selalu menyu­a­­rakan alam di kampungnya. Dan syair yang dihasilkan pun menjadi syair yang me­nge­na disebabkan para pe­nyair se­ringkali belajar dari alam. Filosofi Minangkabau yang sering kali diperkatakan adalah karya A.A Navis. Menurut Navis, kata alam mengandung makna yang tidak bertara. Alam tidak hanya sebagai tempat lahir dan mati, tempat hidup dan ber­kem­bang melain­kan juga punya makna filosofis seperti yang diungkap dalam mama­ngannya Alam Takam­bang Jadi Guru. Oleh karena itu ajaran dan pandangan hidup orang Minang seringkali dinu­kilkan dalam karya sastra mengambil ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.
Simaklah pantun yang melukiskan keindahan alam berikut ini:
Panakik pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Salodang jadikan nyiru
Satitiak jadikan lauik
Sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru
Kesamaan alam, kesa­maan bahasa (Melayu), geog­ra­­fis, sejarah memunculkan syair, pantun, mamang, gurin­dam, puisi, yang modern pun seringkali menggambarkan tentang alam di kampungnya. Meski ia sudah berada jauh di luar sana. Seperti yang ditulis Firdaus Abdullah Puisi Merantau yang tergambar dalam puisi-puisinya Surat dari New York atau San Fransisco:
Teluk San Fransico berbayu senja
Pelipur Mujarab rindu ke kampung
Kubayangkan adik kau turun melihatnya
Berkebaya atau berbaju kurung
Dalam sajak modern pun banyak yang menggambarkan alam Minangkabau. Meski isinya terkadang menggam­barkan kerinduan semata, tetapi tetap berbicara tentang alam.
Dangalah ratok
Awan bararak baolah pasan kami ko
Ka urang rantau nan di subarang
Tolong katokan kami mananti nan kanduang
Di ranah Minang tanah pusako
Fungsi sastra Melayu sebagaimana disebut di awal adalah sebagai perekat, pembi­na peradaban dan kebudayaan Melayu. Tentu saja kacamata melihatnya adalah kacamata kebudayaan yang tidak berba­tas state dan politik. Bahkan dalam suatu perbincangan dengan Eka Budianta (Sastra­wan/Budayawan) jika kita ingin membesarkan dan mem­perluas Melayu maka yang paling penting Melayu itu adalah pengguna Bahasa Melayu. Bisa bule, sipit, hitam, mancung, keriting, korea, dst. Jadi tema kita klasik multikultur dan multi­bangsa Melayu.
Perspektif Politik dan Negara
Persatuan memang sering­kali tidak tercapai tatkala sebahagiaan kecil sastrawan dan sejarahwan melihatnya dengan mata “kecurigaan” (syak wasangka), kepentingan dan politik. Menganggap gera­kan “Sastrawan Serantau” tidak bermanfaat, tidak pen­ting untuk sebuah kreativitas individual.
Perbedaan ini apabila diperdebatkan akan tetap panjang dan tak pernah ada titik temu. Karena tentu saja sebuah karya sastra sangat individual dan indepen­den. Namun kebersamaan, membangun jaringan, networ­king semangat memajukan diri tetap diperlukan untuk menggerakkan “Pan-Melayu Serantau”. Bahkan kata se­rum­pun pun bisa menjadi perdebatan panjang apabila melihat dalam posisi superior inferior. Sehingga Anhar Gonggong pernah mengatakan dalam seminar “Cross Cultu­ral Fertilization: Sebuah Strategi Kebudayaan” bahwa Indonesia tidak serumpun dengan Malaysia. Dalam bidang suku dan budaya, Malaysia tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya Papua, Flores dan lainnya, Indonesia lebih hebat, lebih luas dan beragam. Maka perbedaan yang dimunculkan akan semakin tajam rasa berjauhan. Kekuatan cinta semakin melemah.
Merajut Alam Melayu?
Dunia Barat seringkali dikatakan lebih maju dari dunia Melayu. Tantangan itu semakin kuat tatkala spirit zaman yang dinamis itu justru diminati oleh anak-anak muda. Kecenderungan yang muda-muda berkiblat pada barat, kadang sering menggemaskan. Di situlah peran penulis/sastrawan Melayu untuk menyiapkan naskah dan doku­men yang menarik yang bisa dibaca oleh kalangan muda.
Bagaimana merajut alam Melayu? Apa yang dilakukan Gapena adalah salah bentuk penguatan terhadap tamaddun Melayu Serantau.
Tetap merajut kebersaman dalam perbedaan, identititas lokal tetap harus diper­tahan­kan, Melayu Riau, Melayu Semenanjung, Melayu Mi­nang, Melayu Jambi, dll. Minangkabau yang tetap belajar dari alam senantiasa hadir dan lahir karya-karya besar dari seniman dan sas­trawan Minang. Sastra jaman baheula adalah sastra yang bermartabat. Sekaligus mem­bangun sastra modern yang maju dan berkembang, karya sastra yang semakin banyak dibaca orang di seluruh lapisan dunia dan bahasa Melayu semakin menguasai dunia. Bertahan di tengah arus globalisasi dengan membangun alam tamaddun melayu yang dinamis.
Buku “Melayu Hilang di Dunia” yang ditulis Khalid Salleh (budayawan dan aktor film/teater Malaysia) mesti menjadi kewaspadaan kita. Dosa-dosa para Pemimpin Nusantara sepatutnya tidak terulang. Para sastrawanlah yang merekatnya dalam Alam Tammaddun Melayu Seran­tau. Kecurigaan dan kesom­bongan individual hanya akan menciptakan keterkungkungan dan menghancurkan Melayu dari dunia peradaban. Karena itu, ungkapan Hang Tuah perlu tetap kita jaga dan renungkan dalam semangat kebersamaan tamaddun Melayu, yang me­ngu­asai ilmu, pengetahuan, ekonomi dan teknologi dengan bahasa yang merajut keber­samaan dalam perbedaan tetap harus dipertahankan sebagai identitas lokal yang tetap bersitumbuh, berurat berakar di hati orang Melayu”:
Tuah sakti hamba negeri
Esa hilang dua terbilang
Patah Tumbuh hilang berganti
tak Melayu hilang di bumi.
Sastri Bakry, Novelis, Aktivis dan Sekretaris DPRD Kota Padang /15 April 2012

0 comments:

Post a Comment